Kamis, 28 Mei 2009
PEDOMAN PENULISAN KARYA TULIS ILMIAH (KTI) UNTUK GURU
UNTUK GURU
Oleh:
Achmad Samsudin, M.Pd.
Jurdik Fisika FPMIPA UPI Bandung
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kiranya, kita sependapat bahwa tenaga kependidikan memegang peran dalam mencerdaskan bangsa -- pada sajian ini, guru digunakan sebagai acuan bahasan, namun demikian berbagai kebijakan umumnya juga berlaku bagi pengawas, penilik maupun pamong belajar. Karena itu, berbagai kebijakan kegiatan telah dan akan terus dilakukan untuk meningkatkan: karir, mutu, penghargaan, dan kesejahteraannya. Harapannya, mereka akan lebih mampu bekerja sebagai tenaga profesional dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.
Salah satu kebijakan penting adalah dikaitkannya promosi kenaikan pangkat/jabatan guru dengan prestasi kerja. Prestasi kerja guru tersebut, sesuai dengan tupoksinya, berada dalam bidang kegiatannya: (1) pendidikan, (2) proses pembelajaran, (3) pengembangan profesi dan (4) penunjang proses pembelajaran.
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 84/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, serta Keputusan bersama Menteri Pendidikan dan kebudayaan dan Kepala BAKN Nomor 0433/P/1993, nomor 25 tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, pada prinsipnya bertujuan untuk membina karier kepangkatan dan profesionalisme guru.
Kebijakan itu di antaranya mewajibkan guru untuk melakukan keempat kegiatan yang menjadi bidang tugasnya, dan hanya bagi mereka yang berhasil melakukan kegiatan dengan baik diberikan angka kredit. Selanjutnya angka kredit itu dipakai sebagai salah satu persyaratan peningkatan karir.
Penggunaan angka kredit sebagai salah satu persyaratan seleksi peningkatan karir, bertujuan memberikan penghargaan secara lebih adil dan lebih professional terhadap kenaikan pangkat yang merupakan pengakuan profesi, serta kemudian memberikan peningkatan kesejahteraannya.
1.2. Permasalahan
Terdapat beberapa permasalahan yang terkait dengan kebijakan pengumpulan angka kredit, di antaranya adalah :
(a) Pengumpulan angka kredit untuk memenuhi persyaratan kenaikan dari golongan IIIa sampai dengan golongan IVa, relatif mudah diperoleh. Hal ini karena, pada jenjang tersebut, angka kredit dikumpulkan hanya dari tiga macam bidang kegiatan guru, yakni (1) pendidikan, (2) proses pembelajaran, dan (3) penunjang proses pembelajaran. Sedangkan angka kredit dari bidang pengembangan profesi, belum merupakan persyaratan wajib.
Akibat dari “longgarnya” proses kenaikan pangkat dari golongan IIIa ke IVa tersebut, tujuan untuk dapat memberikan penghargaan secara lebih adil dan lebih profesional terhadap peningkatan karir, kurang dapat dicapai secara optimal.
Longgarnya seleksi peningkatan karir menyulitkan untuk membedakan antara mereka yang berpretasi dan kurang atau tidak berprestasi. Lama kerja pada jenjang kepangkatan, lebih memberikan urunan yang siginifikan pada kenaikan pangkat. Kebijakan tersebut seolah-olah merupakan kebijakan kenaikan pangkat yang mengacu pada lamanya waktu kerja, dan kurang mampu memberikan evaluasi pada kinerja profesional.
(b) Permasalahan kedua, berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan keadaan di atas. Persyaratan kenaikan dari golongan IVa ke atas relatif sangat sulit. Permasalahannya terjadi, karena untuk kenaikan pangkat golongan IVa ke atas diwajibkan adanya pengumpulan angka kredit dari unsur Kegiatan Pengembangan Profesi.
Angka kredit kegiatan pengembangan profesi –berdasar aturan yang berlaku saat ini-dapat dikumpulkan dari kegiatan :
1. menyusun Karya Tulis Ilmiah (KTI),
2. menemukan Teknologi Tepat Guna,
3. membuat alat peraga/bimbingan,
4. menciptakan karya seni dan
5. mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.
Penulisngnya, karena petunjuk teknis untuk kegiatan nomor 2 sampai dengan nomor 5 belum terlalu operasional, menjadikan sebagian terbesar guru menggunakan kegiatan penyusunan Karya Tulis Ilmiah (KTI) sebagai kegiatan pengembangan profesi.
Sementara itu, tidak sedikit guru dan pengawas yang “merasa” kurang mampu melaksanakan kegiatan pengembangan profesinya (= yang dalam hal ini membuat KTI) sehingga menjadikan mereka enggan, tidak mau, dan bahkan apatis terhadap pengusulan kenaikan golongannya. Terlebih lagi dengan adanya fakta bahwa (a) banyaknya KTI yang diajukan dikembalikan karena salah atau belum dapat dinilai, (b) kenaikan pangkat/golongannya belum memberikan peningkatkan kesejahteraan yang signifikannya, (c) proses kenaikan pangkat sebelumnya – dari golongan IIIa ke IVa yang “relatif lancar”, menjadikan “kesulitan” memperoleh angka kredit dari kegiatan pengembangan profesi, sebagai “hambatan yang merisaukan”.
BAB II
MACAM-MACAM KTI
2.1. Posisi Karya Tulis Ilmiah dalam Kegiatan Pengembangan Profesi
Sebagaimana diutarakan sebelumnya, kenaikan pangkat/jabatan Guru Pembina/Golongan IVa ke atas, mewajibkan adanya angka kredit dari kegiatan Pengembangan Profesi. Berbeda dengan anggapan umum yang ada saat ini, menyusun Karya Tulis Ilmiah (KTI) BUKAN merupakan satu-satunya kegiatan pengembangan profesi.
Pengembangan profesi terdiri dari 5 (lima) macam kegiatan, yaitu: (1) menyusun Karya Tulis Ilmiah (KTI), (2) menemukan Teknologi Tepat Guna, (3) membuat alat peraga/bimbingan, (4) menciptakan karya seni dan (5) mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum. Namun, dengan berbagai alasan, antara lain karena belum jelasnya petunjuk operasional pelaksanaan dan penilaian dari kegiatan selain menyusun KTI, maka pelaksanaan kegiatan pengembangan profesi, sebagian terbesar dilakukan melalui KTI.
Diketahui bahwa KTI adalah laporan tertulis tentang (hasil) suatu kegiatan ilmiah. Karena kegiatan ilmiah itu banyak macamnya, maka laporan kegiatan ilmiah (KTI) juga beragam bentuknya. Ada yang berbentuk laporan penelitian, tulisan ilmiah populer, buku, diktat dan lain-lain.
KTI dapat dipilah dalam dua kelompok yaitu (a) KTI yang merupakan laporan hasil pengkajian /penelitian, dan (b) KTI berupa tinjauan/ulasan/ gagasan ilmiah. Keduanya dapat disajikan dalam bentuk buku, diktat, modul, karya terjemahan, makalah, tulisan di jurnal, atau berupa artikel yang dimuat di media masa.
KTI juga berbeda bentuk penyajiannya sehubungan dengan berbedanya tujuan penulisan serta media yang menerbitkannya. Karena berbedanya macam KTI serta bentuk penyajiannya, berbeda pula penghargaan angka kredit yang diberikan. Meskipun berbeda macam dan besaran angka kreditnya, semua KTI (sebagai tulisan yang bersifat ilmiah) mempunyai kesamaan, yaitu:
• hal yang dipermasalahkan berada pada kawasan pengetahuan keilmuan
• kebenaran isinya mengacu kepada kebenaran ilmiah
• kerangka sajiannya mencerminan penerapan metode ilmiah
• tampilan fisiknya sesuai dengan tata cara penulisan karya ilmiah
Salah satu bentuk KTI yang cenderung banyak dilakukan adalah KTI hasil penelitian perorangan (mandiri) yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di perpustakaan sekolah dalam bentuk makalah (angka kredit 4).
Niat guru untuk menggunakan laporan penelitian sebagai KTI sangatlah tinggi. Namun, ada sebagian guru yang masih merasa belum memahami tentang apa dan bagaimana penelitian pembelajaran itu. Akibatnya, kerja penelitian dirasakan sebagai kegiatan yang sukar, memerlukan biaya, tenaga dan waktu yang banyak, hal mana tentu tidak sepenuhnya benar.
2.2. Mengapa banyak KTI yang belum memenuhi syarat.
Berdasar pengalaman dalam proses penilaian, terdapat hal-hal sebagai berikut:
(a) Dari KTI yang diajukan, --tidak sedikit—berupa KTI orang lain yang dinyatakan sebagai karyanya, atau KTI tersebut DIBUATKAN oleh orang lain, yang umumnya diambil (dijiplak) dari skripsi, tesis atau laporan penelitian. Pernah terjadi di beberapa daerah, di mana sebagian besar KTI yang diajukan sangat mirip antara yang satu dengan yang lainnya.
(b) Banyak pula KTI yang berisi uraian hal-hal yang terlalu umum. KTI yang tidak berkaitan dengan permasalahan atau kegiatan nyata yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan pengembangan profesinya. Mengapa demikian? Karena KTI semacam itulah yang paling mudah ditiru, dipakai kembali oleh orang lain dengan cara mengganti nama penulisnya.
Sebagai contoh KTI yang berjudul: (a) Membangun karakter bangsa melalui kegiatan ekstra kurikuler, (b) Peranan orang tua dalam mendidik anak, (c)Tindakan preventif terhadap kenakalan remaja, (d) Peranan pendidikan dalam pembangunan, dll. KTI di atas tidak menjelaskan permasalahan spesifik yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab guru. Jadi, meskipun KTI berada dalam bidang pendidikan tetapi (a) apa manfaat KTI tersebut dalam upaya peningkatan profesi guru?, (b) bagaimana dapat diketahui bahwa KTI tersebut adalah karya guru yang bersangkutan?
2.3. Hubungan KTI dengan Kegiatan Penelitian
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah. Sehingga, laporan hasil penelitian juga merupakan Karya Tulis Ilmiah. Bahkan, KTI yang merupakan laporan hasil penelitian, merupakan bagian penting dari macam KTI yang dapat dibuat oleh guru, widyaiswara maupun pengawas, sebagaimana tampak pada tabel berikut.
Guru Widyaiswara Pengawas
• KTI hasil penelitian
• KTI tinjauan/ulasan ilmiah
• Tulisan Ilmiah Populer
• Prasaran disampaikan dalam pertemuan ilmiah
• Buku
• Diktat
• Karya terjemahan • KTI hasil penelitian
• KTI tinjauan/ulasan ilmiah
• Tulisan Ilmiah Populer
• Prasaran disampaikan dalam pertemuan ilmiah
• Buku
• Karya terjemahan
• Orasi ilmiah sesuai dengan bidang yang diajarkan • KTI hasil penelitian
• KTI tinjauan/ulasan ilmiah
• Tulisan Ilmiah Populer
• Prasaran disampaikan dalam pertemuan ilmiah
Sumber: (Suhardjono, 2009)
KTI pada kegiatan pengembangan profesi guru, terdiri dari 7 (tujuh) macam, dengan rincian sebagai berikut:
No Macam KTI Macam Publikasinya Angka
Kredit
1 KTI hasil penelitian, pengkajian, survei dan atau evaluasi Berupa buku yang diedarkan secara nasional 12,5
Berupa tulisan (artikel ilmiah) yang dimuat pada majalah ilmiah yang diakui oleh Depdiknas 6,0
Berupa buku yang tidak diedarkan secara
nasional 6,0
Berupa makalah 4,0
2 KTI yang merupakan tinjuan
atau gagasan sendiri dalam
bidang pendidikan Berupa buku yang diedarkan secara nasional 8,0
Berupa tulisan (artikel ilmiah) yang dimuat pada majalah ilmiah yang diakui oleh Depdiknas 4,0
Berupa buku yang tidak diedarkan secara nasional 7,0
Berupa makalah 3,5
3 KTI yang berupa tulisan ilmiah popular yang disebarkan melalui media masa Berupa tulisan (artikel ilmiah) yang dimuat pada media masa 2,0
4 KTI yang berupa tinjuan, gagasan, atau ulasan ilmiah yang disampaikan sebagai prasaran dalam pertemuan ilmiah Berupa makalah dari prasaran yang disampaikan pada pertemuan ilmiah 2,5
5 KTI yang berupa buku pelajaran Berupa buku yang bertaraf nasional 5
Berupa buku yang bertaraf propinsi 3
6 KTI yang berupa diktat
pelajaran
Berupa diktat yang digunakan di sekolahnya
1
7 KTI yang berupa karya
terjemahan
Berupa karya terjemahan buku pelajaran/karya ilmiah yang bermanfaat bagi pendidikan
2.5
Sumber: (Suhardjono, 2009)
Akhir-akhir ini kegiatan membuat KTI yang berupa laporan hasil penelitian, menunjukan jumlah yang semakin meningkat, hal ini karena:
1. Para guru makin memahami bahwa salah satu tujuan kegiatan pengembangan profesi, adalah dilakukannya kegiatan nyata di kelasnya yang ditujukan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajarannya. Bagi sebagian besar guru, melakukan kegiatan seperti itu, sudah sering / biasa dilakukan.
2. Kegiatan tersebut, harus dilaksanakan dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah, karena hanya dengan cara itulah, mereka akan mendapat jawaban yang benar secara keilmuan terhadap apa yang ingin dikajinya.
3. Apabila kegiatan tersebut dilakukan di kelasnya, maka kegiatan tersebut dapat berupa penelitian eksperimen, atau penelitian tindakan yang semakin layak untuk menjadi prioritas kegiatan. Kegiatan nyata dalam proses pembelajaran, dapat berupa tindakan untuk menguji atau menerapkan hal-hal baru dalam praktik pembelajarannya. Saat ini, berbagai inovasi baru dalam pembelajaran, memerlukan verifikasi maupun penerapan dalam proses pembelajaran.
2.4. Penelitian Pembelajaran yang Dilakukan di Kelas
Berbagai kegiatan pengembangan profesi yang dapat dilakukan guru dengan melibatkan para siswanya, antara lain adalah dengan melakukan penelitian di kelasnya. Ada dua macam penelitian yang dapat dilakukan di dalam kelas, yaitu: (a) penelitian eksperimen, dan (b) penelitian tindakan kelas (PTK). Penelitian eksperimen atau PTK, lebih diharapkan dilakukan guru dalam upayanya menulis KTI karena:
• KTI tersebut merupakan laporan dari kegiatan nyata yang dilakukan para guru di kelasnya dalam upaya meningkatkan mutu pembelajarannya – (ini tentunya berbeda dengan KTI yang berupa laporan penelitian korelasi, penelitian diskriptif, ataupun ungkapan gagasan, yang umumnya tidak memberikan dampak langsung pada proses pembelajaran di kelasnya), dan
• Dengan melakukan kegiatan penelitian tersebut, maka para guru telah melakukan salah satu tugasnya dalam kegiatan pengembangan profesionnya.
Terdapat beberapa macam penelitian, antara lain penelitian eksperimen yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang akibat dari adanya suatu treatment atau perlakuan. Penelitian eksperimen dilakukan untuk mengetes suatu hipotesis dengan ciri khusus :
(a) adanya variabel bebas yang dimanipulasi,
(b) adanya pengendalian atau pengontrolan terhadap semua variabel lain kecuali variabel bebas yang dimanipulasi,
(c) adanya pengamatan dan pengukuran terhadap variabel terikat sebagai akibat dari tindakan manipulasi variabel bebas.
Di samping kedua macam penelitian tersebut, ada pula yang dinamakan penelitian tindakan (action research). Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah penelitian tindakan (action research) yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelasnya. PTK berfokus pada kelas atau pada proses belajar-mengajar yang terjadi di kelas. PTK harus tertuju atau mengenai hal-hal yang terjadi di dalam kelas.
Tujuan utama PTK adalah untuk memecahkan permasalahan nyata yang terjadi di dalam kelas. Kegiatan penelitian ini tidak saja bertujuan untuk memecahkan masalah, tetapi sekaligus mencari jawaban ilmiah mengapa hal tersebut dapat dipecahkan dengan tindakan yang dilakukan. PTK juga bertujuan untuk meningkatkan kegiatan nyata guru dalam pengembangan profesionalnya.
Pada intinya PTK bertujuan untuk memperbaiki berbagai persoalan nyata dan praktis dalam peningkatan mutu pembelajaran di kelas, yang dialami langsung dalam interaksi antara guru dengan siswa yang sedang belajar.
2.5. Macam-macam KTI yang Popular
Macam-macam KTI yang sering dibuat dan dipublikasikan oleh guru meliputi:
2.5.1. Makalah
2.5.1.1. Pengertian Makalah
Makalah adalah karya tulis ilmiah ihwal topik tertentu yang tercakup dalam ruang lingkup suatu pembelajaran (UPI, 2008). Zulmasri (2008) mengatakan bahwa makalah adalah tulisan semi ilmiah yang bentuk dan struktur serta substansinya sederhana dan tidak lengkap. Makalah yang diterbitkan di media cetak biasanya disebut artikel. Makalah juga dapat berfungsi sebagai syarat penentu untuk menyelesaikan suatu perkuliahan bagi mahasiswa. Berdasar definsi pada Kepmendidbud No. 025/0/1995 (Suhardjono, 2009), makalah hasil penelitian adalah suatu karya tulis yang disusun oleh seseorang atau kelompok orang yang membahas suatu pokok bahasan yang merupakan hasil penelitian. Dengan demikian, KTI ini merupakan laporan hasil dari suatu kegiatan penelitian yang telah dilakukan.
2.5.1.2. Karakteristik Makalah
Makalah memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Merupakan hasil kajian pustaka dan atau laporan pelaksanaan suatu kegiatan lapangan yang sesuai dengan cakupan permasalahan suatu pembelajaran.
2. Mengilustrasikan pemahaman penulis (guru) tentang permasalahan teoretis yang dikaji atau kemampuan guru dalam menerapkan suatu prosedur, prinsip, atau teori yang berhubungan dengan pembelajaran.
3. Menunjukkan kemampuan pemahaman guru terhadap isi dari berbagai sumber yang digunakan.
4. Mendemonstrasikan kemampuan guru meramu berbagai sumber informasi dalam satu kesatuan sintesis yang utuh.
2.5.1.3. Jenis Makalah
Ada dua jenis makalah yang biasa berlaku di lingkungan pendidikan, yaitu makalah biasa (common paper) dan makalah posisi (position paper). Makalah biasanya dibuat untuk menunjukkan pemahaman penulis terhadap permasalahan yang dibahas. Dalam makalah ini secara deskriptif, penulis (guru) mengemukakan berbagai aliran atau pandangan tentang masalah yang dikaji. Makalah juga memberikan pendapat baik berupa kritik maupun saran mengenai aliran atau pendapat yang dikemukakan. Dalam makalah ini guru tidak perlu memihak satu aliran atau pendapat tertentu dan berargumen untuk mempertahankan pendapat tersebut.
Dalam makalah posisi, guru menunjukkan posisi teoritiknya dalam suatu kajian. Guru dituntut tidak hanya menunjukkan penguasaan terhadap suatu teori atau pandangan tertentu saja tetapi juga harus menunjukkan di posisi mana dia berdiri disertai dengan alasan yang didukung oleh teori dan atau harus memepelajari berbagai sumber tentang aliran dan pendapat tertentu, dari sudut pandangan yang berbeda-beda dan bahkan penulis dapat memihak pada salah satu aliran atau pendapat yang ada. Dengan demikian, untuk membuat makalah posisi, penulis dituntut memiliki kemampuan analisis, sintesis, dan evaluasi yang baik.
2.5.1.4. Sistematika Makalah
Makalah biasa dan makalah posisi, masing-masing terdiri atas pendahuluan, isi, dan kesimpulan.
Pendahuluan. Bagian ini menguraikan masalah yang akan dibahas yang meliputi: latar belakang masalah, masalah, prosedur pemecahan masalah, dan sistematika uraian.
Isi. Bagian ini memuat uraian tentang hasil kajian penulis dalam mengeksplorasi jawaban terhadap masalah yang diajukan, yang dilengkapi oleh data pendukung serta argumen-argumen yang berlandaskan pandangan pakar dan teori yang relevan. Bagian ini boleh saja terdiri atas lebih dari satu bagian.
Kesimpulan. Bagian ini merupakan kesimpulan dan bukan ringkasan isi. Kesimpulan adalah makna yang diberikan penulis terhadap hasil diskusi/uraian yang telah dibuatnya pada bagian isi. Dalam mengambil kesimpulan tersebut penulis mekalah harus mengacu kembali ke permasalahan yang diajukan dalam bagian pendahuluan.
2.5.2. Artikel Ilmiah
2.5.2.1. Pengertian Artikel
Artikel atau artikel ilmiah adalah suatu karya tulis ilmiah yang dapat berupa hasil laporan suatu penelitian maupun gagasan yang biasanya dimuat dalam suatu jurnal ilmiah sesuai dengan kaidah dan sistematika masing-masing jurnal yang bersangkutan.
2.5.2.2. Karakteristik Artikel
Artikel ilmiah memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Merupakan laporan hasil penelitian yang dilakukan peneliti (guru) terutana yang berkaitan dengan PTK untuk diterbitkan dalam jurnal ilmiah atau kegiatan seminar yang sesuai dengan cakupan permasalahan dalam suatu pembelajaran.
2. Merupakan suatu hasil gagasan pemikiran yang dilakukan oleh peneliti (guru) yang sesuai dengan cakupan permasalahan dalam suatu pembelajaran untuk diterbitkan dalam jurnal ilmiah atau kegiatan seminar.
2.5.2.3. Jenis Artikel
Ada dua jenis artikel yang biasa berlaku di lingkungan pendidikan, yaitu artikel hasil penelitian dan artikel suatu gagasan ilmiah. Artikel biasanya dibuat untuk melaporkan hasil penelitian atau gagasan ilmiah yang sudah dibuat oleh guru (peneliti)dan akan diajukan (ditampilkan) dalam jurnal ilmiah atau seminar ilmiah. Dalam artikel hasil penelitian, penulis (guru) mengemukakan berbagai hasil penelitian tentang suatu permasalahan atau tema yang diteliti. Bisanya hasil penelitian yang dilakukan oleh guru menggunakan metode PTK (Penelitian Tindakan Kelas). Sedangkan artikel berupa gagasan ilmiah merupakan hasil pemikiran penulis (guru) dalam memberikan suatu solusi atau pemecahan terhadap permasalah ilmiah yang berkaitan dengan bidangnya untuk dipublikasikan dalam jurnal atau seminar ilmiah.
2.5.2.4. Sitematika Artikel
Penulisan Judul dan Naskah, sebagai berikut :
1. Judul ditik dengan huruf capital di tengah atas halaman dan dicetak tebal (bold).
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris sesuai kaidah masing-masing bahasa yang digunakan.
3. Naskah harus selalu dilengkapi dengan Sari (dalam bahasa Indonesia) dan Abstract (dalam bahasa Inggris).
4. Kata-kata bahasa asing yang tidak dapat dialihbahasakan/disadur dicantumkan dalam bentuk asli dan ditulis dengan huruf miring (italic font).
Format Umum Penulisan Artikel
Seluruh bagian dari naskah termasuk Sari, Abstract, Judul, table, gambar, catatan kaki tabel, keterangan gambar dan daftar acuan diketik satu spasi pada electronic file dan dicetak dalam kertas HVS; menggunakan huruf Arial berukuran 11 (sebelas). Setiap lembar tulisan dalam naskah diberi nomor halaman dengan jumlah maksimum 15 halaman termasuk tabel dan gambar (Buletin Sumber Daya Geologi, 2008). Susunan naskah dibuat sebagai berikut :
Judul (Title)
Pada halaman judul makalah/karya tulis dicantumkan nama setiap penulis dengan jumlah penulis maksimum 5 (lima) orang, nama dan alamat Instansi bagi masing-masing penulis; disarankan dibuat catatan kaki yang berisi nomor telepon, faxcimile serta e-mail.
Sari/Abstract
Berisi ringkasan pokok bahasan lengkap dari keseluruhan isi naskah tanpa harus memberikan keterangan terlalu rinci dari setiap bab, dengan jumlah maksimum 250 kata. Sari dicantumkan terlebih dahulu apabila naskah berbahasa Indonesia, sementara Abstract tercantum di bawah Sari; dan berlaku sebaliknya apabila naskah ditulis dalam bahasa Inggris. Disarankan disertai kata kunci/keyword yang ditulis di bawah Sari/Abstract, terdiri dari 4 (empat) hingga 6 (enam) kata. Abstract atau sari yang ditulis di bawah sari atau abstract menggunakan italic font.
Pendahuluan (Introduction)
Bab ini dapat berisi latar belakang, maksud dan tujuan penyelidikan/penelitian, permasalahan, metodologi, lokasi dan kesampaian daerah serta materi yang diselidiki/diteliti dengan bab dan subbab tidak perlu menggunakan nomor. Bab berisi pernyataan yang mencukupi sehingga pembaca dapat memahami dan mengevaluasi hasil penyelidikan/penelitian yang berkaitan dengan topik makalah/karya tulis.
Hasil dan Analisis (Results and Analysis).
Berisi hasil-hasil penyelidikan/penelitian yang disajikan dengan tulisan, tabel, grafik, gambar maupun foto; diberi nomor secara berurutan. Hindari penggunaan grafik secara berlebihan apabila dapat disajikan dengan tulisan secara singkat. Pencantuman foto atau gambar tidak berlebihan dan hanya mewakili hasil penemuan. Semua tabel, grafik gambar dan foto yang disajikan harus diacu dalam tulisan dengan keterangan yang jelas dan dapat dibaca. Font huruf/angka untuk keterangan tabel, gambar dan foto berukuran minimum 6 (enam) point.
Pembahasan atau Diskusi (Discussion)
Berisi tentang interpretasi terhadap hasil penyelidikan/penelitian dan pembahasan yang terkait dengan hasil-hasil yang pernah dilaporkan.
Kesimpulan dan Saran (Conclusions and Recommendation)
Berisi kesimpulan dan saran dari isi yang dikandung dalam makalah/karya tulis.
Ucapan Terima Kasih (Acknowledgements)
Dapat digunakan untuk menyebutkan sumber dana penyeldikan/penelitian dan untuk pernyataan penghargaan kepada institusi atau orang yang membantu dalam pelaksanaan penyelidikan/penelitian dan penulisan makalah/karya tulis.
Acuan (References)
Acuan ditulis dengan menggunakan sistem nama tahun (Harvard), nama penulis/pengarang yang tercantum didahului oleh nama akhir (surename), disusun menurut abjad dan judul makalah/karya tulis ditulis dengan huruf miring (italic font).
Beberapa contoh penulisan sumber acuan (Buletin Sumber Daya Geologi, 2008):
Jurnal
Harvey, R.D. dan Dillon, J.W., 1985. Maceral distribution in Illinois cals and their palaeoenvironmental implication. International Journal of Coal Geology, 5, h.141-165.
Buku
Petters, W.C., 1987. Exploration and Mining Geology. John Willey & Sons, New York, 685 h.
Bab dalam Buku
Chen, C.H., 1970. Geology and geothermal power potential of the Tatun volcanic region. Di dalam : Barnes, H.L. (ed.), 1979. Geochemistry of hydrothermal ore deposits, 2nd edition, John Wiley and Sons, New York, h.632-683.
Prosiding
Suwarna, N. dan Suminto, 1999. Sedimentology and Hydrocarbon Potential of the Permian Mengkarang Formation, Southern Sumatera. Proceedings Southeast Asian Coal Geology, Bandung.
Skripsi/Tesis/Disertasi
DAM, M.A.C., 1994. The Late Quarternary evolution of The Bandung Basin, West Java, Indonesia.
Ph.D Thesis at Dept. of Quarternary Geology Faculty of Earth Science Vrije Universitet Amsterdam, h.1-12.
Informasi dari Internet
Cantrell, C., 2006. Sri Lanka's tsunami drive blossom : Local man's effort keeps on giving. Http://www.boston.com/news/local/articles/2006/01/26/ sri_lankas_tsunami_Drive_blossoms / [26 Jan 2006].
Selasa, 26 Mei 2009
PENDIDIKAN BERKELANJUTAN DALAM MEWUJUDKAN DAYA SAING SUMBER DAYA INSANI BANGSA (Sebuah Ringkasan)
Tri Dharma Perguruan Tinggi yang terdiri atas Pendidikan dan Pengajaran, Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat
UI / Universitas Indonesia
Nama:
Gumilar Rusliwa Somantri (Rektor Termuda Indonesia)
Nama Lengkap:
Prof Dr der Soz (der Sozialwissenschaften), Drs (Doktorandus) Gumilar Rusliwa Somantri
Lahir:
Tasikmalaya, 11 Maret 1963
Jadikan UI Mozaik Indonesia
Rektor Universitas termuda Universitas Indonesia Prof Dr der Soz Gumilar Rusliwa Somantri, yang dilantik Selasa 14 Agustus 2007 berjanji untuk tetap menjadikan UI sebagai kampus rakyat dan mozaik Indonesia. "Siapa saja yang berprestasi, termasuk mereka yang kurang mampu dari seluruh Indonesia, harus bisa kuliah di sini," kata suami Dra Nenden DY W Wasita Kusumah itu.
Berpikir di Luar Kotak
Akhir Juni lalu Prof Dr Gumilar Rusliwa Somantri (44) menerbitkan dua buku sekaligus, "Transformasi Pendidikan Tinggi di Era Knowledge Based Society: Studi Kasus Universitas Indonesia" (170 halaman) dan "Transformasi Perguruan Tinggi Berbasis Riset dan Berdaya-Usaha: Catatan Pengalaman FISIP UI 2002-2006" (96 halaman). Ia mengubah FISIP UI sejak jadi dekan tahun 2002 berkat kepemimpinan "berpikir di luar kotak" atau "thinking out of the box".
UGM / Universitas Gadjah Mada
Prof. Ir. Sudjarwadi, M.Eng. Ph.D.
(Rektor Universitas Gajah Mada)
Guru Besar Fakultas Teknik UGM
Tempat/Tanggal Lahir | Klaten, 13 Maret 1947 |
---|---|
Agama | Islam |
Hobi | Membaca |
Pendidikan
1975 | Ir. (Teknik Sipil), UGM |
---|---|
1981 | M.Eng. (Water Resistance Engineering), AIT Bangkok, Thailand |
1986 | Ph.D. (Civil and Environment Engineering), Lowa University, USA |
Organisasi
1. Indonesian Engineering Association (PII) | |
2. Indonesian Hydraulics Engineers Association (HATHI) | |
3. International Water Resources Association |
Publikasi & Karya Tulis
1. Modeling of Monthly Rainfall Internal Distribution (Indonesia) | |
2. Discharge Estimate of Flood Identification in A Catchment Area (English) | |
3. Single and Multisite Rainfall Data Regeneration (Indonesia) | |
4. Simulation of Irrigation Water Requirements Based on Meteorological Variables at A Site Without Rainfall |
“Saya punya prinsip satu orang itu sangat terbatas sehingga saya mengikuti aliran yang disebut kecerdasan kolektif. Jadi hal-hal yang saya sampaikan, sebetulnya pikiran kawan-kawan, sebagian mahasiswa, sebagian alumni, sebagian kawan dosen yang ingin memajukan UGM. Ini yang terasa pertama. Saya merasa kewajiban untuk berterima kasih,” paparnya.
Sedangkan hal pertama yang akan dilakukan Pak Djarwadi sebagai Rektor UGM adalah melakukan sejumlah langkah nyata perbaikan di semua lini. Pak Djarwadi mengaku masih merasakan sinergi yang kurang optimal antara mahasiswa dengan tenaga kependidikan. Lalu Pak Djarwadi juga akan memperbaiki efisiensi kerja supaya Tri Dharma Perguruan Tinggi dapat terlaksana dengan lebih baik.
“Kalau prinsip saya itu, namanya continous improvement, perbaikan yang kontinyu, terus menerus. Karena itu kan perintah agama. Hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jadi smua akan selalu kita evaluasi. Apa yang istilahnya sudah kita temukan perbaikannya, kita lakukan koreksi,” paparnya.
ITB / Institut Teknologi Bandung
Prof. DR. Ir. Djoko Santoso, M.Sc.
Lahir:
Bandung, 9 September 1953
Jabatan:
Rektor Institut Teknologi Bandung 2005-2010
Pendidikan
• Sarjana (Teknik Geologi), Institut Teknologi Bandung, 1972-1976.
• Post Graduate Diploma (Seismology), International Institute of Seismology and Earthquake Engineering, Tokyo-Jepang, 1978-1979.
• Master of Science (Geotechnical Engineering), Asian Institute of Technology, Bangkok-Thailand, 1980-1982.
• Doktor Ilmu Teknik, Institut Teknologi Bandung, 1986-1990.
Prof. Dr. Ir. Djoko Santoso, MSc meraih 18 suara mengungguli dua calon lainnya, yakni Adang Surahman (Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan) yang meraih 7 suara dan Satryo Soemantri Brodjonegoro (Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas) tidak memperoleh suara serta 1,15 suara abstain.
Rapat yang dipimpin Ketua MWA ITB HS Dillon dihadiri 19 anggota MWA ITB, termasuk Mendiknas Bambang Sudibyo. Namun, dua di antaranya tidak memiliki hak suara karena ikut sebagai calon rektor, yakni Adang Surahman dan Satryo Soemantri Brodjonegoro.
Sesuai ketentuan, 17 anggota masing-masing mempunyai satu kartu suara, sementara Mendiknas selaku wakil pemerintah mempunyai 9,15 (sembilan dan lima belas per seratus) kartu suara, atau setara 35 persen dari hak suara yang sah. Jadi yang memilih Djoko Santoso (18 suara) sudah lebih dari 50 persen suara.
Pemilihan Rektor ITB yang berjalan alot ini diawali penyaringan calon oleh panitia pemilihan sesuai tata tertib. Tersaring 17 nomine. Kemudian Majelis Wali Amanat ITB dalam rapat pleno 10 Desember 2004 memilih sepuluh bakal calon dari 17 nomine itu.
Seminar Nasional Pendidikan yang dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional bertujuan:
(1) Untuk mengeksplorasi hingga sejauhmana keberadaan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia yang bermuara dalam pengungkitan daya saing sumber daya insani bangsa yang berkarakter handal dan bermartabat.
(2) Untuk mengeksplorasi hingga sejauhmana keberadaan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah tentang Standar Nasional Pendidikan mampu menjadikan dunia pendidikan di Indonesia berstandar World Class.
Seminar Pendidikan Nasional
Kerjasama
1. UPI Universitas Pendidikan Indonesia
2. ITB Institut Teknologi Bandung
3. Universitas Padjadjaran (UNPAD)
Tempat dan Waktu
1. Seminar akan dilaksanakan di Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Hari/tanggal : Kamis, 7 Mei 2009
Tempat : Balai Pertemuan kampus Universitas Pendidikan Indonesia, Jl. Dr. Setiabudi No. 229 Bandung
2. Sekretariat Panitia Seminar Nasional Pendidikan bertempat di Kantor Sekretariat Universitas UPI, Gedung Bumi Siliwangi.
Telp./Faksimile : (022) 2001135
Kontak Person :
1. Dr. Sumar Hendayana 08156006772
2. Dra. Rohayati, 08157140032
3. Drs. Sumiyardi, 081321936100
Keterangan
1. Peserta seminar tidak dipungut bayaran
2. Pendaftaran paling lambat hari Senin, tanggal 4 Mei 2009, Pukul 16.00 WIB.
Latar Belakang
Sangat diharapkan keberadaan Sistem Pendidikan Nasional, Standar Nasional Pendidikan, Kualitas Guru dan Dosen akan mampu mengungkit daya saing sumber daya insani bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia ini. Hal ini harus dapat diwujudkan untuk memperbanyak bukan hanya World Class University saja namun juga harus mampu menjadikan pendidikan TK, SD, SMP, SMA berkualifikasi World Class. Kebijakan menjadikan dunia pendidikan di Indonesia berkualitas dan berdaya saing di dunia Internasional jangan hanya ditempatkan dalam perspektif kebijakan sesaat, namun harus bersifat keberlanjutan.
Materi Seminar
Dalam Seminar Nasional ini dipaparkan materi bahasan sebagai berikut:
No. Judul dan Pembicara
1. Sistem Pendidikan Nasional dalam Perspektif Pembangunan Karakter Bangsa
Biografi Sang Maha Guru, Sumber dari Teh Yatun Romdonah Awaliah (atoen_90@yahoo.co.id)
Oleh: Prof.Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd.
Awalnya tidak ada yang mengira bahawa lelaki kelahiran Desa Cigintung, Kecamatan Kawali Ciamis 21 Maret 57 tahun silam ini begitu nyunda, hal itupun terbukti pada saat acara launching Majalah Cahara Bumi Siliwangi dan Ronggeng Gunung di UPI dengan fasih Sunaryo memberikan sambutan dalam bahasa sunda yang begitu ngentep seureuh. Bahkan para inohong Sunda yang hadir saat itu, begitu terkejut dengan ucapan dan sikap sunaryo yang kental dengan adat kesundaan.
“Saya tidak menyangka ia begitu kental adat kesundaanya, dalam berbicara memang ia pun begitu ngentep seureuh dan dalam menggunakan undak-usuk basa pun sangat fasih,” ujar Karna Yudibrata, salah seorang inong Sunda yang hadir saat itu.
“Belajar bahasa sunda memang dari kecil, semenjak SD sampai sekolah SPG di Ciamis,” jawab putra sulung dari empat bersaudara pasangan H. Sukarta dan Hj Surliah ini, saat ditanya akan hal tersebut.
Kehidupan Sunaryo tidak langsung sukses begitu saja, dengan memegang jabatan penting seperti saat ini. Tetapi ia memulai semuanya dari nol.
Sunaryo mengawali pendidikan formalnya pada tahun 1957 di SDN 2 Talagasari. Hidup sebagai anak petani dilewatinya dikampung halaman tercinta. Masih terbayang dalam benaknya bagai mana waktu itu, meskipun masih kecil ia harus ikut membantu orangtuanya membajak sawah dan mengembala kambing yang merupakan mata pencarian utama keluarga.
Saat menempuh jalur pendidikan di SMP 1 kawali tahun 1963, Sunaryo memiliki tradisi yang sangat unik. Bila berangkat ke sekolah ia tidak pernah menggunakan alas kaki alias nyeker, dan barulah setelah sampai kesekolah ia pergunakan sepatunya.
“Jarak dari rumah ke sekolah kan lima kilometer dilalui dengan berjalan kaki, jadi supaya sepatunya awet, ya biasanya jarang dibawa pulang. Suka disimpan saja, di titipkan di Ibu pemilik warung sekolah, dan digunakan hanya saat sekolah saja. Selain itu juga biasanya kalau mau pergi ke sekolah saya selalu mebekal karung di tas. Kan biasanya sambil pulang sekoal itu sambil ngala rumput untuk kambing. ” kenangnya.
Meskipun tergolong dari keluarga yang pas-pasan, tapi hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk terus bersekolah. Malah hal tersebut dijadikan Sunaryo sebagai motivasi agar kelak menjadi orang sukses dan dicontoh oleh adik-adiknya. Hal itu ia buktikan setelah lulus dari SPG Ciamis tahun 1970 dengan melanjutkan ke jurusan Bimbingan Penyuluhan IKIP Bandung.
Kesempatan untuk meraih cita-cita sebagai seorang guru mulai terbuka tatkala lulus pogram diploma ia dipercaya untuk menjadi asisten dosen di almamaternya sendiri sembari melanjutkan kuliah diprogram sarjana.
Semasa kuliah, Sunaryo dimata teman-temanya sebagai sosok yang begitu pintar dan berprestasi. Hal itulah yang menjadikan modal utamanya untuk mempersunting teman sekelasnya sendiri, yang bernama Dra. Euis Misyeti, M.Pd.
“Kami teman sekelas, ya biasanyakan dia (Euis–red) suka kesiangan kalau kuliah. Nah biasanya, saya itu selalu menyiapkan kursi kosong disamping saya khusus buat dia, ya karena sering begitu Dosen pun akhirnya pada tahu ‘itu kursi buat Euis ya’. Dan teman-teman sekelas suka menggosipkan kami. Dia awalnya agak marah dengan keadaan itu. Tapi ya lama kelamaan takluk juga ,” jelasnya sambil tertawa terkenang masa lalu, tatkala menceritakan pengalaman masa mudanya bersama sang istri.
Karir akademik Sunaryo berawal pada tahun 1978 saat dipercaya menjadi Sekretaris Jurusan BP FIP IKIP dan kemudian menjadi ketua Jurusan BP FIP IKIP. Hal itu ia lakukan sambil melanjutkan kuliah diprogram pascasarjana. Namun, beberapa tahun kemudian ia berhenti karena harus konsentrasi melanjutkan kuliah di Program S3 Bimbingan konseling yang saat itu lulus masuk tanpa tes.
Saat menempuh pendidikan S3 merupakan momen yang paling berharga bagi Sunaryo karena dengan program sandwich mengharuskannya menempuh beberapa SKS di State University of New York. Saat itulah untuk pertamakalinya Sunaryo bisa mengunjungi Amerika yang sejak dulu diimpikannya.
Universitas Pendidikan Indonesia
Rektor Universitas Pendidikan IndonesiaUniversitas Pendidikan Indonesia (UPI) is now entering the fourth phase of its development since its inception in 1954: Teachers. Training College (PTPG), Institute of Teaching and Educational Sciences (IKIP) Bandung (1963), Universitas Pendidikan Indonesia (1999), and now with its status as a State Chartered University (UPI BHMN) (2004). These various developments, however, do not change UPI.s strong commitment to the field of education, which has become its primary identity of the institution and represents the major contributions that UPI has given to the development of the nation, particularly in the area of national education development, both in implementation and policy-making levels.
As an institution that has been assigned a national mandate to prepare professional teachers and educators at all levels, from kindergarten to university, UPI has taken up the assignment heartfeltfully and realized it into many forms of programs and activities. These programs and activities have always been intended to establish closer relationships between UPI and all its stakeholders in regional, national, and international levels, i.e. members of society at large in this respect, so that all can take advantages from the existence of this university. Therefore, UPI continues to support all its programs and activities by the provision of high quality academic staff, adequate learning facilities, and the application of information and communication technology in university management.
This institutional profile highlights at a glance information about the programs and activities in faculties, departments, institutes, and other supporting units at UPI. We really hope that this information will become a useful reference for all those who are willing to familiarize themselves with the university.
2. Posisi Sistem Pendidikan Nasional dalam Lingkup Kriteria World Class University
Oleh: Prof.Ir. Hang Tuah, MocE., Ph.D.
Institut Teknologi Bandung
3. Tingkat Daya Saing Pendidikan Tinggi Teknik Indonesia pada Skala Internasional
Oleh: Prof.Dr.Ir. Djoko Santoso, M.Sc
Rektor Institut Teknologi Bandung
4. Signifikansi Konstribusi Evaluasi, Akreditasi dan Sertifikasi untuk Meningkatkan Kualitas
Pendidikan
Prof.Dr.Ir. Ganjar Kunia, DEA
Universitas Padjadjaran (UNPAD)
Rektor Universitas Padjajaran
5. Status Mahasiswa Indonesia sebagai Peserta Didik dalam Mewujudkan Pimpinan Bangsa yang Berkarakter
Prof.Dr. Arief Rahman, M.Pd.
Universitas Negeri Jakarta & Kepala Sekolah Lab. School
6. Dampak Transformasi dari Pengajar ke Pembelajaran terhadap Pengembangan Karakter dan Kecerdasan Peserta Didik
Oleh: Prof.Dr. Supriyoko
Majelis Luhur Pendidikan Taman Siswa
7. Korelasi dan Integrasi Pendidikan Karakter Peserta Didik di Lingkungan Pendidikan Dasar,
Pendidikan Menengah dan Pendidikan Tinggi
Oleh: Prof.Dr. Abin Syamsudin Makmun, MA
Sekretaris MWA Universitas Pendidikan Indonesia
8. Keseimbangan antara Pendidikan Tinggi Ilmu-ilmu
Sosial, Budaya, Ekonomi, Sains dan Teknologi di Indonesia, Dampaknya terhadap Peningkatan
Daya Saing Bangsa
Oleh: Prof.Dr. der soz Gumilar Rusliwa Somantri
Rektor Universitas Indonesia
9. Peran Pendidikan Tinggi dalam Penyelenggaraan Pendidikan Politik di Indonesia
Oleh: Ir. Wijayanto, MPP
Universitas Paramadina
diringkas oleh:
Arip Nurahman, Universitas Pendidikan Indonesia
Belajar Bercocok Tanam
Sekolah formal kurang bisa diharapkan dalam membentuk kebiasaan bercocok tanam murid-muridnya, maka orang tua-lah yang masih mungkin menanamkan kecintaan terhadap bidang yang satu ini.
Kami telah mencobanya di rumah dengan anak-anak, dan hasilnya alhamdulillah cukup menggembirakan. Banyak pula pelajaran yang kami dapatkan. Kami berharap, kelak mereka terbiasa "menghijaukan" lingkungannya:
Senin, 18 Mei 2009
Universitas Harvard
Monday, 19 October 2009
Minggu, 17 Mei 2009
Pemerataan Pendidikan
Tanggal : | 02 Mar 2009 |
Sumber : | Kompas |
Prakarsa Rakyat,
Oleh Agus Suwignyo
Kita patut bersyukur jika pendidikan dasar sembilan tahun dapat diakses gratis seluruh masyarakat seperti dinyatakan Sekretaris Jenderal Depdiknas (Kompas, 21/2/2009).
Pemerataan pendidikan menjadi salah satu cita-cita bangsa. Berbagai undang-undang disahkan dan dana dialokasikan untuk cita-cita itu. Namun, berbagai pernyataan jaminan negara atas pendidikan itu tak lebih retorika.
Menguatnya komitmen pemerintah dalam pembiayaan pendidikan belum diimbangi langkah nyata meningkatkan pemerataan akses dan mutu yang bebas dari tekanan dan basa-basi politik. Dalam praktek, perwujudan pemerataan pendidikan tidak hanya memerlukan undang-undang dan dana. Apa permasalahan pemerataan pendidikan sekarang?
Miskonsepsi
Hambatan utama pemerataan justru pada konsep ”gratis” yang menggerus kemandirian masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan dan melambungkan harapan rakyat tentang jaminan negara. Faktanya, hingga 63 tahun kemerdekaan, negara belum pernah mampu (dan bersedia) menanggung cuma-cuma seluruh biaya pendidikan rakyat.
Masalahnya bukan hanya sejauh mana pendidikan benar-benar ”gratis” atau bagaimana mengatasi aneka masalah teknis penyaluran dana bantuan operasional, tetapi konsep pendidikan gratis telah mencuri prinsip kemandirian warga sebagai inti kemerdekaan politik dan mengalihkannya kepada ”niat baik” para pemegang amanat rakyat.
Sayang, tidak selamanya pemegang amanat rakyat melaksanakan ketentuan pembiayaan pendidikan. Misalnya, UU No 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) menyatakan, pemerintah pusat dan daerah menanggung seluruh biaya pendidikan SD-SMP (Pasal 41 ayat 1). Tetapi Mendiknas bersikeras pemerintah hanya menanggung biaya operasional (Kompas, 24/2/2009).
Artinya, saat warga terbuai mimpi pendidikan tanpa biaya, pewujudannya kian jauh dari jangkauan kekuatan mereka. Harapan telanjur digantungkan pada elite negara yang selalu menegaskan jaminan perundang-undangan atas pendidikan rakyat. Tetapi kita tahu, elite negara sebagai politikus bertindak berdasar naluri kepentingan, bukan keberpihakan substansial.
Dengan kata lain, meski pemerataan pendidikan adalah kebijakan negara, implementasinya amat tergantung kebijaksanaan penguasa berdasar kepentingan politik mereka. Dalam konteks itu, konsep ”gratis” telah memasung dan mematikan inisiatif masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan sejak dulu, sebelum negara ini ada.
Pemerintah daerah
Di sisi lain, pemerataan pendidikan terhambat kesadaran rendah para pemimpin daerah. Otonomi melimpahkan kewenangan dan tanggung jawab besar kepada pemerintah daerah.
UU BHP, misalnya, memberi kewenangan pemerintah daerah mengatur penyelenggaraan SD, SMP, dan SLTA (Pasal 21). Konsekeunsinya, tanggung jawab pembiayaan yang besar juga harus dipikul pemerintah daerah.
Dalam konteks SD-SMP seperti diatur Pasal 41, masih harus ditegaskan berapa yang harus ditanggung pemerintah pusat (60 persen) dan 40 persen pemerintah daerah. Yang jelas, pemerintah daerah juga diwajibkan menanggung minimal 1/3 biaya operasional SLTA.
Itu semua adalah ketentuan di atas kertas. Prakteknya, pewujudan tanggung jawab daerah dalam pembiayaan pendidikan amat tergantung komitmen dan niat pemimpin setempat. Warga Kabupaten Musi Banyu Asin, Kabupaten Jembrana dan Kota Yogyakarta, beruntung karena pemimpin mereka berusaha keras memenuhi tanggung jawab pembiayaan pendidikan.
Namun di berbagai tempat lain, ketentuan dan janji pembiayaan pendidikan justru membuat warga kecewa. Di Papua misalnya, gedung sekolah yang dibangun atas dana pemerintah pusat, selama enam bulan setelah diresmikan masih kosong tanpa kegiatan belajar-mengajar. Menurut pejabat setempat, itu karena pemerintah pusat hanya menyediakan gedung, meja-kursi, dan tidak membayar gaji guru, yang seharusnya ditanggung pemerintah daerah.
Menyesatkan publik
Otonomi pembiayaan pendidikan juga berpotensi menyesatkan publik. Janji pendidikan gratis dalam kampanye para calon kepala daerah dan caleg, adalah contoh politisasi vulgar yang berakibat tragis. Di Lampung, sejumlah guru terdorong berutang karena kampanye pilkada menjanjikan pelunasan utang jika calon tertentu terpilih.
Kasus-kasus itu menunjukkan variasi pemaknaan dan implementasi otonomi pembiayaan pendidikan karena kesadaran yang berbeda antardaerah.
Karena itu, monitoring implementasi komitmen daerah penting dilakukan. Secara keseluruhan, kembali ke agenda penguatan civil society adalah jalan paling cerdas untuk mencegah rakyat dari ambivalensi politik elite negara dalam mewujudkan pemerataan pendidikan.
Agus Suwignyo Pedagog FIB UGM
Soal Salah Cetak, UN Susulan Ditolak
By admin | ||||
| ||||
Soal Salah Cetak, UN Susulan Ditolak Jumat, 1 Mei 2009 | 08:12 WIB KUDUS, KOMPAS.com - Sejumlah kepala sekolah (Kasek) di Kabupaten Kudus, sepakat menolak ujian susulan, menyusul temuan kesalahan cetak naskah soal ujian nasional (UN)untuk mata pelajaran bahasa Inggris pada Selasa (28/4). Ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMP, Oky Sudarto, di Kudus, Jumat mengatakan, secara psikologis ujian susulan justru akan membebani pelajar. Untuk itu, muncul kesepakatan kepala sekolah menolak wacana ujian susulan, ujarnya. Berdasarkan pertemuan antara kepala sekolah dan sub rayon, katanya, para kasek menanggapi persoalan naskah soal UN tersebut murni kesalahan percetakan bukan kesalahan siswa, sehingga tidak dapat dibebankan kepada siswa dengan cara melaksanakan ujian susulan. Dari sisi psikologis memang kurang menguntungkan para siswa. Kami mengusulkan sebanyak 11 soal tersebut dibetulkan, ujar Oky yang juga Kepala SMP 1 Kudus. Selain itu, sejumlah kepala sekolah juga mempertimbangkan beban yang akan diemban pada ujian susulan nanti akan memengaruhi nilai yang akan dicapainya. Sebelumnya, Koordinator Tim Pemantau Independen (TPI) SMP/MTs/SMK Kudus Hendy Hendro HS mengungkapkan, ujian ulangan hanya dapat dilaksanakan ketika terjadi kebocoran, sehingga jalan satu-satunya mengatasi persoalan salah cetak naskah soal tersebut dengan menganulir sebelas soal yang salah itu untuk dibetulkan. Akmal Aslim, guru dari MTs Negeri 1 Kudus, menambahkan, pihaknya menyayangkan kinerja Pura Group, karena kesalahan cetak naskah soal UN tersebut dapat merugikan siswa. Kerja keras siswa mempersiapkan UN, masih harus dibebani dengan permasalahan kesalahan naskah soal tersebut. Ia berharap Dinas Pendidikan Jateng dalam mengambil kebijakan terkait kasus kesalahan cetak naskah soal UN itu, tidak merugikan para siswa. ABI Sumber : Ant Sumber: Kompas.Com http://regional.kompas.com/read/xml/2009/05/01/ 08123425/Soal.Salah.Cetak..UN.Susulan.Ditolak | ||||
Ini Dia, Sebagian Daftar Pelanggaran UN Itu
By admin | ||||
| ||||
Evaluasi Ujian Nasional Ini Dia, Sebagian Daftar Pelanggaran UN Itu Senin, 4 Mei 2009 | 18:03 WIB JAKARTA, KOMPAS.com - Selain kualitas cetak naskah soal UN, persoalan yang paling banyak disorot oleh media massa adalah kebocoran soal dan kecurangan-kecurangan. Hal tersebut menjadi evaluasi sementara hasil pemantauan dan laporan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) sebagai penyelenggara UN siang tadi (4/5) di Kantor Depdiknas, Jakarta. Menurut Prof.Dr. Mungin Eddy Wibowo, Ketua BSNP, hasil pemantauan dan laporan yang masuk ke BSNP menggambarkan, bahwa masih banyak pelanggaran di UN terjadi akibat menyalahi Prosedur Operasional Standar (POS) UN yang sudah ditetapkan. Tetapi ini masih bersifat sementara karena semua laporan belum semuanya masuk dari penyelenggara UN di tingkat provinsi serta para pemantau UN, kami masih akan mengkajinya lebih jauh temuan di lapangan, kata Mungin. Beberapa pelanggaran tersebut antara lain: - Guru mata pelajaran masih hadir di sekolah - Masih dijumpai siswa yang membawa ponsel ke dalam ruang UN - Pengawas ruang UN berkeliling ruangan UN dan pintu ruang ditutup - Masih adanya pejabat dan wartawan yang masuk ke ruangan saat UN berlangsung meskipun di pintu ruang bertuliskan Dilarang Masuk - Masih ada pengawas ruang UN yang tidak melakukan pengeliman amplop Lembar Jawaban UN (LJUN) Kasus Pembocor Soal di Bengkulu Selatan Dalam evaluasi tersebut Mungin juga membenarkan adanya upaya pembocoran soal UN SMA oleh para oknum kepala sekolah dan guru di Kabupaten Bengkulu Selatan. Peristiwa yang memalukan dan menjadi sorotan media massa tersebut kini sedang dalam penanganan Polres Bengkulu Selatan. Berdasarkan laporan evaluasi sementara itu disebutkan, keterangan Polres dan barang bukti menyebutkan bahwa Kepala SMAN I Bengkulu Selatan telah mencuri sampul soal cadangan dan menyimpannya dalam kardus khusus. Setelah dilakukan cross check oleh Polres Bengkulu Selatan, ternyata rombongan oknum kepala sekolah sedang melakukan pembahasan jawaban soal-soal UN di Masjid SMAN I Bengkulu Selatan. Akibat kejadian itu, sebanyak 25 orang sudah diamankan di Mapolres Bengkulu Selatan berikut barang bukti berupa soal UN. Rombongan pembocor soal tersebut terdiri dari 10 Kepala Sekolah SMA Negeri, 4 Kepala SMA Swasta, 1 Kepala Sekolah Madrasah Aliyah Negeri (MAN), seorang pejabat eselon III Dinas Pendidikan Pemudan dan Olahraga (Disdikpora), serta 9 orang guru. Sejauh ini tidak ditemukan kebocoran soal karena modus pencurian itu sudah lebih dulu ketahuan oleh polisi dan soal UN belum sempat jatuh ke tangan siswa, terang Mungin. Mungin menyebutkan, ada upaya tim sukses yang berusaha menginginkan target-target tertentu terkait standar kelulusan. Kasus ini masih dalam penyelidikan polisi dan bila benar terbukti kami siap memberikan sanksinya, tambah Mungin. Ihwal sanksi itu, Mungin mengatakan bahwa para kepala sekolah, guru atau pejabat terkait itu akan dibebastugaskan dan tidak diikutsertakan dalam UN/UASBN selanjutnya. Sementara penyelenggara yang terbukti melanggar juga tidak dibolehkan lagi menyelenggarakan UN, tegas Mungin. LTF Sumber: Kompas.Com http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/05/04/1803269 /Ini.Dia..Sebagian.Daftar.Pelanggaran.UN.Itu. | ||||
Media Multimedia Memudahkan Siswa
By admin | ||||
| ||||
Pendidikan Media Multimedia Memudahkan Siswa Senin, 3 Maret 2008 | 17:39 WIB Semarang, Kompas - Penerapan media pembelajaran multimedia di sekolah akan memudahkan guru untuk menerangkan materi pelajaran. Berbagai obyek dapat divisualisasikan sehingga siswa mudah memahami materi pelajaran. Hal itu terungkap dalam seminar nasional Meraih Sukses Pembelajaran dengan Optimalisasi Multimedia Interaktif, Sabtu (1/3) di Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Romi Satrio Wahono mengatakan, penyampaian materi dengan media pembelajaran multimedia memiliki sejumlah keunggulan. Penyampaian materi dalam bentuk visual dan suara membuat pelajaran lebih menarik. Siswa cepat paham sehingga pelajaran akan berlangsung lebih efektif dan efisien, kata salah satu pembicara di seminar tersebut. Roni mencontohkan, dengan bantuan perangkat multimedia, siswa dapat diajak untuk membayangkan lapisan matahari sekaligus lapisan- lapisan itu dalam visualisasi di layar komputer. Meskipun demikian, penerapan media pembelajaran multimedia di Indonesia belum populer. Menurut Roni, ada sejumlah kendala dalam penerapan media pembelajaran multimedia di sekolah. Kendala utama terletak pada kurangnya infrastruktur. Masih banyak sekolah di Indonesia yang belum dilengkapi dengan perangkat komputer. Kendala lain, kesiapan guru untuk beralih ke multimedia. Tidak semua guru mampu memindahkan materi pelajaran ke dalam program komputer. Romi mengusulkan agar pengelola sekolah membentuk semacam unit multimedia yang bertugas membuat program bagi para guru. Pekerjaan guru tidak sedikit. Sangat dipahami kalau dia tidak punya waktu untuk belajar membuat program, katanya. Menurut Joko Triyono, guru seni budaya dari SMAN I Prembun, Kebumen, para siswa lebih berminat untuk belajar gamelan setelah ia memakai perangkat multimedia di kelasnya. Ia membuat program Apresiasi Gamelan yang berisi materi pelajaran gamelan mulai dari teori hingga praktik. Siswa sanggup memainkan berbagai alat musik yang ada di layar komputer, ujar Joko. Dia adalah peraih medali perak dalam lomba pembuatan media pembelajaran tahun 2006, dari Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nasional untuk program pelajaran bermain gamelan yang dibuatnya itu. (A09) Sumber: Kompas.Com http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/03/03/17392324/ media.multimedia.memudahkan.siswa |
Pemerintah Jangan Ragu Bangun Sarana Pendidikan
By admin | ||||
| ||||
Pemerintah Jangan Ragu Bangun Sarana Pendidikan Kamis, 05 Maret 2009 06:15 WIB PEMERINTAH yang tidak ragu-ragu dalam membangun sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor majunya pendidikan di Jepang. Pembangunan sekolah-sekolah tingkat menengah dan perguruan tinggi sampai ke pelosok kota kecil di Jepang salah satu wujud keseriusan tersebut. Hal tersebut diakui oleh Prof Toru Kikkawa dari Universitas Osaka Jepang dalam seminar pendidikan berjudul 'Education in Indonesia and Japan: Future Challenges and Opportunities' yang diadakan oleh Universitas Paramadima di Jakarta, Rabu (4/3). Dalam presentasinya, Prof. Toru Kikkawa, menyajikan hal-hal apa saja yang mempengaruhi perkembangan pendidikan di Jepang selama ini. Beliau juga memaparkan bagaimana latar belakang pendidikan orang tua sangat mempengaruhi peningkatan level pendidikan masyarakat Jepang pada generasi berikutnya. Jika di negara berkembang, faktor gender, etnis dan ekonomi sangat mempengaruhi level pendidikan masyarakatnya, latar belakang pendidikan orang tua tidak terlalu berpengaruh. Berbeda dengan Jepang, justru faktor latar belakang pendidikan orang tua dan status pekerjaan yang sangat berpengaruh pada perkembangan level pendidikan masyarakatnya, tutur Toru. Hal ini juga disambut dengan pernyataan dari Dr. Anies Baswedan yang menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia masih berupa produk komersil. Masyarakat masih berpikir sekolah itu mahal dan hanya orang-orang berduit saja yang bisa sekolah. Anggaran pendidikan yang dipatok 20% pada APBN 2009 sebenarnya masih belum cukup untuk meningkatkan pendidikan di Indonesia, mengingat demikian luasnya wilayah Indonesia. Hal ini menyebabkan pendidikan level sekolah menengah dan perguruan tinggi masih langka di daerah-daerah terpencil, jelas Anies. Saat ini Jepang target program wajib belajar 9 tahun Jepang telah terpenuhi 100% dari populasi penduduk Jepang. Untuk tingkat sekolah menengah, 97% dari populasi penduduk telah mengikutinya dan untuk tingkat perguruan tinggi 50% dari populasi penduduk Jepang telah menempuh pendidikan tingkat perguruan tinggi. Berangkat dari hal tersebut, Anies menambahkan bahwa Indonesia harus memiliki manajemen pengembangan pendidikan yang baik. Indonesia dapat memulai dari meningkatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang sama untuk seluruh rakyat Indonesia, mulai dari level pendidikan sekolah dasar sampai level perguruan tinggi. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan jembatan untuk meningkatkan taraf kehidupan menjadi lebih baik. (*/OL-02) Sumber: Media Indonesia Online http://www.mediaindonesia.com/read/2009/03/03/63568/88/ 14/Pemerintah_Jangan_Ragu_Bangun_Sarana_Pendidikan_ |
Diskusi Terfokus NGO : Review Kebijakan Pembiayaan Pendidikan di Indonesia
Diskusi Terfokus NGO : Review Kebijakan Pembiayaan Pendidikan di Indonesia |
Ditulis oleh Administrator | ||||
Jumat, 24 April 2009 03:24 | ||||
There are no translations available. Dorongan masyarakat agar pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai mandat konstitusi, sebesar minimal 20%, membuat pemerintah berkomitmen untuk mengalokasikan sekitar Rp. 224 trilyun untuk belanja pendidikan pada RAPBN 2009. Disatu sisi hal tersebut adalah keberhasilan kerja-kerja advokasi masyarakat sipil khususnya, Akan tetapi disisi lain muncul agenda berikutnya yang jauh lebih penting, yaitu bagaimana memperbaiki pentargetan dalam mengalokasikan anggaran sebesar itu (prioritasi anggaran), dan memperbaiki akuntabilitas sistem belanja. Dalam kerangka advokasi, PATTIRO menyelenggarakan rangkaian serial diskusi terbatas bagi jaringan masyarakat sipil dan LSM yang melakukan kerja-kerja advokasi terkait pembiayaan pendidikan di tingkat nasional. Tujuan besar dari rangkaian kegiatan ini adalah melakukan review bersama-sama mengenai perkembangan kondisi terkini, baik terkait kebijakan pembiayaan pendidikan maupun permasalahan di lapangan, dan merumuskan bersama-sama isu strategis terkait kerja-kerja advokasi di tingkat nasional. Diskusi Terfokus pertama telah dilaksanakan pada jumat, 05 September 2008. Diskusi yang berlangsung di Cafe Bakul Koffie ini domoderatori oleh Maryati (Peneliti PATTIRO) dengan menghadirkan 4 narasumber sebagai pemantik diskusi, yakni : Abbas Ghozali (ketua tim ahli standar pembiayaan pendidikan BSNP), Utomo Dananjaya (Direktur Institute for Education Reform), Ade Irawan (Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik, Indonesia Corruption Watch), dan Chitra Hariyadi (Peneliti Kebijakan Publik PATTIRO). Acara yang digelar serangkaian dengan buka puasa ini dihadiri oleh jaringan masyarakat sipil dan NGO yang konsern pada advokasi pendidikan khususnya terkait pembiayaan pendidikan, antara lain : Education Network for Justice (M. Firdaus), Forum Peduli Pendidikan Nasional (Cornelis Lamonggi), ISCO Foundation (Ramida H.F Siringoringo), GAPRI (Ghofur) disamping Institute for Education Reform (IER) dan PATTIRO. Abbas Ghozali dalam Diskusi terfokus ini banyak mereview tentang kebijakan pembiayaan pendidikan di Indonesia. Menurut Abbas, mekanisme dan prosedur pendanaan pendidikan yang ada selama ini adalah rumit dan kurang efisien dan efektif. Menurutnya, dana pendidikan yang diperuntukkan bagi sasaran pendidikan berasal dari berbagai sumber, yaitu dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dimana Penyaluran dana dari masing-masing tingkat dilakukan melalui banyak proyek. Sementara, antar tingkat pemerintahan dan antar proyek memiliki kebijakan sendiri-sendiri dalam hal sasaran yang ditargetkan dan komponen yang dibiayai sehingga terlihat kurangnya koordinasi. Utomo Dananjaya (IER) mengungkapkan bahwa konstitusi tertinggi negara yakni UUD 1945 merupakan kesepakata umum yang dasar dan tinggi sebagai sistem penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk aturan tentang pendidikan dimana anggaran 20% sudah diatur di dalamnya. Artinya, UUD sebagai payung hukum, sumber hukum dan dasar hukum tertinggi, sehingga melanggarnya adalah bentuk kejahatan. Mengutif Abbas, ada sebelas komponen biaya yang bisa jadi pungutan di sekolah, yakni mulai dari Buku dan ATS, Pakaian dan perlengkapan sekolah, Akomodasi, Transportasi, Konsumsi, kesehatan, Karyawisata, Uang saku, kursus, Iuran sekolah, dan Foregone earning. Utomo juga menyampaikan fakta di Negara lain seperti Malaysia yang berhasil menerapkan pendidikan gratis semenjak merdeka. Prioritas di bidang pendidikan menurut utomo adalah Melahirkan generasi guru baru, membebaskan pungutan, meningkatkan gaji guru, dan penguatan infrastruktur pendidikan. Sehingga, kenaikan anggaran pendidikan di harapkan mampu menutup beban orang tua untuk sekolah dan bukan untuk biaya mengurus anak. Menurut Ade Irawan (ICW) dari tahun ke tahun anggaran terus naik, sehingga ketika SBY menyatakan akan memenuhi anggaran 20% atau sekitar Rp. 224 Triliun, jumlah tersebut tidak sedikit. Harapannya jangan sampai terjadi euphoria, seolah2 pendikan tiba-tiba akan menjadi baik. Menurut ade, kita harus melihatnya secara kritis : Bagaimana Porsi untuk biaya pendidikan sebenarnya? Bagaimana proses pengalokasiannya? Pembenahannya bagaimana? dan Bagaimana harmonisasi antara anggaran Perguruan Tinggi dan Pendidikan dasar?. Berkaitan dengan porsi, menurut ade, ada ketidaksesuaian antara rumusan yang dibuat oleh komisi 10 dengan Depdiknas. Dimana gaji pendidik termasuk dalam anggaran 20 persen, sehingga anggaran rutin akan bertambah dan anggaran pelayanan akan berkurang komposisinya, sehingga terjadilah perebutan antara keduanya. Bahkan anggaran kedinasan pun dimasukkan dalam anggaran pendidikan. artinya bahwa 224 Triliun tidak sesuai lagi dengan hal yang di definisikan oleh Komisi 10 dan Depdiknas. Ade menambahkan bahwa perlu proses yang transparan dalam pengalokasiannya. Chitra Hariyadi (Peneliti PATTIRO) mengungkapkan tentang hasil Penelitian PATTIRO menggunakan metoda PETS (Public Expenditure Tracking Survey), di kota Serang dan Gresik, dari penelitian sekitar 137 sekolah dari 7 skema yang diteliti yakni DAK, Block Grant, BOS, BOS Buku, BOS Pendamping, Rehab APBD serta dana Dekon. Memperlihatkan bahwa skema2 pusat lebih efektif, yakni dana BOS serta DAK. Sementara dana-dana yang berasal dari daerah mengalami banyak kebocoran. Beberapa hal yang ditemui di lapangan dari penelusuran tersebut ditemukan beberapa persoalan terkait pola belanja, dimana mandat yang diterima sekolah tidak sesuai dengan kebutuhan utama, terjadi keterlambatan pencairan, potongan yang tidak wajar, penyimpangan cara penyaluran dibanding aturan, belanja yang tidak sesuai dengan peruntukan, serta terjadi pengurangan hasil/kualitas yang dibanding dengan harga dan rencana semula. Rekomendasi berkisar di pemerintah pusat agar menyederhanakan jenis skema anggaran ke sekolah yang bertumpu pada rutin serta operasional dan memastikan keberlanjutannya melalui aturan yang kuat. Perbaikan mekanisme dan kepastian waktu penyaluran serta Pembuatan aturan dari pusat untuk mekanisme laporan standar. Sementara untuk pemerintah daerah adalah mendorong partisipasi multistakeholder, legislatf, komite sekolah untuk mengawasi, juga mendorong pemberdayaan manajemen keuangan sekolah dan pelaporan yang baik. Serta yang utama adalah membuat aturan yang memungkinkan dana didesakkan sesuai kebutuhan masyarakat dan sesuai tujuan utama alokasi dana tersebut. Diskusi menghangat pada efektifitas belanja pendidikan serta PP 48/2008 yang masih membolehkan sekolah memungut dana siswa, juga mengenai pembagian kewenangan pusat, propinsi dan daerah yang sering tumpang tindih dalam hal pembiayaan pendidikan (Writen by Dini Mentari, Maryati). | ||||
LAST_UPDATED2 |
Pembiayaan Sekolah Berbasis Kualitas (Pengalaman Sukma Bangsa)
By admin | ||||
| ||||
Senin, 08 September 2008 13:53 WIB Pembiayaan Sekolah Berbasis Kualitas (Pengalaman Sukma Bangsa) ISU pembiayaan sekolah menjadi penting jika dikaitkan dengan digulirkannya kebijakan anggaran pendidikan 20% mulai tahun anggaran 2009/2010, baik yang harus disediakan dalam kerangka APBN maupun APBD. Kajian tentang pembiayaan sekolah (school funding) menjadi relevan mengingat sistem pendidikan kita belum menganut asas pembiayaan sekolah secara integral yang berorientasi pada pengembangan aspek kualitas sebagai target pembiayaan sekolah. Isu pembiayaan sekolah bermutu (school quality funding) masih dihitung secara minimal, yaitu menyangkut besaran subsidi dari pemerintah untuk tiap siswa pada setiap tingkat satuan pendidikan. Perdebatan yang ramai dibicarakan oleh para praktisi, birokrat, dan politisi di sekitar pembiayaan pendidikan pun baru menyentuh aspek kebutuhan siswa sebagai unit analisnya, belum menghitung kebutuhan institusi sekolah sebagai sebuah pendekatan penjaminan mutu (quality assurance). Agar anggaran pendidikan 20% yang diamanatkan undang-undang dapat diserap secara efisien dan transparan, perlu dipikirkan skema-skema pembiayaan pendidikan dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisis, bukan lagi kebutuhan siswa. Dalam analisis satuan biaya pendidikan dasar dan menengah, Abbas Ghozali (2004) memperkenalkan ragam nomenklatur biaya satuan pendidikan yang dimaksudkan untuk mengetahui rekam jejak kebutuhan pembiayaan siswa per-anak per-tahun, dalam rangka menghitung besaran uang yang harus ditanggung orang tua dan subsidi yang harus disediakan pemerintah. Hasil penelitian tersebut cukup membantu dalam menjelaskan kemampuan orang tua dan pemerintah sebagai kerangka konseptual untuk mengetahui informasi dasar tentang biaya satuan pendidikan (BSP), tetapi sayang tak mampu menjelaskan tentang pembiayaan pendidikan yang berorientasi pada mutu dengan menggunakan sekolah sebagai unit analisisnya. Dalam konteks ini pengalaman Sekolah Sukma Bangsa mungkin dapat menjadi salah satu alternatif untuk mendeteksi pembiayaan sekolah berbasis kualitas, terutama dalam upaya meningkatkan kualitas proses belajar-mengajar. Beberapa studi tentang dampak kualitas sekolah terhadap capaian akademis siswa mengindikasikan pentingnya menciptakan sebuah budaya sekolah yang sehat secara manajemen. Dalam skema pembiayaan pendidikan, keberhasilan siswa dalam paradigma lama selalu bergantung pada kemampuan finansial orang tua dan karakter psikologis siswa serta menafikan kemampuan manajerial dan budaya sekolah (JS Coleman, Equality of Education Opportunity, 1966). Dalam banyak hal, kementerian pendidikan nasional sejauh ini belum mampu membangun sebuah budaya sekolah yang komprehensif dan visioner pada tingkat sekolah. Karena itu kebutuhan untuk membangun suasana belajar yang positif dan kondusif tidak jarang belum termasuk dalam komponen dan indikator pembiayaan pendidikan. Padahal jika kita merujuk pada hasil studi lainnya yang dilakukan oleh Rob Greenwald, et al, dalam The Effect of School Resources on Student Achievement, Review of Educational Research (1996), jelas terlihat strategi pembiayaan pendidikan di sekolah sangat berpengaruh terhadap capaian siswa. Beberapa peneliti mencoba untuk memecahkan kebuntuan pembiayaan yang berkaitan dengan pembangunan budaya sekolah sebagai bagian dari kebutuhan pokok sekolah dan berkaitan langsung dengan keberhasilan siswa, terutama dengan melihat tren pembiayaan pendidikan secara statistikal. Dengan menggunakan regresi statistikal, terlihat bahwa hubungan capaian akademis siswa dengan budaya sekolah tidak memiliki ikatan yang kuat karena pada prinsipnya siswa memiliki latar belakang budaya dan etnik yang berbeda. Jika hanya mengacu pada indikator kebutuhan siswa per-orang per-tahun, rumusan yang muncul biasanya sangat bersifat numerik dan dalam bahasa Eric Hanushek disebut sebagai production-function studies, dalam beberapa hal terlihat hubungan yang tidak selamanya positif antara semakin besar dana yang digunakan dalam proses pendidikan dengan capaian akademis siswa. Kesimpulannya cukup mengagetkan, There is no strong or systematic relationship between school expenditures and student performance. (Eric Hanushek, The Impact of Differential Expenditures on School Performance, Educational Researcher: 1989) Pengalaman Sukma Bangsa Ketika memulai sekolah di tahun ajaran 2006, optimisme para pengelola Sekolah Sukma Bangsa (SSB) sebenarnya belumlah tinggi. Input sekolah ini adalah anak-anak korban tsunami, korban konflik, yatim piatu, dan fakir miskin, bahkan dengan kemampuan akademis di bawah rata-rata anak sekolah di luar Aceh. Tetapi dengan visi ingin menciptakan lingkungan belajar yang positif dan kondusif, seluruh manajemen sekolah mencoba menerapkan beberapa strategi dasar pembiayaan sekolah yang mengacu pada penciptaan budaya sekolah yang aman dan nyaman. Beberapa strategi yang dikembangkan SSB mengacu pada visi dan misi sekolah sebagai sarana untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang positif bagi para siswa. Karena itu, sejak awal SSB memperkenalkan budaya moving-class, perluasan makna guru, dan penciptaan jejaring sehingga memungkinkan sekolah untuk memperoleh kritik sekaligus masukan dari para stakeholders. Strategi pembiayaan moving class ternyata berimplikasi positif terhadap budaya belajar siswa. Guru diwajibkan berkreasi menciptakan sebanyak mungkin class project activities yang tidak hanya berbasis kebutuhan proses belajar-mengajar di kelas tetapi juga di ruang terbuka seperti koridor dan halaman sekolah, perpustakaan, dan lingkungan sekitar. Ketika makna kelas diperluas menjadi keseluruhan sarana-prasarana yang tersedia baik di lingkungan sekolah maupun di luar sekolah, kreativitas dan usulan proses pembelajaran tidak jarang muncul dari siswa itu sendiri. Karena itu, baik guru maupun siswa memiliki hak yang sama untuk mengusulkan sebuah proses pembelajaran, pada tahap akhirnya menjadi kewajiban guru untuk membuat proposal pembiayaan aktivitas kelas tersebut. Perluasan makna guru juga berimplikasi pada kemampuan manajemen sekolah dalam mengidentifikasi sumber daya yang tersedia, baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan komunitas sekolah (stakeholders). Di SSB, konsep guru diperluas bukan saja guru di sekolah, bahkan seorang tukang becak, paramedis puskesmas, polisi, satpam, cleaning service, hingga bupati adalah sumber daya guru yang harus diberi kesempatan untuk mengajar di kelas. Kepandaian guru dan murid dalam menentukan guest teacher untuk mata ajar tertentu setiap dua minggu sekali adalah sebuah proses yang mengasyikkan. Lagi-lagi kecermatan, kecerdasan, dan kreativitas guru dengan siswa dalam mengundang guru tamu harus dituangkan dalam sebuah proposal yang jelas berikut pembiayaannya. Pengalaman memaknai perluasan arti guru dengan sendirinya memacu guru itu sendiri untuk pandai membuat proposal dan membaca banyak buku sebagai rujukan proses pembelajaran. Dengan demikian, prinsip self-training seperti yang pernah dijabarkan oleh Thomas Gordon dalam Teacher Effectiveness Training menjadi lebih mudah untuk diterapkan. Adapun strategi ketiga, yaitu menciptakan jejaring dengan seluruh komunitas sekolah adalah dalam rangka menciptakan kemitraan antara satu sekolah dan yang lainnya. Dengan menggunakan pendekatan sebagai pusat sumber belajar bersama (common learning resources center), SSB menawarkan diri kepada sekolah-sekolah sekitar untuk bekerja sama dalam melakukan proses belajar-mengajar. Tujuan dari strategi ini adalah dalam rangka memberikan ruang yang luas kepada sekolah untuk mempelajari apa saja yang mereka inginkan dari lingkungan sekitar, akhirnya dapat menopang posisi sekolah sebagai lembaga pendidikan yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses pendidikan. Sejauh ini beberapa bentuk kegiatan kerja sama luar sekolah yang telah dilakukan SSB meliputi kegiatan tutoring, mentoring, magang (internship), kunjungan lapangan, kemah siswa, serta pengadaan bahan ajar dan suplai pendidikan lainnya yang difasilitasi melalui koperasi sekolah. Perjalanan masih panjang bagi SSB. Tetapi pengalaman membuat perencanaan pembiayaan pembelajaran yang melibatkan seluruh komponen sekolah paling tidak telah membuka mata SSB untuk berkembang menjadi A school thats learn. Oleh Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Sumber: Media Indonesia Online http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=Mjg4NTU= |