Selasa, 31 Juli 2007

Reka Cipta Ruang Pendidikan

Seorang ibu termenung di teras rumahnya. Pikirannya menerawang entah ke mana. "Sekolah di mana ya anakku?" pikirnya.

Surat tanda lulus yang ditunggu-tunggu justru memberitahukan ketidaklulusan anaknya dari SMP. Sudah bisa ia bayangkan sedihnya sang anak saat mengetahui hal tersebut.

Sejak bergulirnya kebijakan-kebijakan pendidikan yang tidak konsisten dan aspiratif dari pemerintah, banyak tangis dan ratapan kekecewaan terdengar di mana-mana.

Belum lagi masalah biaya sekolah yang makin melambung, standar kelulusan yang makin tinggi membuat resah semua orang yang berhubungan dengan sekolah formal. Masalahnya, ujian yang hanya berlangsung beberapa hari itu akan menentukan nasib semua peserta didik yang mungkin setiap hari rajin mengerjakan PR, hebat dalam ulangan harian, ataupun pandai berdebat dalam diskusi. Semua prestasi yang pernah diraih selama bersekolah tak lagi diperhitungkan ketika berhadapan dengan standar lulus ujian nasional.

Pendidikan adalah hak setiap orang. Siapapun dan dari kalangan manapun berhak memperoleh pendidikan yang baik. Namun melekatnya identitas pendidikan hanya pada sekolah formal telah membuat ruang pendidikan jadi menyempit.

Sekolah formal dianggap solusi satu-satunya untuk memperoleh pendidikan. Sementara biaya dan sistem administrasi rumit yang mengiringi sekolah formal ternyata justru mempersulit orang untuk mengakses pendidikan.

Padahal kalau kita renungkan sejenak, kehidupan adalah pendidikan terbaik. Tak perlu teori terlalu detail untuk membuktikan pernyataan tersebut. Bukankah apapun yang kita kuasai hari ini diperoleh dari banyak fase dan pengalaman yang tak terbilang jumlahnya. Sekolah formal hanyalah sebagian kecil dari sumber pengetahuan dan kecakapan kita.

Dunia kerja yang kita geluti bahkan sering tak bersesuaian dengan materi yang kita pelajari di sekolah. Lagi-lagi kita harus belajar banyak justru dari pekerjaan itu sendiri, dari pengalaman teman-teman yang sudah lebih dulu terjun di bidang tersebut.

Jadi, betapa luasnya ruang pendidikan itu sesungguhnya. Andai setiap orang membawa paradigma ini, maka betapa luas kesempatan yang bisa diperoleh siapapun yang ingin belajar dan mendidik diri dan anak-anaknya, karena setiap orang bisa menjadi guru dan sekaligus murid di manapun ia berada.

Pendidikan untuk Perubahan
Tak dapat kita sangkal, hanya pendidikan yang akan mengubah masyarakat menjadi lebih baik, lebih percaya diri, dan lebih produktif dalam arti yang sebenarnya. Hanya pendidikan pula yang akan mengubah masyarakat menjadi lebih menghargai perbedaan dan menjunjung tinggi perdamaian, meninggalkan sifat-sifat hewani yang serakah dan penuh intimidasi untuk mencapai keinginan.

Adapun pendidikan yang dimaksud bukanlah ruang sesempit sekolah formal. Pendidikan adalah seluruh usaha untuk memelihara sifat-sifat dan potensi-potensi baik pada diri manusia dan membuang segala bentuk penyakit jiwa yang akan merusak kemanusiaan seseorang.

Siapapun yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan masyarakat bisa melakukan usaha-usaha nyata untuk melakukan hal tersebut, betapapun kecilnya, di manapun ia berada, tanpa harus menunggu gedung sekolah berdiri atau kucuran dana mengalir dari pemerintah.

Sudah semestinya pendidikan tak lagi terbentur dengan persoalan-persoalan biaya, persoalan baju seragam, persoalan gedung sekolah, dan atribut-atribut pelengkap lainnya yang sesungguhnya bisa ditiadakan.

Ingin pintar melukis, belajarlah dari pelukis. Ingin pandai memasak, belajarlah dari para ahli memasak. Ingin pandai berdagang, belajarlah pada para pedagang yang sukses.

Di manapun pendidikan diselenggarakan, apakah hanya di sekolah formal, sekolah nonformal,informal, ataupun di ruang yang lebih luas dari itu semua, terpenting adalah pendidikan itu bisa dengan mudah dinikmati semua orang tanpa memandang usia, status sosial,jenis kelamin, dan batasan-batasan lainnya.

Salam pendidikan!

Minggu, 29 Juli 2007

Melirik Kembali ”Homeschooling”

(dimuat di harian Pikiran Rakyat, 26 Maret 2006)

UJIAN kesetaraan paket A, B, dan C baru-baru ini sudah dilaksanakan secara serentak. Uniknya, ujian kesetaraan tahun ini tidak hanya diikuti oleh mereka yang mengikuti sekolah terbuka atau nonformal, melainkan juga siswa sekolah formal yang tahun ini tidak lulus ujian nasional.

Bagi anak-anak dari sekolah formal, ujian kesetaraan itu mungkin menyisakan sedikit rasa kecewa. Mereka jelas membayar jauh lebih mahal untuk seluruh kegiatan belajar yang sudah dilakukan jika dibandingkan teman-temannya dari sekolah terbuka; namun penentuan kelulusan sama-sama ditetapkan oleh ujian kesetaraan.

Fenomena tersebut mungkin tampak tidak adil bagi mereka yang memilih sekolah formal. Namun bagi para pelaku atau peminat pendidikan alternatif peristiwa itu memberikan semacam kekuatan untuk terus berkreasi dengan model-model baru pembelajaran.

Ketika awalnya sekolah terbuka atau sekolah nonformal hanya dipandang sebelah mata, namun ujian kesetaraan yang berlaku umum membuat model sekolah tanpa gedung ini patut dipertimbangkan sebagai sebuah pilihan. Tentu saja bukan lagi selalu biaya yang menjadi alasan untuk memilihnya, melainkan juga sudut pandang subjektif lainnya, seperti kualitas kurikulum, kualitas guru, atau kualitas metode pengajaran di sekolah yang dianggap kurang efektif.

Model pendidikan tertua

Pendidikan formal baru terselenggara selama kurang lebih 150 tahun. Itulah model pendidikan era revolusi industri yang secara berangsur-angsur menggantikan hampir seratus persen model pendidikan tradisional yang biasanya dilakukan oleh keluarga di rumah-rumah mereka. Meskipun terus menyisakan banyak persoalan, keberadaan pendidikan formal hingga kini masih dianggap sebagai solusi bagi mereka yang peduli terhadap pendidikan, namun memiliki keterbatasan waktu atau ilmu untuk mengajar anak-anaknya.

Sebelum jenis pekerjaan di sektor formal bermunculan, kebutuhan akan pendidikan formal belum terlalu besar. Kurikulum atau muatan pendidikan lebih dititikberatkan kepada life skills (keterampilan hidup) sebagai bekal untuk memenuhi keperluan hidup serta etika perilaku yang didasarkan atas nilai-nilai agama ataupun adat kebiasaan masyarakatnya masing-masing. Proses belajarnya sendiri dilakukan di rumah masing-masing oleh orang tua ataupun keluarga besar. Hanya ketika anak-anak dianggap perlu memiliki keterampilan tambahan, orang tua mengirimnya "berguru" kepada orang-orang yang memang ahli di bidangnya.

Film Minggu siang berjudul, Little House on the Prairie yang pernah ditayangkan TVRI sekitar tahun 80-an silam menggambarkan kehidupan orang Amerika pada tahun 1870-an. Keluarga Charles yang dijadikan tokoh dalam cerita film itu adalah model keluarga harmonis yang menyukai belajar. Hal-hal pokok pendidikan pada masa itu, seperti prinsip-prinsip moral, bertani, beternak, dan keterampilan menjahit untuk wanita, semua dilakukan di rumah, dengan ayah-ibu sebagai gurunya. Baru ketika anak-anak dianggap perlu untuk belajar membaca dan menulis, orang tua mengirimnya ke sekolah.

Kalau kita menelusuri biografi para tokoh berpengaruh di masa lalu, sesungguhnya mereka pun ditempa oleh pendidikan "rumah" terlebih dahulu sebelum akhirnya merantau untuk berguru ke berbagai pelosok tempat. Dasar-dasar pendidikan dikuatkan di dalam keluarga, sehingga ketika anak-anak itu sudah dewasa, mereka mampu terus membawa spirit belajar ke mana pun mereka pergi. Mereka bisa belajar kepada banyak guru dari beragam disiplin ilmu, tanpa harus melewati jalur birokrasi yang rumit.

Oleh karena itulah, kalau homeschooling kini dilirik kembali sebagai sebuah model pendidikan, sebenarnya hal itu sangat memungkinkan dan bukan hal yang aneh.

Karena model pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan setiap anak sesungguhnya hanya bisa dipenuhi oleh orang yang peduli dan sangat memahami anak-anak tersebut. Dan tidak ada orang yang paling peduli dan paham tentang anak-anak, kecuali orang-orang yang mengasuhnya; dan jika anak-anak itu diasuh oleh orang tuanya, tentu orang tualah yang paling mengerti mereka.

Kurikulum yang fleksibel

Secara substansi, materi pelajaran ala sekolah formal bisa diadaptasikan dengan mudah di mana pun, termasuk di rumah. Bahkan ada banyak kelebihan yang bisa diperoleh jika itu dilakukan di rumah, yaitu terlaksananya pembelajaran secara individual. Dengan pembelajaran individual, guru akan lebih mudah mengamati keterserapan materi pelajaran oleh siswa. Oleh karena itu pula, siswa dapat menguasai pelajaran apa pun secara mendalam, karena waktu yang tersedia untuk bertanya dan menemukan jawaban jauh lebih banyak dibandingkan mereka yang belajar di sekolah secara klasikal dengan murid yang mencapai puluhan orang.

Selain itu, pendidikan di rumah memungkinkan orang tua sebagai guru utama, bisa menetapkan muatan-muatan tambahan pada setiap pelajaran, dan bahkan bisa memperkaya kurikulum pembelajaran dengan tambahan pelajaran lain yang mungkin tidak bisa diperoleh di sekolah. Semua didasarkan kepada kebutuhan setiap anak, sesuai minat dan bakatnya.

Orang tua yang siap menjadi pembimbing dalam proses belajar anak-anaknya memang akan sedikit lebih sibuk dengan buku dan sumber-sumber pengetahuan lainnya. Karena anak-anak yang belajar di rumah biasanya memiliki rasa ingin tahu lebih banyak terhadap apa yang mereka temui. Satu hal yang menarik, seperti pengalaman ratusan pelaku homeschooling di Amerika yang dituturkan Linda Dobson dalam bukunya "Homeschooling: The Early Years", guru (dalam hal ini orang tua) lebih sering menempatkan dirinya bukan sebagai pemecah persoalan atau pemberi jawaban. Guru hanya memosisikan dirinya sebagai pemandu yang mungkin juga masih harus belajar lagi ketika data atau kesimpulan tidak bisa ditemukan. Guru tak segan untuk berkata "tidak tahu" dan selanjutnya mengajak anak-anak untuk bersama-sama mencari tahu.

"Fun", itulah kuncinya. Temuan Jeanette Vos dan Gordon Dryden tentang pembelajaran semakin menguatkan kelebihan pembelajaran individual yang paling mungkin dilakukan di rumah. Vos dan rekannya tersebut mengatakan, bahwa belajar akan efektif jika dilakukan dalam situasi yang menyenangkan. Kondisi itu hanya bisa terwujud jika guru dan muridnya berada dalam keadaan senang mengajar dan ingin belajar.

Jadwal belajar yang ketat seperti halnya di sekolah kurang mampu mengakomodasikan kepentingan ini. Bisa jadi, pada saat pelajaran berlangsung, siswa dan juga gurunya sedang malas untuk belajar. Efeknya tentu bisa kita tebak, proses belajar-mengajar menjadi tidak efektif. Esensi pelajarannya pun, mungkin terbang tanpa sempat "tertangkap" otak.

Berorientasi kepada anak

Pengelompokan anak-anak berdasarkan usia seperti halnya di sekolah formal hampir tidak pernah terjadi dalam pendidikan di rumah. Bahkan seringnya, anak-anak dibiarkan berkembang sesuai kemampuannya, bisa lebih cepat dari usia rata-rata anak pada umumnya, atau mungkin juga lebih lambat. Fokus orang tua adalah membantu anak-anaknya untuk terus berkembang sesuai dengan kemampuan mereka.

Bobot pelajaran ditingkatkan ketika anak-anak dianggap sudah siap untuk maju. Pelajaran diberikan ketika anak merasa siap untuk mempelajarinya. Anak usia 4 tahun yang belum ingin menulis, tak perlu dipaksa untuk menulis. Karena bisa jadi, motorik halusnya belum sempurna. Mereka bisa diarahkan untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan persiapan menulis, seperti bermain lempung, meronce manik-manik, atau bermain air dan pasir. Semua dirancang sangat dinamis, dan dalam hal ini anak-anak dipandang sebagai subjek, dan bukan objek dalam belajar.

Payung hukum

Amerika merupakan salah satu negara yang sudah secara terbuka menerima konsep pendidikan di rumah, dengan menyediakan layanan ujian penyetaraan untuk setiap anak dari beragam usia. Di Indonesia sendiri, ujian persamaan paket A, B, dan C untuk sementara ini cukup membantu masyarakat pelaku homeschooling untuk mengurus legalisasi pendidikan anak-anak mereka, walaupun hal itu sebenarnya bukan target utama. ***

Kamis, 26 Juli 2007

Rak Buku Gantung dari Kardus Bekas


Punya ruang belajar yang luas, pasti menyenangkan. Segala macam perangkat belajar bisa tersimpan dan dipajang di satu ruang. Sayangnya, tidak semua orang punya ruangan belajar yang cukup luas, sehingga perlu kreativitas untuk menyiasatinya. Salah satunya dengan membuat rak buku yang digantung atau di tempel di dinding.

Mau tahu cara membuatnya?
Bahan & Alat:
1. Kardus bekas yang agak tebal, dengan ukuran yang bermacam-macam
2. Lakban hitam
3. Plastik Mika (biasanya untuk plastik sampul-dijual per meter) atau plastik bening bekas.
4. Strapler
5. Gunting
6. Penggaris
7. pensil

Cara membuat:
1. Bukalah perekat kardus, sehingga kardus tampak memanjang
2. Ukurlah tinggi kardus sesuai ukuran tinggi buku. Tambah sedikit untuk memasang paku.
3. buat pola dengan pensil & penggaris supaya hasil guntingan lurus.
4. Guntinglah kardus sesuai pola
5. Tempelkan plastik mika ke kardus dengan bantuan strapler
6. Bagilah kardus yang sudah ditempeli mika menjadi beberapa bagian sesuai ukuran buku, tanpa harus memotong habis. (lebih jelas bisa dilihat di foto)
7. Hiasi pinggiran kardus dengan lakban hitam
8. Rak gantung siap dipasang di dinding dengan mempergunakan paku.
9. selipkan buku-buku di plastik

Selamat mencoba!

Minggu, 22 Juli 2007

Uniknya Temperamen Anak-Anak


Pasti kita sering mendengar bahwa anak-anak dilahirkan dengan kepribadian unik. Orang tua yang memiliki beberapa anak pasti dengan cepat bisa menyadari bahwa setiap anak memiliki sikap yang berbeda-beda. Anak pertama banyak bicara, anak kedua penyendiri, anak ketiga sering mengalah, dan sebagainya. Bagaimana menyikapi berbagai karakter tersebut, ternyata ada ilmunya, lho.

Florence Littauer dalam bukunya Personality Plus for Parents membedah teori temperamen dari seorang ahli fisiologi Romawi bernama Galen. Menurut Galen, ada 4 kepribadian dasar manusia, yaitu: Sanguine (Sanguinis), Choleric (Koleris), Melancholy (Melankolis), dan Pleghmatic (Phlegmatis).

Supaya lebih mudah memahami keempat karakter tersebut, berikut ini gambaran yang dijelaskan Litteaur:

Karakter Sanguinis
·Terus berceloteh
.Suka mencari perhatian dari orang-orang di sekitar mereka
·periang
·tidak teratur
·emosi pasang surut
.pelupa
.cepat bosan
·Hipersensitif terhadap penilaian orang tentang mereka

Karakter Koleris
·Berani dan antusias
·Pekerja yang produktif
·Senang mengorganisasikan teman-teman di sekitarnya
·Berusaha mengendalikan dan mengharapkan pengakuan orang lain atas prestasinya
·Suka ditantang
·temperamen berubah-ubah
·Keras kepala
.suka berdebat
.manipulatif
.tidak peka terhadap perasaan orang lain

Karakter Melankolis
·Berpikir mendalam
·Bertalenta
.perfeksionis
.serius
.pemurung
.terlalu peka
.menghindari kritik

Karakter Pleghmatis
.mengamati yang lain
.mudah dihibur
.dapat diandalkan
.mudah setuju
.egois
.suka menggoda
.penakut
.pemalas
.diam-diam keras kepala


"Mama, kakak besok mau pergi ke warung sama mama, terus makan kue, habis itu baca buku, dan siap-siap mandi. Kalau sudah besar kakak mau membantu mama mencuci piring, menyapu, dan sebagainya, boleh kan Ma? Terus...."

Itulah anak pertama saya Azkia. Ekspresi dia atas apapun adalah suara. Sekali ia memulai pembicaraan, mengalirlah kalimat demi kalimat seolah tak sempat menghela nafas. Dia bisa menuturkan semua rencana yang akan dilakukannya dalam satu hari atau satu momen tertentu hingga detail lewat suaranya yang ramai.

Kalau bermain kejar-kejaran dengan adiknya, suara tawanya lebih kencang daripada larinya. Saat dia masih bayi, susah sekali meninggalkannya sendirian di kasur walau sebentar. Harus selalu ada seseorang yang menemani dia walaupun cuma duduk.

Menyimak teorinya Litteaur, jelas sekali kalau dia seorang SANGUINIS walau kadang-kadang juga nampak KOLERIS.

Dijamin deh! Tak akan kesepian punya anak seorang sanguinis. Tapi, bagaimana kalau ibunya justru termasuk tipe orang yang jarang bicara atau tidak suka berkomentar. Ternyata akibatnya bisa fatal juga, lho...

Kurang lebih setahun yang lalu, seorang ibu datang ke rumah saya. Ia meminta saya mengajar anaknya membaca. Selain bisa membaca, dia berharap anaknya bisa lebih baik dalam berkomunikasi.Di usianya yang menginjak 3 tahun ternyata si anak mengalami kesulitan bicara. Dia bisa bersuara, namun bahasa yang keluar tidak bisa kita pahami. Si ibu memang cukup paham maksud kata-kata anaknya, karena ia selalu bersama anaknya. Tetapi orang lain yang mendengarnya, termasuk saya, jelas-jelas tidak mengerti.

Waah! saya bingung juga. Saya kan bukan seorang terapis bicara. Tapi untuk menyenangkan si ibu, saya datang juga ke rumahnya.

Anak itu terlihat bersemangat dan gembira. Dia mau duduk di pangkuan saya sambil melihat kartu-kartu kata yang saya bawa.Dia tertawa dan kadang-kadang bicara. Saya cuma bilang, "Ooh!" Sungguh saya tak bisa mencerna suara dia.

Sebentar saya belajar bersama dia. Selanjutnya saya ngobrol pada ibunya. Penasaran saya tanya ibu muda itu, "Ibu kayaknya jarang ngobrol ya sama anak Ibu?" tanya saya.

Si ibu tertawa,"Koq tahu, sih!"
Saya kaget juga. Wah! Bener ya dugaan saya. Kelihatannya ibu ini memang agak jarang berkomunikasi dengan anaknya. Soalnya beberapa kali saya menemukan kasus serupa, dan ibunya memang termasuk orang yang jarang ngobrol. Entahlah!
"Habisnya, saya bingung Mbak. Emangnya ngobrol apa ya sama anak kecil?" lanjutnya lagi.

Benar-benar saya tertawa waktu itu.
"Ya ampun, Ibu. Ya obrolin apa aja. Kalau ibu lagi kerja kan bisa sambil ngajak dia ngobrol tentang apa pun yang ibu kerjakan,".

"Apanya yang diomongin, Mbak. Biasanya kalau saya mau beres-beres atau masak, sengaja anak saya sudah dimandikan dulu, lalu di suruh duduk di kursi sambil nonton TV. Berapa jam pun saya kerja dia asyik aja,"

"Aduh, Bu. Sayang sekali. Jangan-jangan itu juga yang menjadi sebagian penyebab, mengapa anak Ibu belum bisa bicara dengan jelas di usia tiga tahun. Dia memang tidak mendapat stimulus yang intensif dalam berbicara," kata saya.

"Mungkin iya, ya..." ibu itu tertawa - miris.

Lain halnya dengan Luqman, anak kedua saya. Dia fokus pada tujuan dan sedikit perfeksionis. Setiap kali sehabis mandi, dia akan meminta baju berlengan panjang. Karena bagian lengan baju agak panjang, dia meminta saya melipat sedikit ujungnya. Tapi menakjubkan, sebelum lipatannya pas menurut ukuran dia, dia belum mau beranjak untuk memakai celana ataupun menyisir. Kadang-kadang saya tertawa terpingkal-pingkal kalau beberapa kali lipatan yang saya buat masih juga belum tepat, dan dia protes. Merujuk teorinya Litteaur anak kedua saya tampaknya bertemperamen koleris-melankolis. Percuma mengkritiknya, yang perlu hanya memahaminya.

Nah! Cerita di atas sekedar cuplikan.Kalau tertarik untuk belajar lebih jauh tentang kepribadian anak, banyak lagi cerita dan pelajaran seru yang langsung diceritakan Florence Litteaur dalam bukunya,

Judul : Personality Plus for Parents
Penerbit : Binarupa Aksara.


Selamat membaca!

Sabtu, 21 Juli 2007

Kriteria "Poster Belajar"

Saya sudah merasakan manfaat poster untuk media belajar kedua anak saya. Namun tidak semua jenis poster yang ada di pasaran cukup efektif sebagai media belajar. Poster sebagai penghias atau untuk menambah semarak ruangan mungkin bisa dengan mudah kita temukan di toko buku atau di emperan jalan, tetapi untuk mendapatkan "poster belajar" seringkali akhirnya kita harus membuatnya sendiri.

Kriteria "Poster Belajar"
1. Materi yang ingin kita kenalkan ditampilkan dalam ukuran cukup besar dan berwarna mencolok (merah, biru, atau hijau cerah), supaya anak-anak tertarik untuk fokus.

Kalau kosa kata yang ingin kita kenalkan, maka tulisanlah yang tampil mencolok dan berukuran besar.

Kalau gambar yang ingin kita tonjolkan, maka gambar yang harus berukuran cukup besar.

2. Warna latar sebaiknya putih (tidak terdiri atas berbagai warna), agar fokus anak tidak terpecah.

Nah! gampang sekali kan kriterianya. Tapi karena saking sederhananya, banyak produsen poster mungkin tidak menganggap hal tersebut cukup penting. Aspek artistik lebih ditonjolkan, namun tujuan edukatifnya agak lolos.

Membuat Poster Sendiri
Mendengar kata poster, mungkin yang terbayang adalah sablon atau percetakan. Waah! Zaman sekarang, tidak harus repot seperti itu, kan? Kita bisa rancang sendiri di komputer lalu diprint.

Saya sudah membuat ratusan poster kata untuk belajar membaca kata-kata berbahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan sekarang sedang mencoba poster untuk kosa kata bahasa Arab. Alat bantu kita untuk bahasa Asing tentu saja kamus.

Kalau kita ingin menambah gambar untuk kosa kata yang kita buat, kita bisa download gambar atau clip art gratis di http://www.clipart.com

Mau mencoba?

Kamis, 19 Juli 2007

Kekuatan Poster untuk Media Belajar

Media audio-visual sebagai sarana belajar mengalami pertumbuhan pesat. Orang memang sudah semakin jauh beralih ke media tersebut untuk mengajarkan apapun. Televisi dan teknologi compact disc memungkinkan setiap orang untuk mengeksplorasi pengetahuan tanpa harus terlalu lelah bekerja. Lalu bagaimana dengan poster?

Poster memang sudah mulai banyak dipakai orang untuk menyajikan pelajaran. Namun umumnya poster akhirnya hanya jadi pajangan penghias ruangan. Fungsi poster sebagai media belajar tak mampu tercapai karena faktor-faktor khusus sebuah "poster belajar" tidak terpenuhi (kriteria poster belajar hasil evaluasi saya: tunggu pada postingan berikutnya).

Sifat poster yang statis sebenarnya memiliki kelebihan dibandingkan media elektronik yang menyajikan gambar bergerak. Karena sifat statisnya, poster yang ditempel di dinding akan memungkinkan anak-anak untuk melihatnya sesering mungkin tanpa harus menyalakan komputer atau televisi.

Satu hal yang paling penting, poster yang dirancang dalam ukuran yang tepat memungkinkan setiap anak untuk belajar dengan mengaktifkan otak bawah sadar mereka. Kita tentu sudah pernah mendengar tentang betapa efektifnya belajar dengan kekuatan otak bawah sadar.

Otak bawah sadar mencerna informasi dengan system kerja otak kanan, di mana setiap informasi masuk tanpa melalui proses menyaring. Semua mengalir masuk tanpa beban. Berbeda dengan otak sadar, yang diyakini membawa sifat-sifat otak kiri yang cenderung melakukan pemilahan atau penyaringan informasi karena sifat kritisnya.

Anak-anak dan orang dewasa sama dalam satu hal, yaitu lebih efektif belajar jika pelajaran disajikan secara menyenangkan atau memanggil sensor otak kanannya ketimbang dengan metode yang membosankan. Sayangnya, kegiatan belajar di sekolah formal justru disajikan kepada anak-anak sebagai sesuatu yang berat, penuh dengan beban.

Banyak orang tua juga ternyata menganggap anak-anak balita itu malas kalau diajak belajar hanya karena anak kurang konsentrasi atau cepat bosan. Padahal dengan metode yang tepat ternyata anak-anak bisa belajar melampaui dugaan kita, salah satunya dengan menyulap bahan ajar menjadi poster.

Anak saya Azkia mulai belajar membaca pada usia 2,5 tahun mempergunakan metode Glenn Doman. Kelemahan saya adalah lupa. Jadi, penyajian kata seringkali bolong-bolong ---tidak kontinyu. Oleh karena itu saya berpikir tentang poster.

Saya coba tempelkan kartu-kartu ala Doman di dinding berbaris ke bawah. Dengan begitu saya bisa lebih mudah mengingat “tugas” membacakan kata. Hasilnya? Menakjubkan! Azkia ternyata bisa belajar cepat.

Lalu metode itu saya pakai juga buat mensuplai pelajaran lain, seperti kosa kata bahasa Inggris dan Arab.

Saya malah yakin, bahwa hampir semua pelajaran tekstual bisa ditransfer lewat poster . Anak-anak tidak terbebani dan orang tua yang sering lupa seperti saya juga terbantu untuk mengingat materi yang sedang diajarkan.

Senin, 16 Juli 2007

Pendidikan Tanpa Sekolah

Suatu hari saya naik angkot dari Riung Bandung menuju Dago. Dalam perjalanan saya bersebelahan dengan dua orang remaja. Dari pembicaraan mereka, nampaknya mereka baru lulus SMU.

Perbincangan bergulir hingga cerita tentang ujian yang bikin deg-degan. Sebelum hari itu, saya sempat berpikir bahwa berita-berita di koran tentang kecurangan UN hanyalah berita yang bikin rame. Tapi dari pembicaraan kedua remaja yang berlainan sekolah itu, saya akhirnya percaya bahwa praktek-prakter tidak jujur dalam ujian memang terjadi dan bahkan seakan didukung oleh sekolah. Semua dilakukan karena mereka tidak mau gagal dalam ujian. Masa depan mereka tergantung sekali pada hasil UN.

Sekilas saya dengar, bahwa mereka melakukan beragam cara agar bisa lulus. Banyak strategi yang mereka buat, dari menyimpan jawaban soal di penyerut pensil sampai di sapu tangan.

Waah! apa memang begini yang namanya pendidikan?

Melihat fenomena itu, rasanya saya semakin yakin, bahwa sekolah formal tidak cocok untuk anak-anak saya.

Biarlah anak-anak saya belajar di mana saja, tanpa seragam, tanpa gedung khusus, tanpa penilaian.

Dari sekian kelebihan sekolah formal, saya melihat ada hal yang terlalu substansial untuk ditolerir yaitu lemahnya integritas.

Tanpa integritas, anak-anak akan lebih menghamba pada penilaian materialistik dan meninggalkan penilaian transenden.

Bukankah kecurangan, korupsi, dan manipulasi yang merajalela di negeri ini juga diakibatkan oleh lemahnya integritas?

Oleh karena itu, setidaknya hingga saat ini, biarlah anak-anak belajar tanpa sekolah.

Rabu, 11 Juli 2007

Belajar Lewat Kegiatan Rumahan

Bingung mencari kegiatan yang asyik buat anak-anak?
Maria Montesori, seorang dokter dari Italia, telah menciptakan aneka kegiatan belajar bagi anak-anak dengan mengadaptasikan kegiatan rumah tangga sehari-hari menjadi kurikulum.

Montesori percaya bahwa anak-anak harus memiliki kesempatan lebih banyak untuk melakukan berbagai kegiatan sehari-hari untuk membuat mereka menjadi mandiri dan akhirnya merasa percaya diri, sehingga mereka bisa bilang, "AKU BISA!"

Montessori bahkan membuktikan bahwa kegiatan rumahan bukan hanya berguna agar anak-anak mampu melakukannya, lebih dari itu proses yang terjadi dalam kegiatan rumah juga bisa mengaktifkan kemampuan lain yang lebih besar dan lebih terstruktur. Misalnya ketika anak-anak sering bermain air, berlatih menyapu, dan mengancingkan baju, selain terbentuknya kemandirian dalam melakukan semua kegiatan tersebut, anak-anak juga akan lebih mudah menguasai kemampuan lain seperti menulis dan menggambar.

Semakin saya memperhatikan kedua anak saya, semua teori yang diungkap Montesori semakin tampak nyata. Dalam banyak hal saya lebih sering hanya sebagai stimulator, kemauan untuk berlatih atau menguasai sesuatu akhirnya muncul dari diri mereka sendiri. Saya nyaris tidak pernah mengajari anak-anak secara sengaja dan terjadwal ketat, namun anehnya acapkali saya dikejutkan oleh hasil yang mereka perlihatkan kepada saya setiap hari

BELAJAR MANDIRI LEWAT PEKERJAAN RUMAH
Memotong sayuran
Menyaksikan ibu memotong sayuran pasti menarik perhatian anak-anak. Dan pasti juga kita harus siap mendengar mereka bertanya tentang semua yang mereka lihat di meja potong. Ini apa Mah? Ini untuk apa? Sekalian nambah kosa kata juga, kan..

Beberapa jenis sayuran, seperti wortel berukuran besar yang berwarna merah cerah, mentimun, lobak, dan terong ungu paling sering dijadikan bahan eksperimen sebelum menjadi hidangan di meja makan.

Menyapu Lantai
Anak-anak sering mendapat larangan ketika mereka menyentuh sapu. Ya, kebanyakan dari kita tidak tahan kalau sapu itu akhirnya melintang di sembarang tempat dan membuat ruangan terlihat berantakan. Hal itu terjadi karena sapu yang kita berikan terlalu tinggi untuk ukuran tubuh mereka. Memang tidak mudah mendapatkan sapu yang sesuai ukuran anak. Paling mudah adalah memanipulasi perabotan yang ada, misalnya memotong batang sapu sehingga sesuai dengan tinggi badan anak

Mengepel atau Melap Cairan Yang Tumpah
Anak usia dua dan tiga tahun sudah akan semakin mengerti tentang fungsi-fungsi benda dan beragam kegiatan yang mengiringi kegiatan lainnya. Misalnya saja ketika susu atau air minum mereka tumpah di lantai atau meja makan, mereka tahu bahwa mengambil kain lap adalah cara untuk mengatasi masalah tersebut.

Beberapa anak mungkin akan segera mengajukan diri untuk mengambil kain lap kering dan melap wilayah yang basah. Meskipun mungkin belum sempurna hasil kerja mereka, namun karena semakin sering mereka melakukan itu, pekerjaan mereka menjadi semakin sempurna.

Ada banyak kegiatan sederhana lainnya yang berefek terhadap kemandirian anak, misalnya memakai baju dan celana sendiri, melipat baju sehabis disetrika, menyimpan piring atau gelas kotor di dapur setelah dipakai, atau merapikan mainan yang berserakan.

Memang sih adakalanya anak-anak mogok melakukan itu semua. Biasanya saya pakai strategi berlomba. Karena anak saya 2 orang, saya tinggal menantang mereka untuk menjadi yang paling cepat melakukannya. Lumayah ampuh juga.

Daripada kita susah mencari kegiatan bagi anak-anak, mengajak mereka terlibat dengan pekerjaan kita asyik juga, lho! Malah sangat murah.

Menjadi Guru Pertama Buat Si Kecil

Anak-anak adalah anugrah. Kehadiran mereka di dunia ini memberi harapan bagi siapapun akan perbaikan di masa depan. Anak-anak terlahir dengan keriangan yang memberi warna bak pelangi dalam hidup kita. Menjadi orang yang terlibat dengan anak-anak dan peduli pada mereka telah memicu banyak gagasan untuk menciptakan karya yang luar biasa.

Kepedulian, adalah kata yang paling tepat untuk menggambarkan apa yang paling dibutuhkan dalam mengasuh dan mendidik anak-anak, khususnya anak usia dini. Tanpa kepedulian, guru di sekolah hanyalah tutor namun belum tentu mampu menyampaikan anak-anak pada kecintaan akan ilmu pengetahuan. Demikian halnya dengan orang tua, tanpa kepedulian kita seringkali hanya menjadi “satpam” bagi anak-anak, melarang ini dan itu, menetapkan aturan A sampai Z, hingga anak-anak pun jemu dan kehilangan rasa untuk tahu dan menentukan apa yang ingin mereka pelajari.

Memang, hanya orang tua yang peduli, hanya guru yang peduli, hanya pemerintah yang peduli, yang bisa melahirkan anak-anak dan generasi yang juga peduli dengan apa yang mereka miliki, peduli dengan apa pun yang mereka dapatkan, dan peduli dengan keadaan masyarakat dan lingkungannya.

Di antara kita, para orang tua ataupun guru di sekolah, sering menempatkan anak-anak tak ubahnya robot yang harus mengikuti instruksi-instruksi tanpa boleh mengkritisi setiap instruksi tersebut. Orang dewasa terbiasa menempatkan dirinya menjadi seorang superior yang memiliki wewenang penuh atas apapun bahkan atas apa yang ingin dipelajari oleh anak-anak.

Itulah kita, orang dewasa yang mungkin masih sering lupa, bahwa kehadiran kita tak lebih hanya sebagai pendamping anak-anak untuk mengenal dunia ini, sehingga mereka mampu beradaptasi dan akhirnya berani dan mampu hidup mandiri dengan segala pemikiran dan juga sikap hidupnya.