Jangan bangga dengan gelar Magister Pasar Gelap |
Untuk apa punya ijazah kalau tidak pernah kuliah ? Untuk apa pula punya gelar kalau tidak punya nalar ?
Pertanyaan yang tercetus ketika kalangan perguruan tinggi, tokoh pendidikan, dan masyarakat yang peduli dengan pendidikan merasa kaget dan dilecehkan dengan praktik jual-beli gelar dan ijazah yang dilakukan beberapa waktu yang lalu oleh Institut Manajemen Global Indonesia (IMGI) dan oknum- oknum lain yang terlibat. Beruntung, praktik tidak terpuji yang memanipulasi institusi pendidikan ini akhirnya dibongkar juga oleh Mabes Polri (2005 lalu).
Praktik manipulatif dengan kedok lembaga pendidikan atau topeng perguruan tinggi itu sebetulnya sudah lama beroperasi, dan masalah ini patut mendapat perhatian dari semua pihak agar tidak ada lagi orang-orang yang bangga menyandang gelar akademik ilegal yang dibeli sekian juta rupiah. Sanksi tegas sebagaimana dimuat dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Bab XX Pasal 67-69, juga harus diterapkan agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Tindakan ini mendesak dilakukan untuk membuktikan komitmen pemerintah dan semua pihak terkait bagi kemajuan dan kehormatan dunia pendidikan di Indonesia. Ini persoalan penting, sebab lazimnya gelar akademik dan ijazah, diterima oleh seseorang sebagai tanda telah selesainya masa pendidikan tinggi formal dalam strata tertentu.
Untuk memperoleh gelar dan ijazah itu terlebih dahulu seseorang harus lulus ujian akhir atau telah membuat dan menyelesaikan skripsi (S1), tesis (S2), dan disertasi (S3).
Membuat dan menghasilkan karya tulis ilmiah dan akademik itu bukan hal gampang; begitu juga dengan mem-pertanggungjawabkan-nya di hadapan dewan penguji bukanlah perkara mudah.
Banyak faktor yang telah dikorbankan untuk mendapatkannya bukan sekedar dengan sekian juta rupiah fulus saja kemudian berbangga dengan ijazah dan gelar yang didapatnya dari pasar gelap tersebut. . . . . . .
Kenapa Masyarakat Bangsa Kita Cenderung Mengejar Gelar ?Pertanyaan yang tercetus ketika kalangan perguruan tinggi, tokoh pendidikan, dan masyarakat yang peduli dengan pendidikan merasa kaget dan dilecehkan dengan praktik jual-beli gelar dan ijazah yang dilakukan beberapa waktu yang lalu oleh Institut Manajemen Global Indonesia (IMGI) dan oknum- oknum lain yang terlibat. Beruntung, praktik tidak terpuji yang memanipulasi institusi pendidikan ini akhirnya dibongkar juga oleh Mabes Polri (2005 lalu).
Praktik manipulatif dengan kedok lembaga pendidikan atau topeng perguruan tinggi itu sebetulnya sudah lama beroperasi, dan masalah ini patut mendapat perhatian dari semua pihak agar tidak ada lagi orang-orang yang bangga menyandang gelar akademik ilegal yang dibeli sekian juta rupiah. Sanksi tegas sebagaimana dimuat dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), Bab XX Pasal 67-69, juga harus diterapkan agar kejadian serupa tidak terulang kembali.
Tindakan ini mendesak dilakukan untuk membuktikan komitmen pemerintah dan semua pihak terkait bagi kemajuan dan kehormatan dunia pendidikan di Indonesia. Ini persoalan penting, sebab lazimnya gelar akademik dan ijazah, diterima oleh seseorang sebagai tanda telah selesainya masa pendidikan tinggi formal dalam strata tertentu.
Untuk memperoleh gelar dan ijazah itu terlebih dahulu seseorang harus lulus ujian akhir atau telah membuat dan menyelesaikan skripsi (S1), tesis (S2), dan disertasi (S3).
Membuat dan menghasilkan karya tulis ilmiah dan akademik itu bukan hal gampang; begitu juga dengan mem-pertanggungjawabkan-nya di hadapan dewan penguji bukanlah perkara mudah.
Banyak faktor yang telah dikorbankan untuk mendapatkannya bukan sekedar dengan sekian juta rupiah fulus saja kemudian berbangga dengan ijazah dan gelar yang didapatnya dari pasar gelap tersebut. . . . . . .
Secara sosiologis, praktik jual- beli gelar dan ijazah ini menunjukkan masih kuatnya pengaruh gelar dan budaya feodal dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Hal ini setidaknya berkaitan dengan status sosial yang akan dimiliki orang-orang yang bergelar tersebut, dan akspektasi sosial yang diharapkan mereka akan diberikan oleh masyarakat. Orang yang memiliki gelar akademik atau lulusan perguruan tinggi biasanya secara langsung maupun tidak langsung akan menduduki status sosial tertentu di masyarakat.
Menurut Max Weber (1978), status dapat berarti sebuah klaim yang efektif bagi penghargaan sosial yang berkenaan dengan privileges positif atau negatif; yang secara tipikal didasarkan pada: (a) gaya hidup; (b) pendidikan formal; dan (c) warisan turun-temurun atau prestise pekerjaan.
Dalam pandangan sosiologis ini terlihat bahwa status di dalamnya inheren terdapat pengakuan atau keinginan untuk diakui oleh orang lain atau masyarakat sehingga bisa memperoleh privileges, bentuk-bentuk hak istimewa atau perlakuan khusus dan fasilitas kemudahan dalam akses sosial, politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya.
Dari perspektif ini bisa dipahami mengapa banyak orang yang begitu silap dan ambisius untuk memiliki gelar akademik atau kesarjanaan, meskipun tidak melalui jalur pendidikan tinggi yang resmi dan formal. Orang-orang yang silau dengan gelar ini mempunyai persepsi bahwa gelar akademik yang dimiliki secara tidak sah itu akan menjadi tiket bagi peningkatan status sosial atau kenaikan pangkat dan jabatan di tempat kerja mereka.
Berbeda dengan itu, maka gelar akademik yang diraih oleh seseorang secara legal dan prosedural termasuk kategori status yang diusahakan atau diperoleh karena upaya dan proses pendidikan formal yang telah rampung dijalaninya.
Hal yang menurut Donald J Treiman, adalah status seperti ini disebutnya sebagai status attainment, yakni suatu proses yang harus dilalui setiap individu dalam meraih kedudukan dalam stratifikasi sistem sosial di masyarakat. Dalam stratifikasi sosial seperti ini, maka pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan menjadi faktor-faktor kunci yang menentukan.
No Reason !
Gelar akademik yang diperoleh dengan cara membeli sekian juta rupiah, bisa dipastikan bahwa gelar itu tidak ada reason- nya alias tanpa nalar. Begitu pula dengan ijazah kesarjanaan yang dimiliki seseorang dengan cara membayar, maka di samping tidak akan diakui resmi oleh pemerintah atau Kementrian Pendidikan Nasional, juga tidak ada garansi akademis bagi si pemiliknya. Gelar seperti itu tidak lebih dari sekadar topeng kepalsuan dan kebanggaan semu belaka, tanpa nalar, nilai, dan etika.
Nalar dalam gelar akademik bisa dipahami dari hal-hal berikut ini;
- Gelar akademik yang dimiliki oleh seseorang, misalnya sarjana hukum atau sarjana ekonomi, maka berarti pemilik gelar tersebut telah selesai studi di fakultas hukum atau fakultas ekonomi dengan berbagai persyaratan, proses, dan prosedur yang sudah dijalaninya.
- Penyandang gelar tersebut dipandang memiliki kompetensi dan wawasan keilmuan di bidang hukum atau ekonomi.
- Penyandang gelar akademik tadi mempunyai hak dan kewajiban yang melekat, baik untuk peningkatan kualitas hidupnya maupun bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan pengabdian pada masyarakat.
- Pada gelar akademik yang disandang oleh seseorang, terdapat nilai-nilai moral dan komitmen yang berhubungan langsung dengan Tuhan, sebagaimana tersurat dalam ikrar prasetya kesarjanaan.
Karena itu, gelar yang dibeli dan ijazah yang ditebus dengan fulus, sekali lagi, adalah tanpa nalar dan tidak mempunyai makna. Yang ada di dalamnya hanya rasionalitas kalkulatif dan transaksi ekonomi antara penjual gelar dan ijazah dengan pembelinya, khas gaya hidup masyarakat modern. Kasus seperti inilah yang oleh C Wright Mills disebutnya sebagai rasionalitas tanpa nalar (rationality without reason).
Sebab bagaimana mungkin di dalam praktik jual-beli gelar dan ijazah itu terdapat nilai-nilai kejujuran ilmu pengetahuan, nalar moral serta komitmen Ketuhanan dan kemanusiaan, jika di dalamnya terdapat kebohongan dan kepalsuan? Gelar dan ijazah itu tidak memiliki makna dan tidak representatif dengan kapasitas pemegangnya. Mempunyai gelar tanpa nalar dan ijazah tanpa kuliah itu selain telah membohongi diri sendiri, juga sangat riskan disalahgunakan untuk menipu orang lain.
Pada hakikatnya, diakui atau tidak, orang-orang yang menyandang gelar akademik dan memiliki ijazah dengan cara-cara yang tidak terpuji dan tidak patut itu telah melakukan kebohongan publik dan penipuan terhadap masyarakat luas. Selama orang-orang seperti itu pamer dan bangga dengan gelar-gelar ilegal dan ijazah palsu itu, maka selama itu pula mereka sedang berbohong dan menipu diri di tengah khalayak. Sungguh sebuah tragedi kemanusiaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar