Ini adalah tulisan kedua tentang mainan dari limbah pohon; sebagai sebuah apresiasi terhadap sumber alam yang murah untuk memancing imajinasi anak-anak.
Pohon Mainan untuk Membuat Hutan
Bahan:
1. Ranting pohon yang banyak cabangnya dengan ukuran sesuai selera
2. Kertas Warna
3. Lem
4. Gunting
5. Pisau
Cara Membuat:
1. Bersihkan ranting dari daun-daun yang masih menempel
2. Untuk mendapatkan ranting yang mulus, kita bisa membersihkan kulitnya dengan menggunakan pisau dan ampelas jika ada
3. Bentuklah kertas warna (yang sesuai untuk warna pohon atau sesuai selera anak) menjadi kumpulan daun berpasangan atau rangkap dua.
4. Tempelkan tiap pasang daun tiruan itu mengapit ranting.
5. Maka jadilah pohon yang siap mengisi hutan buatan.
Tentu kita akan membutuhkan banyak pohon untuk menciptakan sebuah hutan. Tunggu tulisan berikutnya untuk mengetahui cara membuat hutan. Selamat mencoba!
Senin, 29 Oktober 2007
Kamis, 25 Oktober 2007
Mainan Baru dari Limbah Pohon (Bagian 1)
Anda pasti pernah melihat fenomena ini: pohon yang telah dipangkas dibiarkan menumpuk di pojok halaman atau di buang ke tempat yang jauh lalu dibakar setelah kering. Bahkan tukang sampah pun tak mau membawanya karena bisa membuat truk menjadi cepat penuh. Tapi sungguhkah 'limbah' pohon ini sama sekali tak berguna?
Pagi sekitar jam 9 tetangga saya terlihat mengangkut tumpukan ranting dan batang pohon yang baru pangkas untuk dibuang di pinggiran kolam. Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran saya untuk meminta sebagian ranting-ranting itu untuk bahan belajar anak-anak. Sudah lama saya ingin mengajak anak-anak bermain dengan bahan-bahan alam. Sayangnya di perkotaan memang sangat sulit memperoleh bahan-bahan itu, walau hanya sebatang ranting pohon. Bersyukur sekali hari ini ada tetangga yang memangkas pohon di depan rumahnya dan membuang limbahnya.
Sedikit kreativitas sesungguhnya bisa membuat limbah pohon menjadi asyik sebagai mainan anak-anak. Malah anak-anak juga terlihat menikmati proses pembuatannya dengan melibatkan mereka dalam beberapa pekerjaan, seperti menguliti batang pohon serta membersihkan sampah-sampah setelah pekerjaan selesai.
Saya akan menampilkan beberapa mainan yang bisa kita buat dari bahan limbah pohon ini dalam 4 seri tulisan, yaitu kelereng luncur, "pohon" gelas, hutan, peternakan, dll. Inilah yang pertama.
Kelereng Luncur
"Pohon" Gelas
Semoga menjadi inspirasi bagi Anda.
Selasa, 23 Oktober 2007
Memperkenalkan Tanaman Obat
Semenjak saya tahu dan merasakan efek negatif obat-obatan modern, saya semakin tertarik dengan tanaman obat. Saya pikir, dengan pengetahuan yang memadai, beberapa penyakit ringan bahkan juga penyakit berat sesungguhnya bisa diatasi dengan obat-obatan alami. Tujuannya, untuk meminimalkan resiko penurunan kekebalan tubuh.
Oleh karena itulah saya memasukkan pengetahuan tentang tanaman obat dalam kurikulum belajar anak-anak. Saya berharap, dengan mengenal tanaman obat sejak kecil, anak-anak akan lebih akrab dan juga cinta obat-obatan alami.
Tahapan Belajar
Pertama kali yang kami lakukan adalah melihat macam-macam gambar tanaman obat. Setelah itu kami pilih 5 jenis yang paling mudah diperoleh di sekitar kami atau dibeli di warung. Sebagai permulaan kami ambil kunyit, jahe, kencur, lengkuas, dan daun sirih.
Anak-anak diminta untuk mengamati bentuk fisik masing-masing tanaman obat tersebut, membauinya, dan memotongnya untuk melihat bagian dalam khusus untuk umbi-umbian. Sebagai permainan kita juga bisa bermain tebak-tebakan untuk mendeteksi kepekaan penciuman. Dengan mata di terpejam, mintalah anak-anak untuk mencium bau salah satu rempah dan menebak namanya.
Acara belajar bisa dilanjutkan dengan menanam rempah tersebut di dalam pot untuk mengetahui bentuk daun dan batangnya. Mengamati tanaman itu bertunas setiap hari juga mengasyikkan.
Setelah belajar praktis dilakukan, saya mengambil info lebih detail tentang tanaman-tanaman tersebut di wikipedia versi indonesia www.id.wikipedia.org, dan anak-anak pun bisa membacanya pada saat senggang, terutama mengenai karakteristik dan fungsi tanaman-tanaman tersebut dalam pengobatan penyakit.
Semoga menjadi inspirasi bagi Anda
Minggu, 21 Oktober 2007
Waspadai Lingkungan Anak-Anak Kita!
Mendidik anak ternyata tak sesulit onta masuk ke lubang jarum, namun juga tak semudah membalikkan telapak tangan. Satu hal yang membuat pendidikan menjadi mudah, karena kunci utamanya ternyata hanyalah keteladanan; namun hal itu menjadi sulit, karena menjadi teladan berarti berjuang untuk mengubah kebiasaan.
Ingin anak-anak suka membaca, maka rajinlah membaca; ingin anak-anak suka mengaji, maka rajinlah mengaji; ingin anak-anak bersikap lemah lembut, jadilah orang yang lembut; ingin anak-anak bersikap sabar, maka jadilah seorang penyabar. Semua berawal dari contoh, semua berawal dari kebiasaan orang tua.
Beberapa hari terakhir ini, saya merasa sangat miris membaca berita di surat kabar. Pasca Ramadhan, peristiwa-peristiwa kriminal, amoral, dan KDRT ternyata tak berhenti walau barang sejenak. Paling menyedihkan, ketika hal itu menimpa anak-anak.
Peristiwa pelecehan seksual yang dilakukan ayah kandung ataupun ayah tiri kepada anaknya dan bahkan anak-anak berusia belia terhadap teman atau anak-anak berusia di bawahnya nampak agak sering menjadi bahan pemberitaan.
Hasil penelusuran menunjukkan bahwa banyak dari peristiwa tersebut diawali oleh kebiasaan orang tua yang senang menonton dan menyimpan VCD “dewasa” di rumah. Siapakah yang bisa disalahkan? Jelas tidak adil jika kesalahan ditimpakan kepada anak-anak, karena mereka tidaklah mengerti hingga orang dewasa memberi mereka contoh. Bahkan mungkin mereka pun tidak mengerti ketika mereka melakukannya, karena mereka hanya meniru.
Sangat-sangat mengkhawatirkan moral anak-anak kita jika sebagai orang tua, kita tak mampu memberikan teladan yang baik. Rumah adalah pintu pertama bagi seorang anak untuk mengenal kehidupan. Jika rumah tak bisa menjadi miniatur masyarakat yang baik, maka apa jadinya anak-anak kita jika mereka berada di luar rumah, yang juga semakin “tak ramah” sebagai sebuah lingkungan pendidikan.
Beberapa orang tua begitu ketatnya menjaga akhlak anak-anaknya. Namun pergaulan di luar rumah memungkinkan anak-anak tetap berinteraksi dengan mereka yang berperilaku buruk. Oleh karena itu, sesungguhnya orang tua tak boleh merasa aman membiarkan anak-anak berada di luar rumah tanpa pengawasan yang intensif. Setidaknya orang tua harus tahu dengan siapa anak-anaknya bergaul dan bermain. Karena jangan salah, perilaku amoral bahkan sudah bisa dilakukan anak-anak usia TK sekalipun atau bahkan oleh orang-orang dekat yang kita percayai. Waspada lebih baik daripada menyesal.
Rumah Teladan, Siapa Tertarik Membuatnya?
Ruang pendidikan alternatif. Anak belajar, orang tua juga belajar. Orang tua (bagi yang mampu secara intelektual) adalah guru utama dan tutor professional sebagai pendukung. Setiap orang belajar dengan spirit untuk menjadi teladan: meninggalkan jejak yang baik untuk orang lain hingga menginspirasi orang lain untuk juga berbuat baik
Peserta pembelajaran terdiri atas maksimal 10 anak dari beberapa keluarga. Orientasi program adalah keteladanan akhlak dan ilmu, BUKAN nilai test. Setiap anak dan orang tua adalah teladan yang baik bagi yang lainnya. Tidak ada kata salah, melainkan saling mengingatkan.
Menjadikan Al Quran dan Hadist sebagai penuntun, dan menjadikan orang-orang berilmu sebagai tempat bertanya.
Lokasi belajar: di kelas, di luar kelas, di rumah, dan di ruang-ruang publik.
Metode belajar melalui jalur kontekstual (yang di lakukan di kelas, di rumah, dan ruang-ruang publik), dan metode belajar tekstual dilakukan bersama orang tua di rumah atau perpustakaan dengan konsep: “belajar sendiri”.
Eksplorasi kreativitas adalah kebiasaan besar yang harus dibangun. Dengan begitu, anak-anak pun belajar tentang memberdayakan sumber yang ada dan membuang ketergantungan pada fasilitas yang tak terjangkau selama hasil belajar tetap tercapai dengan media seadanya.
Porsi kurikulum umum dan agama berimbang, dengan mengutamakan konsep agama adalah ilmu dan ilmu untuk beragama.
Biaya ditanggung secara patungan oleh masing-masing peserta dengan mempertimbangkan kemampuan maksimal setiap peserta, namun dimungkinkan untuk melakukan subsidi silang bagi peserta yang berkelebihan.
Legalitas formal diperoleh melalui jalur PKBM, sehingga fasilitas seperti perpustakaan, laboratorium, dan peralatan olah raga diusahakan berasal dari bantuan pemerintah atau donatur, sehingga dapat dipergunakan pula untuk masyarakat umum yang membutuhkan.
Siapa tertarik dan ingin merealisasikan gagasan ini? Mari bergabung atau buatlah dan sempurnakanlah sendiri!
Ada Apa dengan TKW?
Seorang perempuan muda bersikukuh untuk pergi ke Saudi Arabia, menjadi pembantu rumah tangga, mengadu nasib, berharap mendapat riyal untuk membeli kecukupan hidup, seperti halnya anak tetangga yang kini tampak senang dengan untaian perhiasan menghiasi leher hingga kakinya.
Suaminya tak mengijinkan. Secara ekonomi sesungguhnya hidup mereka tidaklah terlalu susah. Rumah baru sudah selesai dibangun, nafkah rutin bulanan pun tak pernah kosong. Apa yang dicari perempuan itu? Bahkan ia rela bercerai jika sang suami tak mengijinkannya pergi.
Tak usahlah menggunakan agama untuk mengukur keputusan perempuan itu, karena secara kasat mata pun, dengan anak-anak yang masih butuh perhatian ibunya, sesungguhnya keputusan itu hanya akan merusak tatanan keluarga yang sudah terbangun. Selain itu, banyak contoh menunjukkan, hasil susah payah bertahun-tahun akhirnya habis di kasa supermarket hanya dalam hitungan minggu.
Selama ini saya berpikir bahwa hanya kemiskinanlah yang menyebabkan maraknya perempuan Indonesia pergi ke luar negeri menjadi TKW; namun pembicaraan dengan perempuan muda itu membuat pikiran saya terbuka, bahwa akar persoalan sesungguhnya justru adalah pendidikan.
Ketika seorang ibu memahami dan bangga dengan tanggung jawabnya terhadap anak dan keluarga, ketika seorang istri merasa mulia dengan kedudukannya di hadapan suami, dan ketika seorang perempuan mampu menghargai dirinya lewat sumbangsih ilmu dan tenaganya untuk masyarakat; semua adalah produk pendidikan.
Sayangnya, pendidikan kini telah menjadi komoditi, tak beda dengan telur dan tepung terigu, malah jauh lebih mahal dari itu. Hingga orang kampung yang lugu lebih memilih membeli telur daripada membayar pendidikan anaknya.
Satu hal yang membuat hati kita miris dan perlu berintrospeksi: Kita pun sering tak peduli dengan orang lain, menyimpan nasehat hanya untuk catatan, abai terhadap keawaman orang-orang di sekitar kita. Padahal kita tahu, sekuntum mawar yang indah dan wangi tak lagi menarik jika di sekelilingnya penuh dengan bunga bangkai.
Salam Pendidikan!
Suaminya tak mengijinkan. Secara ekonomi sesungguhnya hidup mereka tidaklah terlalu susah. Rumah baru sudah selesai dibangun, nafkah rutin bulanan pun tak pernah kosong. Apa yang dicari perempuan itu? Bahkan ia rela bercerai jika sang suami tak mengijinkannya pergi.
Tak usahlah menggunakan agama untuk mengukur keputusan perempuan itu, karena secara kasat mata pun, dengan anak-anak yang masih butuh perhatian ibunya, sesungguhnya keputusan itu hanya akan merusak tatanan keluarga yang sudah terbangun. Selain itu, banyak contoh menunjukkan, hasil susah payah bertahun-tahun akhirnya habis di kasa supermarket hanya dalam hitungan minggu.
Selama ini saya berpikir bahwa hanya kemiskinanlah yang menyebabkan maraknya perempuan Indonesia pergi ke luar negeri menjadi TKW; namun pembicaraan dengan perempuan muda itu membuat pikiran saya terbuka, bahwa akar persoalan sesungguhnya justru adalah pendidikan.
Ketika seorang ibu memahami dan bangga dengan tanggung jawabnya terhadap anak dan keluarga, ketika seorang istri merasa mulia dengan kedudukannya di hadapan suami, dan ketika seorang perempuan mampu menghargai dirinya lewat sumbangsih ilmu dan tenaganya untuk masyarakat; semua adalah produk pendidikan.
Sayangnya, pendidikan kini telah menjadi komoditi, tak beda dengan telur dan tepung terigu, malah jauh lebih mahal dari itu. Hingga orang kampung yang lugu lebih memilih membeli telur daripada membayar pendidikan anaknya.
Satu hal yang membuat hati kita miris dan perlu berintrospeksi: Kita pun sering tak peduli dengan orang lain, menyimpan nasehat hanya untuk catatan, abai terhadap keawaman orang-orang di sekitar kita. Padahal kita tahu, sekuntum mawar yang indah dan wangi tak lagi menarik jika di sekelilingnya penuh dengan bunga bangkai.
Salam Pendidikan!
Jumat, 19 Oktober 2007
Homeschooling, Haruskah Eksklusif?
Sejak subsidi pendidikan nyaris ditiadakan, efek yang langsung terasa oleh masyarakat, adalah mahalnya biaya sekolah. Terbukanya peluang untuk tumbuhnya pendidikan alternatif seperti homeschooling (HS) adalah kabar baik. Dengan pertimbangan finansial, HS diharapkan bisa mengabaikan unsur-unsur tertentu yang membuat biaya pendidikan menjadi mahal. Biaya gedung, seragam, atau atribut-atribut fisik lainnya dapat ditiadakan. Pemerataan pendidikan pun diharapkan akan berjalan lebih baik.
Sayanganya kini model pendidikan alternatif ini juga mengalami distorsi substansi. Munculnya lembaga-lembaga non sekolah yang membuka layanan belajar berbasis HS dengan biaya yang sangat-sangat mahal membuat HS terkesan ekslusif dan tak mungkin dilakukan oleh mereka yang ekonominya pas-pasan.
Tak Perlu Mahal
Perpindahan tempat belajar dan bervariasinya metode yang digunakan dalam bersekolah di rumah tidaklah berarti akan menambah biaya pendidikan jika seorang homeschooler bisa mengelola fasilitas yang ada di sekelilingnya dengan cermat.
Perpustakaan, museum, toku buku dan barang-barang bekas, perabotan rumah, sawah, kebun, tanaman di halaman, hewan peliharaan, dan lain sebagainya adalah contoh-contoh media belajar yang dapat dimanfaatkan tanpa harus merogoh uang terlalu besar.
Satu dari sekian prinsip yang diusung HS diantaranya adalah menghubungkan pengetahuan dengan dunia nyata, dan hal itu seringkali sangat murah. Anak-anak bisa belajar matematika saat mengeluarkan biscuit dari bungkusnya, bisa belajar bahasa inggris saat membaca petunjuk memasak mie instan, atau belajar biologi saat bermain di halaman; dengan mengamati serangga dan tumbuhan yang hidup bebas.
Informasi yang memang dianggap masih kurang oleh para peminat HS adalah aspek-aspek praktis berupa gambaran kurikulum, selain juga cara mengurus legalitas, supaya anak-anak yang melakukan HS tetap bisa memperoleh ijazah resmi sesuai jenjang pendidikan yang ditempuhnya.
Namun demikian, kalau kita mau sedikit menjelajahi internet, semua informasi itu bisa diperoleh cuma-cuma. Mengakses www.puskur.net akan membantu kita untuk mengetahui standar kurikulum nasional, sehingga kita memiliki gambaran dalam merancang kurikulum bagi anak-anak.
Beberapa panduan belajar dan kurikulum pendukung lainnya juga sebenarnya bisa kita dapatkan murah dan bahkan gratis di internet. Dari sana kita bisa mengambil pengalaman para homeschooler yang sudah lebih dulu menerapkan HS, dan kita kombinasikan dengan sedikit sentuhan kreativitas keluarga masing-masing.
HS akan menjadi sangat mahal jika para homeschooler serba membeli segala perangkat belajar yang semestinya tidak perlu dibeli.
Hindari Dokotomi
Dikotomi yang tajam antara HS dan sekolah formal sangat tidak bermanfaat untuk dikembangkan. Melihat pendidikan dalam skala makro, HS pun bisa menjadi bumerang jika hanya didefinisikan sebagai bersekolah di rumah dan tidak pergi ke sekolah. Salah-salah memberikan penjelasan, apa yang diingat dari HS justru hanyalah “tidak pergi ke sekolah”, dan anak-anak malah tidak mau belajar sama sekali di manapun.
HS mungkin masih tampak asing dan eksklusif bagi mereka yang belum mengenalnya terlalu jauh. Padahal kalau kita mau membaca beragam referensi tentang HS, kita akan melihat bahwa sesungguhnya model ini sangat akrab dengan kehidupan kita dan bermanfaat bagi semua orang, termasuk bagi mereka yang akhirnya memilih sekolah formal.
Substansi HS adalah membuat belajar menjadi demikian menyenangkan, mandiri, dan sesuai minat. Tak peduli di mana pun tempatnya, baik di rumah, di pasar, di perpustakaan, ataupun di jalanan, anak-anak bisa belajar sesuatu tanpa harus dibatasi kisi-kisi materi yang mengikat.
Selain itu, prinsip dasar HS yang cukup penting adalah terlibatnya orang tua secara penuh dalam pendidikan anaknya. Sekalipun anak-anak akhirnya masuk sekolah formal, peran orang tua dalam mengelola pendidikan anaknya tidak boleh berhenti.
Meskipun HS murni (bersekolah di rumah) nampak ideal bagi sebagian orang, namun bagi orang tua lain, dengan latar belakang dan pekerjaan yang berbeda HS murni bisa jadi tidak memungkinkan. Pada kondisi inilah sekolah formal atau sekolah alternatif berupa kelas masih tetap dibutuhkan untuk mendidik anak-anak, setidaknya pada sisi koginitif. Sementara itu, menghidupkan etos belajar adalah pe er tersendiri bagi dunia sekolah.
Referensi
Beberapa buku yang membahas tema-tema seputar HS, pembelajaran mandiri, dan sekolah kreatif sudah terbit dalam bahasa Indonesia, seperti Tamasya Belajar (MLC:2005), Revolusi Belajar untuk Anak (Kaifa:2002), Sekolah Para Juara (Kaifa:2004), Belajar Tanpa Sekolah (Nuansa:2006), Totto-Chan (Gramedia:2006), Revolusi Cara Belajar (Kaifa:2001), Homeschooling Keluarga Kak Seto (Kaifa:2007), Ibuku Guruku: Belajar di Rumah dalam Balutan Kearifan dan Kehangatan (MLC:2005), Montessori untuk Sekolah Dasar (Pustaka Delapratasa:2002), Accelerated Learning (Nuansa:2002), dan lain-lain.
Membaca buku-buku tersebut, setidaknya akan membantu setiap orang untuk mengenal temuan-temuan terbaru tentang pembelajaran dan mampu melihat HS tak hanya sekedar bersekolah di rumah.
Lebih jauh menelaah HS, akan membuat kita memahami bahwa HS adalah bagian dari tanggung jawab pendidikan yang diemban orang tua. Sekalipun anak-anak kita bersekolah di sekolah formal, tidaklah hilang tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak-anak, sehingga mereka menyukai belajar dan menjadi tumbuh positif dengan belajar.
Selasa, 09 Oktober 2007
Gambar Tempel
Kamis, 04 Oktober 2007
Kekuatan Pikiran dalam Pengasuhan Anak
Masa kecil adalah masa pembentukan konsep-konsep diri, citra diri, dan kecenderungan-kecenderungan pada manusia. Diakui atau tidak, perbedaan karakter, kebiasaan, selera, dan terlebih persepsi-persepsi kita tentang kehidupan dipengaruhi oleh masa kecil kita. Ajaibnya, semua itu dibentuk bukan lewat tutorial, melainkan diawali oleh pikiran dan persepsi orang tua atas anak-anaknya. Tak percaya?
Sebuah buku berjudul Mind Power for Children yang ditulis oleh John Kehoe dan Nancy Fischer menjelaskan tentang hal tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami. Buku setebal 201 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Think Yogyakarta.
Persepsi kita terhadap anak-anak ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap cara kita memperlakukan mereka dan cara kita berbicara atau bersikap terhadap mereka, dan hal itu pun akan menular pada anak-anak tanpa kita sadari.
Bayangkan ketika kita sedang merasa kesal pada anak-anak saat mereka membuat gaduh. Wajah kita berubah kusut, suara kita menjadi sedikit tegang, dan mungkin meledak jika tak sempat terkontrol. Lalu apa yang mungkin dipikirkan anak-anak tentang kita dengan sikap tersebut? Yakinlah mereka pun akan merasakan ketidaknyamanan itu secara otomatis.
Pada bagian awal buku ini dikatakan, "Pikiran adalah kekuatan paling dahsyat. Begitu pula dalam dunia anak. Segala bentuk pikiran yang terlintas dalam pikiran mereka setiap hari akan mempengaruhi semua aspek kehidupan mereka. Sikap, pilihan, kepribadian dan siapa mereka sebagai individu, adalah produk dari pikiran-pikiran tersebut."
Kekuatan Kata-Kata
Ketika kita sekolah dulu, mungkin pernah mendengar istilah diksi (pilihan kata). Ternyata, hal itu sangat penting diperhatikan dalam mengarahkan pikiran kita dan anak-anak.
Kata-kata adalah lukisan verbal dari pikiran dan perasaan. Kesan yang ditangkap anak-anak dari kata-kata yang kita ucapkan akan diolah sedemikian rupa oleh otak mereka.
Satu hal yang menarik, anak-anak ternyata akan lebih fokus pada kata terakhir yang mereka dengar daripada uraian kata di awal kalimat, betapapun penting dan panjangnya kata-kata pada awal kalimat tersebut.
Beberapa waktu lalu kami sekeluarga pergi mengunjungi kerabat di Jakarta. Di dalam bis kami lihat seorang ibu menggendong anaknya yang masih berusia kurang lebih satu tahun. Anak itu nampak manis dalam gendongan ibunya, sampai kemudian sang ibu berkata pada anaknya, "Ade, jangan rewel ya, jangan nangis!" Ajaibnya, tak lama kemudian anak itu malah merengek-rengek dan bahkan menangis keras tanpa alasan yang jelas.
Saya dan suami senyum-senyum. Ya, teori tentang efek kata terakhir pada anak ternyata benar-benar terbukti. Kalimat yang diucapkan si ibu adalah kalimat negatif, "Jangan rewel!" namun kesan paling dalam yang didengar anak ternyata terletak pada kata terakhir yaitu 'rewel".
Lawan dari kalimat negatif adalah kalimat positif. Mempergunakan kalimat positif akan mengarahkan pikiran kita pada apa yang kita inginkan, sedangkan kalimat negatif mengarahkan pikiran pada apa yang tidak kita inginkan.
Misalnya kalimat, "Saya tak mau gagal lagi." Itu adalah kalimat negatif yang lebih mungkin dipersepsi pikiran kita menjadi "gagal lagi". Namun sesungguhnya kalimat itu bisa berubah postif jika pilihan kata yang kita gunakan adalah, "Kali ini saya akan berhasil".
Mengajarkan Pikiran Positif pada Anak
Melatih anak untuk berpikir positif juga diawali dengan melatih mereka untuk mempergunakan kalimat positif dan menghindari kalimat negatif.
Bagaimana menjelaskan tentang perbedaan pikiran negatif dan positif pada anak-anak menurut penulis buku ini adalah dengan membuat perumpamaan. Pikiran itu ibarat taman. Pikiran positif itu adalah bunga yang membuat kita senang ketika melihatnya, sedangkan pikiran negatif adalah rumput liar yang membuat bunga terlihat kacau dan kita yang melihatnya merasa terganggu. Supaya bunga tumbuh dengan baik, maka sesering mungkin kita harus menyingkirkan rumput liar yang ada di sekelilingnya.
Kekuatan Afirmasi
Beragam hal dalam kehidupan anak-anak terkait pertemanan, persepsi diri, kemampuan-kemampuan intelektual, ataupun optimisme pribadi erat hubungannya dengan bagaimana mereka memikirkan itu semua.
Afirmasi adalah cara paling mudah untuk mengarahkan pikiran dan bahkan keadaan yang negatif menjadi positif. Sebuah penggalan cerita berikut akan menjelaskan hal itu:
Ketika Charles, anak laki-lakiku sakit, ia pergi ke dokter karena kutil yang sangat sakit, berakar di dalam kakinya. Dia dijadwalkan akan diobati dengan mencabut kutil itu seminggu kemudian. Tetapi ketika hari itu tiba, Charles mengatakan kepadaku bahwa kutil itu hampir hilang. Ketika mengeceknya. aku melihat memang benar demikian dan meminta dokter agar membatalkan janjinya. Ketika aku bertanya kepada Charles apa yang telah dia lakukan, dia mengatakan kepadaku bahwa setiap pagi dia melihat kakinya dan berkata, "kakiku bertambah baik dan baik setiap hari." Dia telah menggunakan teknik afirmasi untuk menyembuhkan penyakitnya.
Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Namun tak ada salahnya kan menyimak buku ini, untuk menyumbangkan suplemen positif bagi pikiran kita.
Sebuah buku berjudul Mind Power for Children yang ditulis oleh John Kehoe dan Nancy Fischer menjelaskan tentang hal tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami. Buku setebal 201 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Think Yogyakarta.
Persepsi kita terhadap anak-anak ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap cara kita memperlakukan mereka dan cara kita berbicara atau bersikap terhadap mereka, dan hal itu pun akan menular pada anak-anak tanpa kita sadari.
Bayangkan ketika kita sedang merasa kesal pada anak-anak saat mereka membuat gaduh. Wajah kita berubah kusut, suara kita menjadi sedikit tegang, dan mungkin meledak jika tak sempat terkontrol. Lalu apa yang mungkin dipikirkan anak-anak tentang kita dengan sikap tersebut? Yakinlah mereka pun akan merasakan ketidaknyamanan itu secara otomatis.
Pada bagian awal buku ini dikatakan, "Pikiran adalah kekuatan paling dahsyat. Begitu pula dalam dunia anak. Segala bentuk pikiran yang terlintas dalam pikiran mereka setiap hari akan mempengaruhi semua aspek kehidupan mereka. Sikap, pilihan, kepribadian dan siapa mereka sebagai individu, adalah produk dari pikiran-pikiran tersebut."
Kekuatan Kata-Kata
Ketika kita sekolah dulu, mungkin pernah mendengar istilah diksi (pilihan kata). Ternyata, hal itu sangat penting diperhatikan dalam mengarahkan pikiran kita dan anak-anak.
Kata-kata adalah lukisan verbal dari pikiran dan perasaan. Kesan yang ditangkap anak-anak dari kata-kata yang kita ucapkan akan diolah sedemikian rupa oleh otak mereka.
Satu hal yang menarik, anak-anak ternyata akan lebih fokus pada kata terakhir yang mereka dengar daripada uraian kata di awal kalimat, betapapun penting dan panjangnya kata-kata pada awal kalimat tersebut.
Beberapa waktu lalu kami sekeluarga pergi mengunjungi kerabat di Jakarta. Di dalam bis kami lihat seorang ibu menggendong anaknya yang masih berusia kurang lebih satu tahun. Anak itu nampak manis dalam gendongan ibunya, sampai kemudian sang ibu berkata pada anaknya, "Ade, jangan rewel ya, jangan nangis!" Ajaibnya, tak lama kemudian anak itu malah merengek-rengek dan bahkan menangis keras tanpa alasan yang jelas.
Saya dan suami senyum-senyum. Ya, teori tentang efek kata terakhir pada anak ternyata benar-benar terbukti. Kalimat yang diucapkan si ibu adalah kalimat negatif, "Jangan rewel!" namun kesan paling dalam yang didengar anak ternyata terletak pada kata terakhir yaitu 'rewel".
Lawan dari kalimat negatif adalah kalimat positif. Mempergunakan kalimat positif akan mengarahkan pikiran kita pada apa yang kita inginkan, sedangkan kalimat negatif mengarahkan pikiran pada apa yang tidak kita inginkan.
Misalnya kalimat, "Saya tak mau gagal lagi." Itu adalah kalimat negatif yang lebih mungkin dipersepsi pikiran kita menjadi "gagal lagi". Namun sesungguhnya kalimat itu bisa berubah postif jika pilihan kata yang kita gunakan adalah, "Kali ini saya akan berhasil".
Mengajarkan Pikiran Positif pada Anak
Melatih anak untuk berpikir positif juga diawali dengan melatih mereka untuk mempergunakan kalimat positif dan menghindari kalimat negatif.
Bagaimana menjelaskan tentang perbedaan pikiran negatif dan positif pada anak-anak menurut penulis buku ini adalah dengan membuat perumpamaan. Pikiran itu ibarat taman. Pikiran positif itu adalah bunga yang membuat kita senang ketika melihatnya, sedangkan pikiran negatif adalah rumput liar yang membuat bunga terlihat kacau dan kita yang melihatnya merasa terganggu. Supaya bunga tumbuh dengan baik, maka sesering mungkin kita harus menyingkirkan rumput liar yang ada di sekelilingnya.
Kekuatan Afirmasi
Beragam hal dalam kehidupan anak-anak terkait pertemanan, persepsi diri, kemampuan-kemampuan intelektual, ataupun optimisme pribadi erat hubungannya dengan bagaimana mereka memikirkan itu semua.
Afirmasi adalah cara paling mudah untuk mengarahkan pikiran dan bahkan keadaan yang negatif menjadi positif. Sebuah penggalan cerita berikut akan menjelaskan hal itu:
Ketika Charles, anak laki-lakiku sakit, ia pergi ke dokter karena kutil yang sangat sakit, berakar di dalam kakinya. Dia dijadwalkan akan diobati dengan mencabut kutil itu seminggu kemudian. Tetapi ketika hari itu tiba, Charles mengatakan kepadaku bahwa kutil itu hampir hilang. Ketika mengeceknya. aku melihat memang benar demikian dan meminta dokter agar membatalkan janjinya. Ketika aku bertanya kepada Charles apa yang telah dia lakukan, dia mengatakan kepadaku bahwa setiap pagi dia melihat kakinya dan berkata, "kakiku bertambah baik dan baik setiap hari." Dia telah menggunakan teknik afirmasi untuk menyembuhkan penyakitnya.
Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Namun tak ada salahnya kan menyimak buku ini, untuk menyumbangkan suplemen positif bagi pikiran kita.
Senin, 01 Oktober 2007
Ketika Sekolahku Roboh
Hari Sabtu, jam 11 siang waktu itu, entah mengapa Pak guru sudah mengakhiri pelajaran di kelas. Jelas lebih awal dari seharusnya. Anak-anak sih senang sekali. Apalagi di akhir pekan seperti itu, untuk belajar memang bawaannya agak malas. Yang terbayang adalah liburan setelah selama 6 hari berturut-turut dihadapkan pada situasi yang rutin.
Ruangan kelas kami paling ujung, dan memang satu-satunya ruangan yang masih tersisa dari 5 ruangan kelas yang ada. Sisanya sudah tak bisa dipakai lagi. Atapnya rusak dan bahkan sudah condong. Bangunan itu masih bisa berdiri hanya karena ditopang oleh beberapa bilah bambu besar.
Ya, hanya bermodal keberanian saja tampaknya, guru kami mau mengisi satu kelas paling ujung yang masih lumayan utuh. Habis, di mana lagi kami harus belajar kalau hampir semua ruangan rusak.
Tanpa berpikir apa-apa, hari Sabtu itu kami semua pulang dengan riang. Jarak sekolah ke rumah sekitar 20 menit berjalan kaki. Saat pulang adalah saat yang paling berkesan. Kadang-kadang kami melewati jalan pintas yang penuh dengan pohon buah-buahan. Semilir angin sejuk menyambut kami di tengah rimbunnya pepohonan.
Kurang lebih pukul 14.30, terdengar ribut-ribut di jalanan. Rasa penasaran membuat saya keluar. Seorang tetangga berteriak-teriak, "Sakola runtuh! sakola runtuh! (sekolah roboh! sekolah roboh!".
Tak percaya rasanya mendengar berita itu. Saya pergi bersama teman-teman menengok sekolah yang baru beberapa jam lalu masih berdiri. Tertegun kami melihat bangunan sekolah yang kini sudah rata dengan tanah, termasuk kelas paling ujung tempat kami belajar.
Entah, perasaan sedih dan juga senang bercampur jadi satu. Sedihnya, karena kami tak tahu harus belajar di mana setelah itu, namun senangnya, karena kami pulang cepat, sehingga tak sempat jadi korban.
Kenangan itu begitu melekat hingga saya lulus kuliah saat ini. Selama beberapa minggu kami belajar di rumah dinas guru kami, sampai kemudian pindah ke balai desa dengan jam belajar yang lebih pendek karena harus bergantian dengan kelas-kelas yang lain.
Peristiwa itu terjadi sekitar 20 tahun yang lalu. Saya tak mengira, kalau ternyata kini pun peristiwa robohnya bangunan sekolah tetap terjadi di berbagai wilayah, dan sebagian malah menimbulkan korban.
Mungkin, sebenarnya ini merupakan cermin, betapa buruknya negara menjamin keberlangsungan pendidikan secara merata. Karena di saat banyak bangunan sekolah yang roboh, ternyata dengan cepatnya pusat-pusat perbelanjaan berdiri di sudut-sudut kota; gedung-gedung perkantoran pun dipugar berkali-kali, meski sebenarnya masih layak pakai.
Andai pendidikan adalah prioritas yang penting bagi negara, mungkin tak akan ada lagi cerita tentang sekolah roboh. Yang ada adalah anak-anak yang antusias, guru yang berdedikasi, dan masyarakat yang maju, baik spiritual maupun intelektualnya.
Salam pendidikan!
Ruangan kelas kami paling ujung, dan memang satu-satunya ruangan yang masih tersisa dari 5 ruangan kelas yang ada. Sisanya sudah tak bisa dipakai lagi. Atapnya rusak dan bahkan sudah condong. Bangunan itu masih bisa berdiri hanya karena ditopang oleh beberapa bilah bambu besar.
Ya, hanya bermodal keberanian saja tampaknya, guru kami mau mengisi satu kelas paling ujung yang masih lumayan utuh. Habis, di mana lagi kami harus belajar kalau hampir semua ruangan rusak.
Tanpa berpikir apa-apa, hari Sabtu itu kami semua pulang dengan riang. Jarak sekolah ke rumah sekitar 20 menit berjalan kaki. Saat pulang adalah saat yang paling berkesan. Kadang-kadang kami melewati jalan pintas yang penuh dengan pohon buah-buahan. Semilir angin sejuk menyambut kami di tengah rimbunnya pepohonan.
Kurang lebih pukul 14.30, terdengar ribut-ribut di jalanan. Rasa penasaran membuat saya keluar. Seorang tetangga berteriak-teriak, "Sakola runtuh! sakola runtuh! (sekolah roboh! sekolah roboh!".
Tak percaya rasanya mendengar berita itu. Saya pergi bersama teman-teman menengok sekolah yang baru beberapa jam lalu masih berdiri. Tertegun kami melihat bangunan sekolah yang kini sudah rata dengan tanah, termasuk kelas paling ujung tempat kami belajar.
Entah, perasaan sedih dan juga senang bercampur jadi satu. Sedihnya, karena kami tak tahu harus belajar di mana setelah itu, namun senangnya, karena kami pulang cepat, sehingga tak sempat jadi korban.
Kenangan itu begitu melekat hingga saya lulus kuliah saat ini. Selama beberapa minggu kami belajar di rumah dinas guru kami, sampai kemudian pindah ke balai desa dengan jam belajar yang lebih pendek karena harus bergantian dengan kelas-kelas yang lain.
Peristiwa itu terjadi sekitar 20 tahun yang lalu. Saya tak mengira, kalau ternyata kini pun peristiwa robohnya bangunan sekolah tetap terjadi di berbagai wilayah, dan sebagian malah menimbulkan korban.
Mungkin, sebenarnya ini merupakan cermin, betapa buruknya negara menjamin keberlangsungan pendidikan secara merata. Karena di saat banyak bangunan sekolah yang roboh, ternyata dengan cepatnya pusat-pusat perbelanjaan berdiri di sudut-sudut kota; gedung-gedung perkantoran pun dipugar berkali-kali, meski sebenarnya masih layak pakai.
Andai pendidikan adalah prioritas yang penting bagi negara, mungkin tak akan ada lagi cerita tentang sekolah roboh. Yang ada adalah anak-anak yang antusias, guru yang berdedikasi, dan masyarakat yang maju, baik spiritual maupun intelektualnya.
Salam pendidikan!