Rabu, 23 Maret 2005

Dewan Pendidikan : The Mission Impossible

Kalau ada lembaga yang paling banyak dikecam dan dituntut tapi paling sedikit didukung barangkali Dewan Pendidikan akan menempati daftar teratas. Hal ini membuat Dewan Pendidikan seperti mengemban Mission Imposible.
Dewan ini mulanya terbentuk atas SK Mendiknas untuk membantu pemerintah dalam membenahi kualitas pendidikan kita yang semakin terpuruk dalam iklim birokratik dan sentralistik. Selain itu DPK dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Gerakan ini dimulai dengan adanya paradigma MBS Manajemen Berbasis Sekolah yang beranggapan bahwa peningkatan mutu dan relevansi pendidikan hanya dapat dicapai dengan demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan dimana masyarakat sebagai stake holder berperan penuh yang terwakili dalam bentuk lembaga yang bernama DP (Dewan Pendidikan) dan KS (Komite Sekolah).
Dengan kesadaran tersebut maka dibentuklah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah diseluruh Indonesia dengan berbekal SK dari walikota/bupati untuk DP dan SK kepala sekolah ditingkat sekolah. DP dan KS memiliki 4 fungsi yang hampir identik kecuali pada ruang lingkupnya yaitu sebagai Badan Pertimbangan, Badan Pendukung, Badan Pengontrol, dan Mediator di bidang pendidikan. Jika dijabarkan maka fungsi dan peran yang diberikan sangatlah luas dan besar. Dengan fungsi dan peran yang begitu besar tak salah jika kemudian masyarakat kemudian memiliki ekspektasi yang begitu besar pula terhadap lembaga ini. Selama ini masyarakat telah memendam kekecewaan yang besar dan mendalam terhadap kinerja Departemen dan Dinas Pendidikan dalam mengelola pendidikan yang dianggap gagal memenuhi tuntutan kebutuhan akan pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan kita yang semakin tahun semakin merosot dibandingkan negara-negara tetangga semakin membuktikan bahwa kinerja Departemen Pendidikan masih jauh dari harapan dan tuntutan masyarakat.
Jadi dengan berbekal SK tersebut berangkatlah para anggota DP dengan ‘gagah berani’ untuk melaksanakan tugasnya. Para anggota DP berpendapat bahwa lembaga mereka memang dikehendaki oleh pemerintah sehingga tentulah mereka akan dibantu dalam melaksanakan keempat fungsi dan perannya tersebut di masyarakat. But, alas, ternyata mereka dihadapkan dengan kenyataan bahwa SK tersebut ternyata hanya secarik kertas belaka dan tidak memiliki implikasi apa-apa terhadap pelaksanaan tugas mereka di lapangan. Dan yang lebih parah lagi adalah bahwa mereka tidak benar-benar diinginkan perannya.
Sebagai contoh, bagaimana mungkin lembaga ini bisa berfungsi jika kantor saja tidak disediakan oleh pemerintah kotanya? Jangankan lagi honorarium sedangkan dana operasional saja lembaga ini tidak diberi. Banyak DP yang beroperasi dengan menggunakan dana pribadi dari anggotanya lebih dahulu. Suatu hal yang mengherankan mengingat bahwa lembaga ini merupakan amanat dari undang-undang Sisdiknas dan diberi beban yang begitu besar. Syukurlah bahwa kemudian ada subsidi dari pemerintah pusat sebesar 60 juta pada akhir Desember lalu. Ini ibarat diberi tugas untuk menebang pohon tapi hanya diberi pisau dapur yang tumpul.
Bagaimana mungkin suatu lembaga baru dapat berfungsi jika para anggotanya bukanlah para ahli dibidangnya dan mereka tidak tidak pernah diberi otoritas untuk melaksanakan tugasnya ? Setelah dibentuk program ini dilepas begitu saja dan sampai saat ini belum ada rencana dari Depdiknas untuk menindaklanjuti fungsi dari lembaga ini. Padahal harapan masyarakat terhadap lembaga ini sudah terlanjut berkembang. Akhirnya adalah lembaga ini menjadi bulan-bulanan kecaman masyarakat yang menganggapnya ‘banci’, ‘tak bergigi’, ‘tidak aspiratif’, ‘tidak membumi’ dan berbagai tuduhan lain. DPK Balikpapan bahkan pernah dituntut untuk bubar baru beberapa bulan setelah kelahirannya karena dianggap tidak aspiratif, tidak memperjuangkan nasib guru swasta, tidak jelas programnya dan lain-lain. Bisa dimaklumi karena masyarakat sudah terlanjur percaya bahwa lembaga ini bisa menjadi ‘superbody’ yang akan dapat memecahkan semua permasalahan yang berhubungan dengan pendidikan : mulai dari anggaran pendidikan, kinerja kepala sekolah dan guru-gurunya, berbagai macam iuran dan tarikan sekolah, nasib guru swasta, tunjangan bagi guru honor, SPMB, konflik antara sekolah dan orang-tua, hingga kepada muatan lokal. Apapun masalah dalam pendidikan dibebankan pada Dewan Pendidikan untuk mengatasinya. Tentu saja! Bukankah itu tujuan dari dibentuknya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah?

Kesulitan terbesar dari DP dan KS sebenarnya adalah kurangnya komitmen dari pemerintah untuk memberdayakan lembaga ini. Lembaga ini dibentuk oleh pemerintah pusat dengan setengah hati dan melepaskan begitu saja lembaga ini di setiap daerah tanpa membekalinya dengan berbagai perangkat untuk memberdayakannya. Kesan bahwa lembaga ini dibentuk sekedar untuk proyek menjadi tak terhindarkan. Pemerintah tidak memiliki konsep dan program yang jelas untuk memberdayakan lembaga bentukannya ini. Bahkan usulan agar Depdiknas membentuk suatu Forum DP sebagai suatu wadah bagi semua anggota DP untuk berkomunikasi saja tidak mendapat respon. Paling tidak kalau DP se Indonesia memiliki suatu Forum bersama maka mereka bisa memberdayakan diri mereka sendiri melalui forum tersebut. Mereka bisa saling berkomunikasi dan saling berbagi informasi dalam forum tersebut.
Di daerah masalahnya juga sama. Pemerintah daerah juga sama setengah hatinya dengan yang di pusat. Tak terelakkan memang. Jangankan lagi menjadikan DP sebagai Badan Pertimbangan dalam menetapkan suatu kebijakan di bidang pendidikan, mengundang DP dalam acara-acara kependidikan saja sering tidak dilakukan. Eksistensi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memang masih dipertanyakan. Ada tapi tiada. Kalau ada bantuan dari pusat ia ada (karena tandatangan dan stempelnya dibutuhkan) tapi setelah itu ia tiada.
Kalau kondisi ini tidak cepat-cepat diperbaiki maka sekian ratus DP di seluruh kota dan kabupaten di seluruh Indonesia yang telah didanai pembentukannya cukup mahal akan benar-benar mati tanpa pernah berfungsi.
Permasalahan eksistensi memang cukup rumit. Ada beberapa pertanyaan yang patut mendapat jawaban yaitu : Apakah lembaga ini benar-benar diperlukan dalam sistem pendidikan nasional kita di masa depan? Kalau ya bagaimana konsep ideal dan program yang akan dilakukan untuk memberdayakannya? Siapa yang bertanggungjawab dalam memberdayakan lembaga ini dan dimana peran pusat dan daerah bermain? Jika hanya pusat yang menginginkan sedangkan daerah tidak maka tidak ada gunanya. Dalam beberapa kasus seringkali Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan justru nampak tidak menghendaki adanya DP yang ‘powerful’. Beberapa kepala daerah bahkan mewanti-wanti DP agar tidak melakukan kegiatan operasional yang bisa tumpang-tindih dengan fungsi Dinas Pendidikan, bahkan sebelum DP melakukan kegiatan apapun! Beberapa Komite Sekolah bahkan dimusuhi oleh sekolah ataupun yayasan dimana ia berdiri. Mereka dianggap hanya akan merecoki tugas sekolah. Hampir semua sekolah swasta tidak merespon adanya keharusan untuk memiliki KS ini. Ataupun kalau ada KS tersebut hanyalah ’boneka’ dari sekolah dan yayasan.
Bagaimana mekanisme agar DP ini bisa berperan sesuai dengan fungsi yang diembannya? Dimana wilayah geraknya? DP tidak mungkin dapat memberikan pertimbangan, memberikan dukungan, melakukan kontrol dan mediasi di bidang pendidikan jika memang tidak diberi ruang gerak dan otoritas dalam mekanisme kerja di bidang pendidikan. Jika itu yang terjadi maka DP hanya akan jadi oposan yang hanya bisa berteriak dari luar jika melihat sesuatu yang kurang tepat di bidang pendidikan.
Masalah lain yang cukup klasik adalah masalah pendanaan. Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab untuk mendanai beroperasinya lembaga ini ? Pemerintah pusat ataukah daerah ? Berapa besar dana yang dibutuhkan oleh lembaga ini? Apa saja program dan kegiatan yang bisa didanai oleh lembaga ini? Perlukah memberi honor pada anggotanya? Jika tidak ada honor bagaimana mekanisme yang dibutuhkan agar anggotanya mau melaksanakan tugas-tugasnya secara sukarela? Perlu dipahami bahwa hampir semua anggota DP/KS adalah ‘volunteer’ yang ‘part-timer’. Hal ini dapat menyebabkan tidak berfungsinya lembaga ini karena kita tidak dapat menuntut seseorang untuk berfungsi dan berperan secara maksimal jika kita tidak memberinya imbalan. Secara bergurau seorang anggota DP berkomentar “Sedangkan anggota DPRD yang mendapat gaji dan fasilitas yang melimpah saja tidak pernah dipertanyakan kinerjanya, lha kok kita yang justru harus berkorban dituntut maksimal. Yang bener aja!”

Lantas bagaimana DP/KS bisa survive dengan kondisi begini? Memang hanya DP dan KS yang benar-benar gigihlah yang masih bisa.bertahan dalam suasana dan kondisi yang begini. Meskipun dengan kondisi tertatih-tatih dan penuh cemooh. Meski belum ada penelitian penulis berani bertaruh bahwa hanya ada segelintir DP dan KS yang masih dapat berfungsi dan berperan sampai saat ini. Lainnya sudah mati suri.
Lantas apa yang harus dilakukan untuk membedayakan DP dan KS? Peran pemerintah baik pusat maupun daerah sangatlah besar. Tanpa komitmen yang sungguh-sungguh dan kemauan politik dari mereka untuk memberdayakan DP dan KS lembaga ini tidak akan mungkin bisa berfungsi dan berperan. Bagaimana mungkin DP dapat memberikan pertimbangan, dukungan, kontrol, dan mediasi jika diakui saja tidak? Salah satu indikator kinerja KS yaitu memberikan masukan untuk penyusunan RAPBS, memberikan pertimbangan perubahan dan ikut mengesahkan RAPBS bersama kepala sekolah, umpamanya, tidak akan mungkin bisa dilakukan jika Dinas Pendidikan dan sekolah tidak menghendaki KS masuk ke dalam ’wilayah’ mereka. Beberapa teman pengamat pendidikan tertawa sinis melihat peran ini. Katanya,”Mana mungkin Dinas Pendidikan dan Sekolah mau dicampuri urusannya dalam masalah ini? Jangankan berbagi wewenang dengan sukarela, dipaksapun belum tentu mereka mau memberi. Kita hanya menunggu Godot.”. Suatu realita yang perlu dipertimbangkan.
Pemerintah hendaknya sadar bahwa Dewan Pendidikan bukanlah ‘bayi ajaib’ yang begitu dilahirkan bisa dilepas untuk hidup dan besar sendiri tanpa diberi apapun dan secara ajaib memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas yang maha berat yang oleh Departemen Pendidikan dan Dinas Pendidikan sendiripun sudah kesulitan mengembannya.
Melalui tulisan ini penulis berharap agar pemerintah benar-benar menunjukkan komitmennya yang kuat dalam memberdayakan lembaga DP dan KS ini agar harapan masyarakat yang telah terlanjur besar tersebut dapat memperoleh wadah yang efektif. Konsistensi pemerintah dalam melaksanakan program-programnya sangatlah diharapkan.

Balikpapan, 18 Februari 2004

Satria Dharma
Ketua Dewan Pendidikan Kota Balikpapan
satriadharma2002@yahoo.com
Jl. S. Parman 14 Balikpapan
Telp : 0542-391158
Fax : 0542-391156

BIAYA PENDIDIKAN : KENAPA HARUS GRATIS

Jika kita masih mempertanyakan mengapa biaya pendidikan harus gratis maka sebaiknya kita kembali ke tahun 1945 ketika kita memproklamirkan diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka yang bercita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya. Coba pikir, bagaimana mungkin kita akan dapat mencerdaskan bangsa ini jika untuk mendapatkan pendidikan dasar saja warganegaranya kesulitan karena pendidikan yang dikelola oleh pemerintah bukan hanya rendah kualitasnya tapi juga mahal harganya? Apa gunanya kita merdeka jika ternyata pendidikan dasar dengan kualitas burukpun harus kita peroleh dengan biaya mahal? Mana berkah kemerdekaan yang kita cita-citakan sejak setengah abad yang lalu tersebut? Apakah kita harus menunggu hingga satu abad baru cita-cita kemerdekaan tersebut bisa kita peroleh?
Cobalah tengok negara-negara maju atau negara-negara tetangga. Tanpa gembar-gembor :”Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.” “Prioritas utama pemerintahan kita adalah peningkatan kualitas SDM!”, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, “Menuntut Ilmu adalah kewajiban sejak dalam buaian sampai liang kubur”, “Hanya dengan SDM yang berkualitas kita dapat membangun negeri ini,” dan berbagai jargon-jargon politik lain, mereka secara otomatis sejak semula sudah menggratiskan biaya pendidikan bagi warga negaranya. Di Sabah tetangga dekat kita saja sejak bayi lahir disana, entah Anda waraganegara atau bukan, sudah berhak untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan gratis. Apalagi di negara-negara maju macam Jerman, Inggris, Belanda, Australia, dll. Bahkan warganegara asingpun jika tinggal disana juga berhak mendapatkan pendidikan gratis. Bukan hanya pendidikan dasar tapi bahkan sampai perguruan tinggi. Nah! Apakah kita masih mau mengelak lagi dari kewajiban kita memberikan pendidikan dasar bagi warganegara kita sendiri?

“Tidak adil jika pendidikan gratis. Pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat” (Kaltim Post, 12 Januari 2005)

Jika pendidikan gratis itu tidak adil maka itu berarti kita mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh negara-negara lain yang menggratiskan pendidikannya adalah TIDAK ADIL dan justru kita yang ADIL selama ini. Berarti konsep pendidikan gratis yang dianut oleh negara-negara lain selama ini adalah prinsip yang bertentangan dengan prinsip keadilan yang kita anut. Negara-negara tersebut telah melakukan KETIDAKADILAN terhadap warganegaranya. Kitalah justru pelopor keadilan karena kita tidak menggratiskan pendidikan dasar bagi warga kita. Sayang sekali bahwa pendapat itu tidak benar.
Dimanapun didunia ini pendidikan adalah tanggungjawab pemerintah dan masyarakat, termasuk biaya pendidikannya ditanggung bersama. Diluar biaya yang ditanggung pemerintah dengan menggratiskannya orang tua masih harus menanggung biaya pendidikan seperti : buku dan alat tulis sekolah, pakaian dan perlengkapan sekolah, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, karyawisata, uang saku, kursus, dan iuran sekolah macam-macam. Jadi meski gratispun masyarakat (dalam hal ini orang tua) masih tetap harus mengemban tanggung jawabnya dalam pendidikan anaknya. Jadi ini tidak berarti kalau sekolah gratis lantas masyarakat lepas tanggung jawab terhadap pendidikan anaknya.

“Tapi bukankah struktur ekonomi penduduk kita berbentuk piramida terbalik dimana penduduk miskinnya hanya 5 % sedangkan sisanya termasuk mampu membayar biaya pendidikan? Nggak fair dong jika punya mobil Mercy tapi minta biaya pendidikannya disubsidi! “ (Kaltim Post, 11 Januari 2005)

Jika itu alasan yang dipakai maka jelas kita akan semakin jauh dari tujuan kemerdekaan kita semula. Pemerintah telah berubah menjadi perusahaan swasta dimana semua jasanya tidak lagi berorientasi kepada pelayanan tapi kepada pembayaran. Lantas apa gunanya pemerintahan yang dibiayai dari pajak dan kekayaan negara jika ternyata rakyat masih juga harus membayar untuk pendidikan dasarnya? Hak untuk memperoleh pendidikan bermutu tidak sama dengan BBM dimana semua orang harus membeli dan yang miskin masih harus disubsidi oleh pemerintah. Pendidikan adalah hak dasar yang dimiliki setiap rakyat yang mesti dipenuhi oleh pemerintahnya.
Apa artinya ‘piramida terbalik’ tersebut jika masyarakat di Kariangau, Tritip, dan Manggar masih harus membayar untuk pendidikan dasar dengan kualitas memprihatinkan? Bahkan di negara-negara maju dimana penduduknya sudah 100% kaya sekolah juga gratis. Kaya mana sih Balikpapan dengan Sabah dan Sarawak? Toh mereka menggratiskan pendidikan mereka bagi warganegara mereka. Di negara manapun yang namanya ‘public school’ atau sekolah negeri selamanya gratis. Meskipun ada anak konglomerat yang memiliki harta bertrilyun-trilyun bersekolah di sekolah publik maka ia berhak untuk memperoleh pendidikan gratis dan tak seorangpun akan berkata, “Wah! Nggak fair dong! Orang kaya kok disubsidi!” Itu pernyataan yang ‘aneh’ karena memang setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan gratis, siapapun itu tanpa diskriminasi. Ini adalah masalah hak dan bukan privilege. Bahkan di Sabah dan Sarawak, tetangga terdekat kita, sekolah swastapun gratis, bukan hanya sekolah pemerintah, karena disubsidi oleh pemerintah. Jadi tidak ada lagi anak usia sekolah yang tidak bersekolah karena faktor biaya karena orang tua bisa dihukum jika tidak menyeklahkan anaknya. Itulah konsep dasar dari Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar dikdas) yang kita masukkan dalam UU Sisdiknas.
Bukankah pejabat-pejabat pemerintahan kita selama ini berbondong-bondong ‘studi banding’ ke Sabah dan Sarawak ketika penerbangan MAS masih buka? Lantas apa hasil ‘studi banding’ tersebut jika ternyata kita tidak belajar hal-hal yang bermanfaat semacam ini bagi rakyat?

“Tapi kan ada subsidi untuk pendidikan dan kesehatan melalui berbagai skema macam program KELUARGA MISKIN,untuk memperoleh beasiswa pendidikan dan kesehatan sehingga mereka yang tidak mampu akan tetap memperoleh pendidikan dan kesehatan gratis” (Program GAKIN adalah program kota Balikpapan bagi keluarga miskin untuk memperoleh subsidi pendidikan dan kesehatan)

Terus terang, program subsidi sekolah bagi keluarga miskin itu sangat mengusik hati kecil kita. Lha wong untuk memperoleh pendidikan dasar dan kesehatan yang memang sudah semestinya menjadi haknya kok ya warganegara mesti ditempeli ‘cap’ KELUARGA MISKIN toh! Tidakkah itu suatu bentuk diskriminasi yang justru tidak berkeadilan dan harus kita hilangkan karena bertentangan dengan undang-undang Sisdiknas. Tidakkah istilah ‘warga miskin’ itu mengusik harga diri warganegara kita sendiri? Pernahkah kita meneliti apa dampak negatif dari ‘stempel’ warga miskin pada siswa-siswa kita. Mereka menjadi anak-anak yang terstigmatisasi dan memiliki self esteem yang rendah. Tak usah tanya mengenai prestasi akademis kalau sudah begitu. Citra diri yang rendah akan membuat orang kurang bertanggungjawab dan tidak mampu berprestasi dalam bentuk apapun. Prinsip “You can if you think you can.” Dan juga sebaliknya :”You cannot when you think you cannot.” Benar-benar berlaku disini. Karena sudah distempel termasuk golongan “CANNOT” maka mereka jelas tidak akan bisa melakukan prestasi apapun. Kita sudah meracuni pikiran mereka dengan stempel ‘WARGA MISKIN” tersebut!
Saya pernah tersentak mendengar cerita dari seorang teman saya yang keluarganya termasuk miskin tapi karena suatu kesalahan pencatatan dianggap keluarga mampu dan dimintai sumbangan perbaikan kampung setara dengan keluarga mampu. Teman saya tentu saja marah dan hendak protes kepada pejabat kampung. Tapi oleh bapaknya dicegah mati-matian karena ia ingin dan senang dianggap setara dengan keluarga-keluarga lain yang mampu, meskipun untuk itu ia harus mencari pinjaman kesana kemari untuk menutupinya. Ini menunjukkan bahwa harga diri dinilai lebih tinggi ketimbang kemudahan yang diperoleh dengan mengorbankan harga diri. Tak ada orang yang ingin disebut warga miskin jika bukan karena begitu terdesaknya mereka secara ekonomi.
Disamping masalah harga diri banyak warga miskin yang tidak melapor dan meminta kartu GAKIN karena tidak mau repot-repot mengurus sehingga mereka kehilangan hak mereka untuk mendapatkan subsidi pendidikan dasar. Statistik yang menyatakan warga miskin Balikpapan hanya 5 % sungguh perlu dipertanyakan kalau standarnya adalah kartu GAKIN tersebut.

“Sekolah gratis akan menghambat mutu pendidikan. Kalau begini kan tidak adil. Lagipula saya yakin, mereka yang kaya itu akan malu jika sekolah gratis.” (Kaltim Post, Sabtu 15 Januari 2005)

Ini adalah argumen yang menggelikan. Jika sekolah gratis itu akan menghambat mutu pendidikan maka semua negara maju tentunya tidak akan menerapkan kebijakan tersebut. Faktanya adalah : Semua negara maju, bahkan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunai kualitas pendidikannya jauh di atas kualitas pendidikan di negara kita padahal sekolahnya gratis, bahkan sampai perguruan tingginya. Indonesia, atau lebih spesifik Balikpapan, biaya pendidikannya tidak gratis dan bahkan mahal justru kualitas pendidikannya sangat terpuruk dibandingkan negara-negara tetangga sekalipun.
Pendidikan memang tidak murah. apalagi pendidikan yang berkualitas. Dibutuhkan biaya yang besar untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang tinggi. Tapi biaya yang besar itu harus dibebankan pada pemerintah, dan bukan pada orang tua atau masyarakat, karena begitulah amanat undang-undang. Bukankah kita memberikan amanat kepada pemerintah untuk mengelola semua kekayaan negara? Bukankah kita telah membayar berbagai macam pajak, retribusi dan pungutan kepada permerintah agar dapat dikelolalnya untuk memenuhi amanat undang-undang tersebut melalui APBN dan APBD?
Samasekali tidak ada alasan untuk malu di sekolah gratis. Kita justru malu jika sekolahnya berkualitas buruk. Kalau tidak percaya tanyai semua anak-anak orang kaya apakah mereka malu atau tidak jika biaya sekolah mereka dibebaskan. Saya yakin jawabannya pasti :” Tidak!”.

“Pemerintah tidak mampu memberikan pendidikan gratis karena besarnya dana yang harus disediakan dan lagipula banyak hal lain yang juga memerlukan pendanaan secara mendesak juga.” (Kaltim Post, Selasa, 11 Januari 2005)

Setiap kali mendengar argumen ini saya tidak tahan untuk tidak menangis dalam hati. Ini artinya kita masih belum beranjak dari sikap tidak bertanggungjawab terhadap peran dan tugas kita kepada masyarakat. Jelas-jelas itu merupakan amanah yang harus kita emban kok ya kita dengan entengnya mengelak dari tugas dan kewajiban kita. Siapapun tahu bahwa itu pekerjaan yang maha berat, terutama bagi kota dan kabupaten yang miskin, tapi itu tidak berarti kita bisa mengelak dari tanggungjawab kita. Kita harus bekerja keras untuk mencapai itu sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah, tapi tetap dengan tekad untuk memenuhi amanat tersebut. Dan itu yang tidak kita lihat selama ini. “Karena sekarang tidak bisa kita capai ya sudah! Kita tidak usah repot-repot untuk mencapainya lha wong itu pekerjaan maha berat yang hanya Superman yang bisa kerjakan.” Itu sikap yang muncul pada kita. Barangkali ini ‘karma’ dari stempel GAKIN yang kita capkan pada warga kita sehingga kita ketularan menjadi golongan “CANNOT” dan tidak berusaha untuk “CAN”.
Kalau mau, akan ada banyak jalan untuk mencapai apapun yang kita inginkan. “Dimana ada kemauan, disitu ada jalan”, begitu kata anak saya yang baru belajar tentang pribahasa. Kalau tidak bisa sekaligus, ya lakukan secara bertahaplah. Yang penting ada usaha untuk menuju kesana dan tidak menutup pintu. Jika mau, bukankah kita bisa belajar pada mereka yang telah sukses memberikan pendidikan gratis pada warganya? Tak perlu jauh-jauh, Sabah dan Sarawak masih satu pulau dengan kita. Tapi kalau Sabah dan Sarawak terlalu tinggi mungkin kita cukup belajar ke Singaraja di Bali, Cilacap di Jawa Tengah, Bontang dan Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur atau Sinjai di Sulsel. Disana mereka sudah menggratiskan biaya pendidikan bagi warganya. Padahal APBD mereka jauh lebih kecil daripada kita. Kita bisa belajar dari mereka bagaimana caranya mereka dapat menggratiskan pendidikan dengan APBD yang jauh lebih kecil daripada kita.
Nah! Alasan apalagi yang akan kita ajukan?

Balikpapan, 13 Januari 2005
Satria Dharma
Ketua Dewan Pendidikan Kota Balikpapan

PENDIDIKAN DASAR GRATIS : AMANAT YANG TERLUPAKAN

PENDIDIKAN DASAR GRATIS : AMANAT YANG TERLUPAKAN

Pendidikan dasar gratis adalah amanat UUD 1945 hasil Amandemen yang tercantum pada Pasal 31 Ayat (2) yang berbunyi : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Untuk menegaskan amanat tersebut maka dalam UU Sidiknas Pasal 31 UU No 20/2003 Ayat (2) dinyatakan lagi bahwa :”Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” Jadi apalagi yang hendak diperdebatkan? Jelas bahwa sesuai dengan amanat UUD 1945 hasil amandemen dan UU Sisdiknas 2003, pemerintah memang sudah seharusnya menanggung biaya pendidikan dasar bagi semua warga negara tanpa membedakan antara si kaya dan si miskin. Karena itu, penyediaan sekolah gratis bagi semua warga negara jauh lebih mendasar ketimbang pemberian subsidi silang kepada siswa dari kalangan miskin.
Tapi fakta menunjukkan lain. Tidak banyak pemerintah kota dan kabupaten yang berusaha untuk memenuhi amanat Undang-undang tersebut dan bahkan memberikan tafsiran sendiri mengenai adil, perlu, dan menguntungkan atau tidaknya pendidikan dasar gratis tersebut.
Apakah pendidikan dasar gratis itu mustahil dilaksanakan dari segi finansial, tidak adil bagi si miskin, menurunkan mutu, sekedar mimpi, dll? Tentu saja tidak. Fakta menunjukkan bahwa semua negara maju menggratiskan pendidikannya sampai pada perguruan tinggi. Bahkan di Jerman orang asingpun boleh menikmati sekolah gratis tersebut sampai perguruan tinggi. Itu sebabnya banyak orang kita yang pergi ke Jerman untuk memperoleh pendidikan tinggi gratis dan berkualitas tinggi.
Bagaimana dengan negara miskin? Negara miskin seperti Vietnam dan Nigeria di Afrika ternyata juga mampu menggratiskan wajib belajar bagi warganya. Jadi pendidikan dasar gratis itu adalah sangat mungkin, adil, meningkatkan mutu dan juga merupakan keharusan bagi setiap negara. Sangatlah ganjil jika ada pejabat di bidang pendidikan yang menolak konsep pendidikan dasar gratis ini karena ini sama halnya dengan menolak UUD 1945 dan amanat yang dibebankan kepadanya.
Tapi tidak usah melihat dalam skala negara. Bukankah kita sekarang telah menikmati otonomi daerah dimana setiap daerah dapat mengembangkan visi dan strategi pengembangan sumber dayanya sendiri? Jika pemerintah pusat belum mampu menetapkan pendidikan dasar gratis meski telah diamanatkan UU bukankah pemerintah daerah dapat mengambil inisiatif sendiri untuk itu? Kepala daerah yang memiliki komitmen untuk ikut mencerdaskan kehidupan rakyat di daerahnya semestinya tanpa ragu-ragu meaksanakan amanat ini karena sudah jelas bahwa pemenuhan manat ini akan dapat membawa rakyatnya kepada kemakmuran di masa mendatang. Kepala-kepala daerah yang membebaskan baiya pendidikan bagi rakyatnya sebenarnya adalah pahlawan-pahlawan daerah masing-masing. Tidak heran jika Bupati Jembrana Prof Drg. I Gede Winasa memperoleh penghargaan dari MURI sebagai kabupaten pertama yang berhasil menyelenggarakan pendidikan secara cuma-cuma bagi segenap warganya. Ia memang pantas memperoleh penghargaan karena banyaknya fasilitas gratis yang ia berikan kepada rakyatnya termasuk kesehatan gratis, KTP gratis, asuransi gratis, PBB petanian gratis, dll. Apakah Kabupaten Jembrana daerah yang kaya sehingga mampu melaksanakan itu semua? Tidak samasekali. Jembrana termasuk relatif miskin. Untuk skala propinsi kita harus mengacungkan jempol kepada JP Solossa, Gubernur Papua dan Imam Utomo, Gubernur Jawa Timur, yang melaksanakan pembebasan biaya pendidikan bagi warga di daerah masing-masing.
Tapi memang bukan dana yang menjadi permasalahan. Karena terbukti bahwa daerah miskinpun bisa memenuhi amanat UUD 1945 ini. Kabupaten Sinjai di Sulsel yang juga relatif miskin juga telah mampu membuktikan dirinya mampu membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Yang menjadi masalah adalah KOMITMEN dari para pejabat di daerah masing-masing untuk mau melaksanakan amanat undang-undang ini. Percumalah kita berteriak berjuang bagi rakyat jika hal yang sangat mendasar semacam ini saja para kepala daerah tidak punya keinginan untuk memenuhinya. Pendidikan gratis sebenarnya adalah Jihad Pendidikan, seperti yang dikatakan oleh Jaya Suprana, yang semestinya dilakukan oleh semua kepala daerah demi kemakmuran dan kemajuan daerah masing-masing.
Tapi bukankah ada dana subsidi pendidikan bagi orang miskin dari BBM? Lodi Paat, pengamat pendidikan, dengan kecewa mengatakan bahwa itu merupakan pengalihan tanggung jawab. Lodi Paat menilai dana kompensasi BBM untuk pendidikan sebetulnya hanyalah bentuk pengalihan tanggung jawab negara kepada warganya dalam membiayai pendidikan. Sebab, biaya yang mestinya ditanggung negara dicoba dikompensasikan dalam kebijakan pengurangan subsidi harga BBM, di mana orang kaya digiring membiayai pendidikan bagi orang miskin. Amanat undang-undang dalam pendidikan tetap diabaikan.
Untuk kasus Kalimantan Timur jelas bukan masalah dana yang menjadi penghambat. Dana APBD daerah-daerah di Kaltim jauh lebih tinggi daripada Jembrana (232 M) maupun Sinjai. Kita tidak tahu apa masalah yang dihadapi masing-masing daerah sehingga belum juga berusaha untuk membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Sampai hari ini baru Kutai Kertanegara dan Bontang yang membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Daerah-daerah lain masih ditunggu komitmennya.
Satria Dharma
Dewan Pendidikan Kota Balikpapan

PENDIDIKAN DASAR GRATIS: AMANAT YANG TERLUPAKAN

PENDIDIKAN DASAR GRATIS : AMANAT YANG TERLUPAKAN

Pendidikan dasar gratis adalah amanat UUD 1945 hasil Amandemen yang tercantum pada Pasal 31 Ayat (2) yang berbunyi : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Untuk menegaskan amanat tersebut maka dalam UU Sidiknas Pasal 31 UU No 20/2003 Ayat (2) dinyatakan lagi bahwa :”Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” Jadi apalagi yang hendak diperdebatkan? Jelas bahwa sesuai dengan amanat UUD 1945 hasil amandemen dan UU Sisdiknas 2003, pemerintah memang sudah seharusnya menanggung biaya pendidikan dasar bagi semua warga negara tanpa membedakan antara si kaya dan si miskin. Karena itu, penyediaan sekolah gratis bagi semua warga negara jauh lebih mendasar ketimbang pemberian subsidi silang kepada siswa dari kalangan miskin.
Tapi fakta menunjukkan lain. Tidak banyak pemerintah kota dan kabupaten yang berusaha untuk memenuhi amanat Undang-undang tersebut dan bahkan memberikan tafsiran sendiri mengenai adil, perlu, dan menguntungkan atau tidaknya pendidikan dasar gratis tersebut.
Apakah pendidikan dasar gratis itu mustahil dilaksanakan dari segi finansial, tidak adil bagi si miskin, menurunkan mutu, sekedar mimpi, dll? Tentu saja tidak. Fakta menunjukkan bahwa semua negara maju menggratiskan pendidikannya sampai pada perguruan tinggi. Bahkan di Jerman orang asingpun boleh menikmati sekolah gratis tersebut sampai perguruan tinggi. Itu sebabnya banyak orang kita yang pergi ke Jerman untuk memperoleh pendidikan tinggi gratis dan berkualitas tinggi.
Bagaimana dengan negara miskin? Negara miskin seperti Vietnam dan Nigeria di Afrika ternyata juga mampu menggratiskan wajib belajar bagi warganya. Jadi pendidikan dasar gratis itu adalah sangat mungkin, adil, meningkatkan mutu dan juga merupakan keharusan bagi setiap negara. Sangatlah ganjil jika ada pejabat di bidang pendidikan yang menolak konsep pendidikan dasar gratis ini karena ini sama halnya dengan menolak UUD 1945 dan amanat yang dibebankan kepadanya.
Tapi tidak usah melihat dalam skala negara. Bukankah kita sekarang telah menikmati otonomi daerah dimana setiap daerah dapat mengembangkan visi dan strategi pengembangan sumber dayanya sendiri? Jika pemerintah pusat belum mampu menetapkan pendidikan dasar gratis meski telah diamanatkan UU bukankah pemerintah daerah dapat mengambil inisiatif sendiri untuk itu? Kepala daerah yang memiliki komitmen untuk ikut mencerdaskan kehidupan rakyat di daerahnya semestinya tanpa ragu-ragu meaksanakan amanat ini karena sudah jelas bahwa pemenuhan manat ini akan dapat membawa rakyatnya kepada kemakmuran di masa mendatang. Kepala-kepala daerah yang membebaskan baiya pendidikan bagi rakyatnya sebenarnya adalah pahlawan-pahlawan daerah masing-masing. Tidak heran jika Bupati Jembrana Prof Drg. I Gede Winasa memperoleh penghargaan dari MURI sebagai kabupaten pertama yang berhasil menyelenggarakan pendidikan secara cuma-cuma bagi segenap warganya. Ia memang pantas memperoleh penghargaan karena banyaknya fasilitas gratis yang ia berikan kepada rakyatnya termasuk kesehatan gratis, KTP gratis, asuransi gratis, PBB petanian gratis, dll. Apakah Kabupaten Jembrana daerah yang kaya sehingga mampu melaksanakan itu semua? Tidak samasekali. Jembrana termasuk relatif miskin. Untuk skala propinsi kita harus mengacungkan jempol kepada JP Solossa, Gubernur Papua dan Imam Utomo, Gubernur Jawa Timur, yang melaksanakan pembebasan biaya pendidikan bagi warga di daerah masing-masing.
Tapi memang bukan dana yang menjadi permasalahan. Karena terbukti bahwa daerah miskinpun bisa memenuhi amanat UUD 1945 ini. Kabupaten Sinjai di Sulsel yang juga relatif miskin juga telah mampu membuktikan dirinya mampu membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Yang menjadi masalah adalah KOMITMEN dari para pejabat di daerah masing-masing untuk mau melaksanakan amanat undang-undang ini. Percumalah kita berteriak berjuang bagi rakyat jika hal yang sangat mendasar semacam ini saja para kepala daerah tidak punya keinginan untuk memenuhinya. Pendidikan gratis sebenarnya adalah Jihad Pendidikan, seperti yang dikatakan oleh Jaya Suprana, yang semestinya dilakukan oleh semua kepala daerah demi kemakmuran dan kemajuan daerah masing-masing.
Tapi bukankah ada dana subsidi pendidikan bagi orang miskin dari BBM? Lodi Paat, pengamat pendidikan, dengan kecewa mengatakan bahwa itu merupakan pengalihan tanggung jawab. Lodi Paat menilai dana kompensasi BBM untuk pendidikan sebetulnya hanyalah bentuk pengalihan tanggung jawab negara kepada warganya dalam membiayai pendidikan. Sebab, biaya yang mestinya ditanggung negara dicoba dikompensasikan dalam kebijakan pengurangan subsidi harga BBM, di mana orang kaya digiring membiayai pendidikan bagi orang miskin. Amanat undang-undang dalam pendidikan tetap diabaikan.
Untuk kasus Kalimantan Timur jelas bukan masalah dana yang menjadi penghambat. Dana APBD daerah-daerah di Kaltim jauh lebih tinggi daripada Jembrana (232 M) maupun Sinjai. Kita tidak tahu apa masalah yang dihadapi masing-masing daerah sehingga belum juga berusaha untuk membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Sampai hari ini baru Kutai Kertanegara dan Bontang yang membebaskan biaya pendidikan bagi warganya. Daerah-daerah lain masih ditunggu komitmennya.
Satria Dharma
Dewan Pendidikan Kota Balikpapan

Bicara Tentang Pendidikan

Hai!
Bicara tentang pendidikan adalah bicara tentang hal yang 'sexy'. Setiap orang ingin bicara tentang pendidikan dan merasa bahwa pendidikan adalah bagian dari dirinya, termasuk saya.
Saya sendiri bekerja di bidang pendidikan dan memulainya dengan menjadi guru bahasa Inggris di kota kecil bernama Caruban di Jawa Timur pada tahun 1978. I wasn't twenty yet at that time. Meski menjadi guru bukanlah cita-cita saya yang mengidam-idamkan untuk menjadi wartawan, psikolog, atau guide pada saat itu, pekerjaan saya sebagai guru tersebut ternyata membuat saya tertambat dan tidak pernah untuk berpikir keluar dari bidang pendidikan. Bidang pendidikan menjadi begitu menyenangkan dan begitu berarti bagi saya sejak saat itu.
So, here I am. Meski tidak lagi mengajar, saya masih tetap bekerja di bidang pendidikan dengan beberapa sekolah yang saya dirikan di Balikpapan. Mungkin itu juga alasan mengapa saya dipilih untuk menjadi Ketua Dewan Pendidikan Kota Balikpapan.