Sabtu, 28 Juni 2008

Mengkritisi RUU Sisdiknas dari Kacamata Mahasiswa dan Pendidik


Mengkritisi RUU Sisdiknas


Disusun dan diedit ulang

oleh:

Arip Nurahman

Pendidikan Fisika, FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia,

&

Follower Open Course Ware at MIT-Harvard University, U.S.A.


Tanpa banyak terliput oleh media massa dan agak luput dari perhatian kalangan pendidikan, Komisi VI DPR RI saat ini tengah membahas RUU Sistem Pendidikan Nasional. RUU ini naskah awalnya digarap oleh Komite Reformasi Pendidikan Badan Pengembangan dan Penelitian Departemen Pendidikan Nasional (KRP Balitbang Depdiknas).

Dengan pemikiran UU Sisdiknas mempunyai arti sangat penting dalam memberi landasan yang kukuh bagi pembangunan pendidikan nasional di samping fungsinya sebagai pemberi kepastian hukum dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan, senyampang RUU tersebut masih dalam proses pembahasan, penulis mencoba untuk mengangkat beberapa hal penting sebagai masukan bagi DPR.

Pendidikan Dasar


Sejak dahulu dan kemudian berlanjut sampai sekarang secara sadar kita semua mengalami kekacauan dalam tata nama jenjang pendidikan pada jalur pendidikan sekolah. Sebelum UU No. 2/1989 dan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sembilan Tahun diberlakukan, Pemerintah menamai jenjang pendidikan terendah sebagai Sekolah Dasar (SD), kemudian jenjang berikutnya Sekolah Menengah Pertama (SMP), lalu Sekolah Menengah Atas (SMA) dan nama-nama khusus bagi sekolah menengah kejuruan. Dalam perkembangannya, setelah UU No. 2/1989 dan Wajar Dikdas diberlakukan, nama SMP diubah menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), SMA menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU), dan sekolah-sekolah kejuruan cukup dengan nama Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Walaupun dasar penggantian nama SMP menjadi SLTP adalah karena SMP merupakan bagian dari pendidikan dasar, nama baru ini tetap mencerminkan kekacauan berpikir karena nama SLTP mengesankan adanya jenjang di atasnya yang bernama SLTK (Sekolah Lanjutan Tingkat Kedua) dan seterusnya. Mestinya nama yang tepat adalah Sekolah Dasar Lanjutan (SDL) yang menunjukkan dengan jelas kedudukan jenjang pendidikan tersebut dalam sistem pendidikan nasional kita.

Anehnya, dalam naskah RUU yang dibahas pada 5 Desember 2001 Komisi VI menyebut ‘Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau yang sederajat yang terdiri atas enam tingkat’ (pasal 17 ayat 2), kemudian ‘Pendidikan menengah tingkat pertama berbentuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MTs) atau yang sederajat’ dan ‘Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) terdiri atas tiga tingkat’ (Pasal 19 ayat 2 dan 3). Berikutnya, dalam pasal 20 ayat 3 disebutkan bahwa ‘Pendidikan menengah umum berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah (MA)’, dan pada ayat 4 ‘Pendidikan menengah vokasional berbentuk Sekolah Menengah Vokasional (SMV)’.

Di samping sistem tata nama yang kacau, terdapat kekacauan dan kemunduran berpikir yang sangat mendasar para wakil rakyat di Komisi VI yaitu dengan mengembalikan jenjang pendidikan sekolah setelah SD ke dalam jenjang pendidikan menengah yang disebut sebagai pendidikan menengah tingkat pertama. Apalagi dalam pasal 19 ayat 1 disebutkan bahwa ‘Pendidikan menengah tingkat pertama bertujuan untuk mengembangkan kepribadian, sikap, pengetahuan, dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja atau untuk mengikuti pendidikan lebih lanjut’ (kursif dari penulis). Pasal ini jelas-jelas memberikan legalitas formal dan pengakuan kepada dunia bahwa Indonesia mengizinkan dunia usaha mempekerjakan anak-anak berusia muda sebagai buruh karena usia lulusan jenjang pendidikan setelah SD tersebut adalah sekitar 15 tahun. Sungguh tidak masuk akal, keberanian politik Pemerintah di masa lalu yang untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia menetapkan jenjang pendidikan dasar berlangsung sembilan tahun dimentahkan oleh para wakil rakyat di era reformasi. Kenyataan cukup banyak anak-anak berusia muda menjadi buruh atau mencari nafkah bagi keluarganya tentunya tidak harus membuat negara mencabut komitmennya dalam mencerdaskan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia melalui pendidikan.

Dalam hal penjenjangan dan penetapan tujuan pendidikan, UU No. 2/1989 justru lebih progresif karena dengan jelas menyebutkan jenjang pendidikan dasar berlangsung selama sembilan tahun dan jelas-jelas tidak memasukkan kesiapan memasuki dunia kerja sebagai salah satu tujuan pendidikannya. Naskah terakhir KRP Balitbang Depdiknas pun (27 Juni 2001) memasukkan jenjang pendidikan dasar selama sembilan tahun dengan menyebut pendidikan dasar terdiri atas sekolah dasar dan sekolah dasar lanjutan.


Pendidikan Keagamaan


Dalam naskah RUU, baik naskah dari KRP Balitbang Depdiknas maupun naskah pembahasan Komisi VI, muncul sesuatu yang baru yaitu masuknya secara eksplisit madrasah dan pesantren. Di samping menempel dalam pasal-pasal tentang jenjang pendidikan yang salah satunya menyebut pendidikan keagamaan, dalam naskah KRP Balitbang Depdiknas ketentuan tentang madrasah dan pesantren tercantum dalam satu pasal khusus yang berisi empat ayat (pasal 17 ayat 1 s.d. 4). Dalam naskah pembahasan Komisi VI ketentuan tersebut muncul dalam salah satu pasal di bawah judul Pendidikan keagamaan yaitu pasal 26 yang secara eksplisit menyebut jenis pendidikan keagamaan Islam. Di samping itu, Komisi VI memasukkan secara eksplisit nama madrasah sesuai dengan jenjangnya dalam pasal-pasal yang menyebutkan nama suatu jenjang pendidikan (pasal 17, 18, 19, dan 20).

Menurut hemat penulis, dengan pemikiran bahwa UU ini berlaku untuk semua warga negara tanpa membedakan agama, tentunya akan lebih bijaksana untuk tidak mencantumkan secara eksplisit ketentuan-ketentuan yang sangat spesifik menunjuk agama tertentu. Atau bila hal tersebut memang sangat diperlukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap jenis dan jenjang pendidikan yang berciri khas agama tertentu, akan lebih baik jika jenis dan jenjang sekolah yang sangat khas yang diselenggarakan oleh pemeluk masing-masing agama dapat dicantumkan semua. Pasal 25 naskah pembahasan Komisi VI sebenarnya sudah cukup mengakomodasikan hal tersebut sehingga pencantuman nama jenjang sekolah yang sangat spesifik menunjuk kepada jenis pendidikan yang diselenggarakan oleh pemeluk agama tertentu menjadi tidak perlu.


Peguruan Swasta


Satu hal yang cukup mengecewakan dalam RUU pembahasan Komisi VI adalah pengakuan terhadap perguruan swasta. Seperti halnya UU No. 2/1989 yang menempatkan eksistensi perguruan swasta dalam pasal buncit, naskah pembahasan Komisi VI pun sama saja (pasal 47 dari 59 pasal dalam UU No. 2/1989 dan pasal 49 dan 59 dari 67 pasal dalam naskah Komisi VI) dan keduanya pun tidak secara eksplisit menyebut ‘perguruan swasta’. Tentang bantuan pembiayaan bagi perguruan swasta pun keduanya menggunakan bahasa yang mengambang. UU No. 2/1989 menyebut ‘Pemerintah dapat memberi bantuan kepada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat sesuai dengan peraturan yang berlaku’ dan naskah pembahasan Komisi VI menyebut ‘Biaya penyelenggaraan pendidikan oleh masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah, dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku’ (kursif dari penulis).

Tampaknya, pemahaman akan hak peserta didik sebagai warga negara yang bersekolah di lembaga pendidikan swasta tetap belum berubah dari tahun ke tahun. Harus dipahami bahwa jumlah sekolah dan siswa lembaga pendidikan swasta, terutama di jenjang pendidikan dasar dan menengah cukup besar untuk dapat diabaikan begitu saja.


Anggaran Pendidikan


Satu hal yang menarik dalam naskah pembahasan Komisi VI adalah dicantumkannya secara eksplisit pengalokasian dana Pemerintah yaitu 20% dari APBN, 20% dari APBD Provinsi, dan 20% dari APBD Kota/Kabupaten, semuanya di luar alokasi dana bagi gaji guru (naskah KRP Balitbang Depdiknas menyebut angka 6% PDB dan masing-masing 20% APBD Provinsi dan Kota/Kabupaten). Suatu kemajuan yang cukup berarti karena apabila RUU ini berhasil diundangkan tanpa revisi dalam hal pendanaan, pembangunan pendidikan akan kian membaik.

Di samping hal-hal yang penulis kemukakan di atas, masih banyak hal yang perlu pembahasan dan masukan dari berbagai pihak agar RUU ini dapat memenuhi keinginan kita semua dalam membangun sebuah sistem pendidikan nasional yang kuat. Untuk itu, Komisi VI seyogyanya rajin mencari masukan dari masyarakat dan berbagai kalangan yang memiliki perhatian kepada perkembangan dunia pendidikan melalui semacam public hearing dan sebagainya.

PEMIKIRAN SEKITAR RUU SISDIKNAS

Hujair AH. Sanaky

1. Pendahuluan

Pendidikan nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, kreatif, mandiri, estetis, dan demokratis, serta memiliki rasa kemasyarakat dan kebangsaan. Kemudian pada bab III, prinsip pendidikan pasal 5 ayat [1] isinya, pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif, berdasarkan hak-hak asasi manusia dan nilai-nilai keagamaan, cultural, dan pluralitas bangsa.

RUU Sisdiknas yang rencananya akan dicanangkan pengesahannya pada 2 Mei 2003 bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, mendapat tanggapan yang beragam. Sumber polemiknya, pasal 12 ayat (1) yang isinya "setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan merupakan subyek dalam proses pendidikan yang berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikan yang seagama.". Hal ini, tentu menuntut kewajiban seluruh lembaga pendidikan mengajarkan pendidikan agama sesuai agama peserta didik memang sangat krusial dalam negara multiagama seperti Indonesia. Pada dasarnya, setiap orang berhak menjalankan agamanya dan diberi kesempatan memenuhi kebutuhan yang diperlukan dalam beragama, termasuk mendapatkan pendidikan agama.

Sebagian masyarakat [masyarakat Nasrani] menolak RUU di atas, hal ini didasarkan pada pandangan bahwa “pembinaan ketaqwaan dan keimanan bukan tugas utama sekolah, melainkan tugas orang tua dan masyarakat. Tugas utama sekolah adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu, RUU ini dinilai kurang mengakomodasi dan menghargai pluralisme dan kelompok ini menyatakan bahwa campur tangan pemerintah dalam mengatur pendidikan agama berlawanan dengan konsep desentralisasi pendidikan yang sedang diupayakan. Padahal mestinya negara tidak mempunyai kewenangan mengatur agama, karena negara hanya menjadi fasilitator agar hubungan antar agama dapat terlaksana demi kesejahteraan umum.

Kelompok ini [Nasrani] yang menentang RUU Sisdiknas pasal 12 ayat [1] tersebut dirasakan sebagai tirani mayoritas pemeluk agama di Indonesia ketimbang perlindungan hak-hak peserta didik. Sebaliknya, kehawatiran banyak pihak Islam menyangkut masa depan peserta didik beragama Islam yang sekolah di lembaga pendidikan agama lain, sebab isu pendangkalan iman dan kristenisasi tidak dapat diabaikan begitu saja. Maka, lembaga-lembaga pendidikan agama lain yang memiliki banyak siswa beragama Islam, harus bersifat terbuka dan legowo dalam menerima dan melaksanakan RUU Sisdiknas pasal 12 ayat [1] tersebut. Karena akan kedengaran lucu seorang Nasrani atau Budha belajar di pesantren, begitu juga sebaliknya seorang muslim belajar di seminari.

Sementara, kelompok masyarakat [Islam] yang menginginkan agar RUU Sisdiknas dapat disahkan menjadi UU, berpendapat bahwa pendidikan agama dalam Sisdiknas masih diperlukan dengan melihat kenyataan meskipun sudah ada pendidikan agama, moral masyarakat banyak yang melenceng dari jalur agama. Apalagi jika pendidikan agama dihapuskan, maka dikhawatirkan masyarakat akan lebih jauh dari agamanya menjadi suatu kenyataan dalam kehidupan di Indonesia. Maka, kelompok ini berpendapat, bahwa pendidikan agama harus diajarkan oleh pendidik yang seagama karena agama tidak hanya bersifat kognitif tapi juga psikomotorik dan afektif.

2. Pembahasan Pasal

Apabila mencermati RUU pasal 12 ayat [1] Sisdiknas tersebut secara obyektif sebenarnya tidak ada yang perlu dipolemikkan. Pertanyaan mengapa polemik itu muncul, polemik ini muncul dari rasa kekhawatiran dan kecurigaan yang berlebihan dan seolah-olah RUU tersebut bertujuan untuk menyudutkan salah satu kelompok dan menguntungkan kelompok tertentu. Maka rasa kecurigaan inilah yang mestinya harus dihilangkan pada era demokratis, keterbukaan, dan pluralitas bangsa.

Kemudian, pendapat yang menyatakan bahwa RUU tersebut kontradiksi dengan tujuan bangsa Indonesia yang termuat di dalam pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan bangsa, sebenarnya telah mereduksi makna pendidikan itu sendiri sekaligus menunjukkan pemikiran yang parsial dan paradok. Sebab, pendidikan tidak sekadar bertujuan mencerdaskan bangsa, tetapi membentuk manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah dengan mengharuskan pendidikan agama di sekolah berarti menghilangkan makna mencerdaskan, berilmu, kreatif, demokratis dan rasa kemasyarakatan dan kebangsaan. Tentu jawabannya tidak, maka seharusnya kita tidak memparadokkan antara tujuan mencerdaskan bangsa dengan tujuan meningkatkan ketakwaan dan keimanan [pendidikan agama]. Untuk itu, seharusnya ranah-ranah tersebut harus dapat berjalan dan dikembangkan secara seimbang dan berbarengan.

Sebenarnya, dalam kehidupan bernegara di Indonesia, agama tidak dapat dipisahkan dari negara meskipun kitapun tidak menjustifikasi adanya negara agama. Kenapa, karena Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, pada sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi justifikasi keharusan untuk menyelenggarakan pendidikan agama di lembaga-lembaga pendidikan. Maka, keharusan menyelenggarakan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik juga tidak berarti menafikan pluralitas apalagi mengandung unsur SARA, karena kata agama yang tercantum di dalam RUU itu sama sekali tidak merujuk pada agama tertentu atau bersifat diskriminatif terhadap agama tertentu, tetapi bahkan dalam RUU tersebut mengimplikasikan bahwa tidak adanya keharusan menyelenggarakan pendidikan agama bagi peserta didik yang tidak beragama, apalagi berlainan agama.

Oleh sebab itu, kekhawatiran lembaga pendidikan tertentu terhadap RUU tersebu, bukan merupakan pandangan yang obyektif, tetapi sebagai pandangan yang subjektivitas serta berasal dari perasaan dan pandangan tirani mayoritas pemeluk suatu agama yang berlebihan dan tidak rasional. Tetapi, disatu sisi memang tidak dapat dipungkiri, jika RUU tersebut disahkan, akan sedikit banyak menambah beban pada lembaga pendidikan agama tertentu yang peserta didiknya beragama lain. Konsekuensi dari beban tersebut, merupakan salah satu risiko yang harus dijalani oleh lembaga pendidikan tersebut untuk mengembangkan potensi peserta didik yang lebih beriman dan bertaqwa, bermoral dan berakhlak mulia. Sebaliknya, beban tersebut tidak akan dialami oleh lembaga pendidikan yang peserta didiknya seagama dengan lembaga pendidikan tersebut.

3. Rekomendasi

1. Mengingat Indonesia yang berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa bukan negara sekuler dan mengingat pendidikan bukan sekadar mentransfer ilmu melainkan juga mentransfer dan menanamkan nilai-nilai, maka pendidikan agama perlu diatur dalam undang-undang dan penyelenggaraannya menjadi keharusan.

2. Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

3. Setiap lembaga pendidikan di bawa naungan agama tertentu tidak boleh membuat aturan yang mewajibkan peserta didik yang berbeda agama ikut serta dalam kegiatan-kegiatan pelajaran agama atau ibadah. Harus memberikan kemudahan kepada peserta didik yang berbeda agama untuk mendapatkan pelajaran agama yang sesuai ditempat lain yang direkomendasikan dan mengakui nilai prestasi peserta didik pada pelajaran agama yang diperoleh dari luar tersebut.

4. Lembaga pendidikan agama tertentu harus terbuka dan kooperatif menerima dan memfasilitasi guru pendidikan agama yang sesuai dengan agama peserta didinya di lembaga pendidikannya.


Sumber:

1. Ki Gunawan, Pengamat pendidikan di Yogyakarta

2. Hujair AH. Sanaky, Pengamat pendidikan di Yogyakarta

3. http://www.elearners.com/resources/education-laws.asp


Terima Kasih Semoga Bermanfaat!

Arip Nurahman

Guru dan Dosen Profesional

Kamis, 26 Juni 2008

Relawan

Betapapun juga keberadaan para relawan teramat besar peran positifnya. Selain tuntutan pengorbanan waktu tenaga maupun dana mereka dituntut untuk memiliki ketrampilan dengan baik. Tanpa semua itu mereka tidak bisa menjadi relawan. Mereka hanya akan memberi beban.

Senin, 23 Juni 2008

Kompos, Solusi Tanah, dan Budi Daya Tanaman

Indonesia sempat mengalami surplus pangan di era pemerintahan Presiden Suharto. Hasil pertanian khususnya padi sangat melimpah. Negara kita bahkan bisa mengekspor beras ke luar negeri. Akan tetapi, apa yang terjadi saat ini? Beras menjadi barang yang nyaris langka, harganya melonjak tinggi, sehingga banyak masyarakat berpenghasilan kecil tak mampu membeli beras yang kualitasnya baik. Bahkan beras yang kualitasnya buruk pun masih tergolong mahal.

Ketika dilakukan penelusuran, hasilnya ternyata sungguh mengejutkan. Penyebab turunnya produksi pertanian, khususnya padi, ternyata tidak terlepas dari proses penanaman yang dilakukan petani di masa repelita awal tersebut. Sejak para petani mengenal pupuk kimia, secara nyata produksi pertanian memang meningkat pesat. Akan tetapi, tanpa sadar sisa-sisa kimiawi pupuk yang tidak terserap oleh tanaman terus tersimpan dan menumpuk di dalam tanah. Akibatnya, tingkat kesuburan tanah terus menurun. Semakin hari, dengan semakin intensifnya para petani mempergunakan pupuk kimia, tanah pun semakin tidak subur dan sebanyak apapun pupuk kimia diberikan pada tanaman, hasilnya tidak lagi menggembirakan sebagaimana pada awalnya.

Upaya Menyuburkan Tanah
Supaya tanah subur kembali, dibutuhkan unsur organik yaitu humus. Sayangnya, pembentukan humus ternyata tidaklah sebentar. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk membentuk humus di dalam tanah secara alami. Meskipun demikian, manusia bisa menciptakan unsur pengganti humus dalam waktu relatif cepat yaitu dengan menggunakan kompos.

Kompos bisa dibuat dari sisa-sisa makanan, baik dari tumbuhan maupun hewan. Jika dicampurkan dengan tanah, maka kesuburan tanah akan meningkat kembali. Kelebihan kompos dibandingkan humus adalah waktu pembuatannya yang lebih pendek, yaitu sekitar 60 – 90 hari.

Sampah Organik sebagai Bahan Pembuat Kompos
Menurut data, sekitar 70-80% sampah di kota-kota di Indonesia berasal dari bahan organik (sisa tumbuhan dan hewan). Adapun sisanya adalah sampah anorganik (seperti plastik, kaleng, logam, dan sebagainya). Hal itu menunjukkan bahwa potensi sampah kota untuk dijadikan kompos sangatlah besar, asalkan semua pihak mau mendukungnya.

Potensi Ekonomi Kompos
a. Kompos dan Trend Penjualan Tanaman Hias
Saat ini minat masyarakat terhadap tanaman hias meningkat pesat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bisa jadi, hal itu dilandasi oleh kesadaran dan keinginan untuk memperindah pekarangan rumah dan juga menambah ruang hijau untuk memasok oksigen di sekeliling rumah. Harganya pun sangat bervariasi dan sangat menakjubkan. Untuk jenis tanaman tertentu, harganya bahkan bisa mencapai jutaan rupiah.

Kecenderungan terhadap budi daya tanaman hias tersebut sebenarnya merupakan peluang untuk memasarkan kompos. Kualitas tanah yang kurang subur di komplek-komplek perumahan bisa di atasi dengan adanya penambahan kompos.

b. Kompos dan Pengenalan Tanaman Obat
Kalau saat ini minat terhadap tanaman hias sedang tinggi, maka kita bisa menciptakan trend baru selain jenis tanaman tersebut. Salah satunya adalah tanaman obat.

Harga obat semakin mahal dan kesadaran terhadap pengaruh negatif obat kimia juga semakin tinggi. Mengingat hal tersebut, maka pengenalan tentang obat alternatif dari bahan alami menjadi penting. Hal itu bisa dimulai dengan membudidayakan dan menyebarluaskan tanaman obat-obatan itu sendiri. Masih banyak orang yang tidak mengenal jenis-jenis tumbuhan obat, terlebih bentuk fisik tumbuhannya. Hal itu adalah peluang baru di bidang agrobisnis. Selain tanaman hias, apa salahnya jika para pecinta tanaman juga menanam dan menjual tanaman obat supaya jenis tanaman ini juga menjadi terkenal dan diminati masyarakat.

Kehadiran produksi kompos sangatlah membantu pembudidayaan tanaman obat. Lagi-lagi, peluang untuk pemasaran kompos terbuka lebar dan semakin luas.

Lantas, langkah kecil apa yang sudah kita lakukan untuk membuat tanah kita kembali sehat dan subur?

Referensi
JUDUL BUKU: KOMPOS
PENULIS: DIPO YUWONO
PENERBIT: PENEBAR SWADAYA
TAHUN: 2006

Sabtu, 21 Juni 2008

PENGEMBANGAN MODEL CREATIVE PROBLEM SOLVING BERBASIS TEKNOLOGI

ADI NUR CAHYONO, M.Pd.

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2007

ABSTRAK

Pengembangan Model Creative Problem Solving berbasis Teknologi dalam Pembelajaran Matematika di SMA

Oleh:
A.N. CAHYONO
Pendidikan Matematika 2005 Program Pascasarjana Unnes
e-mail : adi_himatika@plasa.com
http://www.adi-negara.blogspot.com/

Kata kunci : Creative Problem Solving berbasis Teknologi, Ketrampilan Proses, keaktifan siswa, hasil belajar.

Tujuan diberikannya matematika antara lain agar siswa terlatih untuk bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jenius dan efektif. Model Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada ketrampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan kreatifitas Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model pembelajaran Creative Problem Solving berbasis teknologi, mengetahui ketuntasan belajar pada hasil belajar, keaktifan dan ketrampilan proses siswa, pengaruh keaktifan dan ketrampilan proses terhadap hasil belajar siswa, perbedaan hasil belajar siswa pada model CPSbT dengan konvensional pada karakteristik pengelompokan siswa menurut kemampuan awal (atas, tengah, bawah). Pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model Thiagarajan, Semmel & Semmel (4D), yaitu define, design, develop, disseminate. Yang dikembangkan adalah rencana pembelajaran, buku guru, buku siswa, multimedia pembelajaran dan soal tes dengan materi trigonometri (aturan sinus dan kosinus) dan kaitannya dengan teknologi (aplikasi ilmu dalam kehidupan). CPSbT merupakan model pembelajaran yang efektif, berpusat pada siswa, ketrampilan proses dan aktifitas siswa berpengaruh kuat terhadap hasil belajar, terdapat perbedaan yang signifikan antara has bel model CPSbT dengan model konvensional, dan terdapat perbedaan hasil belajar antara kelompok atas, tengah dan bawah, hasil belajar mencapai ketuntasan belajar. CPSbT merupakan model pembelajaran yang efektif. Oleh karena itu para guru matematika diharapkan dapat menerapkan dalam pembelajaran matematika, khususnya pokok bahasan trigonometri kelas X. Guru hendaknya meningkatkan ketrampilan proses dan keaktifan siswa dalam pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat maksimal. Para guru dapat mengembangkan perangkat pembelajaran yang serupa untuk pokok bahasan lain, bahkan para guru dapat mengembangkan untuk model pembelajaran yang lain. Para peneliti dapat mengembangkan hasil penelitian ini lebih mendetail baik pada mata pelajaran matematika atau lainnya.

A. Pendahuluan
Pendidikan matematika mempunyai potensi besar untuk memainkan peran strategis dalam menyiapkan sumber daya manusia untuk menghadapi era industrialisasi dan globalisasi. Potensi ini dapat terwujud jika pendidikan matematika mampu melahirkan peserta didik yang cakap dalam matermatika dan berhasil menumbuhkan kemampuan berpikir logis, bersifat kritis, kreatif, inisiatif dan adaptif terhadap perubahan dan perkembangan. Kualitas sumber daya manusia seperti ini menjamin keberhasilan upaya penguasaan teknologi untuk pembangunan di Indonesia.
Teknologi adalah kemampuan menerapkan suatu pengetahuan dan kependaian membuat sesuatu yang berkenaan dengan suatu produk, yang berhubungan dengan seni, yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta bersandarkan pada aplikasi dan implikasi pengetahuan itu sendiri. Teknologi yang merupakan aplikasi kemajuan ilmu pengetahuan yang membawa dunia pendidikan untuk menyesuaikannya. Strategi pembelajaran harus berorientasi pada kebutuhan teknologi masa kini, artinya setiap materi yang sudah dirancang dalam jabaran KBK dicarikan link sdengan masalah kontekstual dan teknologi, adakah kegunaan materi yang diajarkan sekarang di masa yang akan datang.
Berdasarkan teori pembelajaran yang dikemukakan oleh Gagne dalam Suherman (2001:83), bahwa ketrampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah. Pemecahan masalah merupakan tipe paling tinggi dari delapan tipe belajar, yaitu signal learning, stimulus-respon learning, chaining, verbal association, discrimination learning, concept learning, rule learning dan problem solving.
Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta ketrampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. Melalui kegiatan ini aspek-aspek kemampuan matematika seperti penerapan aturan pada masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, komunikasi matematika dapat dikembangkan secara lebih baik Hasil penelitian yang dilakukan The National Assesment of Educational Progress (NAEP) dalam Suherman (2001: 84) menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan siswa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah menurun drastis manakala setting (konteks) permasalahannya diganti dengan hal yang tidak dikenal siswa, walaupun permasalahan matematikanya tetap sama.
Dalam hubungannya dengan hal di atas, perlu dikembangkan model pembelajaran matematika yang sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya yang ada serta berpandangan pada perkembangan teknologi dan tuntutan era globalisasi dan kurikulum, diantaranya dengan model creative problem solving (CPS) berbasis teknologi dalam pembelajaran matematika.

B. Problem Solving
Problem Solving atau pemecahan masalah merupakan bagian dari analitical thinking atau pemikiran analitis.
Problem solving is the process of obtaining a satisfactory solution to a novel problem, or at least a problem which the problem solver has not seen before.(Woods: 1975: 1).

Sebuah strategi adalah bagian dari langkah yang saling terkait yang dipakai oleh pemecah masalah mencari solusi. Salah satu strategi untuk mengajar siswa adalah strategi yang disarankan oleh ahli matematika, Gyorgy Polya. Menurut Polya (1971: 2), langkah-langkah dalam strategi Polya adalah:
1. Devine
Mengidentifikasi permasalahan yang ada.
2. Think about It
a. Apa sajakah yang berkaitan dengan permasalahan tersebut?
b. Mengidentifikasi daerah permasalahan
c. Mengumpulkan informasi
3. Plan
a. Diagram Solusi
b. Memikirkan rencana alternatif
c. Menterjemahkan
4. Carry Out Plan
Memecahkan permasalahan
5. Look Back
a. Verifikasi pemecahan masalah yang telah didefinisikan sebelumnya
b. Identifikasi penerapan
c. Menyimpulkan
Ada dua jalan dalam problem solving dimana keduanya mempunyai proses yang berbeda.
Problem solving is done in two ways, the traditional and the creative way. Traditional problem solving is a process that takes the solver from a set of conditions to a resolution of the problem. Without encountering the situation, the solver cannot progress from the conditions to the resolution. Meanwhile, creative problem solving has one major difference from the traditional one since, in the former, the solution to the set of conditions is not unique. Thus, the analytical and evaluative mind is more likely to solve a creative problem than one which is not. (Loewen: 1995: 1)

C. Model Creative Problem Solving dalam Pembelajaran Matematika
Model diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu aktivitas tertentu. Dalam pengertian lain, model diartikan sebagai barang tiruan, metafor, atau kiasan yang dirumuskan. Pouwer (1974: 243) menerangkan tentang model dengan anggapan seperti kiasan yang dirumuskan secara eksplisit yang mengandung sejumlah unsur yang saling tergantung. Sebagai metafora model tidak pernah dipandang sebagai bagian data yang diwakili. Model menjelaskan fenomena dalam bentuk yang tidak seperti biasanya. Setiap model diperlukan untuk menjelaskan sesuatu yang lebih atau berbeda dari data. Syarat ini dapat dipenuhi dengan menyajikan data dalam bentuk: ringkasan (type, diagram), konfigurasi (structure), korelasi (pola), idealisasi, dan kombinasi dari keempatnya. Jadi model merupakan kiasan yang padat yang bermanfaat bagi pembanding hubungan antara data terpilih dengan hubungan antara unsur terpilih dari suatu konstruksi logis.
Menurut Soekamto (1997: 78), model pembelajaran merupakan kerangka yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pemandu bagi para perancang desain pembelajaran dan para pengajar dalam mmerencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar.
Menurut Karen (2004: 1), model Creative Problem Solving (CPS) adalah suatu model pembelajaran yang berpusat pada ketrampilan pemecahan masalah, yang diikuti dengan penguatan kreatifitas. Ketika dihadapkan dengan situasi pertanyaan, siswa dapat melakukan ketrampilan memecahkan masalah untuk memilih dan mengembangkan tanggapannya. Tidak hanya dengan cara menghafal tanpa dipikir, ketrampilan memecahkan masalah memperluas proses berpikir.
CPS merupakan representasi dimensi-dimensi proses yang alami, bukan suatu usaha yang dipaksakan. CPS merupakan pendekatan yang dinamis, siswa menjadi lebih trampil sebab siswa mempunyai prosedur internal yang lebih tersusun dari awal.
Ada banyak kegiatan yang melibatkan kreatifitas dalam pemecahan masalah seperti riset dokumen, pengamatan terhadap lingkungan sekitar, kegiatan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, dan penulisan yang kreatif. Dengan CPS, siswa dapat memilih dan mengembangkan ide dan pemikirannya. Berbeda dengan hafalan yang sedikit menggunakan pemikiran, CPS memperluas proses berpikir.
Sasaran dari CPS adalah sebagai berikut.
1. siswa akan mampu menyatakan urutan langkah-langkah pemecahan masalah dalam CPS
2. siswa mampu menemukan kemungkinan-kemungkinan strategi pemecahan masalah
3. siswa mampu mengevaluasi dan menyeleksi kemungkinan-kemungkinan tersebut kaitannya dengan kriteria-kriteria yang ada
4. siswa mampu memilih suatu pilihan solusi yang optimal
5. siswa mampu mengembangkan suatu rencana dalam mengimplementasikan strategi pemecahan masalah
6. siswa mampu mengartikulasikan bagaimana CPS dapat digunakan dalam berbagai bidang/ situasi.

Osborn (1963), mengatakan bahwa CPS mempunyai 3 prosedur, yaitu:
1. menemukan fakta, melibatkan penggambaran masalah, mengumpulkan dan meneliti data dan informasi yang bersangkutan
2. menemukan gagasan, berkaitan dengan memunculkan dan memodifikasi gagasan tentang strategi pemecahan masalah
3. manemukan solusi, yaitu proses evaluatif sebagai puncak pemecahan masalah
Dua fase proses kreatif dalam pemecahan masalah menurut Von Oech (1990), yaitu fase imaginatif dan fase praktis. Dalam fase imaginatif gagasan strategi pemecahan masalah diperoleh, dan dalam fase praktis, gagasan tersebut dievaluasi dan dilaksanakan.
Karen (2004:2) menuliskan langkah-langkah creative problem solving dalam pembelajaran matematika sebagai hasil gabungan prosedur Von Oech dan Osborn sebagai berikut.


1. Klarifikasi masalah
Klarifikasi masalah meliputi pemberian penjelasan kepada siswa tentang masalah yang diajukan, agar siswa dapat memahami tentang penyelesaian yang diharapkan.
2. Pengungkapan gagasan
Siswa dibebaskan untuk mengungkapkan gagasan tentang berbagai macam strategi penyelesaian masalah
3. Evaluasi dan seleksi
Setiap kelompok mendiskusikan pendapat-pendapat atau strategi-strategi yang cocok untuk menyelesaikan masalah
4. Implementasi
Siswa menentukan strategi yang dapat diambil untuk menyelesaikan masalah, kemudian menerapkannya sampai menemukan penyelesaian dari masalah tersebut
Dengan membiasakan siswa menggunakan langkah-langkah yang kreatif dalam memecahkan masalah, diharapkan dapat membantu siswa untuk mengatasi kesulitan dalam mempelajari matematika.
Implementasi model creative problem solving berbasis teknologi dalam pembelajaran matematika yaitu:
1. Tahap awal
Guru menanyakan kesiapan siswa dalam mengikuti pembelajaran matematika, kemudian mengulas kembali materi sebelumnya yang dijadikan prasayarat materi yang akan dipelajari siswa dan menjelaskan aturan main dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan model creative problem solving berbasis teknologi. Guru juga memberikan motivasi kepada siswa tentang pentingnya pembelajaran yang akan dilaksanakan.
2. Tahap inti
Siswa membentuk kelompok kecil untuk melakukan small discussion. Tiap kelompok terdiri atas 4-5 siswa yang dibentuk oleh guru dan bersifat permanen. Tiap kelompok mendapat modul, LKS dan CD Interaktif yang berisi materi pembelajaran dan permasalahan untuk dibahas bersama dalam kelompoknya. Secara berkelompok siswa memecahkan permasalahan yang terdapat dalam LKS dan CD sesuai dengan petunjuk yang tersedia di dalamnya. Siswa mendapat bimbingan dan arahanh dari guru dalam memecahkan masalah. Peranan guru dalam hal ini adalah menciptakan situasi yang dapat memudahkan munculnya pertanyaan dan mengarahkan kegiatan brainstorming dalam rangka menjawab pertanyaan atas dasar interest siswa. Penekanan dalam pendampingan siswa dalam menyelesaikan permasalahan adalah sebagai berikut:
a. Klarifikasi masalah
Setelah guru menjelaskan materi pembelajaran matematika, siswa dikelompokkan menjadi kelompok-kelompok kecil dan menerima beberapa proyek yang berkaitan dengan materi pelajaran. Guru bersama siswa mengklarifikasi permasalahan yang ada dalam proyek tersebut sehingga siswa mengetahui solusi yang diharapkan dari proyek tersebut. Dalam tahap ini, masing-masing kelompok mengajukan proposal kepada guru tentang proyek yang akan dipecahkan permasalahannya.
b. pengungkapan gagasan
Siswa menggali dan mengungkapkan pendapat sebanmyak-banyaknya berkaitan dengan strategi pemecahan masalah yang dihadapi dalam proyek tersebut.
c. evaluasi dan seleksi
Setelah diperoleh daftar gagasan-gagasan, siswa bersama guru dan teman lainnya mengevaluasi dan menyeleksi berbagai gagasan tentang strategi pemecahan masalah, sehingga pada akhirnya diperoleh suatu strategi yang optimal dan tepat.
d. implementasi
Dalam tahap ini, siswa bersama kelompoknya memutuskan tentang strategi pemecahan masalah dalam proyeknya. Dan melaksanakan strategi yang dipilih dalam memecahkan permasalahan sesuai dengan proposal yang telah diajukan.
Setelah pekerjaan selesai siswa bersama kelompoknya mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas dengan menggunakan media sesuai dengan kreatifitasnya untuk menyampaikan gagasannya dan mendapatkan saran dan kritik dari pihak lain sehingga diperoleh solusi yang optimal berkaitan dengan pemecahan masalah. Kemudian guru bersama siswa menyimpulkan materi pembelajaran ke arah matematika formal.
3. Tahap penutup.
Sebagai pemantapan materi, secara individual siswa mengerjakan pop quiz yang ditampilkan dengan media pembelajaran dan guru memberikan poin bagi siswa yang mampu memecahkan permasalahan sebagai upaya memotivasi siswa dalam mengerjakan soal-soal.
Suatu soal yang dianggap sebagai masalah adalah soal yang memerlukan keaslian berpikir tanpa adanya contoh penyelesaian sebelumnya. Masalah berbeda dengan soal latihan. Pada soal latihan, siswa telah mengetahui cara menyelesaikannya, karena telah jelas hubungan antara yang diketahui dengan yang ditanyakan, dan umumnya telah ada contoh soal. Pada masalah, siswa tidak tahu menyelesaikannya. Siswa menggunakan segenap pemikiran, memilih strategi pemecahannya, dan memproses hingga menemukan penyelesaian dari suatu masalah.

C. Pembelajaran Matematika dan Teknologi
Menurut Paul W. Devore (1980:147), teknologi adalah ilmu terapan yang telah dikembangkan lebih lanjut dan meliputi perangkat keras dan perangkat lunak yang merupakan manivestasi atas kekuasaan terhadap alam, manusia dan kebudayaannya. Teknologi adalah kemampuan menerapkan suatu pengetahuan dan kependaian membuat sesuatu yang berkenaan dengan suatu produk, yang berhubungan dengan seni, yang berlandaskan pengetahuan ilmu eksakta bersandarkan pada aplikasi dan implikasi pengetahuan itu sendiri. Kurikulum 2004 dan pembelajaran matematika saat ini masih terkesan banyak kekurangan bila diorientasikan dengan kemajauan teknologi dewasa ini. Teknologi yang merupakan aplikasi kemajuan ilmu pengetahuan yang membawa dunia pendidikan untuk menyesuaikannya. Strategi pembelajaran harus berorientasi pada kebutuhan teknologi masa kini, artinya setiap materi yang sudah dirancang dalam jabaran Kurikulum dicarikan link dengan masalah kontekstual dan teknologi, adakah kegunaan materi yang diajarkan sekarang di masa yang akan datang.
Dalam menghadapi dan menyikapi kurikulum yang berbasis kompetensi maka diperlukan kemampuan yang memadai di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang komputer. Perkembangan teknologi sekarang ini menuntut penggunaan komputer yang lebih bervariatif dan efektif, termasuk didalamnya penggunaan aplikasi komputer dalam proses pembelajaran di Sekolah sebagai media pembelajaran atau media pendidikan, diantaranya dengan menggunakan multimedia pembelajaran dalam bentuk CD Interaktif yang disertai buku siswa.
Komputer sebagai suatu alat yang dapat digunakan untuk merancang desain pembelajaran, kemudian dipindahkan kedalam CD interaktif sehingga mudah digunakan oleh pengguna. Software dan Hardware yang dapat digunakan untuk mendesain media CD interaktif dan pemanfaatannya antara lain adalah Macromedia Flash MX, SwisH v2.0, Swift 3D’s Max, Movie maker,Ullite Video Studio 7, Audicity, Ahead Nero Burning, digital camera, handycam, computer, VCD Player, LCD projector.
Untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan pembelajaran, maka pembelajaran hendaknya berorientasi pada Freudenthal Perspective.
Mathematics look like a plural as it still is in French Les Mathematiques. Indeed, long ago it meant a plural: four arts (liberal ones worth being pursued by free men). Mathematics was the quadrivium, the sum of arithmetic, geometry astronomy and music, held in higher esteem than the (more trivial) trivium: grammar, rhetoric and dialectic. …As far as I am familiar with languages, Ducth is the only one in which the term for mathematics is neither derived from nor resembles the internationally sanctioned Mathematica. The Ducth term was virtually coined by Simon (1548 - 1620): Wiskunde, the science of what is certain. Wis en zeker, sure and certain, is that which does not yield to any doubt, and kunde means, knowledge, theory. (Freudental, 1991: 1)

Dua pandangan penting Feudenthal adalah:
1. Mathematics as human activity, sehingga peserta didik harus diberi kesempatan untuk belajar melakukan aktivitas matematisasi pada semua topik dalam matematika, dan
2. Mathematics must be connected to reality, sehingga matematika harus dekat terhadap peserta didik dan harus dikaitkan dengan situasi kehidupan sehari-hari.
Dengan memperhatikan pandangan tersebut diharapkan pembelajaran matematika bertolak dari masalah-masalah kontekstual. Agar sistem pembelajaran dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memenuhi kebutuhan maka konteks yang dipilih adalah yang berkaitan dengan teknologi.

D. Pembelajaran Matematika di SMA
Pembelajaran matematika sekolah adalah pembelajaran yang mengacu pada ketiga fungsi mata pelajaran matematika, yaitu sebagai alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan. Dua hal penting yang merupakan bagian dari tujuan pembelajaran matematika di SMA menurut Suherman (2001: 60) adalah pembentukan sifat dengan berpikir kritis dan kreatif. Dengan berlandaskan kepada prinsip pembelajaran matematika yang tidak sekedar learning to know, melainkan juga harus meliputi learning to do, learning to be, hingga learning to live together, maka pembelajaran matematika harus bersandarkan pada pemikiran bahwa peserta didik harus belajar dan semestinya dilakukan secara komperhensif dan terpadu.
Materi pokok Trigonometri merupakan salah satu materi pokok yang diajarkan di kelas X SMA dengan standar kompetensinya adalah menggunakan perbandingan, fungsi, persamaan, dan identitas trigonometri dalam pemecahan masalah. Kompetensi dasar dalam pembelajaran matematika materi pokok Trigonometri adalah
1. menggunakan sifat dan aturan tentang fungsi trigonometri, rumusi sinus, dan rumus kosinus dalam pemecahan masalah
2. melakukan manipulasi aljabar dalam perhitungan teknis yang berkaitan dengan fungsi trigonometri
3. merancang model matematika yang berkaitan dengan fungsi trigonometri, rumus sinus dan kosinus, menyelesaikan modelnya, dan menafsirkan hasil yang diperoleh.

E. Metode Penelitian
1. Jenis, Lokasi, dan Subjek Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian pengembangan (development research) yang menekankan pada pengembangan model pembelajaran Creative Problem Solving berbasis teknologi. Pengembangan model pembelajaran Creative Problem Solving berbasis teknologi meliputi perangkat pembelajaran berupa buku guru, buku siswa, multimedia pembelajaran, dan RP serta instrumen-instrumen lain berupa intsrumen pengamatan, dan evaluasi hasil belajar.
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Ibu Kartini Semarang pada siswa kelas X semester genap tahun pelajaran 2006/ 2007 yang terdiri dari 5 kelas dengan kemampuan sama. Subjek penelitian diambil 3 kelas secara acak melalui pengundian, kelas X-3 sebagai subjek penelitian tahap pengembangan (develop) kelas X-1 sebagai subjek penelitian tahap penyebaran (disseminate) dan kelas X-2 sebagai kelas kontrol yang diberi pembelajaran matematika dengan model pembelajaran konvensional. Penelitian dilaksanakan di SMA Ibu Kartini karena sebelum penelitian tersebut dilaksanakan, siswa kesulitan dalam mempelajari matematika khususnya materi trigonometri dan oleh karena sekolah termasuk dalam kondisi menengah (bukan sekolah favorit dan bukan pula kelas bawah) maka diasumsikan hasil penelitian dapat diberlakukan juga untuk sekolah lain.
Sebelum penelitian dilaksanakan, diperlukan data hasil belajar peserta didik pada materi sebelum materi trigonometri yang digunakan untuk mengetahui apakah kemampuan awal ketiga kelas tersebut benar-benar sama atau tidak dan untuk mengetahui posisi peserta didik di kelas berdasar kemampuan awal (atas, tengah, bawah) serta untuk mengelompokkan siswa menjadi beberapa kelompok yang heterogen. Setiap kelompok terdapat siswa yang berasal dari kelompok atas, tengah, bawah.
2. Variabel Penelitian
a. Hipotesis 1 (Pembelajaran Trigonometri kelas X SMA dengan model pembelajaran creative problem solving berbasis teknologi dapat mencapai ketuntasan belajar pada hasil belajar, keaktifan dan keterampilan proses siswa)
Subyek : kelas X-1
Variabel : 1) keaktifan siswa (X)
2) ketrampilan proses siswa (Y)
3) hasil belajar siswa (Z)
b. Hipotesis 2 (Keaktifan dan ketrampilan proses siswa pada pembelajaran trigonometri kelas X SMA dengan menggunakan model pembelajaran creative problem solving berbasis teknologi berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa)
Subyek : kelas X-1
Variabel independen : 1) keaktifan siswa (X)
2) ketrampilan proses siswa (Y)
Variabel dependen : hasil belajar siswa (Z)
c. Hipotesis 3 (Terdapat perbedaan hasil belajar siswa pada pembelajaran trigonometri kelas X SMA dengan model pembelajaran creative problem solving berbasis teknologi dan model pembelajaran konvensional pada karakteristik pengelompokan siswa menurut kemampuan awal (atas, tengah, bawah)
Subyek : kelas X-1 dan X-2
Variabel independen : 1) baris : jenis kemampuan awal siswa
i. kelompok atas (A1)
ii. kelompok tengah (A2)
iii. kelompok bawah (A3)

2) Kolom : jenis model pembelajaran
a) Model CPS berbasis teknologi (B1)
b) Model konvensional.(B2)
Variabel dependen : hasil belajar siswa (Z)

3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpul data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Metode dokumentasi
Metode dokumentasi digunakan untuk memperoleh data langsung dari tempat penelitian.
b. Metode tes
Metode ini bertujuan mengukur hasil belajar siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Metode ini digunakan untuk mengukur efektifitas model pembelajaran creative problem solving berbasis teknologi yang dikembangkan. Instrumen yang digunakan berupa soal tes hasil belajar.
c. Metode pengamatan/observasi
Metode ini bertujuan mengamati secara langsung ke objek penelitian untuk melihat dari dekat kegiatan yang dilakukan.

F. Pengembangan Perangkat Pembelajaran, Instrumen Penelitian, dan Hasil Penelitian
1. Pengembangan Perangkat Pembelajaran
Perangkat pembelajaran yang dikembangkan adalah perangkat pembelajaran matematika berorentasi model creative problem solving berbasis teknologi yang meliputi: buku guru, buku siswa, multimedia pembelajaran, rencana pembelajaran (RP), dan tes hasil belajar. Pengembangan perangkat pembelajaran menggunakan model Thiagarajan, Semmel dan Semmel yang dikenal dengan 4 D yaitu define (pendefinisian), design (perancangan), develop (pengembangan), dan disseminate (penyebaran) (Abba, 2000:28). Tahapan pengembangan perangkat dapat dilihat pada diagram alur pada gambar 1.
Gambar 1. Diagram Alur Rancangan Pengembangan Perangkat Pembelajaran (Abba 2000:34)
2. Pengembangan Instrumen
Perangkat pembelajaran dan instrumen penelitian perlu divalidasi para ahli dan diujicobakan terlebih dahulu sebelum digunakan pada penelitian yang sesungguhnya (tahap penyebaran) di kelas penyebaran. Uji coba instrumen penelitian dilaksanakan di kelas pengembangan. Hasil dan proses pembelajaran di kelas penyebaran dibandingkan dengan kelas kontrol yang menerapkan model konvensional. Instrumen pengamatan meliputi: lembar pengamatan pengelolaan pembelajaran, lembar pengamatan aktivitas guru dan siswa, lembar pengamatan Ketrampilan Proses, instrumen tes. Sebelum digunakan dalam tahap penyebaran, instrumen-instrumen tersebut diuji validitas dan reliabilitasnya dengan berdasar pendapat ahli dan uji coba lapangan.
3. Hasil Penelitian
Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata reliabilitas perangkat pembelajaran (buku guru, buku siswa, rencana pembelajaran, multimedia pembelajaran dan instrument tes) adalah 98,30%, kategori reliabilitas tinggi, kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran diapat dikategorikan baik sekali, dengan rata-rata skor 3,52. Rata-rata aktivitas guru dalam proses pembelajaran sebesar 3,54 atau mencapai 88,48 % (kategori baik sekali). Hal ini menunjukkan bahwa guru telah melaksanakan aktivitas dalam proses pembelajaran sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran menggunakan model CPS berbasis teknologi. Rata-rata aktivitas siswa dalam proses pembelajaran sebesar 3,54 atau mencapai 88,57 % (kategori baik sekali), hal ini menunjukkan bahwa keaktifan siswa dalam proses pembelajaran menggunakan model CPS berbasis teknologi sangat tinggi. Jika dilihat rata-rata keaktifan siswa dari tiap-tiap pertemuan, menunjukkan adanya peningkatan keaktifan siswa dari yang semula rata-ratanya 3.45 menjadi 3.54 pada pertemuan terakhir. Rata-rata ketrampilan proses siswa dalam pembelajaran sebesar 3.57 atau mencapai 89.26% (baik sekali), hal ini menunjukkan bahwa dalam pembelajaran menggunakan model CPS berbasis teknologi siswa terampil dalam melaksanakan proses-proses pembelajaran.
Berdasarkan perhitungan, diperoleh = 1,296 dengan siginifikansi 0,069 > 0,05 , sehingga Ho diterima artinya data berdistribusi normal. Dengan demikian statistik yang dipakai adalah statistik parametrik.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa data hasil belajar matematika dari kelompok atas, menengah, dan bawah pada kelas eksperimen dan kelas kontrol berdistribusi normal dan homogen. Untuk menguji perbedaan rata-rata antara kelompok atas, menengah, dan bawah digunakan uji Univariate One Way Anova.
Berdasarkan perhitungan, pada kelompok baris nilai sig. = 0,020 <> 5%.
Pada kelas eksperimen, diperoleh rata-rata skor kelompok atas = 79,1250 dengan s = 1,5526, rata-rata kelompok menengah = 69,3043 dengan s = 7,3635, rata-rata kelompok bawah = 57,0000 dengan s = 2,1794. Dengan n = 8, n = 23, dan n = 9, diperoleh F = 31,259. Dengan = 5% dan dk = (2,37), F = 3,25. Oleh karena F > F , maka Ho ditolak dan Ha diterima berarti proses pembelajaran matematika pada pokok bahasan trigonometri dengan menggunakan model pembelajaran CPS berbasis teknologi antara kelompok atas, menengah, dan bawah adalah berbeda. Berdasarkan uji LSD diperoleh bahwa yang berbeda secara signifikan adalah kelompok atas dan bawah, dengan perbedaan rata-rata 22,1250
Dengan Regression Analysis, diperoleh nilai F = 25,643 dengan taraf signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan terdapat pengaruh ketrampilan proses terhadap hasil belajar yang sangat kuat atau Ho ditolak artinya terdapat pengaruh antara ketrampilan proses dengan hasil belajar.
Hasil perhitungan diperoleh korelasi antara ketrampilan proses dengan hasil belajar sebesar 63,5 % serta ketrampilan proses siswa memberi kontribusi terhadap hasil belajar sebesar 40,3%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan antara ketrampilan proses siswa dengan hasil belajar adalah sangat kuat. Persamaan regresi antara ketrampilan proses siswa dengan hasil belajar adalah = 32,371 + 2,657 X , dengan Y = hasil belajar, dan X = Katrampilan proses
Berdasarkan perhitungan juga diperoleh nilai F = 27,616 dengan taraf signifikansi 0,000. Hal ini menunjukkan terdapat pengaruh keaktifan terhadap hasil belajar yang sangat kuat atau Ho ditolak artinya terdapat pengaruh antara keaktifan dengan hasil belajar. Korelasi antara keaktifan dengan hasil belajar sebesar 64,9 % serta keaktifan siswa memberi kontribusi terhadap hasil belajar sebesar 42,1%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan antara keaktifan siswa dengan hasil belajar adalah sangat kuat. Persamaan regresi antara keaktifan siswa dengan hasil belajar adalah = 13,968 + 1,987 X , dengan Y = hasil belajar, dan X = Keaktifan
Dari Compare Mean One Sample t Test , diperoleh t = 2,963. Dengan kriteria uji pihak kanan, untuk = 5% dan dk = n – 1 = 39–1 = 38 diperoleh t = 2,021. Karena t > t , maka Ho ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rata-rata hasil belajar 65,0, sehingga dapat dinyatakan siswa telah menguasai materi karena telah mencapai ketuntasan belajar. Dengan demikian, proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CPS berbasis teknologi dapat mencapai tujuan pembelajaran (mencapai ketuntasan belajar), dengan rata-rata hasil belajar sebesar 80,57.
Dari Compare Mean One Sample t Test diperoleh t = 7,203. Dengan kriteria uji pihak kanan, untuk = 5% dan dk = n – 1 = 39–1 = 38 diperoleh t = 2,021. Karena t > t , maka Ho ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rata-rata keaktifan siswa 24, sehingga dapat dinyatakan siswa telah mencapai ketuntasan keaktifan siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CPS berbasis teknologi dapat mencapai tujuan pembelajaran, dengan rata-rata keaktifan siswa sebesar 27,45.
Dari Compare Mean One Sample t Test diperoleh t = 4,565. Dengan kriteria uji pihak kanan, untuk = 5% dan dk = n – 1 = 39–1 = 38 diperoleh t = 2,021. Karena t > t , maka Ho ditolak. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa rata-rata keterampilan proses siswa 14,0, sehingga dapat dinyatakan siswa telah mencapai keterampilan proses. Dengan demikian, proses pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran CPS berbasis teknologi dapat mencapai tujuan pembelajaran, dengan rata-rata keterampilan proses sebesar 13,60.

G. Penutup
1. Simpulan
Pada kasus ini, CPSbT merupakan model pembelajaran yang efektif, berpusat pada siswa, ketrampilan proses dan aktifitas siswa berpengaruh kuat terhadap hasil belajar, terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil belajar model CPSbT dengan model konvensional, dan terdapat perbedaan hasil belajar antara kelompok atas, tengah dan bawah, hasil belajar, keaktifan, dan keterampilan proses siswa mencapai ketuntasan.
2. Saran
Model pembelajaran Creative Problem Solving Berbasis Teknologi dapat digunakan sebagai alternative dalam pembelajaran matematika khususnya materi Trigonometri kelas X SMA. CPSbT merupakan model pembelajaran yang efektif. Oleh karena itu para guru matematika diharapkan dapat menerapkan dalam pembelajaran matematika, khususnya pokok bahasan trigonometri kelas X. Guru hendaknya meningkatkan ketrampilan proses dan keaktifan siswa dalam pembelajaran sehingga hasil belajar siswa dapat maksimal. Para guru dapat mengembangkan perangkat pembelajaran yang serupa untuk pokok bahasan lain, bahkan para guru dapat mengembangkan untuk model pembelajaran yang lain. Para peneliti dapat mengembangkan hasil penelitian ini lebih mendetail baik pada mata pelajaran matematika atau lainnya.




Daftar Rujukan
Abba, Nurhayati. 2000. Pengembangan Perangkat Pembelajaran Matematika Berorientasi Model Pembelajarn Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction). Surabaya: PPs Universitas Negeri Surabaya.
Abraham, M. and Renher W, J., 1986. The Sequence of Learning Cycle Activities in High School Chemestry, Journal of Research in Science Teaching, 23 (3), 121-143.
Arikunto, Suharsimi.1995. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta: Bumi Aksara.
Darhim. 1993. Workshop Matematika. Jakarta: Depdikbud.
Darsono, M. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press.
Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Kurikulum 2004 Mata Pelajaran Matematika SMA dan MA. Jakarta: Depdiknas.
Freudental, H.1991. Revisting Mathematics Education. Netherland: Kluwer Academic Publisher.
Karen L, Ppepkins. 2004. Creative Problem Solving in Math. Artikel dari www.uh.edu (1 Juli 2006).
Lie, Anita. 2002. Cooperative Learning, Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang – ruang Kelas. Jakarta : Gramedia.
Loewen, A. Craig. 2005. Creative Problem Solving. Artikel dari http://findarticles.com/p/ articles/ mi_hb3451/is_199510/ai_n8219497 (1 Juli 2006).
Megawangi, Ratna. 2005. Pendidikan Holistik. Jakarta: Indonesia Heritage Foundation.
Nasution, S. 2004. Didaktik Asas-asas Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Nuriana R., 2005. Model Pembelajaran Creative Problem Solving dengan Video Compact Disk dalam Pembelajaran Matematika. Artikel dari http: //www. mathematic. transdigit.com/ (1 Juli 2006).
Osborn, Alex F. 1963. Applied Imagination. New York: Charles Scribner’s Sons.
Pouwer, J. 1994. The Structural Confdigurational Approach a Methodological Outline dalam The Unconscious in Culture. New York: Dutton & Co.
Pramuntadi. 2003. Self Evaluation dalam Konteks Perencanaan. Makalah Diskusi di Depdiknas. Jakarta.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Slavin, R., 1994. Educational Psychology: Theories and Practice Fourth Edition Masschusetts: Allyn andBacon Publishers.
Soeharto, K. 1995. Teknologi Pembelajaran. SIC Surabaya.
Soekanto, T dan Winapuitra, U. Teori Belajar dan Model-Model Pembelajaran. Jakarta: Pusat Antar Universitas Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sriyono. 1992. Teknik Belajar Mengajar Dalam CBSA. Jakarta: Rineka Cipta.
Sudjana. 2000. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
Sudjana, N. 1990. Penilaian Hasil Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Suherman, E. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer.Bandung: JICA-UPI
Sularyo. 2003. Upaya Meningkatkan Ketuntasan Belajar Fisika dengan Metode Belajar Kelompok dan Berwawasan Sets pada Siswa Kelas II SMUN 2 Semarang Tahun 2002 – 2003. Tesis.Semarang: PPs UNNES.
Thiagarajan, S. and Semmel, M. 1974. Instructional Development forTraining Teachers of Exceptional Children. Blomington: Central for Innovation on Teaching the Handicapped.
Treffiger, Donald J. 1995. Creative Problem Solving: Overview and Educational Implications. Educational Psychology Review, 7, 301-312.
Tuckman, B. 1974. Conducting Educational Research. Second Edition. New York: Harcourt Brace Jovanovich.
Usman, W. 1989. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Von Oech, Roger. 1990. A Whack on the Side of the Head. New York: Wagner.
Woods, Donald R., et.al. 1975. Teaching Problem Solving Skills. Engineering Education, 66 (no.3), 238-243 (December 1975).
Zulkardi. 2000. How to Design Mathematics Lesson on the Realistic Approach?. Artikel dari www.geocities.com/ratuilma/rme.htm. (23 Agustus 2003).

Teaching Science through Inquiry. ERIC/CSMEE Digest.

ERIC Identifier: ED359048
Publication Date: 1993-03-00
Author: Haury, David L.
Source: ERIC Clearinghouse for Science Mathematics and Environmental Education Columbus OH.

Teaching Science through Inquiry. ERIC/CSMEE Digest.

"If a single word had to be chosen to describe the goals of science educators during the 30-year period that began in the late 1950s, it would have to be INQUIRY." (DeBoer, 1991, p. 206).

In a statement of shared principles, the U.S. Department of Education and the National Science Foundation (1992) together endorsed mathematics and science curricula that "promote active learning, inquiry, problem solving, cooperative learning, and other instructional methods that motivate students." Likewise, the National Committee on Science Education Standards and Assessment (1992) has said that "school science education must reflect science as it is practiced," and that one goal of science education is "to prepare students who understand the modes of reasoning of scientific inquiry and can use them." More specifically, "students need to have many and varied opportunities for collecting, sorting and cataloging; observing, note taking and sketching; interviewing, polling, and surveying" (Rutherford & Algren, 1990).

DISTINGUISHING FEATURES OF INQUIRY-ORIENTED SCIENCE INSTRUCTION

Inquiry-oriented science instruction has been characterized in a variety of ways over the years (Collins, 1986; DeBoer, 1991; Rakow, 1986) and promoted from a variety of perspectives. Some have emphasized the active nature of student involvement, associating inquiry with "hands-on" learning and experiential or activity-based instruction. Others have linked inquiry with a discovery approach or with development of process skills associated with "the scientific method." Though these various concepts are interrelated, inquiry-oriented instruction is not synonymous with any of them.

From a science perspective, inquiry-oriented instruction engages students in the investigative nature of science. As Novak suggested some time ago (1964), "Inquiry is the [set] of behaviors involved in the struggle of human beings for reasonable explanations of phenomena about which they are curious." So, inquiry involves activity and skills, but the focus is on the active search for knowledge or understanding to satisfy a curiosity.

Teachers vary considerably in how they attempt to engage students in the active search for knowledge; some advocate structured methods of guided inquiry (Igelsrud & Leonard, 1988) while others advocate providing students with few instructions (Tinnesand & Chan, 1987). Others promote the use of heuristic devices to aid skill development (Germann, 1991). A focus on inquiry always involves, though, collection and interpretation of information in response to wondering and exploring.

From a pedagogical perspective, inquiry-oriented teaching is often contrasted with more traditional expository methods and reflects the constructivist model of learning, often referred to as active learning, so strongly held among science educators today. According to constructivist models, learning is the result of ongoing changes in our mental frameworks as we attempt to make meaning out of our experiences (Osborne & Freyberg, 1985). In classrooms where students are encouraged to make meaning, they are generally involved in "developing and restructuring [their] knowledge schemes through experiences with phenomena, through exploratory talk and teacher intervention" (Driver, 1989). Indeed, research findings indicate that, "students are likely to begin to understand the natural world if they work directly with natural phenomena, using their senses to observe and using instruments to extend the power of their senses" (National Science Board, 1991, p. 27).

In its essence, then, inquiry-oriented teaching engages students in investigations to satisfy curiosities, with curiosities being satisfied when individuals have constructed mental frameworks that adequately explain their experiences. One implication is that inquiry-oriented teaching begins or at least involves stimulating curiosity or provoking wonder. There is no authentic investigation or meaningful learning if there is no inquiring mind seeking an answer, solution, explanation, or decision.

THE BENEFITS OF TEACHING THROUGH INQUIRY

Though some have raised concerns about extravagant claims made for science instruction based on activities and laboratory work (Hodson, 1990), studies of inquiry-oriented teaching (Anderson et al., 1982) and inquiry-based programs of the 1960s (Mechling & Oliver, 1983; Shymansky et al., 1990) have been generally supportive of inquiry approaches. Inquiry-based programs at the middle-school grades have been found to generally enhance student performance, particularly as it relates to laboratory skills and skills of graphing and interpreting data (Mattheis & Nakayama, 1988). Evidence has also been reported that shows inquiry-related teaching effective in fostering scientific literacy and understanding of science processes (Lindberg, 1990), vocabulary knowledge and conceptual understanding (Lloyd & Contreras, 1985, 1987), critical thinking (Narode et al., 1987), positive attitudes toward science (Kyle et al., 1985; Rakow, 1986), higher achievement on tests of procedural knowledge (Glasson, 1989), and construction of logico-mathematical knowledge (Staver, 1986).

It seems particularly important that inquiry-oriented teaching may be especially valuable for many underserved and underrepresented populations. In one study, language-minority students were found to acquire scientific ways of thinking, talking, and writing through inquiry-oriented teaching (Rosebery et al., 1990). Inquiry-oriented science teaching was shown to promote development of classification skills and oral communication skills among bilingual third graders (Rodriguez & Bethel, 1983). Active explorations in science have been advocated for teaching deaf students (Chira, 1990). Finally, experiential instructional approaches using ordinary life experiences are considered to be more compatible with native American viewpoints than are text-based approaches (Taylor, 1988).

Caution must be used, however, in interpreting reported findings. There is evidence of interactions among investigative approaches to science teaching and teaching styles (Lock, 1990), and the effects of directed inquiry on student performance may vary by level of cognitive development (Germann, 1989). There seems also a possible conflict of goals when attempting to balance the needs of underachieving gifted students to develop more positive self-concepts with the desire to develop skills of inquiry and problem solving (Wolfe, 1990).

It must also be emphasized that an emphasis on inquiry-oriented teaching does not necessarily preclude the use of textbooks or other instructional materials. The Biological Sciences Curriculum Study materials are examples of those that include an inquiry orientation (Hall & McCurdy, 1990; Sarther, 1991). Other materials accommodating an inquiry approach to teaching have been identified by Haury (1992). Several elementary school textbooks have been compared (Staver & Bay, 1987) and a content analysis scheme for identifying inquiry-friendly textbooks has been described (Tamir, 1985). Duschl (1986) has described how textbooks can be used to support inquiry-oriented science teaching. As mentioned by Hooker (1879, p. ii) many years ago, "No text-book is rightly constructed that does not excite [the] spirit of inquiry."

As instructional technology advances, there will become more options for using a variety of materials to enrich inquiry-oriented teaching. Use of interactive media in inquiry-based learning is being examined (Litchfield & Mattson, 1989), and new materials are being produced and tested (Dawson, 1991). Use of computerized data-bases to facilitate development of inquiry skills has also been studied (Maor, 1991).

REFERENCES

Anderson, R. D., et al. (1982, December). Science meta-analysis project: Volume I (Final report). Boulder, CO: Colorado University. ED 223 475

Chira , S. (1990, March-April). Wherein balloons teach the learning process. Perspectives in Education and Deafness, 8(4), 5-7.

Collins, A. (1986, January). A sample dialogue based on a theory of inquiry teaching (Tech. Rep. No. 367). Cambridge, MA: Bolt, Beranek, and Newman, Inc. ED 266 423

Dawson, G. (1991, February 20). Science vision: An inquiry-based videodisc science curriculum. Tallahassee, FL: Florida State University. ED 336 257

DeBoer, G. E. (1991). A history of ideas in science education. New York: Teachers College Press.

Driver, R. (1989). The construction of scientific knowledge in school classrooms. In R. Miller (Ed.). Doing science: Images of science in science education. New York: Falmer Press.

Duschl, R. A. (1986, January). Textbooks and the teaching of fluid inquiry. School Science and Mathematics, 86(1), 27-32.

Germann, P. J. (1989, March). Directed-inquiry approach to learning science process skills: Treatment effects and aptitude-treatment interactions. Journal of Research in Science Teaching, 26(3), 237-50.

Germann, P. J. (1991, April). Developing science process skills through directed inquiry. American Biology Teacher, 53(4), 243-47.

Glasson, G. E. (1989, February). The effects of hands-on and teacher demonstration laboratory methods on science achievement in relation to reasoning ability and prior knowledge. Journal of Research in Science Teaching, 26(2), 121-31.

Hall, D. A., & McCurdy, D. W. (1990, October). Journal of Research in Science Teaching, 27(7), 625-36.

Haury, D. L. (1992). Recommended curriculum guides. In Science curriculum resource handbook. Millwood, NY: Kraus International Publications.

Hodson, D. (1990, March). A critical look at practical work in school science. School Science Review, 71(256), 33-40.

Hooker, W. (1879). Natural history. New York: Harper & Brothers.

Igelsrud, D., & Leonard, W. H. (Eds.). (1988, May). Labs: What research says about biology laboratory instruction. American Biology Teacher, 50(5), 303-06.

Kyle, W. C., Jr., et al. (1985, October). What research says: Science through discovery: students love it. Science and Children, 23(2), 39-41.

Lindberg, D. H. (1990, Winter). What goes 'round comes 'round doing science. Childhood Education, 67(2), 79-81.

Litchfield, B. C., & Mattson, S. A. (1989, Fall). The interactive media science project: An inquiry-based multimedia science curriculum. Journal of Computers in Mathematics and Science Teaching, 9(1), 37-43.

Lloyd, C. V., & Contreras, N. J. (1985, December). The role of experiences in learning science vocabulary. Paper presented at the Annual Meeting of the National Reading Conference, San Diego, CA. ED 281 189

Lloyd, C. V., & Contreras, N. J. (1987, October). What research says: Science inside-out. Science and Children, 25(2), 30-31.

Lock, R. (1990, March). Open-ended, problem-solving investigations: What do we mean and how can we use them? School Science Review, 71(256), 63-72.

Maor, D. (1991, April). Development of student inquiry skills: A constructivist approach in a computerized classroom environment. Paper presented at the Annual Meeting of the National Association for Research in Science Teaching, Lake Geneva, WI. ED 336 261

Mattheis, F. E., & Nakayama, G. (1988, September). Effects of a laboratory-centered inquiry program on laboratory skills, science process skills, and understanding of science knowledge in middle grades students. ED 307 148

Mechling, K. R., & Oliver, D. L. (1983, March). Activities, not textbooks: What research says about science programs. Principal, 62(4), 41-43.

Narode, R., et al. (1987). Teaching thinking skills: Science. Washington, DC: National Education Association. ED 320 755

National Committee on Science Education Standards and Assessment. (1992). National science education standards: A sampler. Washington, DC: National Research Council.

National Science Board. (1991). Science & engineering indicators-1991. Washington, DC: U.S. Government Printing Office. (NSB 91-1)

Novak, A. (1964). Scientific inquiry. Bioscience, 14, 25-28.

Osborne, M., & Freyberg, P. (1985). Learning in science: Implications of children's knowledge. Auckland, New Zealand: Heinemann.

Rakow, S. J. (1986). Teaching science as inquiry. Fastback 246. Bloomington, IN: Phi Delta Kappa Educational Foundation. ED 275 506

Rodriguez, I., & Bethel, L. J. (1983, April). An inquiry approach to science and language teaching. Journal of Research in Science Teaching, 20(4), 291-96.

Rosebery, A. S., et al. (1990, February). Making sense of science in language minority classrooms. Cambridge, MA: Bolt, Baranek, and Newman, Inc. ED 326 059

Rutherford, F. J., & Ahlgren, A. (1990). Science for all Americans. New York: Oxford University Press.

Sarther, C. M. (1991, Winter-Spring). Science curriculum and the BSCS Revisited. Teaching Education, 3(2), 101-08.

Shymansky, J. A., et al. (1990, February). A reassessment of the effects of inquiry-based science curricula of the 60's. Journal of Research in Science Teaching, 27(2), 127-44.

Staver, J. R., & Bay, M. (1987, October). Analysis of the project synthesis goal cluster orientation and inquiry emphasis of elementary science textbooks. Journal of Research in Science Teaching, 24(7), 629-43.

Staver, J. R. (1986, September). The constructivist epistemology of Jean Piaget: Its philosophical roots and relevance to science teaching and learning. Paper presented at the United States-Japan Seminar on Science Education, Honolulu, HI. ED 278 563

Tamir, P. (1985, January-March). Content analysis focusing on inquiry. Journal of Curriculum Studies, 17(1), 87-94.

Taylor, G. (1988, April 1). Hands on science. Paper presented at the Annual Conference of the Council for Exceptional Children, Washington, DC. ED 297 917

Tinnesand, M., & Chan, A. (1987, September). Step 1: Throw out the instructions. Science Teacher, 54(6), 43-45.

U.S. Department of Education, & National Science Foundation. (1992). Statement of Principles (Brochure). Washington, DC: Author.

Wolfe, L. F. (1990). Teaching science to gifted underachievers: A conflict of goals. Canadian Journal of Special Education, 6(1), 88-97.

Proceed with Caution when Integrating Multimedia Learning Tools

Dawson et al. Electronic Journal of Science Education Vol. 7, No. 4, June 2003
Rules of Engagement:
Proceed with Caution when Integrating Multimedia Learning Tools
into Existing Course Formats
by
Mary Elizabeth Dawson,Ph.D.
Steven Skinner, Ed.D., and
Arthur Zeitlin, Ed.D.
Department of Biological Sciences
Kingsborough Community College of The City University of New York,
Brooklyn, New York, 11235
Phone: (718)368-5740
E- mail: mdawson@kbcc.cuny.edu
INTRODUCTION
Research indicates that humans have the capability to integrate information from
different sensory modalities into a single meaningful experience- such as the way they
associate the sound of thunder with the visual image of lightning in the sky. They can
also integrate information from verbal and iconic sources into a mental model, such as
viewing a video of a process, while listening to a verbal explanation of that process. It
therefore becomes the challenge of a successful instructor to choose between different
modalities to promote meaningful learning (Moreno & Mayer, 2000).
It has been shown that working memory includes independent auditory and visual
working memories (Baddeley, 1986). Furthermore, humans have separate systems for
representing verbal and non- verbal information (Paivio, 1986). Finally, meaningful
learning occurs when the learner selects relevant information in each memory system,
organizes this information, and makes connections between the information in each
Dawson et al. Electronic Journal of Science Education Vol. 7, No. 4, June 2003
system (Mayer, 1997; Moreno & Mayer, 2000). Based on these data, will combining
visual and auditory modalities enhance student learning outcomes? Is an effective
learning experience one which provides a multimedia approach? Do students learn better
when they are presented with traditional laboratory materials in a format which combines
a computer enhanced laboratory exercise for visual input, in addition to the traditional
hands-on human anatomy and physiology laboratory approach?
In an attempt to address these questions, we conducted a study which compared
the learning outcomes of students who had a traditional human anatomy and physiology
laboratory experience with those who had, in addition to the traditional approach, free
and guided access to a comprehensive human anatomy program, known as A.D.A.M.
Briefly, A.D.A.M. is a software tool that utilizes illustrations, x-rays and other images,
coupled with on-screen text. Traditionally, human anatomy and physiology laboratories
are conducted with some combination of hands-on lab experiences, usually a dissection
and the use of slides and models, in conjunction with some lecture component. In the
current study, for one cohort we integrated instruction in and laboratory use of a
multimedia instructional tool, software known as A.D.A.M,
while the other group simply utilized the existing laboratory exercises.
MATERIALS AND METHODS
Students were randomly selected from a double lecture section of the first
semester of a two semester, 4 credit, six hour Human Anatomy and Physiology integrated
course. Briefly, the students had the same lecture experience in terms of dates, time of
lecture and lecture instructor. One half of the class attended lecture on Monday, from
8:00 – 11:20 am, while the other section attended lab for the same time period on
Wednesday.
Students from the Monday lab section (M) and the Wednesday lab section (W)
had the same instructor for both the lecture and the laboratory components of the course.
Dawson et al. Electronic Journal of Science Education Vol. 7, No. 4, June 2003
Additionally, labs were conducted in the same format. Basically, the students were
introduced to a topic, and then completed a lab exercise using either a model, a
dissection, a histological sample, or some combination of the three. Lab quizzes and
reports followed the same format for each group. Briefly, laboratory assessments
consisted of a minimum of 20 practical items, either on histological or wet preserved
specimens, as well as 10 short essay type questions.
In addition to the previously mentioned modalities, the Wednesday lab was given
formal instruction in the use of the A.D.A.M. software. Moreover, the instructor
provided a guided exercise each week that employed the software, and the students were
allowed free access to the software during laboratory session. We then compared the
overall performance of each group, as well as their laboratory and lecture grades.
RESULTS
A standard arithmetic mean was calculated for both the Monday and Wednesday
lab sections. Separate means were generated for overall course grade (50% lecture +
50% lab), as well as for the laboratory component, and the lecture component alone.
A two-tailed Student’s t-test was performed to compare the means for each group,
and the results are as follows.
· Lecture averages for the two groups were 80.28 for the group that was using the
ADAM software (W,n=18), and 80.44 for those who were not (M,n=17), were not
significantly different (t(2,33)= 1.67, p>0.01).
· Laboratory averages, 85.35 for the ADAM group (W,n=18), and 92.29 for the
traditional group (M, n=17), were significantly different t(2,33)=3.62, p<0.01).
· Overall course averages for the ADAM group (W, n=18) for the traditional group
(M, n=17), 82.83 and 86.36, respectively, were not significant. t(2,33)= 1.55, p>0.01).
Dawson et al. Electronic Journal of Science Education Vol. 7, No. 4, June 2003
TABLE 1.
GROUP
LECTURE
AVERAGE
LABORATORY
AVERAGE
OVERALL
AVERAGE
A.D.A.M. 80.28 85.35* 82.83
Traditional 80.44 92.29* 86.36
* denotes statistically significance
DISCUSSION
We attempted to address the question of whether students would benefit from
multiple modality learning. It was hoped that student outcomes would be enhanced if
multimedia approaches to learning were introduced into a human anatomy and
physiology laboratory course. Much to our surprise, the results were actually the
opposite of what we expected.
The group which did not receive any enhanced instruction performed significantly
better on assessment outcomes. While these data are contrary to the expected results,
there are several logical explanations for these observations. One possibility is that the
format in which the narration for the A.D.A.M. visual information was presented was
inadequate to produce the expected outcome. Briefly, A.D.A.M. uses on-screen text to
describe and define an illustration. It has been suggested that depicting an illustration or
animation with a verbal narration is more effective than providing the same explanation
as on-screen text (Mayer & Moreno, 1998). Described as the split-attention principle, it
appears that students are better able to build referential connections between material
when there is corresponding pictorial and verbal representations, since these two
representations are in working memory at the same time (Mayer & Moreno, 1998). Since
the lab instructor did not provide verbal narration of the A.D.A.M. software, but instead
relied on the program’s inherent on-screen text, the student’s were not utilizing echoic
and iconic working memory simultaneously. Perhaps reworking the course to include a
Dawson et al. Electronic Journal of Science Education Vol. 7, No. 4, June 2003
spoken narrative of the A.D.A.M. software might positively influence student outcomes
for the A.D.A.M. cohort.
A simpler explanation would be that introducing a new component to the lab
portion of the course, without changing the existing time period for the lesson, may have
detracted from the time students spent engaging in more traditional laboratory learning
modalities, such as dissection and model manipulation. Furthermore, assessment tools,
such as practicals and quizzes were not altered to reflect the introduction of a new
instructional modality. Therefore, it is highly likely that the existing exam formats were
ineffective at assessing student outcomes when presented with a novel learning modality.
Finally, one possible explanation is that students simply felt overwhelmed with the
addition of the new modality since it required them to learn how to use the new software
while integrating it into their lab studies.
Future experiments need to address these issues. It will be interesting to assess if
students in the software enhanced group will learn better if the corresponding verbal
information is presented auditorially as speech, as opposed to visually as on-screen text
(Mayer & Moreno, 1998). Furthermore, if the students are familiarized with the software
prior to its utilization in a course setting, prior experience may enable students to employ
it more effectively as a way to enhance learning.
In conclusion, the introduction of multimedia tools as a way to enhance student
outcomes can be a valuable educational tool. However, instructors should carefully
assess the modality and its presentation format before fully integrating it into an existing
pedagogical format.
Acknowledgment
This work was made possible by a grant from the A.D.A.M. corporation awarded to
Arthur N. Zeitlin.
Dawson et al. Electronic Journal of Science Education Vol. 7, No. 4, June 2003
REFERENCES
Baddeley, A.D. 1986. Working Memory. Oxford, England: Oxford University Press.
Bogelin, J.A., Campbell, K. And Picard, J. 1999. Alternative teaching and learning
strategies: Lessons froman introductory psychology course. Interactive Multimedia
Electronic Journal of Computer-Enhanced Learning, 2(06).
Chandler, P. and Sweller, J. 1992. The split-attention effect as a factor in design of
instruction. British Journal of Educational Psychology, 62, 244-246.
Mayer, R.E. 1997. Multimedia learning: Are we asking the right questions? Educational
Psychologist, 32, 1-19.
Mayer, R.E. and Anderson, R.B. 1992. The instructive animation: Helping students build
connections between words and pictures in multimedia learning. Journal of
Educational Psychology, 84, 444-452.
Mayer, R.E. and Moreno, R. 1998. A split-attnetion effect in multimedia learning:
Evidence for dual processing systems in working memory. Journal of Educational
Psychology, 90, 312-320.
Moreno, R. and Mayer, R.E. 2000. A coherence effect in multimedia learning: The case for
minimizing irrelevant sounds in the design of multimedia instruc tional messages.
Journal of Educational Psychology, 97, 117-125.
Moreno, R. and Mayer, R.E. 1999. Cognitive principles of multimedia learning: The role of
modality and contiguity. Journal of Educational Psychology, 91, 358-368.
Mousavi, S.Y.m Low, R. and Sweller, J. 1995. Reducing cognitive load by mixing auditory
and visual presentation loads. Journal of Educational Psychology, 87, 319-334.
Paivio, A. 1986. Mental Representation: A dual coding approach. Oxford England:
Oxford University Press.
Sweller, J., Chandler, P. 1994. Why some material is difficult to learn. Cognition and
Instruction, 12, 185-233.
Dawson et al. Electronic Journal of Science Education Vol. 7, No. 4, June 2003
About the Authors…
Mary Elizabeth Dawson is an Assistant Professor in the Department of Biological
Sciences at Kingsborough Community College of The City University of New York
(CUNY) in Brooklyn, NY.
Steven Skinner is an Associate Professor in the Department of Biological Sciences at
Kingsborough Community College of The City University of New York (CUNY) in
Brooklyn, NY.
Arthur Zeitlin is Professor and Chairperson of the Department of Biological Sciences
at Kingsborough Community College of The City University of New York (CUNY) in
Brooklyn, NY.

Aspek Aerofisiologi dalam Penerbangan

background image
Artikel
Aspek Aerofisiologi dalam Penerbangan
Dr. H. Sukotjo Danusastro, DSKP, MBA
Perkespra Pusat, Jakarta
ABSTRAK
Manusia diciptakan Tuhan untuk hidup di darat dan semua organ tubuh dapat bekerja
dan berfungsi dengan baik dalam kondisi lingkungan darat yang mengelilinginya. Akan
tetapi manusia sejak zaman dahulu ingin terbang seperti burung dan akhirnya berhasil
terbang dengan balon pada abad ke-18.
Sejak abad tersebut dunia penerbangan berkembang sangat pesat baik jarak tempuh,
kecepatan, ketinggian dan daya angkat maupun kegiatannya. Keberhasilan ini telah dapat
meningkatkan kesejahteraan umat manusia, namun bukannya tanpa risiko karena manusia
memang tidak terbiasa tinggal di ketinggian.
Untuk menghadapi hal tersebut maka Ilmu Kesehatan harus mengembangkan diri
untuk mempelajari bahaya-bahaya penerbangan bagi tubuh manusia dan cara-cara pe-
nanggulangannya. Maka lahirlah Ilmu Kesehatan Penerbangan sebagai salah satu cabang
Ilmu Kesehatan, yang dilandasi oleh Fisiologi Penerbangan atau Aerofisiologi.
Faktor-faktor ketinggian yang mempengaruhi faal tubuh manusia adalah menurun-
nya tekanan udara, tekanan parsiil oksigen, suhu udara dan gaya berat dan lain-lain. Di
samping itu manouvre penerbangan dapat mengganggu faal tubuh seperti faal sistem
kardio-vaskuler, sistem pernapasan, penglihatan, keseimbangan, pendengaran dan lain-
lain.
Karena itu mempelajari aspek aerofisiologi dalam penerbangan adalah penting agar
kita dapat mencegah dan mengatasi pengaruh buruk penerbangan. Dengan demikian kita
dapat memanfaatkan udara bagi penerbangan dengan selamat, nyaman, aman dan cepat.
PENDAHULUAN
Umum
Manusia diciptakan Tuhan untuk hidup di darat. Sebagai
makhluk daratan manusia telah terbiasa dan menyesuaikan diri
untuk hidup di lingkungan daratan atau pada
,
atmosfer yang
paling rendah. Namun sejak zaman dahulu manusia ingin terbang
seperti burung, suatu hal di luar kebiasaannya. Setelah melalui
Makalah ini telah dibacakan pada: Seminar Kesehatan Penerbangan, Surakarta
30 Oktober 1993.
perjuangan tanpa kenal lelah dan gigih akhirnyapada abad ke-18
manusia dapat terbang dengan balon, diikuti dengan keberha-
silan terbang dengan pesawat terbang. Bahkan sekarang manusia
telah berhasil mengarungi ruang angkasa luar.
Dewasa ini banyak orang-orang yang memilih profesinya
dalam penerbangan, yang berbeda dengan kebiasaan hidupnya di
darat. Hal ini tentu saja akan membawa konsekuensi atau risiko-
background image
risiko yang harus dihadapinya. Namun demikian merekapun
menginginkan keamanan dalam menjalankan tugasnya ini, se-
hingga Ilmu Kesehatan harus membuka cabangnya untuk mem-
pelajari bahaya-bahaya penerbangan. Hal ini menyebabkan
lahirnya Ilmu Kesehatan Penerbangan, yang dilandasi oleh
Fisiologi Penerbangan atau Aerofisiologi.
Ilmu Kesehatan Penerbangan atau Aviation Medicine akhir-
akhir ini berkembang menjadi Ilnpu Kesehatan Penerbangan dan
Ruang Angkasa atau Aerospace Medicine, karena perkembang-
an teknologi penerbangan yang memungkinkan menerbangkan
orang ke ruang angkasa.
SEJARAH ILMU KESEHATAN PENERBANGAN
Pada abad ke 13 dua saudara Montgolfier berhasil membuat
balon yang dapat terbang dengan membawa muatan. Balon yang
pertama ini diterbangkan di Versaille, Perancis, tanggal 19 Sep-
tember 1963 dengan muatan ayam, bebek dan kambing dan dapat
mencapai ketinggian 1.500 kaki. Sebulan kemudian diadakan
penerbangan balon lagi yang membawa penumpang manusia,
yaitu Pilatre de Rozier, seorang apoteker, dan Marquis di Arlan-
des. Percobaan ini berhasil dengan selamat.
Pada tanggal 23 November 1784, seorang dokter Amerika
John Jeffries tertarik akan penerbangan dan ingin mengetahui
susunan dan sifat atmosfer bagian atas. Ia melakukan penerbang-
an dengan balon, dengan membawa termometer, hydrometer,
barometer dan elektrometer, sampai ketinggian 9.250 kaki. Da-
lam penerbangan ini ia mencatat adanya perubahan suhu di ke-
tinggian dari + 51°F menjadi 28,5°F,, sedangkan tekanan udara
menurun dari 30 inci Hg menjadi 21,25 inci Hg.
Pada tahun 1862, Claisher dan Coxwell terbang dengan
balon sampai setinggi 29.000 kaki dengan tujuan yang sama. Di
samping itu mereka melakukan observasi pada dirinya sendiri.
untuk mengetahui perubahan-perubahan apa yang akan terjadi
pada ketinggian. Selama terbang, Clasher mengalami gejala-
gejala aneh pada tubuhnya, yaitu tajam penglihatan dan pen-
dengaran menurun, kedua belah anggota badan menjadi lumpuh
dan akhirnya jatuh pingsan. Coxwell juga mengalami kejadian
yang serupa, hanya sebelum pingsan berusaha menarik tali peng-
ikat katup balon guna menurunkan balonnya. Usaha ini hampir
gaga!, karena kedua tangannya tidak dapat digerakkan lagi, se-
hingga dia menarik tali tadi dengan menggigitnya. Dari peng-
alaman kedua orang ini dapat diambil kesimpulan bahwa terbang
tinggi dapat membahayakan jiwa manusia.
Paul Bert, seorang ahli ilmu faal Perancis, sangat tertarik
dengan kejadian tadi dan pada tahun 1874 mengadakan per-
cobaan dengan menggunakan kabin bertekanan rendah untuk
melihat perubahan apa yang dapat terjadi pada ketinggian atau
tempat yang tekanan udaranya kecil. Dari salah satu basil per-
cobaan-percobaannya didapatkan adanya hipoksia atau keku-
rangan oksigen pada ketinggian yang dapat diatasi dengan pem-
berian oksigen pada penerbangan. Hasil penelitian Paul Bert ini
dipraktekkan oleh Sivel dan Groce Spinelli, yang terbang sampai
18.000 kaki dengan menggunakan kantong oksigen tanpa meng-
alami gangguan.
Pada tahun 1875, Sivel dan Groce-Spinelli melakukan pe-
nerbangan lagi bersama Tissander, yang juga menggunakan kan-
tong oksigen dengan kadar 72%. Penerbangan mereka ini men-
capai ketinggian 28.000 kaki dan berakhir dengan kematian
Sivel dan Groce-Spinelli karena hipoksia sedang Tissander hanya
pingsan saja. Tissander membuat catatan yang sangat lengkap
tentang perubahan-perubahan yang terjadi dalam penerbangan
ini. Dari catatan ini dapat disimpulkan bahwa ada gejala euphoria
sebelum hipoksia dan oksigen tidak mencukupi untuk pener-
bangan tinggi.
Dengan munculnya pesawat terbang, bertambahlah kesu-
karan dan bahaya penerbangan yang dapat mengancam jiwa
penerbang. Pada waktu pesawat udara masih sederhana, yang
tinggi terbangnya belum besar dan kecepatannya masih rendah,
telah banyak kecelakaan-kecelakaan yang terjadi; sebagian besar
ternyata disebabkan oleh kurang mampunya tubuh penerbang
menghadapi perubahan-perubahan atau bahaya-bahaya yang
timbul pada penerbangan. Hal ini terbukti pada penelitian-pene-
litian yang dilakukan pada perang dunia pertama; kira-kira 90%
kecelakaan udara disebabkan karena penerbang tidak atau ku-
rang tahan uji terhadap bahaya penerbangan.
Sejak Perang Dunia ke I selesai Ilmu Kesehatan Penerbang-
an mendapat tempat yang layak dalam dunia kesehatan, sehingga
perkembangannya makin pesat. Sedang pada akhir-akhir ini
dengan kemajuan teknologi penerbangan, Ilmu, Kesehatan Pe-
nerbangan berkembang dan bahkan sekarang telah menjadi Ilmu
Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa.
RUANG LINGKUP DAN SISTEMATIKA
Ruang lingkup naskah ini meliputi fisiologi penerbangan
atau Aerofisiologi yang mendasari Ilmu Kesehatan Penerbangan
dan kelainan-kelainan yang timbul dalam tubuh manusia akibat
penerbangan, dan disusun dengan sistematika sebagai berikut :
1.
Pendahuluan
2.
Atmosfer
3.
Pengaruh ketinggian pada faal tubuh
4.
Pengaruh percepatan dan kecepatan terhadap tubuh
5.
Pengaruh penerbangan pada alat keseimbangan
6.
Pengaruh penerbangan pada alat penglihatan
7.
Penutup
ATMOSFER
Pengertian
Atmosfer adalah selubung gas atau campuran gas-gas, yang
menyelimuti bumi. Campuran gas-gas ini disebut udara. Di atas
atmosfer disebut ruang angkasa. Ruang angkasa adalah ruang
dimana tidak ada lagi udara, bila masih ada udara atau gas maka
daerah itu masih atmosfer, karena molekul gas yang sangat
ringan dapat terlepas dari gaya tarik bumi dan beredar ke ruang
angkasa. Oleh karena itu dibuat perjanjian tentang batas antara
atmosfer dan ruang angkasa. Batas ini di Rusia, menurut A.A.
Lavikov adalah 3.000 km, sedang di Amerika, menurut Arm-
strong adalah 6.000 mil.
Susunan Atmosfer
Susunan atmosfer pada zaman dahulu berbeda dengan su-
background image
sunan atmosfer pada zaman sekarang. Susunan atmosfer pada
zaman dahulu, yaitu pada saat pembentukan atmosfer, terdiri dari
gas-gas Hidrogen, Amoniak, Methan, Helium dan uap air dan
disebut protoatmosfer. Dengan berbagai perubahan terjadilah
atmosfer seperti sekarang ini, yang disebut neoatmosfer dan
selanjutnya kita sebut atmosfer. Gas-gas pada neoatmosfer ter-
diri dari : Nitrogen dengan prosentase 70,09%, Oksigen dengan
prosentase 20,95%, Argon 0,93%, Karbon Dioksida 0,03% dan
sisanya terdiri dari gas-gas yang sangat kecil jumlahnya, yaitu
Helium, Neon, Hidrogen dan Xenon.
Pembagian Atmosfer Berdasar Sifat-sifatnya
Berdasarkan sifat-sifatnya atmosfer dapat dibagi menjadi 4
(empat) lapisan, yaitu :
1)
Lapisan Troposfer
Lapisan ini merupakan lapisan yang paling tipis dan terletak
dari permukaan bumi sampai ke ketinggian 10­12 km.
Sifat-sifat troposfer pada umumnya adalah: suhu berubah-
ubah, makin tinggi suhu makin rendah, arah dan kecepatan
angin berubah-ubah, ada uap air dan hujan, serta ada turbulensi.
Oleh karena sifat troposfer yang sering berubah-ubah ini, maka
sebenarnya tempat ini kurang ideal untuk penerbangan; tetapi
pada kenyataannya banyak penerbangan dilakukan di lapisan ini,
sehingga kemungkinan bahaya penerbangan menjadi lebih besar.
2)
Lapisan Stratosfer
Lapisan stratosfer terbentang di atas lapisan troposfer sam-
pai ke ketinggian 50­80 km. Kedua lapisan ini dipisahkan oleh
lapisan tropopause.
Sifat-sifat stratosfer ialah: suhu tetap walaupun ketinggian
berubah yaitu ­55°C, tidak ada uap air dan turbulensi. Oleh
karena sifat-sifat stratosfer lebih stabil dibandingkan dengan
troposfer, maka stratosfer ini sebenarnya adalah tempat yang
ideal untuk kegiatan penerbangan.
3)
Lapisan lonosfer
Lapisan ionosfer terbentang dari atas stratosfer sampai ke
ketinggian antara 600-1.000 km. Pada lapisan ini udara sangat
renggang dan terjadi reaksi fotokhemis dan fotoelelektris, se-
hingga atom-atom dan molekul-molekul gas ada yang menerima
muatan listrik, menjadi ion-ion. Oleh karena pembentukan ion-
ion inilah maka terjadi panas yang tinggi sehingga suhu udara di
sini sampai 2.000°C.
4)
Lapisan Eksosfer
Lapisan Eksosfer adalah lapisan atmosfer yang paling atas,
di sini gas-gas tidak kontinu lagi hubungan molekulnya; atom-
atom dan molekul-molekulgas membentuk pulau-pulau udara
yang satu sama lain dipisahkan oleh ruang hampa. Oleh karena
sifat inilah maka lapisan ini dibedakan dengan ketiga lapisan di
atas.
Ketiga lapisan atmosfer yang berada di bawah eksosfer
disebut pula atmosfer, sedang eksosfer disebut outer atmosfer
(Tabel 1).
Pembagian Atmosfer Berdasarkan Ilmu Faal
Atmosfer juga dapat dibagi dalam 3 (tiga) daerah berdasar-
'kan ilmu faal, yaitu :
Tabel 1. Skema Pembagian Atmosfer
Atmospheres
Spheres
Layers
Aproximate Height (mis)
Space
Outer
Inner
Exosphere
Ionosphere
Stratosphere
Troposphere
Atomic
F (F­1 + F­2)
E
F
Upper Mixing
Warm
Isothermal
Advertion
Ground
Bottom
Above 1.200
600 to 1.200
250 to 600
95 to 250
60 to 95
30 to 60
30 to 50
15 to 30
8 to 15
1.2 to 8
6 ft to 1.2 miles
0 to 6 ft
1)
Physiological Zone
Daerah ini terbentang dari permukaan bumi sampai ke
ketinggian 10.000 kaki. Di daerah ini orang praktis tidak meng-
alami perubahan faal tubuhnya, kecuali daya adaptasi gelapnya
saja yang memanjang bila berada pada ketinggian lebih dari
5.000 kaki.
2)
Physiological Defficient
Di daerah ini orang akan mengalami kekurangan fisiologi
atau mengalami kelainan faal tubuh berupa hipoksia, tetapi
masih dapat ditolong dengan pemberian oksigen saja. Daerah
ini terbentang dari ketinggian 10.000 kaki sampai 50.000 kaki.
3)
Space equivalent zone
Atmosfer di atas 50.000 kaki dinamakan space equivalent
zone, karena di sini orang akan mengalami hipoksia berat dan
canapertolongan atau perlindungan sama seperti di ruang angkasa.
OZONOSFER
Di samping lapisan-lapisan atmosfer di atas, kita mengenal
suatu lapisan dalam atmosfer yang disebut ozonosfer karena
mengandung banyak gas ozone. Lapisan ini terbentang antara
ketinggian 12 km sampai 70 km dan yang terbanyak ozonenya
berada pada ketinggian antara 45 km sampai 55 km. Ada pen-
dapat yang mengatakan bahwa ozonosfer adalah payung bumi
terhadap sinar ultra violet.
Tekanan Atmosfer
Seperti benda-benda lain, gas juga mempunyai berat. Berat
1 meter kubik udara pada permukaan laut dengan tekanan 760
mmHg dan suhu 0°C adalah 1.293 gram. Oleh kanena berat udara
inilah maka tiap permukaan atau bidang di dalam atmosfer me-
nerima teknan, yang besarnya sesuai dengan berat udara yang
ada di atasnya. Tekanan inilah yang disebut tekanan atmosfer
atau tekanan barometer bila diukur untuk tiap sentimeter persegi.
Padapermukaan laut tekanan ini besarnyasama dengan 1,033 kg/
cm
2
. Telah dilakukan pengukuran tekanan atmosfer ini pada
garis lintang 45° pada permukaan laut dan suhu 0°C pada luas
permukaan 1 cm
2
. Hasilnya sama dengan tekanan satu kolom air
raksa setinggi 760 milimeter dengan penampang dan suhu yang
sama. Oleh kanena itu 760 mmHg ini disebut 1 atmosfer. Satu
atmosfer juga sering dinyatakan dengan 14,7 PSI (pound per
Square Inch). Tekanan satu atmosfer ini juga sering digunakan
background image
untuk menyatakan tekanan pada permukaan laut. Makin tinggi
makin kurang tekanan udaranya, karena jumlah udara yang
berada di atasnya makin kurang pula. Jadi tekanan barometer
mengecil bila ketinggian bertambah (Tabel 2).
Tabel 2. Tekanan Barometer pads Ketinggian
Tinggi (Km)
0 16 32 48
64
80
Tekanan (Atm)
1 0,1 0,01 0,00 0,0001 0,00001
Tekanan Parsiil Gas
Gas-gas yang menyusun udara mempunyai berat sendiri,
sehingga mempunyai tekanan masing-masing pula. Tekanan
tiap-tiap gas ini disebut tekanan parsiil gas itu. Jadi tekanan
barometer adalah jumlah tekanan parsiil gas-gas yang berada di
udara. Cara menghitung tekanan parsiil gas :
P x B
P = ­­­­
100
P = Tekanan parsiil suatu gas
C = Prosentase gas tersebut
B = Tekanan barometer
Oksigen adalah unsur terpenting untuk kehidupan manusia.
Prosentase oksigen dalam udara sampai ke ketinggian 110 km
adalah tetap, yaitu sekitar 21%. Maka mudahlah bagi kita untuk
menghitung tekanan parsiil oksigen dalam udara pada beberapa
ketinggian. Misalnya : pada permukaan laut P0
2
= 159 mmHg,
pada ketinggian 6 km PO
2
= 74 mmHg. Tekanan parsiil oksigen
ini penting diketahui untuk menjelaskan masalah hipoksia.
Atmosfer Standar
Karena sifat-sifat atmosfer sering berubah-ubah, terutama
bagian bawah, maka perlu diadakan suatu perjanjian mengenai
sifat-sifat atmosfer yang tetap pada tiap ketinggian. Ketentuan-
ketentuan ini merupakan suatu daftar dan disebut susunan
atmosfer standard. Tabel 3 merupakan susunan atmosfer stan-
dard yang digunakan di Amerika.
Tabel 3. USA Standard Atmosphere
Ketinggian (kaki)
Tekanan (mmHg) Temperatur
(°C)
0 760,0 15,0
2.000 706,0 11,0
4.000 656,3 7,1
6.000 609,3 3,1
8.000 564,4
­
0,8
10.000 522,6 4,8
12.000 483,3
­
8,9
14.000 446,4
­
12,7
16.000 411,8
­
16,7
18.000 379,4
­
20,7
20.000 349,1
­
24,6
22.000 370,8
­
28,6
24.000 294,4
­
32,5
26.000 269,8
­
36,5
28.000 246,9
­
40,5
30.000 225,6
­
44,4
32.000 205,8
­
48,4
34.000 187,4
­
52,4
35.000 175,9
­
55,0
36.000 170,4
­
55,0
38.000 154,9
­
55,0
40.000 140,7 - 55,0
42.000 127,9 ­
55,0
44.000 116,3 ­
55,0
46.000 105,7 ­
55,0
48.000 96,05 ­
55,0
50.000 87,30 ­
55,0
52.000 79,34 ­
55,0
54.000 72,12 ­
55,0
56.000 65,55 ­
55,0
58.000 59,58 ­
55,0
60.000 54,15 ­
55,0
Suhu Atmosfer
Semakin tinggi kita naik semakin rendah temperatumya.
Pada lapisan atmosfer bagian bawah, berlaku suatu ketentuan,
bahwa suhu akan menurun 2°C setiap kita naik 300 m ke atas
atmosfer. Pada lapisan stratosfer suhu telah menjadi sekitar
­55°C.
Pada lapisan ionosfer terjadi reaksi pembentukan ion, se-
hingga suhu pada lapisan ini naik menjadi 2.000°C.
Jelas bahwa pada penerbangan tinggi dengan menggunakan
pesawat yang ada pada dewasa ini, yang terpenting adalah
problem penurunan suhu sehingga perlu dilengkapi dengan alat
pemanas.
Radiasi
Radiasi di atas atmosfer berasal dari matahari atau dari
planet-planet lain. Radiasi ini berupa gelombang-gelombang
elektromagnetik. Bumi kita diselubungi oleh suatu atmosfer
yang dapat menahan atau mengabsorbsi sinar-sinar radiasi ter-
sebut, sehingga sampai di permukaan bumi tidak lagi memba-
hayakan. Lapisan ozon mempunyai daya untuk mengabsorbsi
sinar ultra violet sehingga jumlah kecil saja dari sinar tersebut
yang sampai di permukaan bumi; di samping itu atmosfer juga
memantulkan kembali radiasi dari beberapa gelombang elektro-
magnetik.
Jadi intensitas radiasi akan makin meningkat bila kita naik
ke atas atmosfer, sedangkan radiasi yang intensitasnya tinggi
membayakan tubuh manusia.
Magnit Bumi dan Sabuk Radiasi
Bumi memiliki magnit yang kutub-kutubnya berada di utara
dan selatan. Akibat adanya magnit bumi ini, maka radiasi yang
berbentuk partikel bermuatan listrik akan bergerak mengikuti
garis medan magnit, sehingga terbentuklah daerah yang intensi-
tas radiasinya sangat tinggi. Dr. James A Van Allen menemukan
sabuk radiasi yang intensitasnya sangat tinggi ini yang terkenal
dengan nama Van Allen Belt. Intensitas radiasi ini demikian
besarnya sehingga dapat mematikan manusia yang berada di
tempat tersebut. Van Allen Belt ini mengganggu gelombang
radio yang dipakai untuk komunikasi ke planit lain.
Sabuk radiasi ini dibagi dalam dua bagian, yaitu inner belt
dan outer belt. Di belahan bumi bagian barat, batas bawahnya
antara 500 ­ 600 km, sedang di belahan bumi sebelah timur batas
bawahnya pada ketinggian 1.600 km. Batas luar sabuk ini antara
7.000 km ­ 10.000 km.
Di atas daerah kutub bumi didapatkan daerah yang bebas
dari sabuk radiasi ini. Oleh karenanya penerbangan ruang ang-
kasa akan lebih aman bila keluar dari atmosfer bumi melalui
background image
daerah kutub.
Hukum Gas
Hukum gas berguna untuk menjelaskan gangguan fisiologi
pada penerbangan. Hukum gas yang penting adalah :
1)
Hukum Difusi Gas
Hukum difusi gas ini penting untuk menjelaskan pernapas-
an, baik pernapasan luar maupun dalam. Hukum ini mengatakan
bahwa gas akan berdifusi dari tempat yang bertekanan parsiilnya
tinggi menuju ke tempat yang tekanan parsiilnya rendah. Sedang
kecepatan berdifusi ini ditentukan oleh besarnya selisih tekanan
parsiil tersebut dan tebalnya dinding pemisah.
2)
Hukum Boyle
Hukum ini penting untuk menjelaskan masalah penyakit
dekompresi. Hukum Boyle ini mengatakan bahwa apabila vo-
lume suatu gas tersebut berbanding terbalik dengan tekanannya.
P.V
=
C
P
=
Pressure atau tekanan
V = Volume atau isi
C = Constant atau tetap
3)
Hukum Dalton
Hukum ini penting untuk menghitung tekanan parsiil gas
dalam suatu campuran gas, misalnya menghitung tekanan parsiil
oksigen dalam udara pernapasan pada beberapa ketinggian guna
menjelaskan masalah hipoksia. Hukum ini mengatakan bahwa
tekanan total suatu campuran gas sama dengan jumlah tekanan
parsiil gas-gas penyusun campuran tersebut.
pt = P1 + P2 + ........ + Pn
Pt = Tekanan total campuran gas
P1, P2 dan seterusnya adalah tekanan parsiil masing-masing gas.
4)
Hukum Henry
Hukum ini penting untuk menjelaskan penyakit dekom-
presi, seperti bends, chokes, dan sebagainya yang dasarnya
adalah penguapan gas yang larut.
Hukum ini mengatakan bahwa jumlah gas yang larut dalam
suatu cairan tertentu berbanding lurus dengan tekanan parsiil gas
tersebut pada permukaan cairan itu.
Al x P2 = A2 x P2
A = jumlah gas yang larut
P = Tekanan parsiil gas pada permukaan cairan.
5)
Hukum Charles
Hukum ini penting untuk menjelaskan tentang turunnya
tekanan oksigen atau berkurangnya persediaan oksigen bila isi
tetap, maka tekanan gas tersebut berbanding lurus dengan suhu
absolutnya. Jadi bila kita membawa oksigen dalam botol pada
penerbangan tinggi, suhunya akan lebih rendah, maka tekanan
gas tersebut akan menurun pula. Atau dengan kata lain persediaan
oksigen akan berkurang.
Bila isi tetap :
P1 : P2 = T1 : T2
P1 = Tekanan semula
P2 = Tekanan yang baru
T1 = Suhu absolut mula-mula
T2 = Suhu absolut kemudian
PENGARUH KETINGGIAN PADA FAAL TUBUH
Umum
Ada empat perubahan sifat atmosfer pada ketinggian yang
dapat merugikan faal tubuh khususnya dan kesehatan pada
umumnya, yaitu :
1)
Perubahan atau mengecilnya tekanan parsiil oksigen di
udara. Hal ini dapat mengganggu faal tubuh dan menyebabkan
hipoksia.
2)
Perubahan atau mengecilnya tekanan atmosfer. Hal ini
dapat menyebabkan sindrom dysbarism.
3)
Berubahnya suhu atmosfer.
4)
Meningkatnya radiasi, baik dari matahari (solar radiation)
maupun dari kosmos lain (cosmic radiation).
Dari keempat perubahan ini yang akan dibahas adalah
masalah hipoksia dan dysbarism. Masalah pengaruh perubahan
suhu hanya dibahas secara umum karena akan lebih banyak
dibahas pada masalah survival dan masalah bail out. Sedang
masalah radiasi tidak dibahas di sini, karena pengaruhnya pada
penerbangan biasa kurang berarti dan hanya penting dibicarakan
bila kita membahas masalah penerbangan ruang angkasa.
Hipoksia
Pengertian :
Hipoksia adalah keadaan tubuh kekurangan oksigen untuk
menjamin keperluan hidupnya. Dengan menipisnya udara pada
ketinggian, maka tekanan parsiil oksigen dalam udara menurun
atau mengecil. Mengecilnya tekanan parsiil oksigen dalam udara
pernapasan akan berakibat terjadinya hipoksia.
Sifat-sifat hipoksia :
1)
Tidak terasa datangnya, sehingga orang awam tidak tahu
bahwa bahaya hipoksia ini telah menyerangnya.
2)
Tidak memberikan rasa sakit pada seseorang, bahkan sering
memberikan rasa gembira (euphoria) pada permulaan serangan-
nya, kemudian timbul gejala-gejala lain yang lebih berat sampai
pingsan dan bila dibiarkan dapat menyebabkan kematian.
Macam hipoksia
Menurut sebabnya hipoksia ini dibagi menjadi 4 macam,
yaitu .
1)
Hypoxic-Hypoxia, yaitu hipoksia yang terjadi karena me-
nurunnya tekanan parsiil oksigen dalam paru-paru atau karena
terlalu tebalnya dinding paru-paru. Hypoxic-Hypoxia inilah yang
sering dijumpai pada penerbangan, karena seperti makin tinggi
terbang makin rendah tekanan barometernya sehingga tekanan
parsiil oksigennyapun akan makin kecil.
2)
Anaemic-Hypoxia, yaitu hipoksia yang disebabkan karena
berkurangnya hemoglobin dalam darah baik kanena jumlah da-
rahnya sendiri yang kurang (perdarahan) maupun karena kadar
Hb dalam darah menurun (anemia).
3)
Stagnant-Hypoxia, yaitu hipoksia yang terjadi karena adanya
bendungan sistem peredaran darah sehingga aliran darah tidak
lancar, maka jumlah oksigen yang diangkut dari paru-paru me-
nuju sel persatuan waktu menjadi kurang. Stagnant hipoksia ini
sering terjadi pada penderita penyakit jantung.
4)
Histotoxic-Hypoxia, yaitu hipoksia yang terjadi karena ada-
nya bahan racun dalam tubuh sehingga mengganggu kelancaran
pemapasan dalam.
background image
Gejala-gejala hipoksia
Gejala yang timbul pada hipoksia sangat individual, sedang
berat ringannya gejala tergantung pada lamanya berada di daerah
itu, cepatnya mencapai ketinggian tersebut, kondisi badan orang
yang menderitanya dan lain sebagainya.
Gejala-gejala ini dapat dikelompokkan dalam dua golongan,
yaitu :
1) Gejala-gejala Obyektif, meliputi :
a)
Air hunger, yaitu rasa ingin menarik napas panjang terus-
menerus
b)
Frekuensi nadi dan pernapasan naik
c)
Gangguan pada cara berpikir dan berkonsentrasi
d)
Gangguan dalam melakukan gerakan koordinatif misalnya
memasukkan paku ke dalam lubang yang sempit
e)
Cyanosis, yaitu warna kulit, kuku dan bibir menjadi biru
f)
Lemas
g)
Kejang-kejang
h)
Pingsan dan sebagainya.
2) Gejala-gejala Subyektif, meliputi :
a)
Malas
b)
Ngantuk
c)
Euphoria yaitu rasa gembira tanpa sebab dan kadang-ka-
dang timbul rasa sok jagoan. Rasa ini yang harus mendapat per-
hatian yang besar pada awak pesawat, karena euphoria ini banyak
membawa korban akibat tidak adanya keseimbangan lagi antara
kemampuan yang mulai mundur dan kemauan yang meningkat.
Pembagian hipoksia berdasarkan ketinggian
Gejala-gejala hipoksia yang timbul ditentukan oleh ke-
tinggian tempat orang tersebut berada. Ketinggian ini dapat
dibagi menjadi 4 golongan yaitu :
1)
The Indifferent Stage, yaitu ketinggian dari sea level sampai
ketinggian 10.000 kaki. Biasanya yang terganggu oleh hipoksia
di daerah ini hanya penglihatan malam dengan daya adaptasi
gelap terganggu. Pada umumnya gangguan ini sudah mulai nyata
pada ketinggian di atas 5.000 kaki; oleh karena itu pada latihan
terbang malam para awak pesawat diharuskan memakai oksigen
sejak di darat.
2)
Compensatory Stage, yaitu ketinggian dari 10.000 sampai
15.000 kaki.
Pada daerah ini sistem peredaran darah dan pernapasan telah
mengadakan perubahan dengan menaikkan frekuensi nadi dan
pernapasan, menaikkan tekanan darah sistolik dan cardiac out-
put untuk mengatasi hipoksia yang terjadi. Pada daerah ini sistem
saraf telah terganggu, oleh karena itu tiap awak pesawat yang
terbang di daerah ini harus menggunakan oksigen.
3)
Disturbance Stage, yaitu ketinggian dari 15.000 kaki sampai
20.000 kaki.
Pada daerah ini usaha tubuh untuk mengatasi hipoksia
sangat terbatas waktunya, jadi pada daerah ini orang tidak akan
dapat lama tanpa bantuan oksigen. Biasanya tanda-tanda serang-
an hipoksia ini tidak terasa hanya kadang-kadang saja timbul rasa
malas, ngantuk, euphoria dan sebagainya, sehingga tahu-tahu
orang tersebut menjadi pingsan.
Gejala-gejala obyektif antara lain pandangan menjadi me-
nyempit (tunnel vision), kepandaian menurun, judgement ter-
ganggu. Oleh karena itu pada daerah ini merupakan keharusan
mutlak seluruh awak pesawat maupun penumpang untuk meng-
gunakan oksigen.
4)
Critical Stage, yaitu daerah dari ketinggian 20.000 kaki
sampai 23.000 kaki.
Pada daerah ini dalam waktu 3 ­ 5 menit saja orang sudah
tidak dapat menggunakan lagi pikiran dan judgement lain tanpa
bantuan oksigen.
Time of Useful Consciousness (TUC)
Adalah waktu yang masih dapat digunakan bila kita men-
derita serangan hipoksia pada tiap ketinggian; di luar waktu itu
kita akan kehilangan kesadaran. Waktu itu berbeda-beda pada
tiap ketinggian, makin tinggi waktu itu makin pendek. TUC ini
juga dipengaruhi oleh kondisi badan dan kerentanan seseorang
terhadap hipoksia. TUC ini perlu diperhatikan oleh para awak
pesawat agar mereka dapat mengetahui berapa waktu yang ter-
sedia baginya bila mendapat serangan hipoksia pada ketinggian
tersebut. Sebagai contoh : TUC pada ketinggian 22.000 kaki =10
menit, 25.000 kaki = 5 menit, 28.000 kaki = 2,5­3 menit, 30.000
kaki = 1,5 menit, 35.000 kaki = 0,5 ­ 1 menit, 40.000 kaki = 15
detik dan 65.000 kaki = 9 detik.
Pengobatan hipoksia
Pengobatan hipoksia yang paling baik adalah pemberian
oksigen secepat mungkin sebelum terlambat, karena bila terlam-
bat dapat mengakibatkan kelainan (cacat) sampai ke kematian.
Pada penerbangan bila terjadi hipoksia harus segera menggunakan
masker oksigen atau segera turun pada ketinggian yang aman
yaitu di bawah 10,000 kaki.
Pencegahan hipoksia
Pencegahan hipoksia dapat dilakukan dengan beberapa cara
mulai dari penggunaan oksigen yang sesuai dengan ketinggian
tempat kita berada, pernapasan dengan tekanan dan penggunaan
pressure suit, pengawasan yang baik terhadap persediaan oksi-
gen pada penerbangan, pengukuran pressurized cabin, meng-
ikuti ketentuan-ketentuan dalam penerbangan dan sebagainya.
Cara lain untuk pencegahan yaitu latihan mengenal datangnya
bahaya hipoksia agar dapat selalu siap menghadapi bahaya
tersebut.
Dysbarism
Pengertian
Menurut Adler yang dimaksud dengan dysbarism adalah
semua kelainan yang terjadi akibat berubahnya tekanan sekitar
tubuh, kecuali hipoksia. Banyak istilah yang telah digunakan
orang untuk memberi nama sindrom ini seperti penyakit dekom-
presi, aeroembolisme, aeroemphysema dan sebagainya. Tetapi
istilah dysbarism lebih tepat karena istilah-istilah tidak men-
cakup keseluruhan pengertian atau seluruh kejadian.
Di samping hipoksia masalah dysbarism juga termasuk
masalah yang penting dalam ilmu faal penerbangan. Dysbarism
ini telah sejak abad ke XVII dibicarakan orang dan sampai se-
karangpun masih ramai didiskusikan karena etiologinya atau
patofisiologinya belum dapat dijelaskan secara sempuma. Ba-
nyak teori yang timbul tetapi selalu saja ada kelemahannya.
Pembagian dysbarism
background image
Dysbarism dibagi menjadi dua golongan, yaitu :
1)
Sebagai akibat pengembangan gas-gas dalam rongga tubuh.
Golongan ini sering juga disebut : pengaruh mekanis pengem-
bangan gas-gas dalam rongga tubuh atau pengaruh mekanis
akibat perubahan tekanan sekitar tubuh.
2)
Sebagai akibat penguapan gas-gas yang terlarut dalam tu-
buh. Kelompok ini kadang-kadang jul;a disebut penyakit dekom-
presi, sehingga kadang-kadang mengaburkan pengertian penya-
kit dekompresi yang digunakan orang untuk istilah pengganti
dysbarism.
Pengaruh Mekanis Gas-gas dalam Rongga Tubuh
Berubahnya tekanan udara di luar tubuh akan mengganggu
keseimbangan tekanan antara rongga tubuh yang mengandung
gas dengan udara di luar. Hal ini akan berakibat timbulnya rasa
sakit sampai terjadinya kerusakan organ-organ tertentu.
Rongga tubuh yang mengandung gas adalah :
1. Traktus Castro Intestinalis
Gas-gas terutama berkumpul dalam lambung dan usus besar.
Sumber gas-gas tersebut sebagian besar adalah dani udara yang
ikdt tertelan pada waktu makan dan sebagian kecil timbul dari
proses pencernaan, peragian atau pembusukan (dekomposisi
oleh bakteri). Gas-gas tersebut terdiri dani O
2
, CO
2
, metan, H
2
S
dan N
2
(bagian terbesar).
Apabila ketinggian dicapai dengan perlahan, maka perbe-
daan antara tekanan udara di luar dan di dalam tidak begitu besar
sehingga pressure equalisation yaitu mekanisme penyamanan
tekanan berjalan dengan lancar dengan jalan kentut atau melalui
mulut. Gejala-gejala yang dirasakan adalah ringan yaitu rasa
tidak enak (discomfort) pada perut. Sebaliknya apabila ketinggi-
an dicapai dengan cepat atau terdapat halangan dalam saluran
pencernaan maka pressure equalisation tidak berjalan dengan
lancan, sehingga gas-gas sukar keluar dan timbul rasa discomfort
yang lebih berat. Pada ketinggian di atas 25.000 kaki timbul rasa
sakit perut yang hebat; sakit perut ini secara reflektoris dapat
menyebabkan turunnya tekanan darah secara drastis, sehingga
jatuh pingsan.
Tindakan preventif agar tidak banyak terkumpul gas dalam
saluran pencernaan, meliputi :
a)
Dilarang minum bir, air soda dan minuman lain yang me-
ngandung gas CO
2
sebelum terbang.
b)
Makanan yang dilarang sebelum terbang adalah bawang
merah, bawang putih, kubis, kacang-kacangan, ketimun, se-
mangka dan chewing gum.
c)
Tidak dibenarkan makan dengan tidak teratur, tergesa-gesa
dan sambil bekerja.
Tindakan regresif bila gejala sudah timbul, adalah :
a)
Ketinggian segera dikurangi sampai gejala-gejala ini hilang.
b)
Diusahakan untuk mengeluarkan udara dani mulut atau
kentut
c)
Banyak mengadakan gerakan.
2. Telinga
Bertambahnya ketinggian akan menyebabkan tekanan dalam
telinga tengah menjadi lebih besar dari tekanan di luar tubuh,
sehingga akan terjadi aliran udara dani telinga tengah ke luar
tubuh melalui tuba Eustachii. Bila bertambahnya ketinggian ter-
jadi dengan cepat, maka usaha mengadakan keseimbangan tidak
cukup waktu; hal ini akan menyebabkan rasa sakit pada telinga
tengah karena teregangnya selaput gendang, bahkan dapat me-
robekkan selaput gendang. Kelainan ini disebut aerotitis atau
barotitis. Kejadian serupa dapat terjadi juga pada waktu keting-
gian berkurang, bahkan lebih sering terjadi karena pada waktu
turun tekanan di telinga tengah menjadi lebih kecil dari tekanan
di luar sehingga udara akan mengalir masuk telinga tengah,
sedang muara tuba eustachii di tenggorokan biasanya sering
tertutup sehingga menyukarkan aliran udara.
Bila ada radang di tenggorokan lubang tuba Eustachii makin
sempit sehingga lebih menyulitkan aliran udana melalui tempat
itu; hal ini berarti kemungkinan terjadinya banotitis menjadi lebih
besar. Di samping itu pada waktu turun udara yang masuk ke
telinga tengah akan melalui daerah radang di tenggorokan, se-
hingga kemungkinan infeksi di telinga tengah sukar dihindarkan.
Tindakan preventif terhadap kelainan ini adalah :
a)
Mengurangi kecepatan naik maupun kecepatan turun, agar
tidak terlalu besar selisih tekanan antana udana luan dengan
telinga tengah.
b)
Menelan ludah pada waktu pesawat udana naik agar tuba
Eustachii terbuka dan mengadakan gerakan Valsava pada waktu
pesawat turun. Gerakan Valsava adalah menutup mulut dan
hidung kemudian meniup dengan kuat.
c)
Melarang terbang para awak pesawat yang sedang sakit
saluran pernapasan bagian atas.
d)
Penggunaan pesawat udana dengan pressurized cabin.
Tindakan represif pada kelainan ini adalah :
a) Bila terjadinya pada waktu naik, dilakukan :
1)
Berhenti naik dan datar pada ketinggian tersebut sambil
menelan ludah berulang-ulang sampai hilang gejalanya.
2)
Bila dengan usaha tadi tidak berhasil, maka pesawat ditu-
runkan kembali dengan cepat sampai hilangnya rasa sakit tadi.
b) Bila terjadi pada waktu turun, dilakukan :
1)
Berhenti turun dan datar sambil melakukan Valsava ber-
ulang sampai gejalanya hilang.
2)
Bila usaha di atas tidak berhasil, pesawat dinaikkan kembali
sampai rasa sakit hilang, kemudian datar lagi untuk sementara.
Bila rasa sakit sudah hilang sama sekali, maka pesawat diturun-
kan perlahan-lahan sekali sambil melakukan gerakan Valsava .
terus menerus.
Post Flight Ear Block
Ada kejadian seperti barotitis tadi pada waktu selesai ter-
bang tinggi saat penerbangnya sedang tidur pada malam
harinya. Banotitis demikian disebut post flight ear block dan
terjadi kanena penerbang tersebut menggunakan oksigen terus
selamapenerbangan sampai ke bumi, sehingga udana yang masuk
ke telinga tengah kaya akan oksigen. Oksigen ini akan diserap
oleh selaput pelapis telinga tengah dan tuba Eustachii tertutup
sehingga tekanan udara luan menimbulkan rasa sakit.
3. Sinus Paranasalia
Muara sinus paranasalis ke rongga hidung pada umumnya
sempit. Sehingga bila kecepatan naik atau turun sangat besar,
maka untuk penyesuaian tekanan antara rongga sinus dan udara
background image
luar tidak cukup waktu, sehingga akan timbul rasa sakit di sinus
yang disebut aerosinusitis. Karena sifat sinus paranasalis yang
selalu terbuka, maka aerosinusitis ini dapat terjadi pada waktu
naik maupun turun dengan prosentase yang sama. Pada keadaan
radang saluran pernapasan bagian atas, kemungkinan terjadinya
aerosinusitis makin besar. Aerosinusitis ini lebih jarang bila
dibandingkandengan aerotitis, karena bentuk saluran penghubung
dengan udara luar.
4. Gigi
Pada gigi yang sehat dan normal tidak ada rongga dalam
gigi, tetapi pada gigi yang rusak kemungkinan terjadi kantong
udara dalam gigi besar sekali. Dengan mekanisme seperti pada
proses aerotitis dan aerosinusitis di atas, pada kantong udara di
gigi yang rusak ini dapat pula timbul rasa sakit. Rasa sakit ini
disebut aerodontalgia. Patofisiologi aerodontalgia ini masih
belum jelas.
Pengaruh Penguapan Gas yang Larut dalam Tubuh
Dengan berkurangnya tekanan atmosfer bila ketinggian
bertambah, gas-gas yang tadinya larut dalam sel dan jaringan
tubuh akan keluar sebagian dari larutannya dan timbul sebagai
gelembung-gelembung gas sampai tercapainya keseimbangan
baru. Mekanismenya adalah sesuai dengan Hukum Henry. Pada
kehidupan sehari-hari peristiwa ini dapat dilihat pada waktu kita
membuka tutup botol yang bersisi limun, air soda atau bir yaitu
timbul gelembung-gelembung gas.
Gelembung-gelembung gas yang timbul dalam tubuh
manusia bila tekanan atmosfer berkurang sebagian besar terdiri
dari gas N
2
. Gejala-gejala pada penerbang baru timbul pada
ketinggian 25.000 kaki. Semakin cepat ketinggian bertambah,
semakin cepat pula timbul gejala. Pada ketinggian di bawah
25.000 kaki gas N
2
masih sempat dikeluarkan oleh tubuh melalui
paru-paru. Gas tersebut diangkut ke paru-paru oleh darah dari
scl-sel maupun jaringan tubuh. Timbulnya gelembung-gelem-
bung ini berhenti bila sudah terdapat keseimbangan antara te-
kanan udara di dalam dan tekanan udara di luar. Hal ini dapat di-
mengerti dengan mengingat Hukum Henry dan Hukum Graham.
Gelembung-gelembung ini memberikan gejala karena urat-urat
saraf di dekatnya tertekan olehnya, di samping itu tertekan pula
pembuluh-pembuluh darah kecil di sekitarnya.
Menurut sifat dan lokasinya, gejala-gejala ini terdiri atas :
1)
Bends
Bends adalah rasa nyeri yang dalam dan terdapat di sendi
serta dirasakan terus-menerus, dan umumnya makin lama makin
bertambah berat. Akibatnya penerbang atau awak pesawat tak
dapat sama sekali bergerak karena nyerinya. Sendi yang terkena
umumnya adalah sendi yang besar seperti sendi bahu, sendi lutut,
di samping itu juga sendi yang lebih kecil seperti sendi tangan,
pergelangan tangan dan pergelangan kaki, tetapi lebih jarang.
2)
Chokes
Chokes adalah rasa sakit di bawah tulang dada yang disertai
dengan batuk kering yang terjadi pada penerbangan tinggi,
akibat penguapan gas nitrogen yang membentuk gelembung di
daerah paru-paru. Chokes lebih jarang terjadi bila dibandingkan
dengan bends, tetapi bahayanya jauh lebih besar, karena dapat
menganqam jiwa penerbang.
3)
Gejala-gejala pada kulit
Gejala-gejala pada kulit adalah perasaan seperti ditusuk-
tusuk dengan jarum, gatal-gatal, rasa panas dan dingin, timbul
bercak kemerah-merahan dan gelembung-gelembung pada kulit.
Gejala-gejala ini tidak memberikan gangguan yang berat, tetapi
merupakan tanda bahaya atau tanda permulaan akan datangnya
bahaya dysbarism yang lebih berat.
4)
Kelainan pada sistem syaraf
Jarang sekali terjadi dan bila timbul mempunyai gambaran
dengan variasi yang besar yang kadang-kadang saja memberikan
komplikasi yang berat. Yang sering diketemukan adalah ke-
lainan penglihatan dan sakit kepala yang tidak jelas lokasinya.
Dapat pula timbul kelumpuhan sebagian (parsiil), kelainan peng-
inderaan, dan sebagainya.
PENGARUH PERCEPATAN DAN KECEPATAN PADA
PENERBANGAN TERHADAP TUBUH
Umum
Benda di udara apabila dilepaskan akan jatuh bebas karena
pengaruh gaya tank bumi. Demikian pula dengan tiap benda
yang berada dalam keadaan diam di permukaan bumi ini, akan
jatuh bebas ke arah pusat bumi apabila tidak ada tanah tempat
benda tersebut bersandar. Kekuatan yang bekerja pada massa
benda kita kenal sebagai berat benda. Berat flap benda dalam
keadaan diam dipengaruhi oleh gaya tarik bumi sebesar 1 g.
Percepatan atau akselerasi karena gaya tarik ini adalah sebesar
10 m/detik.
Apabila sebuah benda dari keadaan diam lalu bergerak,
maka karena adanya percepatan yang bekerja pada benda ter-
sebut, akan terjadi gaya lain pada benda tadi yang arahnya ber-
lawanan dengan arah percepatan penggeraknya. Hal ini di-
sebabkan karena kelembaman benda tersebut seperti hukum
inertia dari Newton. Misalnya kita di dalam mobil yang tidak
bergerak kemudian sekonyong-konyong mobil tersebut dilari-
kan dengan cepat, maka akan terasa badan kita terlempar ke
sandaran belakang. Sebaliknya bila kita berada pada mobil yang
bergerak cepat mendadak berhenti, maka badan kita akan ter-
lempar ke depan.
Macam Akselerasi
Dalam penerbangan dijumpai macam-macam akselerasi
yang terbagi atas :
1)
Akselerasi Liniair
Akselerasi liniair terjadi apabila ada perubahan kecepatan
sedang arah tetap, misalnya terdapat pada take off, catapult take
off, rocket take off, mengubah kecepatan dalam straight and level
flying, crash landing, ditching, shock waktu parasut membuka
atau pada saat landing.
2)
Akselerasi Radiair (Sentripetal)
Akselerasi radiair terjadi apabila ada perubahan arah pada
gerak pesawat sedang kecepatan tetap, misalnya pada waktu
turun, loop dan dive.
3)
Akselerasi Angulair
Akselerasi angulair apabila ada perubahan kecepatan dan
background image
arah pesawat sekaligus, misalnya pada roll dan spin.
Gaya
Akibat akselerasi timbul gaya yang sama besar akan tetapi
berlawanan arahnya (reactive force) yang dikenal sebagai gaya
G. Gaya G ini dinyatakan dengan satuan G. Besar tiap-tiap gaya
G yang bekerja pada awak pesawat diukur dengan gaya tarik
bumi.
Pengaruh gaya G pada tubuh dibagi berdasarkan arahnya
terhadap tubuh, karena toleransi tubuh terhadap gaya G ini
tergantung pada arah tersebut di samping lamanya pengaruh G
tersebut bekerja. Ada 3 gaya G, yaitu :
1)
Gaya G-transversal
Adalah gaya
.
G yang arahnya memotong tegak lurus sumbu
panjang tubuh, jadi dapat dari muka ke belakang atau sebalik-
nya dan dapat pula dari samping ke samping.
2)
Gaya G-Positif
Adalah gaya G yang bekerja dengan arah dari kepala ke
kaki.
3)
Gaya G-Negatif
Adalah gaya G yang bekerja dengan arah dari kaki ke
kepala.
Akibat Gaya G pada Badan
Manusia sejak dalam kandungan telah biasa dengan penga-
ruh gaya tarik bumi sebesar 1 g. Hal ini berarti bahwa alat-alat
rongga badan khususnya jantung dan pembuluh darah telah
menyesuaikan diri dengan pengaruh tersebut. Tiap gaya G lebih
besar atau lebih kecil dari 1 g akan mengakibatkan gejala-gejala
pada tubuh manusia yang masih dapat diatasi apabila masih
dalam batas-batas toleransi badan.
Akibat gaya G badan tergantung pada macam gaya G ter-
sebut. Secara rinci akibat gaya G tersebut adalah :
1)
Gaya G-Positif
Akibat gaya G-positif pada badan dapat dirasakan apabila
kita mengadakan pull-up atau dive. Pada saat pull-up terasa oleh
si penerbang badannya tertekan pada tempat duduk karena berat
badannya bertambah. Si penerbang kelihatan seperti orang tua
karena pipinya tertarik ke bawah.
Makin besar gaya G yang mempengaruhinya makin besar
perubahan pada mata. Pada+2 G sampai +3 G lantang pandangan
menciut (tubular sight). Pada +3 G sampai +4,5 G penglihatan
menjadi tampak remang (grey out) dan pada +4 sampai +6 G
semuanya tampak gelap (black out), akan tetapi si penerbang
masih sadar. Apabila keadaan ini diteruskan dan gaya G ber-
tambah selama lebih dari 3 detik, maka ia akan pingsan. Hal ini
disebabkan karena untuk memompa darah ke otak, jantung harus
mengeluarkan gaya lebih besar daripada gaya yang biasanya
dikeluarkan untuk mengalahkan kolom darah (+30 cm). Akibatnya
ialah bahwa suplai oksigen ke mata dan otak sudah demikian
kurangnya sehingga terjadi hipoksia akut. Bila keadaan ini ber-
langsung terlalu lama, maka akan sangat membahayakan jiwa si
penerbang.
2)
Gaya G-Negatif
Pada gaya G-negatif tubuh manusia kurang besar toleransi-
nya, artinya dengan G-negatif yang kecil saja tubuh akan men-
derita bila dibandingkan dengan G-positif. G-negatif ini terjadi
pada penerbangan misalnya pada waktu steep climbing mendadak
level flight. Di sini darah akan terlempar ke arah otak, sehingga
jumlah darah dalam otak meningkat dan tekanannyapun me-
ningkat. Hal ini akan berakibat timbulnya rasa sakit kepala
sampai pecahnya pembuluh darah di otak bila G-negatif tersebut
sangat besar dan lama. Pada G-negatif sebesar ­2 sampai ­2,5 G
akan terjadi gejala red out, yaitu penglihatan menjadi merah
semua. Gerakan-gerakan lain yang menghasilkan G-negatif pada
penerbangan adalah pada waktu mengadakan outside loop, out-
side turn nose over yang tajam kemudian dive, dan bila eject
dengan ejection seat dari bawah pesawat.
3)
Gaya G-Transversal
Toleransi tubuh manusia terhadap gaya G transversal sangat
besar, oleh karena itu pada peluncuran pesawat ruang angkasa
dengan roket, posisi awak pesawat diusahakan agar gaya G yang
timbul pada pelontaran roket tadi menjadi gaya G-transversal
pada tubuh.
Meningkatkan Ketahanan Tubuh
Cara meningkatkan ketahanan terhadap gaya G-transversal
tidak diperlukan karena ketahanan kita sendiri sudah cukup
besar, sedang usaha peningkatan ketahanan terhadap gaya G-
negatif tidak ada. Oleh karena itu usaha peningkatan terhadap
gaya hanya mengenai gaya G-positif saja, yaitu :
a)
Membungkukkan kepala ke arah dada agar jarak jantung ke
mata menjadi lebih pendek, sehingga jantung masih mampu
memompa darah ke otak.
b)
Mengejan atau berteriak agar tekanan dalam perut meningkat,
sehingga penumpukan darah (blood storage) dalam traktus
digestivus berkurang dan menambah darah yang akan diedarkan
ke otak.
c)
Menggunakan G-suit atau anti G-suit, yang prinsip kerjanya
mengadakan penekanan pada bagian bawah tubuh (paha, betis
dan perut) pada waktu ada gaya G-positif yang menyerang tubuh.
Hal ini juga akan mengurangi penimbunan darah di bagian
bawah tubuh sehingga meningkatkan aliran darah ke otak.
PENGARUH PENERBANGAN PADA ALAT KESEIM-
BANGAN
Umum
Penerbangan dapat pula mempengaruhi alat keseimbangan
awak pesawat sehingga dapat membahayakan jiwa. Kelainan
yang timbul pada penerbangan ini biasanya berbentuk ilusi atau
disorientasi sehingga dikenal sebagai ilusi penerbangan atau
juga disebut spatial disorientation tetapi kadang-kadang di-
namakan pula pilot's vertigo.
Spatial disorientation atau pilot's vertigo adalah suatu
fenomena yang sejak dulu merupakan bahaya dalam penerbang-
an. Khususnya bagi seorang penerbang militer yang harus me-
laksanakan tugas penerbangan yang cukup kompleks dalam
kondisi cuaca apapun. Fenomena ini merupakan suatu masalah
yang tidak boleh dianggap enteng.
Dengan mengetahui mekanisme pilot's vertigo maupun
macam ilusi yang dapat dialami oleh seorang penerbang di-
background image
harapkan dapat diambil langkah-langkah pencegahan demi
keamanan dan keselamatan penerbang, pesawat dan orang lain.
Fungsi alat-alat keseimbangan
Manusia makhluk darat dapat menjaga keseimbangan
badannya karena dilengkapi dengan tiga alat/sistem : Sistem
Vestibuler, Sistem Visuil dan Sistem Proprioseptif. Selama
manusia masih berhubungan dengan bumi seperti berjalan, ber-
lari, melompat dan lain-lain maka ketiga sistem tersebut ber-
fungsi secara adekuat dan alat-alat keseimbangan bekerja secara
cermat dan efektif. Akan tetapi apabila ia meninggalkan bumi
dan terbang, alat-alat tersebut dapat membuat kesalahan-kesalah-
an, karena impuls-impuls yang tidak lagi adekuat. Kesalahan
tersebut dapat menimbulkan ilusi dan sering mengakibatkan
spatial disorientation.
1) Alat Vestibular, mempunyai 3 bagian :
a)
Tip canalis semicularis (saluran berisi endolymph) yang
tegak lurus satu sama lain pada bidang-bidang horisontal, verti-
kal dan tranversal. Pada muara tiap-tiap saluran ada suatu pe-
lebaran dengan di dalamnya sel-sel berambut. Rambut-rambut
tersebut berhimpun menjadi (cupula) dan merupakan reseptor
sensorik. Karena gerakan dan aliran endolymph, cupula ikut
bergerak sesuai arah aliran. Tiap gerakan/akselerasi angulair
(roll, pitch, yaw) menimbulkan impuls mekanis pada otak dan
melaporkan bahwa sedang ada gerakan rotasi dari kepala.
b)
Utriculus dan Sacculus berisi reseptor sensorik yang dapat
menerima impuls mekanis akibat gerakan/akselerasi linear.
Reseptor terdiri dari membran otolith yang berisi butir-butir
kalsium karbonat. Membran ini ada di atas lapisan sel-sel be-
rambut dengan rambut-rambutnya dalam masa clan membran.
Gravitasi maupun akselerasi linear dapat menggerakkan mem-
bran otolith dan dengan demikian rambut-rambut sel berambut.
Impuls ini diterima dan diteruskan lewat syaraf vestibular ke
otak.
c)
Cochlea. Alat ini digunakan untuk proses pendengaran.
Pola akselerasi di udara adalah berbeda daripada di bumi,
misalnya akselerasi di udara biasanya tidak segera diikuti
dengan deselerasi seperti terjadi di bumi.
2) Sistem visuil, adalah alat terpenting dalam menjaga kese-
imbangan. Dengan menggunakan penglihatan, kita dapat me-
nentukan lokasi dan posisi suatu obyek dalam ruangan. Dengan
adanya visual horizon seorang penerbang masih dapat meng-
adakan orientasi walaupun terjadi ilusi-ilusi akibat persepsi yang
salah dari alat vestibular maupun priprioseptif. Di udara sistem
visuil adalah orientation sense yang paling dapat dipercaya dan
dengan melalui sistem tersebut, si penerbang dapat menginter-
prestasikan instrumen pesawat.
3) Sistem proprioseptif, adalah reseptor sensorik yang meng-
adakan respons terhadap tekanan atau tarikan pada jaringan
tubuh. Reseptor ini terdapat dalam jaringan antara lain kulit dan
sendi, dan dapat dirasakan di bagian-bagian badan apabila duduk,
berdiri atau berbaring. Sistem proprioseptif ini dikenal sebagai
body sense atau seat of the pants sense.
Mekanisme Ilusi
1) Grave Yard Spin dan Grave Yard Spiral
Pada waktu masuk ke dalam spin, maka setelah 15 ­ 20 detik
kecepatan endolymph dalam saluran semisirkuler telah sama
dengan kecepatan dinding saluran, sehingga cupula (reseptor)
kembali pada keadaan istirahat. Pada waktu pesawat keluar dari
spin, cupula akan bergerak dengan arah yang berlawanan se-
hingga seolah-olah terjadi spin untuk kedua kalinya dengan arah
berlawanan. Dengan mengadakan koreksi maka pesawat masuk
spin kembali dengan arah semula. Pada grave yard spiral tidak
ada spin tetapi banked down.
2)
Coriolis Illusion
Ini terjadi apabila endolymph dari satu set saluran semi-
sirkuler kiri telah mencapai kecepatan yang sama dengan dinding
saluran, kemudian ada gerakan dari satu set lainnya dalam
dinding bidang yang lain dari set pertama. Akibatnya ialah suatu
perasan seolah-olah badan berputar dalam bidang di luar bidang
tersebut misalnya bila ada gerakan yawing dengan kecepatan
yang konstan, maka dengan gerakan pitching dari kepala akan
terasa seolah-olah badan mengalami roll.
Coriolis illusion paling berbahaya dan biasanya terjadi
sewaktu dalam manuver yang relatif rendah.
3)
Oculo Gyral Illusion
Dalam ilusi ini terlihat suatu obyek di muka mata seolah-
olah bergerak. Hal ini akibat rangsangan pada saluran semi-
sirkuler dan dapat terjadi waktu grave yard spin, grave yard
spiral dan coriolis illusion.
4)
Oculo Grave Illusion
Ilusi ini analog dengan oculo gyral illusion bukan akibat
rangsangan dari saluran semisirkuler tetapi rangsangan pada
otolith. Ilusi terjadi pada waktu terbang datar dengan high
performance air craft dengan kecepatan akselerasi yang tinggi
sehingga menimbulkan rasa seolah-olah pesawat dalam nose-up
attitude. Bila penerbang mengadakan koreksi, maka ia akan dive
dengan akibat crash. Ilusi ini sering terjadi bila terbang malam
atau dalam cuaca buruk, dan tidak terjadi bila di luar ada visual
reference yang adekuat.
5)
Elevator Illusion
Ilusi ini juga terjadi akibat makin besarnya gaya gravitasi
seperti waktu akselerasi ke atas. Hal ini mengakibatkan suatu
refleks bola mata ke bawah sehingga kelihatan seolah-olah panel
instrumen dan hidung pesawat naik ke atas.
6)
The Keans
Ini adalah ilusi vestibuler yang sering terjadi karena saluran
semisirkuler tidak dapat mendeteksi akselerasi angular di bawah
ambang (2,5/detik). Misalnya pada terbang instrumen meng-
adakan roll ke kiri tanpa dirasakan karena kecepatannya di
bawah ambang. Bila ia mengadakan roll ke kanan ia merasakan
pesawatnya dalam keadaan roll ke kanan walaupun sebenarnya
datar. Hal ini dapat dilihat dalam sikap badannya.
7)
Autokinesis
Sebuah titik cahaya dalam ruangan yang cukup gelap setelah
dipandang beberapa detik akan kelihatan seolah-olah bergerak.
Fenomena ini dikenal sebagai autokinesis effect dan dapat me-
nyebabkan kekeliruan bila terbang formasi malam hari.
8)
Kacau antara bumi dan langit
Bila terbang malam dan cukup gelap maka lampu-lampu
background image
landasan dilihat sebagai bintang-bintang. Hal ini membahaya-
kan karena horizon yang diterimanya kelihatan lebih rendah dari
horizon yang sesungguhnya. Akibatnya pesawat akan diarahkan
ke bawah.
9)
Permukaan bumi atau awan
Terbang di atas daerah yang tidak rata (di atas kaki gunung)
atau awan yang miring permukaannya mengakibatkan terbang
tidak lurus dan tidak datar.
10)
Seat of the pants sense
Bila pesawat membelok maka arah gaya sentrifugal dan
gravitasi selalu menuju ke arah lantai pesawat. Dengan demikian
si penerbang dengan pressure sensors tersebut sukar mengetahui
mana bawah. Di samping itu perasaan ini dapat menguatkan
oculogravic illusion yang terjadi akibat akselerasi linear pada
high performance aircraft.
Tindakan Pencegahan
1)
Indoktrinasi kepada para penerbang berupa ceramah, de-
monstrasi dan film mengenai fenomena tersebut untuk mengu-
rangi kecelakaan pesawat karena spatial disorientation.
2)
Mengubah kedudukan alat peralatan dalam panel instrumen
sedemikian rupa sehingga memerlukan gerakan-gerakan kepala
yang ekstrim.
3)
Beberapa latihan terbang seperti instrumen take off and night
formation rejoin dipandang cukup membahayakan dan tidak
diadakan lagi.
Mabuk Udara
Mabuk udara adalah sebagian dari motion sickness yang
disebabkan oleh penerbangan. Mabuk udara ini terjadi karena
pengaruh Gaya G yang kecil tetapi terjadi secara berulang-ulang
yang menyerang alat keseimbangan. Jadi sebenarnya mabuk
udara termasuk kelainan akibat pengaruh penerbangan pada alat
keseimbangan. Sekitar 16% penerbang selama belajar terbang
pernah mengalami mabuk udara ini dan sekitar 5% siswa pener-
bang mengalami secara berulang-ulang. Mabuk udara ini akan
menurun dengan pengalaman dan peningkatan kepercayaanpada
diri sendiri. Mabuk udara juga dialami oleh awak pesawat yang
lain dan para penumpang pesawat angkut.
Gejala mabuk udara adalah pusing, sakit kepala, perasaan
tidak enak pada lambung, mual, muntah-muntah, pucat dan se-
bagainya. Berat ringannya gejala ini tergantung pada kepekaan
seseorang terhadap rangsangan pada alat keseimbangan. Gejala
ini akan memberat bila orang tersebut telah lelah, kurang sehat,
gangguan pencernaan, mencium bau-bauan yang tidak enak,
alkoholism atau takut terbang. Sebaliknya gejala ini dapat me-
lihat benda-benda di luar pesawat sebagai titik pengenal.
PENGARUH PENERBANGAN PADA ALAT PENG-
LIHATAN
Pengaruh Hipoksia
Pengaruh hipoksia pada alat penglihatan di siang hari baru
terlihat pada penerbangan setinggi 10.000 kaki, dan akan ber-
tambah sampai batas 16.000 kaki; setelah itu tidak dapat di-
imbangi lagi oleh tubuh dan akan menyebabkan terjadinya
gangguan-gangguan. Pengaruh tersebut meliputi :
1)
Gangguan terhadap koordinasi otot-otot mata
Koordinasi otot mata tidak sempurna lagi terutama waktu
melihat jauh, kedua sumbu bola mata tidak sejajar lagi sehingga
terjadi keadaan yang disebut heterophoria. Kalau sumbu mem-
bentuk sudut di depan mata disebut esophoria, dan sebaliknya
disebut exophoria.
Menurut percobaan Powell dalam Decompression Chamber,
pada ketinggian 5.000 ­ 6.000 meter dalam waktu 2 ­ 3 menit
untuk penglihatan jauh akan terjadi esophoria, dan pada peng-
lihatan dekat exophoria. Kelainan ini progesif sehingga dapat
menyebabkan mata juling (heterotropia). Dalam keadaan ini
benda-benda dilihat ganda (double). Pada esophoria yang ringan
maka penafsiran jarak tidak tepat lagi, yaitu terlalu dekat (jarak
10 m ditafsirkan 8 m). Bahayanya ialah pada waktu akan
landing penerbang mengalami kesukaran dalam menafsirkan
jarak antara pesawat dan landasan. Pesawat yang diperkirakan
akan touch (menyentuh bumi) sebenarnya masih harus menem-
puh jarak yang tertentu untuk betul-betul sampai di landasan
hingga terjadi keadaan overshoot.
2)
Gangguan terhadap daya konvergensi dan akomodasi
Daya konvergensi akan berkurang dengan terjadinya
gangguan pada koordinasi otot-otot mata seperti disebut di atas.
Daya akomodasi orang berumur 20 ­ 23 tahun pada ketinggian
5.500 meter adalah : hipoksia derajat sedang tidak memberikan
pengaruh pada daya akomodasi bila daya akomodasinya tidak
melebihi 3 dioptri dan makin besar kemampuan akomodasi
makin sensitif orang itu terhadap kekurangan oksigen. Karena
itu penerbang yang menderita hypermetropia atau presbyopia
sedapat mungkin menghindarkan penerbangan yang memerlu-
kan oksigen.
3)
Gangguan terhadap pengenalan warna (color vision)
Daya mengenal warna sudah berkurang pada ketinggian
3.000 meter. Keadaan ini disebut : hypoxia astenopia chromatica,
yang akan menghilang setelah menghirup oksigen atau kembali
ke tanah.
Pengaruh Percepatan
Seperti diketahui pada penerbangan aerobatik ataupun
combat, penerbang dapat mengalami pengaruh gaya baik G-
positif ataupun G-negatif. Pengaruh kedua macam percepatan
tersebut adalah :
1)
Pengaruh G-positif terhadap alat penglihatan
Kalau penerbang mengadakan pull up maka penerbang
akan mengalami suatu G-positif. Otak dan mata kekurangan
darah. Dengan talc adanya supply darah dapat terjadi gangguan
yaitu penglihatan abu-abu yang disebut grey-out atau kalau G
lebih besar dan terjadi kebutaan total disebut black out. G positif
sebesar 3,5 ­ 4 G menyebabkan kehilangan pandangan perifer
yang kemudian disusul dengan grey-out. Pada G-positif sebesar
+4 ­ +6, 5 G terjadi black out.
2)
Pengaruh G-negatif terhadap alat penglihatan
Kalau seorang penerbang membuat dive maka penerbang
ini akan mengalami G-negatif; tekanan (gaya) tambahan akan
bekerja dengan arah dari perut menuju ke kepala. Akibatnya
pembuluh darah di mata penuh dengan darah yang mengakibatkan
background image
penglihatan menjadi merah atau disebut red-out. Biasanya G-
negatif sebesar 2,0 ­ 2,5 telah menyebabkan red-out.
Pengaruh sinae niatahari
1)
Sinar ultra violet
Sinar ini terdapat banyak di pinggir pantai dan di lereng
pegunungan. Sinar ini tidak menembus ke bagian dalam mata
(oculus interior). Di dalam alat ini, sinar itu sebagian besar
diserap dan sebagian kecil direfleksikan (dipantulkan). Sinar
yang diserap ini kemudian menimbulkan reaksi pada alat ter-
sebut di atas dengan gejala : Beberapa jam setelah penyinaran
akan timbul gejala peradangan : pengeluaran air mata yang
abnormal, mata menjadi merah dan sakit dengan akibat sukar
dibuka kelopaknya, banyak keluar kotoran dan dari luar mata
nampak membengkak.
Pengobatan keadaan ini adalah :
a)
Jauhkan diri dari sinar matahari yaitu dengan tinggal di
dalam kamar cukup gelap untuk beberapa hari.
b)
Memakai kaca mata hitam untuk beberapa hari atau sampai
gejala-gejala hilang sama sekali.
c)
Kalau perlu diberi salep antibiotika. Biasanya penyembuh-
an sangat cepat dan tidak akan menimbulkan kelainan-kelainan
pada mata (reversibel).
2) Sinar infra merah
Sinar ini tersebar di angkasa, dan intensitasnya makin dekat
dengan matahari makin tinggi. Sinar ini dapat menembus masuk
ke dalam mata bagian dalam (oculus interior), sehingga keru-
sakan yang diakibatkan terutama pada alat mata bagian dalam
yaitu : lensa dan retina. Adanya reaksi panas dari sinar infra
merah menyebabkan protein dalam lensa dan retina menggumpal
dan terjadi katarak (kekeruhan lensa) kalau kerusakan pada
lensa, dan retinitis kalau kerusakan pada retina. Penyinaran yang
lama (berhari-hari atau berminggu-minggu bergantung kepada
intensitas sinar) baru akan menimbulkan reaksi seperti tersebut
di atas. Dan kalau reaksi tadi sudah timbul biasanya akan dapat
disembuhkan lagi (irreversibel).
Karena hal-hal tersebut di atas maka awak pesawat perlu
diperlengkapi dengan alat yang dapat meniadakan atau mengu-
rangkan sinar yang dapat masuk ke dalam mata tadi (alat pro-
teksi). Mata sendiri sebetulnya sudah mempunyai alat itu yaitu:
diafragma; proteksi dari luar yang dapat diadakan adalah kaca-
mata atau dalam penerbangan sunvisor pada helmet penerbang.
Karena keduanya menyaring sinar maka kita sebut filter. Ada
beberapa macam filter, tetapi yang banyak digunakan adalah
colored dan neutral filter.
Colored filter hanya meneruskan sinar yang warnanya se-
suai dengan filter itu dan meneruskan sebagian kecil sinar yang
lain. Sebagai contoh : RAYBAN 3 meneruskan : 25% visible
rays, 5% sinar ultra violet, 10% sinar infra merah. Untuk ini di
belakang kaca tadi diberi lapisan chromium atau nikel untuk
merefleksikan pengaruh panas tadi, sehingga terdapat perasaan
sejuk pada mata.
Sifat neutral filter terhadap sinar ultra violet dan inframerah
seperti pada colored filter, keuntungannya adalah tak menye-
babkan perubahan warna, contoh : RAYBAN G-15; filter ini
banyak dipakai di USAF.
Night Vision
Dalam retina terdapat dua macam sel penerima (reseptor)
yaitu : Rod dan cone atau batang dan kerucut. Tugas rod adalah
: penglihatan malam dan penglihatan global (bukan detail) atau
penglihatan dengan kontras. Tugas cone : penglihatan siang hari,
penglihatan detail dan membedakan warna. Sel batang terutama
terdapat pada bagian pinggir retina sedang kerucut pada bagian
tengah retina, sehingga pada malam hari bagian tengah retina
merupakan bintik buta dan bagian pinggir merupakan bagian
yang penting untuk penglihatan.
Dalam rod terdapat rhodopsin dan dalam cone terdapat
jodopsin. Jumlah zat yang terdapat pada masing-masing sel ini
mempengaruhi sensitivitas sel-sel tersebut, dan dipengaruhi oleh
intensitas sinar yang masuk ke dalam mata. Kalau dari kamar
yang terang masuk ke dalam kamar yang gelap maka untuk
beberapa waktu (detik) kita akan buta atau sama sekali tidak
melihat. Baru setelah beberapa menit kita dapat mengadakan
orientasi apa yang ada dalam kamar itu. Waktu antara masuk ke
dalam kamar dan melihat dengan jelas bentuk apa yang ada
dalam kamar itu disebut waktu adaptasi. Waktu adaptasi ini
akan lengkap setelah kira-kira 2 jam. Selama adaptasi ber-
langsung terbentuk rhodopsin dengan perlahan-lahan di dalam
rod, yang jumlahnya mencapai maksimal setelah kita berada
dalam ruangan gelap tadi selama 2 jam.
Rhodopsin yang terbentuk di atas akan luntur atau terurai
apabila ada sinar yang masuk ke dalam mata, kecuali sinar merah
yang tidak menyebabkan penguraian ini.
sinar
­­­­­­­­­­>
Rhodopsin Retinin + Protein
<­­­­­­­­­
gelap
Vitamin A
Vitamin A sangat penting dalam pembentukan rhodopsin, se-
hingga tidak adanya vitamin A dalam makanan atau dalam darah
akan mengganggu pembentukan rhodopsin.
Pada keadaan hipoksia, reaksi di atas juga akan dipengaruhi
yaitu menjadi lebih lambat. Akibatnya daya penglihatan malam
akan menurun. Pada ketinggian 1000 meter daya penglihatan
malam menurun 5% dan pada 5.000 m menurun 40%. Juga me
-
rokok 3 batang berturut-turut dapat menurunkan daya penglihat-
an malam sampai 25%.
Karena itu para penerbang harus mematuhi peraturan untuk
terbang malam, yaitu :
a)
Makanan penerbang harus cukup mengandung vitamin A,
bila perlu diberi tambahan pil vitamin.
b)
Sebelum terbang dalam harus dites daya adaptasinya dalam
gelap dengan adaptometer.
c)
Pada hari akan terbang malam, tidak boleh merokok atau
minum minuman keras.
d)
Sebelum terbang malam harus mengadakan adaptasi selama
30 menit dalam tempat gelap atau ruangan dengan penyinaran
background image
lampu merah.
e) Lampu-lampu dalam cockpit dan instrumen harus merah
agar tidak mengganggu adaptasi yang telah ada.
PENUTUP
Telah dibahas berbagai aspek Ilmu Faal dalam penerbangan
atau Aerofisiologi yang mendasari Ilmu Kesehatan Penerbangan
dan Ruang Angkasa (Aerospace Medicine). Dalam makalah ini
hanyadibahas pokok-pokoknya sajadan belum mencakup seluruh
permasalahan Aerofisiologi.
Dengan mengetahui berbagai aspek Aerofisiologi dalam
kegiatan penerbangan maka diharapkan dapat dengan mudah
memahami problema yang dihadapi para penerbang, awak pesawat
lain maupun para penumpang khususnya di bidang kesehatan.
Untuk selanjutnya kita mampu melakukan upaya-upaya pence-
gahan dan-pertolongan atas pengaruh buruk penerbangan pada
tubuh manusia.
Dengan demikian kitadapat memanfaatkan udara (atmosfer)
untuk berbagai kegiatan penerbangan dengan aman, nyaman
dan cepat, yang pada gilirannya akan membantu meningkatkan
kesejahteraan.
KEPUSTAKAAN
1.
AFM 160-5. Physiological technician's Training Manual. Department of the
Air Force, Washington D.C., 1968.
2.
AFP 161-16. Physiology of Flight. Department of the Air Force, Washington
D.C., 1968.
3.
AFP 161-18. Flight Surgeon Guide. Department of The Air Force, Washing-
ton D.C. , 1968.
4.
Armstrong HG. Aerospace Medicine. The Williams and Wilkins Baltimore;
1961.
5.
Davidovic, Vaazduhoplovna Fiziologija. Osnovi Vazduhoplovne Medicine,
Beograd. 1965.
6.
Dhenin. Aviation Medicine, Physiology and Human Factors. The Tri-Med
Bokks Limited, London, 1978.
7.
Direktorat Kesehatan TNI-AU. Buku Pedoman Dokter Penerbangan TNI-
AU. Jakarta, 1990.
8.
Harding M. Aviation Medicine. The British Medical Association, London,
1968.