Senin, 30 Agustus 2004

BAHASA INGGRIS: IRONI DOSEN UNMUL DAN KUALITAS PENDIDIKAN KITA

BAHASA INGGRIS: IRONI DOSEN UNMUL DAN KUALITAS PENDIDIKAN KITA

Dunia pendidikan (terutama di Kaltim) sekali lagi harus berkabung mendengar berita dari rektor UNMUL mengenai rendahnya kemampuan berbahasa Iggris para dosennya yang sudah berpendidikan master (Kaltim Post, 30/8/04). Jika yang sudah magister saja hanya memiliki skor TOEFL rata-rata dibawah 300 maka bisa dibayangkan mereka yang masih belum magister. Ini betul-betul membuktikan bahwa keinginan kita untuk ‘meleverage’ kualitas pendidikan di Kaltim setara dengan ASEAN adalah bak mimpi disiang bolong. Mengapa demikian?
Dengan bekal kemampuan pemahaman bahasa Inggris yang sangat minim tersebut jelas sekali bahwa para dosen tersebut tidak akan mampu meningkatkan pengetahuannya dengan membaca buku-buku referensi dan jurnal yang berbahasa Inggris. Selama ini para mahasiswa program master kita hanyalah belajar melalui buku-buku terjemahan. Kalau ada diktat yang berbahasa Inggris maka mereka harus menerjemahkannya lebih dahulu agar bisa menyusun makalah dari diktat tersebut. Para master dan doktor yang baru bisa belajar jika materinya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia jelas tidak akan memiliki pemahaman yang lengkap mengenai materi yang dipelajarinya karena banyak konsep-konsep maupun istilah dalam bahasa Inggris yang sulit atau tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesa. Jika dipaksakan maka penerjemahannya akan ‘corrupted’ alias tidak mewakili pemahaman aslinya.
Jika para dosen tersebut tidak mampu ‘berkomunikasi’ dengan diktat berbahasa Inggris maka tentu saja ia tidak akan memberikan materi perkuliahannya dari diktat-diktat berbahasa Inggris. Padahal kita tahu belaka betapa terbatasnya buku-buku diktat kuliah yang sudah diterjemahkan dan betapa buruknya penerjemahan kita. Begitu sebuah buku diterjemahkan bisa dipastikan informasi yang disampaikan sudah agak basi karena sudah terbit lagi buku-buku baru dengan infomasi-informasi yang lebih ‘up to date’. Jadi ini adalah ‘pemiskinan akademis’ yang terstruktur. Jika kita hanya bisa menyerap 50% materi yang kita pelajari dan kita ajarkan pada mahasiswa kita maka maksimal mereka hanya akan menyerap 50 % s/d 80 % dari apa yang kita berikan. Dan begitu seterusnya sehingga sebetulnya mahasiswa kita sebenarnya hanya dapat menyerap 25% dari materi yang seharusnya ia peroleh sesuai dengan silabus. Dan pendidikan kita akan semakin tertinggal dan tertinggal karena ketidakmampuan dosen-dosen kita membaca materi berbahasa Inggris. Sungguh ironis!
Ini semakin membuktikan kekuatiran saya bahwa kualitas SDM kita dibidang pendidikan sudah masuk dalam fase krisis (hasil penelitian secara nasional menunjukkan bahwa 50 s/d 60 % guru-guru kita tidak layak mengajar) dan sampai saat ini saya masih belum melihat adanya visi dari pemerintah kita untuk memperbaiki keadaan ini. Just no vision at all.
Coba lihat ‘bekas murid’ kita Malaysia. dengan tegas mereka menetapkan bahwa menjelang 2005, 75 % dosen di perguruan tinggi haruslah sudah bertitel Ph.D alias Doktor. Selain itu menjelang 2010, 100 % guru sekolah menengah dan 50 % guru SD harus bertitel S-1. Ini artinya guru-guru dan dosen harus sekolah lagi dan cutinya ditanggung oleh negara alias dibayar penuh. Memang berat bagi guru dan dosen untuk bersekolah lagi, tapi itu memang tuntutannya. Kalau tak mampu memenuhi persyaratan dengan bersekolah lagi ya silakan cari pekerjaan lain. Profesi guru atau dosen bukanlah profesi sambilan yang bisa dikerjakan asal-asalan. Hanya mereka yang bersungguh-sungguh dan memiliki kualifikasi tertentu yang bisa memenuhi persyaratan tersebut.
Apa implikasinya jika pemerintah menetapkan demikian? Artinya pemerintah harus sudah memiliki perencanaan yang matang mengenai bagaimana meningkatkan kualifikasi para pendidik tersebut dalam jangka waktu tertentu. Sebagai contoh, jika kita bersungguh-sungguh ingin meningkatkan kualitas pendidikan di level perguruan tinggi maka kita harus berani menetapkan suatu target umpamanya 100 % dosen perguruan tinggi harus sudah berpendidikan Master S2 pada tahun 2008, umpamanya. Mereka yang belum mencapai level tersebut diminta untuk mengambil masternya sesuai dengan jurusan masing-masing (jangan seperti sekarang ini dimana hampir semua dosen mengambil MM untuk masternya padahal bukan bidang keilmuannya) dan jika sampai tahun 2008 belum mencapai master maka ia harus dilengserkan dari profesinya tersebut. Kejam? Lebih kejam lagi jika kita membiarkan kualitas pendidikan bagi anak-anak kita dimasa mendatang semakin terpuruk dan terpuruk karena toleransi kita yang berlebihan dalam kualitas dan membiarkan bangsa kita menjadi ‘mediocre’.
Jika suatu daerah yang memiliki umpamanya 200 dosen yang belum memiliki kualifikasi magister dan pemerintah bersedia mensubsidi Rp. 10.000.000,- bagi setiap dosen tersebut maka biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah hanyalah sebesar Rp. 2M. Suatu angka yang sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan kualitas yang bisa kita capai dengan nila tersebut.

Kembali ke masalah bahasa Inggris, nampaknya kita masih akan menghadapi masalah yang sama sampai belasan tahun yang akan datang. Mengapa? Meskipun semangat untuk mempelajari bahasa Inggris semakin lama semakin kuat tapi tidak diikuti dengan pemahaman tentang bagaimana melakukan peningkatan kualitas tersebut secara komprehensif. Selama ini kita melakukan perbaikan tambal sulam dan selalu berharap perbaikan secara instan, umpamanya mengirim beberapa orang guru bahasa Inggris ke luar negeri untuk belajar sebulan sampai tiga bulan. Perbaikan kualitas pengajar maupun sarana dan prasarana belajarnya membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan konsisten.
Kualitas guru-guru bahasa Inggris kita saya yakin juga ‘sangat menyedihkan’ kualitasnya sehingga mengharapkan output yang berkualitas dari pengajar yang tidak berkuliatas adalah seperti katak merindukan bulan. Guru-guru yang tidak berkualitas jelas tidak akan mampu mengembangkan metodologi pengajarannya agar berkualitas, mudah dan menarik, apalagi jika harus menggunakan berbagai sumber informasi orisinil.
Sarana dan prasarana belajar juga sangat menentukan. Untuk dapat menguasai bahasa Inggris dengan baik kita harus melatih keempat komponen berbahasa yaitu : Listening, Speaking, Reading, dan Writing sebanyak mungkin. Ada ahli yang menyatakan bahwa minimal kita harus berlatih 10.000 jam agar dapat menguasainya.
Tapi apa yang bisa kita dengar jika kita tidak memiliki radio dan siaran berbahasa Inggris untuk melatih ‘listening’ kita? Bagaimana kita meningkatkan kemampuan ‘speaking’ kita jika tidak tersedia guru atau partner yang fasih berbahasa Inggris dan yang tersedia hanya guru-guru dan pelatih yang sama kacaunya bahasa Inggrisnya dengan kita? Bagaimana kita bisa berlatih ‘reading’ jika tidak ada bacaan ataupun media cetak yang memadai untuk itu?
Sebagai perbandingan, di Sabah maupun Sarawak ada beberapa radio, koran maupun media cetak yang berbahasa Inggris. Penerbitan buku-buku bacaan dalam bahasa Inggris juga marak. Bahkan buku Harry Poter yang tebalnya sebantal tersebut ‘sengaja’ tidak diterjemahkan dalam bahasa Melayu agar anak-anak SD mereka ‘terpaksa’ harus membaca dalam bahasa aslinya. Padahal bahasanya cukup berat meskipun bagi guru bahasa Inggris kita. Toh mereka tetap membacanya sehingga mereka memang telah benar-benar terbiasa membaca buku-buku dan media cetak berbahasa Inggris sejak kanak-kanak. Bandingkan dengan dosen magister kita yang untuk membaca makalah setebal 10 halaman saja harus membayar penerjemah agar mampu memahaminya.
Itulah sebabnya saya tidak mendukung muatan lokal bahasa Inggris di sekolah dasar kita karena kita memang tidak memiliki perangkat untuk itu. Sedangkan guru-guru bahasa Inggris di SMP dan SMA saja kita kekurangan lha kok malah ditambah dengan mulok bahasa Inggris di SD. Akhirnya mulok tersebut dilaksanakan dengan asal-asalan di SD-SD kita untuk memenuhi formalitas administratif belaka. Semangat sih boleh tapi kita tidak boleh naif dan menyederhanakan permasalahan hanya dengan semangat dan angan-angan besar. Kita harus sadar bahwa ada dampak negatif membayangi program asal-asalan tersebut. Dan itu ‘ongkos akademik’nya sangat besar dan harus dibayar di masa mendatang.
So what? Nampaknya memang tidak ada solusi instan bagi penyelesaian permasalahan pendidikan kita karena semuanya kait-mengait. Mungkin memang sudah saatnya kita belajar khusus pada ‘bekas murid’ kita Malaysia dalam menyusun strategi peningkatan kualitas pendidikan. Tak perlu malu-malu mengakui kelemahan kita. Toh mereka sudah terbukti berhasil ‘meleverage’ kualitas pendidikan mereka hanya dalam satu generasi sementara orientasi pendidikan kita semakin tidak jelas mau dibawa kemana.
Ada pendapat yang menarik mengenai pengajaran bahasa Inggris di Malaysia oleh Datuk Seri Rafidah Azis, pimpinan Wanita UMNO dan International Trade and Industry Minister di Kuala Lumpur tentang ketakutan beberapa orang di Malaysia bahwa bahasa Inggris akan mengurangi atau menghilangkan nasionalisme bangsa. “Ignore the language chauvinists,” katanya, “Master the English language. Or else, prepare to lose out as a nation.” . Mastering English "does not make one less Malay or less Malaysian", tambahnya.
Anda boleh setuju boleh tidak tentunya.
Balikpapan, 30/8/04
Satria Dharma
Dewan Pendidikan Kota Balikpapan