A TIME OF PANIC BUYING :
BERKAH (ATAU BENCANA?) OTONOMI DAERAH
Pernah dengar kisah ‘mengharukan’ tentang petani cengkeh kita ? Suatu ketika petani cengkeh kita memperoleh panenan yang melimpah. Harga cengkeh di pasaran juga sedang top. Pokoknya di luar dugaan lah! Tak pelak merekapun jadi bingung dengan begitu banyaknya uang di tangan mereka. Merekapun akhirnya berbelanja habis-habisan. Apapun yang ditawarkan pada mereka akan disikat habis. Pakaian, makanan, tivi, motor, kulkas, mobil mewah, semua dibeli tanpa berkedip. Lha wong duit melimpah je !
Tapi setelah itu barulah mereka sadar bahwa tivi dan kulkas ternyata tidak bisa dipakai karena listrik belum masuk ke desa mereka. Terpaksa kulkas dimanfaatkan jadi lemari pakaian daripada nggak kepake. Motor masih bisa dipakai meski susah payah tapi mobil mewah terpaksa cuma jadi barang pajangan karena mereka ternyata belum bisa nyetir. Lagipula jalanan masih berupa jalan pematang.
Kata teman saya yang kerja di valas mereka itu sedang mengalami ‘panic buying’. Kita membeli apa saja karena kita punya uang begitu banyak dan semua barang yang ada dalam angan-angan kita terasa ‘murah’ harganya. Itu adalah masa-masa ketika kita tiba-tiba memiliki begitu banyak uang tanpa kita sangka-sangka padahal selama ini kita merasa begitu miskin dan hanya bisa berkhayal seperti Oppie Andaresta ketika ia melantunkan tembangnya ‘Andai Aku Jadi Orang Kaya’.
Rasa-rasanya masa-masa itu kini terulang lagi, tapi dalam skala yang lebih besar. Terkisahlah di Negara Borneo bagian Wetan beberapa orang bersaudara tiba-tiba mendapat uang ganti rugi dari tanah mereka yang terkena proyek tambang emas. Uang ganti rugi itu begitu besar sehingga anak anak mereka yang masih TK pun mereka beri bagian dalam jumlah yang bahkan masih sulit untuk dipahami oleh mereka. Tentu saja dengan himbauan agar dibelanjakan dengan bijaksana. Tapi namanya orang kaya. Uang begitu banyak dan semua bisa dibeli. Akhirnya apapun ide yang melintas, apapun barang yang ditawarkan bakal diborong habis.
Melihat hal ini seorang pengusaha yang cerdik segera menawari mereka untuk berkongsi bisnis di bidang angkutan taksi. “Penumpang bahkan sudah antri untuk menyewa mobil kita begitu mereka tahu bahwa kita akan beli mobil taksi,” begitu kata si pengusaha meyakinkan. Untuk lebih meyakinkan mereka si pengusaha membuat sebuah proposal sebagai berikut :
Pengeluaran :
Pembelian mobil Rp. 100.000.000,-
Perkiraan pendapatan :
Setoran perhari Rp 200.000,- X 30 hari X 12 bulan X 2 tahun Rp. 144.000.000
Dari sini kita bisa melihat bahwa dalam 2 tahun saja modal sudah akan kembali beserta keuntungan yang akan dibagi sesuai dengan kongsi masing-masing (sipengusaha sendiri punya bagian 20 % meski tidak perlu keluar duit untuk ikut kongsi) . Siapa yang tidak ngiler melihat angka-angka tersebut ? Maka tanpa berpikir panjang (OKB memang jarang yang berpikir panjang) beberapa dari merekapun langsung sepakat dan rame-rame menyerahkan uang kepada pengusaha tadi untuk membeli mobil angkutan taksi tersebut.
Tapi ketika mobil tiba barulah muncul masalah. Ternyata si pengusaha dan para tokoh kita ini tidak punya garasi untuk menyimpan kendaraan tersebut (nggak bilang sih kalau mobil perlu garasi !). rencana untuk segera mengoperasikan taksi tersebut lantas buyar karena ternyata banyak kendala untuk mengoperasikannya. Dengar-dengar katanya mobil yang dibeli ternyata tidak cocok untuk jenis jalan yang akan dilalui (katanya ini hanya masalah teknis !). Yang lebih celaka lagi katanya si pengusaha ini ternyata belum pernah menjadi pengusaha taksi ! Perhitungan yang disodorkan ternyata juga tidak masuk akal karena untuk mencapai angka tersebut berarti mobil harus berjalan terus non-stop selama 2 tahun. Jadi nggak boleh masuk bengkel.
Melihat ini anak-anak dan istri merekapun jadi ngomel. Bahkan salah seorang istri mereka nyeletuk, “Sampeyan ini kok ya gampang men percaya sama orang tho Pak…Pak !.” Impian untuk memperoleh keuntungan seperti dalam proposal terpaksa dibuyarkan dan bahkan bayangan rugi besar dan dicibir orang banyak mulai membuat para tokoh kita ini tidak bisa tidur nyenyak. Para tokoh kita ini terpaksa mumet memikirkan bagaimana agar usaha taksi ini bisa jalan padahal semula rencananya mereka tinggal ongkang-ongkang kaki tunggu setoran masuk.
Another story,
Karena sangat pingin menjadi pintar dan berkemampuan global (maklum hantu AFTA sudah mengetuk pintu) maka para tokoh kita tersebut berlomba-lomba membeli segala sesuatu yang berlabel ‘peningkatan SDM’. Mulai dari ‘mampu berbahasa Inggris cas-cis-cus’, ‘anak-anak diterima di PTN’, ‘memiliki gelar MBA, MM, MPD, DR (HC ataupun tak HC), bahkan PhD’ dibeli dengan tanpa melihat harga. Ada yang menyuruh semua anggota keluarganya untuk kursus bahasa Inggris. Mulai dari bapak, emak, anak, sopir dan pembokat semuanya tanpa kecuali harus belajar bahasa Inggris. Panggil guru bahasa Inggris paling top. Ada pula yang mencanangkan agar anaknya yang semula ‘bungul’ harus menjadi ‘unggul’. Anak yang biasanya sehari belajar 5 jam dituntut untuk belajar 8 jam sehari. “Biar cepat lulus,” katanya. Padahal “Education is not a race of information but a walk of invention’ demikian kata orang bijak.
Istri, sopir dan pembantu dikuliahkan S2 bekerja sama dengan institut paling tersohor di negeri itu (padahal rankingnya di di negara-negara tetangga cuman ranking 21). Ada lagi yang lebih ‘spektakuler’ dengan menyediakan dana edhan-edhanan untuk mendirikan suatu universitas internasional bekerjasama dengan negara-negara tetangga yang kebetulan memang lebih baik kualitasnya. Semua pelajaran harus diberikan dalam bahasa Inggris dan oleh para dosen yang fasih berbahasa Inggris. Pokoknya kalau lulus harus sudah setara dengan lulusan luar negeri dan bahasa Inggrisnya sudah cas-cis-cus. Titik.
Tapi kemudian ternyata hasilnya tidak seperti yang direncanakan. Belajar bahasa Inggris ternyata sulit setengah mati meski guru paling top sudah dipanggil (maklum dasar pengetahuannya sangat rendah, memori sudah payah dan masalah sehari-hari sudah setumpuk). Gaji guru sudah dikatrol tapi toh kinerjanya tidak kunjung naik. Sekolah sudah gratis tapi yang belajar tetap tidak bergairah. S2 sudah diikuti tapi hanya bikin pusing kepala dan buang waktu. Relevansi dengan peningkatan kualitas SDM tetap tanda tanya. Kerjasama dengan institusi top ternyata tidak memuaskan karena ternyata mereka sendiri kekurangan SDM dan kerjasama hanya jadi proyek. Untunglah bahwa proyek mendirikan universitas internasional belum dilaksanakan dan baru sebatas wacana. Disamping ‘salah disain’ proyek tersebut bisa jadi ‘proyek salah kaprah part II’ seperti proyek taksi sebelumnya.
Ada beberapa hal yang perlu kita pahami bersama. Ada pepatah kuno yang berkata, “Money can buy books but cannot buy knowledge” Ini pepatah kuno memang tapi nampaknya perlu kita pahami pada saat dan situasi kini. Peningkatan kualitas SDM memang harus bertahap dan tidak bisa dilakukan dengan sulap kecepatan tangan. Ada proses-proses yang harus dilalui dan proses-proses tersebut tidak bisa diganti dengan uang berapa gebokpun. Ada seorang teman yang berkata, “Seandainya ada kapsul yang kalau kita makan kita bisa langsung bisa berbahasa Inggris, saya akan beli berapa puluh jutapun harganya,” Tentu saja ia bergurau karena kapsul tersebut tidak pernah ada.
Untuk bisa berbahasa Inggris kita harus melalui proses belajar dan berlatih. Dan itu bisa makan waktu bertahun-tahun. Sebagai contoh, untuk bisa mengikuti kuliah di Australia atau Amerika disyaratkan nilai TOEFL atau IELTS sejumlah tertentu. Dan untuk bisa memperoleh nilai tersebut dibutuhkan pengetahuan yang diperoleh dengan proses tertentu pula. Hal ini memang sering membuat kita jadi kurang sabar. “Mengapa kita tidak membeli saja sertifikat TOEFL atau IELTS agar bisa lolos persyaratan kuliah di sana ?” demikian usul seseorang secara iseng (atau mungkin keblinger), “Bukankah kita punya banyak uang yang bisa dipakai untuk membeli apa saja ?” Celakanya ide ini dianggap masuk akal dan itulah yang terjadi saat ini. Kita ramai-ramai membeli sertifikat apa saja dan menganggapnya sebagai paspor untuk memasuki dunia global. Berbagai gelar kita buru, berbagai kursus kita ikuti. Setifikat memang bisa kita beli, gelarpun bisa kita deretkan di belakang nama kita, but knowledge …? We are just fooling ourself, demikian sebuah bait lagu entah siapa penyanyinya.
Kalau siswa SMP dan SMU kita tidak memperoleh pengetahuan dan ketrampilan yang memadai dalam bahasa Inggris sebaiknya kita tidak bermimpi untuk mengirim mereka belajar ke luar negeri. Apalagi bermimpi untuk membangun perguruan tinggi berskala internasional di daerah (dengar-dengar Habibie dulu membutuhkan waktu 10 tahun sebelum mendirikan IPTN). Saya kuatir jangan-jangan kita akan beli micro-wave, tapi kali ini akan kita pakai sebagai rak sepatu.
Balikpapan, 4 Maret 2002
Satria Dharma
STIKOM BALIKPAPAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar