Assalamu'alaikum wr. wb.
Saya seorang pendatang baru di lingkungan Pendidikan Sains khususnya kajian Fisika Sekolah Lanjutan (Fisika SL). APa itu Pendidika Sains (IPA) kajian Pendidikan Fisika SL? Ini adalah salah satu program studi di lingkungan SPs UPI Bandung yang sekarang lagi digandrungi oleh para pendidik generasi muda maupun pendidik generasi senior di lingkungan sekolah, LPMP, kampus (Universitas berbasis LPTK), dll. Tetapi bukan itu yang saya maksud, Pendidikan Sains Fisika SL ini akan saya jadikan wadah sebagai pengutaraan "unek-unek" pikiran saya secara murni maupun pendapat para ahli yang menggunakan kaidah tata tulis karya ilmiah secara benar. Saya dapat menjadikan Pendidikan Sains khususnya Pendidikan Fisika sebagai tempat curhat kegalauan isi hati dan pikiran saya mengenai kajian pendidikan IPA (Sains) khususnya Pendidikan Fisika. Saya akan memperkenalkan diri:
Nama : Achmad Samsudin, M.Pd.
Pendidikan S1 : Pendidikann Fisika FMIPA Unnes Semarang
Pendidikan S2 : Pendidikan IPA (Pendidikan Fisika SL) SPs UPI Bandung
Saya kira cukup sekian dulu perkenalannya. saya akan mencoba secara berkala menulis mengenai apa saja yang berkaitan dengan Pendidikan Sains (Pendidikan Fisika SL). Saya mengucapkan terima kasih atas perhatiannya. Semoga hasil artikel atau berita yang diposting dapat bermanfaat bagi pembaca semua. Tak ada gading yang tak retak, karya saya masih banyak kelemahannya. Diharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat memperbaiki blog dan isi artikelnya menjadi lebih baik. Terima kasih... Salam Syam.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Senin, 31 Desember 2007
Minggu, 30 Desember 2007
Ketika Teknologi Menjadi "Guru"
Sudah hampir seminggu lebih VCD edutalk Bahasa Jepang diputar berulang-ulang. Aksen native speaker yang unik membuat anak-anak, terutama si sulung Azkia (5 tahun), tertarik untuk menyimaknya. Kadang-kadang mereka tertawa terbahak-bahak saat mengulang ucapan sang native speaker yang dianggap sangat lucu. Ya, mereka kini belajar tanpa guru secara fisik. Mereka belajar dengan bantuan teknologi.
Saya sering tercengang dengan kemampuan dan juga kemauan anak-anak jaman sekarang. Saat minat belajar itu tumbuh, mereka mau belajar hal-hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan saat saya seusia mereka. Input dan teruslah beri anak-anak input, tanpa kita sadari, mereka melejit menjadi anak-anak yang banyak tahu dan terus penasaran dengan ilmu-ilmu baru.
Sekarang, malah si sulung Azkia sering mengetes mamanya, "Mama tahu nggak apa hachimitsu? aishukurimo?....." dan lain-lain. Sayang, mamanya tak serajin mereka. Jadi, kosa kata Jepangnya kalah deh!
Sengaja saya kenalkan anak-anak pada beragam bahasa asing, walau awalnya mungkin hanya sekedar kosa kata. Beberapa sumber mengatakan, bahwa batas penguasaan aksen sebuah bahasa dibentuk pada 7 tahun pertama. Di atas usia tujuh tahun, penguasaan bahasa apapun yang dikenal anak-anak tidak sebaik ketika mereka mengenalnya sebelum usia 7 tahun. Percaya atau tidak, tak ada salahnya juga untuk dicoba. Toh, hal itu tidak merugikan kita dan anak-anak, selama mereka juga suka mempelajarinya.
Setidaknya dalam pengamatan saya terhadap si sulung yang minatnya kuat terhadap bahasa, tampak ia begitu pe de membaca dan mengucapkan ulang kata-kata Inggris yang berasal dari dialog film ataupun buku cerita. Yang jelas ia lebih fasih daripada saya, yang hampir 8 tahun mendapat pelajaran bahasa Inggris di sekolah.
Terima kasih buat teman saya yang sudah memberi info tentang Japanese VCD. Makasih juga buat para pencipta teknologi. Dalam banyak hal, teknologi sangat membantu anak-anak saya belajar dengan mandiri.
Saya sering tercengang dengan kemampuan dan juga kemauan anak-anak jaman sekarang. Saat minat belajar itu tumbuh, mereka mau belajar hal-hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan saat saya seusia mereka. Input dan teruslah beri anak-anak input, tanpa kita sadari, mereka melejit menjadi anak-anak yang banyak tahu dan terus penasaran dengan ilmu-ilmu baru.
Sekarang, malah si sulung Azkia sering mengetes mamanya, "Mama tahu nggak apa hachimitsu? aishukurimo?....." dan lain-lain. Sayang, mamanya tak serajin mereka. Jadi, kosa kata Jepangnya kalah deh!
Sengaja saya kenalkan anak-anak pada beragam bahasa asing, walau awalnya mungkin hanya sekedar kosa kata. Beberapa sumber mengatakan, bahwa batas penguasaan aksen sebuah bahasa dibentuk pada 7 tahun pertama. Di atas usia tujuh tahun, penguasaan bahasa apapun yang dikenal anak-anak tidak sebaik ketika mereka mengenalnya sebelum usia 7 tahun. Percaya atau tidak, tak ada salahnya juga untuk dicoba. Toh, hal itu tidak merugikan kita dan anak-anak, selama mereka juga suka mempelajarinya.
Setidaknya dalam pengamatan saya terhadap si sulung yang minatnya kuat terhadap bahasa, tampak ia begitu pe de membaca dan mengucapkan ulang kata-kata Inggris yang berasal dari dialog film ataupun buku cerita. Yang jelas ia lebih fasih daripada saya, yang hampir 8 tahun mendapat pelajaran bahasa Inggris di sekolah.
Terima kasih buat teman saya yang sudah memberi info tentang Japanese VCD. Makasih juga buat para pencipta teknologi. Dalam banyak hal, teknologi sangat membantu anak-anak saya belajar dengan mandiri.
Minggu, 23 Desember 2007
Siluet 'Sang Pemimpi'
Hari Minggu, 23 Desember ini kami sudah ditinggal bertiga sejak pagi. Suami saya pergi ke acara penting yang sudah lama diagendakan. Jika keluarga lain menjadikan hari Minggu sebagai liburan bersama, kami sedikit berbeda. Jadwal kami bukan ditentukan oleh hari-hari kerja umum, tapi oleh agenda-agenda yang kami buat sendiri. Bisa jadi justru di hari Senin kami bisa bersama-sama, tapi di hari Sabtu dan Minggu kami malah bekerja. Ya, begitulah kiranya khas para pekerja mandiri. Semua menjadi lebih fleksibel.
Uniknya di minggu ini, anak-anak terasa lebih kooperatif. Papanya pergi mereka santai, cium tangan dan ucapan selamat jalan begitu lancar. Si kecil Luqman yang biasanya melarang papanya pergi, kali ini terlihat rela. Dia langsung melesat, berlari menuju rumah temannya yang hanya terpisah satu rumah dari rumah kami.
Saya menghentikan sementara pekerjaan yang belum kelar. Hari ini saya meniatkan diri untuk membaca. Buku kedua Andrea Hirata yang saya beli hari Jumat (21/12) "Sang Pemimpi", menyisakan tiga per empat bagian untuk dituntaskan. Dan... seperti halnya Laskar Pelangi, saya menemukan di sana kalimat-kalimat 'sakti' yang menggugah kesadaran. Persahabatan dan saling berbagi membuat saya iri. Keberanian untuk bermimpi yang disuguhkan Andrea membuat saya berusaha menata kembali jalan pikiran yang selama ini tak terarah. Pelajaran berharga: Jangan remehkan siapapun, jangan segan untuk membantu siapapun, jangan takut untuk bermimpi.
Pelajaran-pelajaran itu mengalir mengisi pikiran saya yang sejenak berhenti membaca karena harus mencuci piring dan menyiapkan makan siang untuk anak-anak. Ajaibnya, saya tiba-tiba disuguhi pemandangan yang tak biasa. Azkia menawarkan diri untuk membantu saya merapikan piring-piring bersih di rak.
"Mama, Kakak bantu merapikan piring-piring yang ringan, ya..." ujarnya.
Saya mengangguk saja. Tapi tak lama kemudian anak lelaki saya Luqman juga datang ke dapur. Bukan hanya piring plastik yang dirapikan, tapi juga gelas dan piring kaca diambilnya. Sesekali ia melirik saya yang masih mencuci sisa perabotan yang kotor, seolah meminta ijin untuk membantu. Lewat sudut mata saya menangkap kilatan pisau di tangannya. Ingin mencegah, tapi saya coba biarkan. Untuk merapikan pisau dan sendok yang tempatnya jauh di atas, anak kecil itu memanjat ember besar yang memang terletak di sebelah rak. Kakaknya mengambil sendok-sendok dari bawah, si adik meletakkannya di tempat sendok. Nah, rapilah sudah! Mereka berdua bekerja dengan sempurna. Surprise di hari yang agak mendung ini. Sayang baterai kamera sedang low, jadi saya tak sempat mengabadikan momentum indah itu.
Namun sebagai hadiah, saya berjanji mengajak mereka membuat mainan setelah makan siang. Indah sekali! Spirit of "Sang Pemimpi" yang memengaruhi pikiran dan jiwa saya ternyata menyebar ke sekeliling saya. Waktunya berubah menjadi lebih baik, waktunya berubah menjadi lebih optimistik, waktunya berbagi apapun dengan sahabat dan orang-orang yang kita sayangi. Itulah model kehidupan yang ditawarkan 'Sang Pemimpi'. Dan sepertinya, itu pula hidup yang saya impikan. Selalu semangat!
Uniknya di minggu ini, anak-anak terasa lebih kooperatif. Papanya pergi mereka santai, cium tangan dan ucapan selamat jalan begitu lancar. Si kecil Luqman yang biasanya melarang papanya pergi, kali ini terlihat rela. Dia langsung melesat, berlari menuju rumah temannya yang hanya terpisah satu rumah dari rumah kami.
Saya menghentikan sementara pekerjaan yang belum kelar. Hari ini saya meniatkan diri untuk membaca. Buku kedua Andrea Hirata yang saya beli hari Jumat (21/12) "Sang Pemimpi", menyisakan tiga per empat bagian untuk dituntaskan. Dan... seperti halnya Laskar Pelangi, saya menemukan di sana kalimat-kalimat 'sakti' yang menggugah kesadaran. Persahabatan dan saling berbagi membuat saya iri. Keberanian untuk bermimpi yang disuguhkan Andrea membuat saya berusaha menata kembali jalan pikiran yang selama ini tak terarah. Pelajaran berharga: Jangan remehkan siapapun, jangan segan untuk membantu siapapun, jangan takut untuk bermimpi.
Pelajaran-pelajaran itu mengalir mengisi pikiran saya yang sejenak berhenti membaca karena harus mencuci piring dan menyiapkan makan siang untuk anak-anak. Ajaibnya, saya tiba-tiba disuguhi pemandangan yang tak biasa. Azkia menawarkan diri untuk membantu saya merapikan piring-piring bersih di rak.
"Mama, Kakak bantu merapikan piring-piring yang ringan, ya..." ujarnya.
Saya mengangguk saja. Tapi tak lama kemudian anak lelaki saya Luqman juga datang ke dapur. Bukan hanya piring plastik yang dirapikan, tapi juga gelas dan piring kaca diambilnya. Sesekali ia melirik saya yang masih mencuci sisa perabotan yang kotor, seolah meminta ijin untuk membantu. Lewat sudut mata saya menangkap kilatan pisau di tangannya. Ingin mencegah, tapi saya coba biarkan. Untuk merapikan pisau dan sendok yang tempatnya jauh di atas, anak kecil itu memanjat ember besar yang memang terletak di sebelah rak. Kakaknya mengambil sendok-sendok dari bawah, si adik meletakkannya di tempat sendok. Nah, rapilah sudah! Mereka berdua bekerja dengan sempurna. Surprise di hari yang agak mendung ini. Sayang baterai kamera sedang low, jadi saya tak sempat mengabadikan momentum indah itu.
Namun sebagai hadiah, saya berjanji mengajak mereka membuat mainan setelah makan siang. Indah sekali! Spirit of "Sang Pemimpi" yang memengaruhi pikiran dan jiwa saya ternyata menyebar ke sekeliling saya. Waktunya berubah menjadi lebih baik, waktunya berubah menjadi lebih optimistik, waktunya berbagi apapun dengan sahabat dan orang-orang yang kita sayangi. Itulah model kehidupan yang ditawarkan 'Sang Pemimpi'. Dan sepertinya, itu pula hidup yang saya impikan. Selalu semangat!
Sabtu, 22 Desember 2007
Seputar Sosialisasi
Bersosialisasi adalah fitrah manusia. Bahkan anak-anak yang masih belia sekalipun, akan menunjukkan ciri ini secara reflek. Lihatlah anak-anak kita saat dibawa ke sebuah pertemuan dan ada anak-anak lain di sana. Meski baru pertama kali bertemu, mereka akan saling berinteraksi secara perlahan. Tentu saja bahasa sosialisasi mereka khas anak-anak. Bisa dengan berbagi makanan, berlarian, atau sekedar duduk atau bermain bersama. Percakapan biasanya akan bergulir setelah beberapa lama, tergantung karakter anak.
Terlepas dari semua itu, sosialisasi juga ternyata berdampak pada perkembangan anak-anak kita. Pengaruh yang paling terlihat adalah bahasa dan sikap. Saat anak-anak bergaul dengan teman-teman yang biasa berkata baik, bahasa mereka biasanya terbentuk menjadi baik. Namun bersiaplah saat anak-anak bergaul dengan teman yang biasa berkata kotor dan kasar, mereka pun berpotensi untuk terbiasa berkata-kata yang sama.
Memilihkan lingkungan sosial yang sehat adalah tugas berat bagi orang tua masa kini. Karakter dan bahasa negatif tersebar terlalu merata. Televisi, keluarga besar, tetangga, kampung, dan sekolah tak dijamin bebas dari bahasa negatif.
Film anak-anak pun tak ragu bercerita tentang perkelahian, perang, dan permusuhan. Kata-kata kasar dan sumpah serapah kerap berhamburan dari tokoh-tokoh jahatnya. Ya, pelajaran apa yang anak-anak tangkap dari film itu? Saya yakin hanya 10 persen saja mungkin hal positif dari film itu yang diserap anak-anak. Sisanya, dan yang paling diingat, justru adalah bahasa dan karakter yang buruk.Belum lagi keluarga besar, tetangga, kampung, dan sekolah, semuanya juga berpotensi menanamkan saham pada anak-anak kita berupa bahasa dan perilaku negatif.
Sedih ya...
Setiap kali naik kendaraan umum atau berpapasan dengan anak-anak sekolah di jalanan, entah kenapa, bahasa yang saya dengar dari mereka begitu seragam, seperti halnya baju mereka. Nama-nama binatang berhamburan tanpa editor. Mereka tertawa dengan julukan-julukan hewani itu, sama sekali tak sadar nampaknya bahwa hal itu sangat menyedihkan. Siapa yang bisa disalahkan atas itu semua?
Saya melihat, golden age di tambah dengan masa pra baligh bagi orang Muslim, adalah masa penting pendidikan. Menciptakan sinapsis-sinapsis (sambungan-sambungan neuron di otak) yang positif amat vital pengaruhnya pada perkembangan anak. Tapi, itulah kita, para orang tua yang juga masih butuh banyak belajar. Kita sering mengabaikan masa-masa itu. Kita biarkan anak-anak tumbuh tanpa memilihkan untuk mereka lingkungan yang positif dan menjauhkan mereka dari lingkungan yang negatif.
Di rumah-lah, di dalam naungan kasih sayang orang tua yang peduli, anak-anak seharusnya mendapat dasar-dasar pendidikan yang baik. Dalam keseimbangan antara kemerdekaan untuk kreatif dan nilai-nilai etika, orang tua memikul tanggung jawab besar ini. Duh, beratnya jadi orang tua. Tak cukup hanya memberi anak-anak makanan bergizi atau berdoa dan berharap agar anak-anak berakhlak baik, sopan, dan banyak harapan baik lainnya. Kita juga harus banyak belajar untuk memberi teladan.
Terlepas dari semua itu, sosialisasi juga ternyata berdampak pada perkembangan anak-anak kita. Pengaruh yang paling terlihat adalah bahasa dan sikap. Saat anak-anak bergaul dengan teman-teman yang biasa berkata baik, bahasa mereka biasanya terbentuk menjadi baik. Namun bersiaplah saat anak-anak bergaul dengan teman yang biasa berkata kotor dan kasar, mereka pun berpotensi untuk terbiasa berkata-kata yang sama.
Memilihkan lingkungan sosial yang sehat adalah tugas berat bagi orang tua masa kini. Karakter dan bahasa negatif tersebar terlalu merata. Televisi, keluarga besar, tetangga, kampung, dan sekolah tak dijamin bebas dari bahasa negatif.
Film anak-anak pun tak ragu bercerita tentang perkelahian, perang, dan permusuhan. Kata-kata kasar dan sumpah serapah kerap berhamburan dari tokoh-tokoh jahatnya. Ya, pelajaran apa yang anak-anak tangkap dari film itu? Saya yakin hanya 10 persen saja mungkin hal positif dari film itu yang diserap anak-anak. Sisanya, dan yang paling diingat, justru adalah bahasa dan karakter yang buruk.Belum lagi keluarga besar, tetangga, kampung, dan sekolah, semuanya juga berpotensi menanamkan saham pada anak-anak kita berupa bahasa dan perilaku negatif.
Sedih ya...
Setiap kali naik kendaraan umum atau berpapasan dengan anak-anak sekolah di jalanan, entah kenapa, bahasa yang saya dengar dari mereka begitu seragam, seperti halnya baju mereka. Nama-nama binatang berhamburan tanpa editor. Mereka tertawa dengan julukan-julukan hewani itu, sama sekali tak sadar nampaknya bahwa hal itu sangat menyedihkan. Siapa yang bisa disalahkan atas itu semua?
Saya melihat, golden age di tambah dengan masa pra baligh bagi orang Muslim, adalah masa penting pendidikan. Menciptakan sinapsis-sinapsis (sambungan-sambungan neuron di otak) yang positif amat vital pengaruhnya pada perkembangan anak. Tapi, itulah kita, para orang tua yang juga masih butuh banyak belajar. Kita sering mengabaikan masa-masa itu. Kita biarkan anak-anak tumbuh tanpa memilihkan untuk mereka lingkungan yang positif dan menjauhkan mereka dari lingkungan yang negatif.
Di rumah-lah, di dalam naungan kasih sayang orang tua yang peduli, anak-anak seharusnya mendapat dasar-dasar pendidikan yang baik. Dalam keseimbangan antara kemerdekaan untuk kreatif dan nilai-nilai etika, orang tua memikul tanggung jawab besar ini. Duh, beratnya jadi orang tua. Tak cukup hanya memberi anak-anak makanan bergizi atau berdoa dan berharap agar anak-anak berakhlak baik, sopan, dan banyak harapan baik lainnya. Kita juga harus banyak belajar untuk memberi teladan.
Minggu, 16 Desember 2007
Tahu dari Mana?
Pagi itu cukup cerah. Sisa-sisa embun masih nampak menghiasi ujung rerumputan. Awalnya tak sengaja saya biarkan rumput-rumput itu tumbuh liar. Alasannya satu, saya belum sempat membersihkannya. Tapi pemandangan yang saya lihat saat membuang sampah, membuat saya bersyukur tak sempat bersih-bersih di halaman depan. Aneka serangga hilir-mudik di antara tangkai-tangkai bunga sawi. Sawi-sawi itu ditanam petani penggarap sawah di depan rumah saya sekitar satu bulan yang lalu. Kini bunga-bunganya yang mulai mekar menarik perhatian serangga penghisap nektar. Lebah madu, tawon penyengat, dan kupu-kupu dengan riang menikmati sajian gratis itu. Bahkan belalang mungkin membuat sarang dengan mudah di antara rerumputan.
Pemandangan yang saya lihat memunculkan ide menarik untuk anak-anak. Saya panggil mereka untuk mengamati aneka serangga itu dari dekat. Supaya bisa melihat detailnya, saya ajak mereka untuk menangkap satu ekor. Dengan lem kayu yang dilekatkan di ujung kayu kecil, kami berhasil menangkap satu ekor tawon. Dia masih hidup. Lalu kami cocokkan dengan gambar tawon yang kami punya. Asyik juga.
Satu hal yang menarik terjadi ketika kami mengembalikan si tawon di ujung bunga sawi. Sayapnya yang lengket terkena lem kami basahi dengan air, hingga akhirnya tawon itu bisa mengepakkan sayapnya lagi. Tiba-tiba Azkia (5 tahun), putri sulung saya berkata dengan ringan, "Itu pasti tawon jantan," katanya.
"Kenapa?" tanya saya
"Kan, memang hanya tawon jantan yang bisa terbang. Tawon betina hidup di tanah. Dia nggak bisa terbang. Tawon betina akan terbang kalau tawon jantan membawanya terbang bersama-sama..." ujarnya lagi panjang lebar.
"Wah, Mama baru tahu. Kakak baca di buku ya?" tanya saya lagi. Saya tak merasa pernah mengajarinya dan saya juga memang belum tahu informasi itu.
"Enggak. Itu, kan ada di CD 'Benih'."
Saya baru ingat kalau anak-anak suka memutar VCD Harun Yahya. Salah satunya memang bercerita tentang asal-usul 'benih'.
Sepenggal cerita itu membuat saya semakin yakin bahwa sesungguhnya anak-anak adalah pembelajar mandiri. Mereka bisa belajar dari apapun yang mereka lihat, dengar, dan rasakan, tanpa orang tua harus menjejali mereka dengan segudang kata atau bergaya sebagai tutor yang menggurui mereka ini dan itu. Minat belajar anak-anak tumbuh alami, dan terpancar lewat rasa ingin tahunya yang tak pernah habis. Setelah mereka menemukan kesenangan dalam belajar, merekalah yang memutuskan akan belajar apa hari ini, sendiri tanpa harus disuruh.
Benar kata Bob Samples, penulis buku Revolusi Belajar untuk Anak, "Kita harus mendekati anak-anak seakan-akan pikiran mereka itu lengkap, utuh, dan berfungsi." Anak-anak pada dasarnya tidak suka digurui, dinilai atau diuji, persis seperti orang dewasa. Cara belajar mereka unik. Hanya saja, kadang-kadang orang dewasa menganggap mereka tak lebih dari makhluk kecil yang tak banyak tahu. Anak-anak sering dipaksa untuk belajar dengan cara yang dianggap baik menurut orang dewasa, padahal belum tentu cara itu membuat mereka suka untuk belajar.
Keep learning, parents!
Sabtu, 08 Desember 2007
Mendidik Anak Laki-Laki
Di sebuah radio swasta di Bandung sering diperdengarkan kisah seorang doktor di bidang fisika yang sikapnya begitu bersahaja. Beliau tak hanya cerdas di bidang fisika namun juga sangat peduli dengan pekerjaan rumahan yang biasa dilakukan istrinya. Beliau bahkan pernah terlambat menghadiri sebuah rapat hanya karena ingin membantu istrinya mencuci baju.
Tulisan ini mungkin sekedar refleksi dari saya pribadi terhadap pengalaman berinteraksi dan melihat fakta, bahwa kebanyakan laki-laki dewasa ternyata kurang peduli dengan masalah-masalah domestik (rumah). Pekerjaan itu sepertinya dilimpahkan secara konvensional kepada kaum hawa, padahal saya sendiri merasa bahwa hal itu tidak proporsional dan sesungguhnya kurang baik untuk sebuah sinergi antar jender, terutama bagi pasangan yang sudah menikah.
Bukankah ketika suami sakit, dijamin bahwa mereka akan dirawat dengan baik dan keperluan akan makanan dan minuman khas orang sakit juga siap di meja. Nah, ketika istri sakit, apa yang terjadi? Pasti suami kelabakan. Membuat bubur nggak bisa, membuat teh manis nggak bisa, membuat sayur bening apa lagi, dan bahkan mengompres pun tak biasa. Lucunya, layanan seperti itu sudah sering ia dapatkan; namun karena tak biasa dilakukannya, pengetahuan yang kelihatan remeh itu seolah begitu rumitnya.
Pendidikan masa kecil saya anggap sebagai penyebab paradigma pembagian kerja yang absolut itu terbentuk pada diri seseorang. Betul bahwa anak laki-laki dan anak perempuan memiliki ciri biologis yang khas yang membuat masing-masing memiliki tanggung jawab yang khas pula. Akan tetapi, dalam pikiran saya pembagian yang khas itu hanyalah berlaku pada wilayah-wilayah tertentu, dan tidak selebar seperti yang hari ini saya saksikan.
Mencuci piring, mencuci baju, menyapu, mengepel, memasak air, atau menyuapi anak, memandikan anak, membersihkan kamar mandi; menyeduh teh, susu, kopi, dan banyak pekerjaan domestik lainnya kini masih didominasi kaum ibu. Para ayah dan anak laki-laki, tinggal siap menerima ruangan yang rapi, baju yang bersih dan rapi, secangkir teh di meja, kamar mandi yang nyaman, makanan siap santap, dan segudang hal hasil pekerjaan para ibu, anak, atau adik perempuannya.
Pemilahan pekerjaan domestik secara absolut memang sudah lazim. Laki-laki dan bahkan perempuan sendiri seolah sudah menerimanya sebagai sebuah kodrat alam yang tak perlu ditolak. Kelelahan luar biasa akibat pekerjaan domestik yang tak pernah ada habisnya itu pasti adakalanya membuat kaum perempuan mengeluh atau akhirnya 'terkapar' tanpa kata-kata. Namun nyatanya semua harus terus begitu dan begitu, sehingga perempuan pun akhirnya menerima hal itu sebagai takdir. Namun sungguhkah memang begitu seharusnya?
Satu hal yang menarik, ketika kini sudah banyak laki-laki dari kalangan terpelajar yang mulai memahami substansi perbedaan jender, dan menjadi peduli dengan kelelahan istri atau ibu mereka dalam mengurus rumah, banyak di antara mereka tak bisa membantu secara maksimal karena kebiasaan yang sudah terlanjur terbentuk di dalam keluarganya di masa kecil. Kasihan melihat istri berulang kali mencuci piring, namun banyak suami tak juga bergerak ketika tumpukan piring mulai menggunung, kecuali hanya bergumam, "Duh kasihan ya istriku..". Mau bagaimana lagi, kepeduliannya pada sang istri masih belum bisa mengalahkan ketidakbiasaan yang sudah bertahun-tahun terbentuk.
Meskipun tipikal anak laki-laki memang cenderung malas, seenaknya, dan atraktif, namun saya percaya, hal itu bukanlah alasan untuk membiarkan anak laki-laki bertindak semaunya dan melimpahkan pekerjaan pada ibu atau saudara perempuannya. Saya sendiri merasa bahwa sudah saatnya tradisi yang kurang proporsional itu diubah demi kebaikan anak-anak kita dan juga cara berpikir mereka setelah dewasa. Saya sendiri bertekad untuk mendidik anak laki-laki saya, tidak hanya kuat secara fisik, namun juga peduli pada pekerjaan rumah, sehingga kelak ia akan menjadi partner yang ideal bagi istrinya, ayah yang penuh teladan bagi anak laki-lakinya, dan ayah yang menimbulkan rasa aman bagi anak perempuannya (Semoga ya...).
Bagaimana Prakteknya?
Libatkan anak laki-laki dalam berbagai pekerjaan domestik bersama-sama dengan saudara perempuannya; misalnya menyapu, merapikan mainan, memunguti sampah, mengelap meja yang basah, menyimpan gelas di dapur setelah dipakai, dll. Meski awalnya hanya sebagai latihan dan bahkan permainan, namun hal itu sedikit demi sedikit akan membentuk persepsi anak laki-laki menjadi lebih terbuka terhadap pekerjaan tersebut.
Hal yang justru paling penting adalah keterlibatan ayah. Walau bagaimanapun anak-anak akan cenderung meniru kelakuan dan kebiasaan orang tuanya daripada mendengar perintah atau ceramah. Walaupun ibu berusaha agar anak laki-lakinya terbiasa dengan pekerjaan domestik, namun jika ayahnya terlihat selalu ongkang-ongkang kaki saat 'pelajaran' itu berlangsung, yakinlah anak akan lebih meniru ayahnya. Pada akhirnya, kekompakan ayah dan ibu dalam mendidik anak adalah kunci suksesnya pendidikan itu sendiri.
Yang Juga Tak Boleh Dilupakan
Anak laki-laki memiliki ciri khas fisik yang cenderung jauh lebih kuat daripada anak perempuan. Namun saya banyak melihat, pendidikan dalam keluarga yang 'memanjakan' anak laki-laki dalam hal pekerjaan domestik bahkan sering melebar pada pekerjaan khas laki-laki itu sendiri. Akibatnya, banyak pula laki-laki dewasa, terutama di perkotaan, yang mungkin tak kenal apa itu palu, paku, obeng, tang, sendok tembok, gergaji, cangkul, sekop, memperbaiki genteng bocor, mengecat, mengganti pipa air, dll. Mungkin bisa saja pekerjaan-pekerjaan semacam itu diorderkan pada orang lain, tapi apa salahnya juga untuk sedikit lebih tahu, sehingga untuk kasus kran air yang lepas misalnya tak usahlah memanggil 'tukang'.
Maaf, mungkin tulisan ini sedikit mengganggu bagi rekan-rekan yang memiliki cara pandang yang berbeda. Sekali lagi, ini hanya sebuah refleksi pribadi. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang terus 'tumbuh' di atas prinsip belajar tanpa akhir.
Salam pendidikan!
Tulisan ini mungkin sekedar refleksi dari saya pribadi terhadap pengalaman berinteraksi dan melihat fakta, bahwa kebanyakan laki-laki dewasa ternyata kurang peduli dengan masalah-masalah domestik (rumah). Pekerjaan itu sepertinya dilimpahkan secara konvensional kepada kaum hawa, padahal saya sendiri merasa bahwa hal itu tidak proporsional dan sesungguhnya kurang baik untuk sebuah sinergi antar jender, terutama bagi pasangan yang sudah menikah.
Bukankah ketika suami sakit, dijamin bahwa mereka akan dirawat dengan baik dan keperluan akan makanan dan minuman khas orang sakit juga siap di meja. Nah, ketika istri sakit, apa yang terjadi? Pasti suami kelabakan. Membuat bubur nggak bisa, membuat teh manis nggak bisa, membuat sayur bening apa lagi, dan bahkan mengompres pun tak biasa. Lucunya, layanan seperti itu sudah sering ia dapatkan; namun karena tak biasa dilakukannya, pengetahuan yang kelihatan remeh itu seolah begitu rumitnya.
Pendidikan masa kecil saya anggap sebagai penyebab paradigma pembagian kerja yang absolut itu terbentuk pada diri seseorang. Betul bahwa anak laki-laki dan anak perempuan memiliki ciri biologis yang khas yang membuat masing-masing memiliki tanggung jawab yang khas pula. Akan tetapi, dalam pikiran saya pembagian yang khas itu hanyalah berlaku pada wilayah-wilayah tertentu, dan tidak selebar seperti yang hari ini saya saksikan.
Mencuci piring, mencuci baju, menyapu, mengepel, memasak air, atau menyuapi anak, memandikan anak, membersihkan kamar mandi; menyeduh teh, susu, kopi, dan banyak pekerjaan domestik lainnya kini masih didominasi kaum ibu. Para ayah dan anak laki-laki, tinggal siap menerima ruangan yang rapi, baju yang bersih dan rapi, secangkir teh di meja, kamar mandi yang nyaman, makanan siap santap, dan segudang hal hasil pekerjaan para ibu, anak, atau adik perempuannya.
Pemilahan pekerjaan domestik secara absolut memang sudah lazim. Laki-laki dan bahkan perempuan sendiri seolah sudah menerimanya sebagai sebuah kodrat alam yang tak perlu ditolak. Kelelahan luar biasa akibat pekerjaan domestik yang tak pernah ada habisnya itu pasti adakalanya membuat kaum perempuan mengeluh atau akhirnya 'terkapar' tanpa kata-kata. Namun nyatanya semua harus terus begitu dan begitu, sehingga perempuan pun akhirnya menerima hal itu sebagai takdir. Namun sungguhkah memang begitu seharusnya?
Satu hal yang menarik, ketika kini sudah banyak laki-laki dari kalangan terpelajar yang mulai memahami substansi perbedaan jender, dan menjadi peduli dengan kelelahan istri atau ibu mereka dalam mengurus rumah, banyak di antara mereka tak bisa membantu secara maksimal karena kebiasaan yang sudah terlanjur terbentuk di dalam keluarganya di masa kecil. Kasihan melihat istri berulang kali mencuci piring, namun banyak suami tak juga bergerak ketika tumpukan piring mulai menggunung, kecuali hanya bergumam, "Duh kasihan ya istriku..". Mau bagaimana lagi, kepeduliannya pada sang istri masih belum bisa mengalahkan ketidakbiasaan yang sudah bertahun-tahun terbentuk.
Meskipun tipikal anak laki-laki memang cenderung malas, seenaknya, dan atraktif, namun saya percaya, hal itu bukanlah alasan untuk membiarkan anak laki-laki bertindak semaunya dan melimpahkan pekerjaan pada ibu atau saudara perempuannya. Saya sendiri merasa bahwa sudah saatnya tradisi yang kurang proporsional itu diubah demi kebaikan anak-anak kita dan juga cara berpikir mereka setelah dewasa. Saya sendiri bertekad untuk mendidik anak laki-laki saya, tidak hanya kuat secara fisik, namun juga peduli pada pekerjaan rumah, sehingga kelak ia akan menjadi partner yang ideal bagi istrinya, ayah yang penuh teladan bagi anak laki-lakinya, dan ayah yang menimbulkan rasa aman bagi anak perempuannya (Semoga ya...).
Bagaimana Prakteknya?
Libatkan anak laki-laki dalam berbagai pekerjaan domestik bersama-sama dengan saudara perempuannya; misalnya menyapu, merapikan mainan, memunguti sampah, mengelap meja yang basah, menyimpan gelas di dapur setelah dipakai, dll. Meski awalnya hanya sebagai latihan dan bahkan permainan, namun hal itu sedikit demi sedikit akan membentuk persepsi anak laki-laki menjadi lebih terbuka terhadap pekerjaan tersebut.
Hal yang justru paling penting adalah keterlibatan ayah. Walau bagaimanapun anak-anak akan cenderung meniru kelakuan dan kebiasaan orang tuanya daripada mendengar perintah atau ceramah. Walaupun ibu berusaha agar anak laki-lakinya terbiasa dengan pekerjaan domestik, namun jika ayahnya terlihat selalu ongkang-ongkang kaki saat 'pelajaran' itu berlangsung, yakinlah anak akan lebih meniru ayahnya. Pada akhirnya, kekompakan ayah dan ibu dalam mendidik anak adalah kunci suksesnya pendidikan itu sendiri.
Yang Juga Tak Boleh Dilupakan
Anak laki-laki memiliki ciri khas fisik yang cenderung jauh lebih kuat daripada anak perempuan. Namun saya banyak melihat, pendidikan dalam keluarga yang 'memanjakan' anak laki-laki dalam hal pekerjaan domestik bahkan sering melebar pada pekerjaan khas laki-laki itu sendiri. Akibatnya, banyak pula laki-laki dewasa, terutama di perkotaan, yang mungkin tak kenal apa itu palu, paku, obeng, tang, sendok tembok, gergaji, cangkul, sekop, memperbaiki genteng bocor, mengecat, mengganti pipa air, dll. Mungkin bisa saja pekerjaan-pekerjaan semacam itu diorderkan pada orang lain, tapi apa salahnya juga untuk sedikit lebih tahu, sehingga untuk kasus kran air yang lepas misalnya tak usahlah memanggil 'tukang'.
Maaf, mungkin tulisan ini sedikit mengganggu bagi rekan-rekan yang memiliki cara pandang yang berbeda. Sekali lagi, ini hanya sebuah refleksi pribadi. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang terus 'tumbuh' di atas prinsip belajar tanpa akhir.
Salam pendidikan!