Minggu, 02 September 2007
Emansipasi dan Hak Anak
Emansipasi mungkin kata yang paling menyenangkan bagi perempuan dewasa, namun bisa jadi merupakan kata yang menyebalkan bagi anak-anak. Bagaimana tidak, emansipasi membuat ibunya bisa bekerja di luar rumah, meninggalkan mereka hanya dengan pembantu atau nenek-kakek yang sebenarnya sudah lelah mengurus anak kecil.
Realitas zaman modern menuntut serba banyak kepada setiap orang untuk bekerja keras, tak terkecuali kaum ibu. Hal itu ternyata memicu persoalan baru dalam hal pengasuhan anak-anak. Karena para ibu harus juga bekerja untuk menambah pemenuhan ekonomi keluarga, anak-anak terpaksa harus dititipkan kepada orang lain.
Hal itu kini menjadi lumrah namun juga menyisakan pertanyaan, bagaimana nasib anak-anak di masa yang akan datang. Jelas masa depan mereka bukan hanya terletak pada persoalan terjaminnya pendidikan formal atau terpenuhinya kebutuhan materil. Masa depan anak-anak juga menyangkut bagaimana mereka nanti memandang hidup dan bagaimana mereka menentukan peran-peran apa yang harus mereka jalani.
Whitney Housten bilang dalam bait pertama Greatest Love of All, “I believe that children are our future” (Aku percaya bahwa anak-anak adalah masa depan kita). Keyakinan akan hal itu tidaklah berlebihan. Anak-anak yang bermental kuat, cerdas, dan bahagia, akan memberi kemungkinan lebih besar bagi mereka untuk bertahan menghadapi masa depan yang jauh lebih bersaing. Orang tua yang mampu menghasilkan anak-anak berkualitas tentu akan hidup lebih berbahagia di masa tua.
Membiarkan anak-anak hidup tanpa pengasuhan yang baik di masa kecil hanya menanamkan “saham” untuk melemahkan mereka di masa dewasa. Tantangan abad ini dalam pengasuhan dan pendidikan anak bukan hanya berhadapan dengan canggihnya teknologi, namun bertambahnya pula kecanggihan kriminal dan “racun-racun” penghancur perilaku dan norma.
Televisi dan lingkungan hari ini memiliki peran yang besar dalam membentuk kepribadian dan kecenderungan anak-anak. Anak-anak yang lebih banyak hidup dan berinteraksi dengan pembantu secara tidak langsung akan mengadopsi berbagai kebiasaan yang dilakukan para pembantunya.
Pendidikan para pembantu pada umumnya hanya lulusan SMP bahkan lebih rendah, dan mayoritas di antara mereka tidak memiliki bekal pengetahuan tentang mengasuh dan mendidik anak. Apa yang bisa kita harapkan dari mereka saat menjaga anak-anak kita. Biasanya anak-anak akhirnya bebas menonton televisi tanpa penyaringan sama sekali. Kalau pembantu suka nonton film India, ya anak-anak juga ikut-ikutan nonton film India.
Otak anak-anak yang masih terbuka untuk beragam input, baik input negatif maupun positif, akan menyerap semua yang bisa mereka lihat dan mereka dengar hampir seratus persen. Dengan kata lain, kalau saja kita menginginkan anak-anak yang positif, maka kita harus bisa memastikan bahwa apa yang masuk ke dalam otak mereka juga hal-hal yang positif.
Meremehkan input yang diperoleh anak-anak usia dini, secara tidak langsung menunjukkan bahwa kita telah merelakan anak-anak menjadi apapun, walaupun akhirnya mereka tumbuh menjadi pribadi negatif.
Ruang Kerja Peduli Anak
Pekerjaan merupakan salah satu sumber motivasi untuk melanjutkan hidup dan merasa berarti dalam hidup. Perempuan pun jelas berhak atas hal itu. Namun menjadi ibu menuntut sesuatu yang agak berbeda. Anak-anak lahir dengan satu identitas kemanusiaan yang juga harus dihargai. Kita memang tidak perlu secara hitam-putih memandang anak-anak dan pekerjaan sebagai dua kubu yang berlawanan. Kehadiran anak-anak semestinya justru bisa memberikan inspirasi lain tentang pekerjaan dan aktualisasi diri, selain dari apa yang hari ini dikerjakan masyarakat.
Mungkin tidak banyak kantor yang mengizinkan karyawannya membawa anak balita ke tempat kerja. Hal itu merupakan persoalan yang cukup berat bagi para ibu, terlebih bagi para ibu yang memiliki anak-anak di bawah usia dua tahun. Hak bayi atas air susu ibunya terampas oleh peraturan kantor yang seperti itu, dan para ibu juga menderita karena harus memompa air susu yang menggumpal akibat tidak disusukan kepada bayinya.
Emansipasi yang nampak memukau, pada faktanya seringkali berwujud kebebasan semu. Kepentingan-kepentingan ekonomi dan politik-lah yang akhirnya riang, karena bisa lebih gampang mengeksploitasi potensi perempuan, baik kecerdasannya, kemolekannya, daya tahannya yang tinggi untuk mengatasi kelelahan, kesabarannya, ketelitiannya, ataupun kemampuannya untuk bernegosiasi. Namun balasan atas berbagai eksploitasi di ruang-ruang ekonomi dan industri itu justru banyak merugikan perempuan dan anak-anaknya.
Lingkungan kerja yang peduli anak-anak merupakan solusi penyeimbang dan penyambung dua persoalan perempuan-bekerja yang sudah berstatus ibu. Perusahaan yang mempekerjakan para ibu idealnya memiliki tempat penitipan anak atau lebih bagusnya lagi arena bermain anak-anak. Kalau mungkin, bahkan didirikan Play group dan TK fullday yang lokasinya berdekatan dengan kantor tempat ibunya bekerja, sehingga anak-anak masih bisa bertemu ibunya di waktu istirahat. Selain itu, dekatnya tempat kerja dengan anak-anak minimal akan mengurangi kadar stres ibu mereka.
Keseimbangan
Dr. Qaimi, dalam sebuah buku terbitan Cahaya, berjudul Menggapai Langit Masa Depan Anak, mengatakan bahwa pekerjaan merupakan sumber kebahagiaan umat manusia, yang menjadikan tubuh dan jiwa sehat dan kuat. Para nabi sepanjang sejarah mendorong umat manusia untuk selalu giat bekerja dan berusaha.
Bahkan Nabi saw yang mulia menganggap pekerjaan merupakan kewajiban. Fatimah Az Zahra, puteri Rasulullah saw, sekalipun sibuk merawat dan mendidik anak, tetap giat bekerja di waktu senggang dengan memintal kapas, menggiling gandum, dan melaksanakan berbagai pekerjaan. Tentu saja hal itu dapat beliau lakukan, karena Imam Ali r.a mau berkhidmat untuk menjaga anak-anaknya saat beliau bekerja.
Memang benar bahwa mencari nafkah bukanlah kewajiban perempuan. Akan tetapi, tidaklah pula menjadi salah jika seorang ibu memiliki kegiatan “ekstrakurikuler” selain mengurus keluarga. Rambu-rambu yang harus dipegang hanyalah menjaga agar para ibu tidak terlalu sibuk dan menjadikan pekerjaannya lebih utama dari mengurus keluarganya.
“Berkantor” di Rumah
Sebenarnya, pada beragam keadaan dan alasan, ketika seorang ibu memilih untuk bekerja, baik karena ingin memperoleh penghasilan tambahan bagi keluarganya atau hanya sekedar untuk menyegarkan pikirannya dari sesuatu yang rutin, para ibu masih bisa melakukannya tanpa harus meninggalkan anak-anak. Caranya adalah dengan “berkantor” di rumah.
Di era digital seperti sekarang, sesungguhnya jenis pekerjaan atau kegiatan ekonomi tidak lagi harus terhalang oleh kendala-kendala jarak. Hal itu nyaris bisa teratasi dengan baik dengan penggunaan teknologi yang semakin canggih. Telepon seluler dan internet memungkinkan setiap orang untuk bekerja di manapun dengan klien yang tempat tinggalnya berjauhan bahkan hingga di belahan bumi yang lain.
Oleh karena itu, berkantor di rumah merupakan pilihan yang patut diperhitungkan. Hari ini, home-office bukanlah sesuatu yang mustahil, dan bahkan menjadi semakin populer. Sudah banyak orang melakukannya dengan pertimbangan efisiensi dan untuk menjaga intensitas pertemuan dengan keluarga. Langkah berikutnya tinggal memilih bidang-bidang apa yang akan dijadikan objek usaha “rumahan”.
Menjamurnya kios penjual voucher elektrik di rumah-rumah adalah contoh kecil dari peluang ekonomi yang dapat dikembangkan para ibu. Bahkan beberapa waktu terakhir ini peluang untuk membuka loket pembayaran listrik dan telepon juga terbuka lebar. Semuanya dapat dilakukan di rumah, tanpa meninggalkan anak-anak.
Beberapa ibu yang pandai memasak juga berpotensi untuk mengembangkan usaha rumahan. Sudah banyak contoh ibu-ibu yang sukses di bidang kuliner dengan berbekal semangat berani mencoba. Mereka berhasil membangun usaha yang mampu meningkatkan pendapatan keluarga serta punya waktu yang cukup bersama anak-anak.
Selain itu, para ibu yang memiliki wawasan luas dan kemampuan intelektual yang cukup tinggi dapat menjual keterampilan-keterampilan khusus yang dimilikinya untuk melayani pasar yang sesuai. Misalnya saja jasa penerjemahan dan editing naskah bagi lulusan bahasa, jasa pembuatan laporan keuangan bagi lulusan akuntansi, jasa design grafis, menulis buku, dan lain sebagainya.
Meski tanpa embel-embel emansipasi, beragam tuntutan hidup mungkin tak terelakkan lagi membuat para ibu pun harus ikut menambah rupiah. Namun sekiranya masih bisa bekerja paruh waktu sehingga memungkinkan anak-anak tetap terawasi dan terasuh dengan baik, sungguh bijaksana kalau pekerjaan itu yang diprioritaskan. Kalau benar-benar yakin, bahkan perempuan berjiwa wirausaha bisa membuka peluang income secara mandiri, sekalipun ruang kerjanya mungkin hanya di sudut rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar