Jumat, 18 Mei 2012

Muasal Sejarah Nama Indonesia

Pada zaman purba, kepulauan tanah air disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan tanah air dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa Indoa menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). 

Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara. Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). 

Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab juga dikenal Samathrah (Sumatra), Sholibis (Sulawesi), Sundah (Sunda), semua pulau itu dikenal sebagai kulluh Jawi (semuanya Jawa). 

Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). 

Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais). Pada jaman penjajahan Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker ( 1820 – 1887 ), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” ( Bahasa Latin insula berarti pulau). 

Nama Insulinde ini kurang populer. Indonesia Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan ( 1819 – 1869 ), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Ingris, George Samuel Windsor Earl ( 1813 – 1865 ), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA. Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. 

Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: “… the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians”. Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon ( Srilanka ) dan Maladewa. Earl berpendapat juga bahwa nahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. 

Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. 

Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: “Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago”. Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. 


Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826 – 1905 ) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. 

Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan. Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat ( Ki Hajar Dewantara ). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau. Nama indonesisch (Indonesia) juga diperkenalkan sebagai pengganti indisch (Hindia) oleh Prof. Cornelis van Vollenhoven (1917). 

Sejalan dengan itu, inlander (pribumi) diganti dengan indonesiĆ«r (orang Indonesia). Identitas Politik Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. 

Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. 

Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya : “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. 

Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.” Di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924). Pada tahun 1925, Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. 

Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda. Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Hindia Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda menolak mosi ini. Dengan jatuhnya tanah air ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda”. Dan setelah itu lahirlah bangsa Indonesia. 

Posted by: Fazar Shiddieq Karimil Fathah

Kamis, 17 Mei 2012

Belajar, Proses, dan Sunatullah

Ada semacam rasa perasaan tidak sreg dengan konsep pendidikan yang membiarkan anak-anak 'diabur', dilepas semaunya demi spirit kemerdekaan. Namun saya belum menemukan argumentasi yang pas untuk mematahkan konsep tersebut untuk diri saya pribadi (bukan untuk orang lain, karena setiap orang punya paradigma dan alasan sendiri-sendiri). Bersyukur, beberapa hari yang lalu, saya seolah mendapat insight tentang persoalan tersebut.

Proses. Bahkan para wali Allah pun memperoleh ilmunya melalui belajar. Ilmu tidak turun dengan begitu saja kepada mereka, melainkan dengan belajar. Proses adalah sunatullah, dan belajar adalah salah satu wujud kongkret sebuah proses. Mengapa harus menentang sunatullah itu?

Berharap agar kemerdekaan dalam belajar terpenuhi mengingat sekolah formal dirasa terlalu mengekang, tidak harus menghancurkan sunnah-sunnah yang sudah ditetapkan Allah. Manusia di dunia fana ini bergelut dengan proses. Manusia di dunia fana ini bergelut dengan usaha-usaha. Demikian juga halnya untuk membuat anak-anak berpengetahuan, berkepribadian baik, berketerampilan, dan ideal-ideal lainnya tidak cukup hanya dengan menyerahkan mereka pada 'alam' tanpa proses belajar.

Jikapun ada keberhasilan yang diperoleh dengan cara tersebut, maka hasilnya untung-untungan. Ketika lingkungan yang membentuknya memang menggiring anak pada bertumbuhnya kemampuan-kemampuan, mungkin mereka akan mencapai taraf yang diharapkan, namun ketika kondisi lingkungan ternyata sebaliknya, bagaimana? Suatu hari saya yakin kita akan menyesal karena membiarkan waktu berlalu tanpa usaha, dan menggerus kesempatan anak-anak untuk mencapai kemampuan-kemampuan diri sebagai bekal hidup mereka.

Seperti juga berharap ada sajian makanan tertentu di meja makan, manusia membutuhkan ikhtiar dari mulai menyediakan bahan bakunya hingga belajar proses mengolahnya. Sekali lagi saya meyakinkan diri saya sendiri: Ikhtiar adalah sunatullah untuk kehidupan di dunia fana ini. Maksimalkanlah ikhtiar untuk semua urusan, baru sisanya bertawakal kepada Allah.

Aplikasinya, orang tua yang tidak menyekolahkan anaknya ke sekolah formal seperti saya, harus menuntun diri untuk konsisten dengan jadwal belajar anak-anak, betapapun sebentarnya. Jangan malas dan jangan lengah. Ilmu yang kita miliki akan dimintai pertanggungan jawab. Amanah yang diembankan juga akan ditanyai bagaimana kita menjaganya. Dan anak-anak adalah amanat besar bagi orang tuanya.

Rabu, 16 Mei 2012

Foto Jurnalistik Merekam Lalu Menggugat


Foto jurnalistik banyak dimitoskan dengan aneka anggapan bahwa cabang fotografi ini sangat ”sakral”. Ada yang mengatakan bahwa foto jurnalistik harus selesai saat kamera selesai dijepretkan, tak boleh diutak-atik lagi. Ada pula yang mengatakan bahwa foto jurnalistik sangat netral dan jujur, alias sangat obyektif.

Pada kenyataannya, dunia jurnalistik secara umum tidaklah mungkin netral. Memilih narasumber saja sudah merupakan kesubyektifan. Mengapa si A yang dipilih dan bukan si B? Demikian pula foto jurnalistik. Dia tidaklah netral sama sekali karena, kalau terlalu netral, dia sungguh tak punya daya apa-apa.

Pemihakan

Foto jurnalistik haruslah memihak, dan keberpihakan itu harus kepada ”sesuatu yang benar”, paling tidak berpihak kepada orang banyak yang selalu merupakan ”pihak yang menderita”.

Beberapa alinea di atas sungguh pantas untuk membawa kita memahami pameran foto yang diselenggarakan Galeri Foto Jurnalistik Antara di markas mereka di Pasar Baru, Jakarta, 20 Januari 2012 sampai 20 Februari 2012 (dengan temu wicara pada 11 Februari 2012 pukul 14.30). Selain diadakan tahunan sebagai kilas balik 2011, pameran ini juga diadakan sebagai peringatan 20 tahun berdirinya galeri jurnalistik satu-satunya di Indonesia ini.

Menyaksikan pameran ini dengan melihat foto demi foto mengikuti alur yang sudah dibuat, atau membaca buku katalognya yang mempunyai alur sama, terasa benar bahwa pameran ini ”menyuarakan sesuatu”.

”Kita harus selalu menggugat,” kata Oscar Motuloh, kurator sekaligus pemimpin galeri ini.

Gugatan pameran terasa dengan pengelompokan foto dalam kelompok-kelompok tertentu. Foto-foto dipilih dengan jeli sehingga sangat terasa arah yang diberikan kurator akan gugatannya pada beberapa ketidakberesan negeri ini. Foto Miranda Swaray Goeltom, Nazaruddin, dan Nunun Nurbaeti—terkait kasus korupsi—yang ada sungguh membawa kita agar selalu mengggugat penyelesaian masalah hukum yang melingkari mereka semua.

Bahwa pameran ini juga membawa kegeraman umum pada berbagai ketidakadilan negeri ini sangat tecermin pada penempatan foto orangutan yang dipasang langsung di samping foto Gayus Tambunan, terpidana kasus pencucian uang. Menyentak, lucu, cerdas, sekaligus menyesakkan! Arbain Rambey
sumber : http://kfk.kompas.com/blog/view/113302-Foto-Jurnalistik-Merekam-Lalu-Menggugat
catatan : sengaja tulisan ini saya copy utuh untuk share kepada anda tanpa ditambah atau dikurangi apapun. semoga bermanfaat.

Selasa, 01 Mei 2012

WACANA DAN REALITA KONSTRUKSI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KAMPUS

Isu yang merebak sebagai hasil kesadaran cendikiawan kini menghembuskan wacana yang santer diperbincangkan khalayak umum “Pendidikan Karakter”. 

Ambruknya moral, akhlak maupun karakter dengan bukti nyata di depan mara yang setiap kita lihat, kita dengar, dan juga kita bicarakan, dengan jumlah yang tidak sedikit : uang rakyat yang ditimbun dan digunakan oleh wakil rakyat untuk kepentingan pribadi yang kemudian menempatkan nama Indonesia pada jajaran atas Negara korup di dunia. Jika sebagai mahasiswa dengan jargon besar : Agent of Change, yang menyulap lingkungan kampus menjadi masyakarat sebenarnya saja tak memiliki apa yang dikatakan karakter, maka layaklah bangsa kita masih dipandang sebelah mata. Jika orang terdidik dengan sandangan “Mahasiswa” saja tidak lebih baik daripada yang tak mengeyam bangku kuliah. 

Bangsa kita memiliki banyak manusia maupun insan cendikia, pandai, cerdas, dan grade yang tinggi untuk masalah intelektualitas, tapi nol besar dalam hal karakter. Kejujuran, kedisiplinan, tanggung jawab, kerja keras dan berderet-deret kata perilaku mulia sudah jarang ditemui menempel pad mahasiswa, jarang tidak berarti tidak ada, namun jarang berarti sedikit, karena pada faktanya, agent of change kebanyakan ternyata lebih berakhlak seperti koruptor dengan mencontek saat ujian, mengerjakan tugas dengan copy paste, telah masuk kuliah, bahkan tidak menghormati dosen, juga berderet-deret kata tak terpuji lainnya. Bahkan sifat dan sikap mahasiswa dibandingkan anak SMP atau SMA tidak ada bedanya. 

Karakter sebagai indentitas seseorang tentu menjadi penting karena bangsa kita telah lama memiliki kebiasaan-kebiasaan yang kurang kondusif untuk membangun bangsa yang ungguk. Bahkan Yan Sugiarto (2009:11-13) mengemukakan 55 kebiasaan kecil yang menghancurkan bangsa. Tampaklah sangat benar istilah “sedikit-sedikit menjadi bukit”. 

Bukan lagi kemakmuran dan kegemilangan yang kita bangun untuk bangsa, tapi kehancuran yang lebih cepat telah dirancang oleh manusia bernama mahasiswa. Mahasiswa yang membangun rumah megah dengan pondasi yang rapuh. Anjloknya karakter bangsa yang terindikasi karena rendahnya pendidikan menjadi topic yang terus diperbincangkan. Mahasiswa yang kini memiliki karakter “baik” ternyata jumlahnya jauh lebih sedikit. Di dalam kamus Psikologi dinyatakan bahwa karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran. Jujur dan disiplin waktu, dua karakter yang kini langka ditemui ada pada mahasiswa. Dua karakter yang kini juga membawa Jepang sebagai Negara besaar dan makmur. 

Perspektif bengkok berupa semboyan “Jujur Ajur” dengan aktualisasi instan berupa nilai baik tanpa belajar, kondisi yang lebih enak mendapatkan ikan daripada harus berlelah-lelah dengan kail, puas dengan nilai A tanpa penguasan ilmu dan materi yang baik, prinsip yang salah besar mengenai “kuliah untuk nilai dan ijazah” bukan “kuiah untuk ilmu” yang kemudian berkelanjutan dengan penghalalan segala cara untuk nilai A tersebut. Kondisi yang selalu melenakan ini kemudian dijadikan berbagai alas an untuk bersenang-senang ketepian, berakit-rakit kehulu. 

Beberapa factor yang menyebabkan rendahnya pendidikan karakter adalah system pendidikan ayng kurang menekankan pembentukan karatker, dan kondisi lingkungan yang kurang mendukung pembangunan karakter (Furqon Hidayatullah, 2010:17). Lagi-lagi kesalahan system pendidikan. Kesalahan orientas yang hanya mengutamakan penguasaan IPTEK daripada IMTAQ yang seharusnya seimbang telah menjadi ketimpangan yang kini menyebabkan bangsa kita terseok-seok. 

Banyak manusia pintar yang merugikan orang lain, masyarakat,dan Negara. Mahasiswa sebagai calon pemimpin, pemegang estafet kelangsungan bangsa yang mendalami ilmu di perguruan tinggi sebagai calon intelektual harusnya mempersiapkan diri, tak hanya dalam intelektualitasnya, namun juga hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan pribadi dan karakternya. 

Di sisi lain, mahasiswa hendaknya mampu bersikap terbuka, berpikir dan berperilaku demokratis, mengembangkan kreatifitaas, dan peka terhadap permasalahan di sekitarnya. Dengan bekal itulah peranan mahasiswa di masa depan menjadi penting dan strategis. Penting karena mahasiswa merupakan kelompok yang telah mendapatkan kesempatan dan prioritaas lebih daripada kelompok lain, strategis karena kesempatan itu merupakan arena dalam meningkatkan aktualitas diri. 

Tanggung jawab esensiil mahasiswa adalah sebgai pembangkit kekuatan individual sebagai dasar yang paling menentukan daripada kemampuan berpikir analitis dan sistesis. Dengan begini berarti bahwa mahasiswa pada hakekatnya bukanlah manusia rapat umum, tapi manusia menganalisis. Sebagai penganalisis, mahasiswa bukan semata-mata pemburu ijazah, tetapi seharusnya merupakan penghasil gagasan yang disajikan dalam bentuk pemikiran yang teratur yang banyak sedikitnya sesuai dengan hakekat ilmu. 

Posted By: Fazar Shiddieq Karimil Fathah