PAS adalah salah satu produk mainan edukatif dari Jerman. Hak cipta penerjemahan dalam bahasa Indonesia dimiliki oleh PT. Pondok Obed Edom, Jakarta.
Bentuk-bentuk permainan PAS cukup beragam. Ada paket Bermain & Belajar mempergunakan buku dan wadah kontrol PAS, tali PAS, paket bermain huruf, paket mengeja, istana kuis, dan lain-lain. Untuk mengetahui display produk, klik bagian judul di atas.
Selain melatih konsentrasi, PAS juga baik untuk menumbuhkan rasa percaya diri anak. Karena sesungguhnya anak bisa mengoreksi sendiri permainan mereka berdasarkan pola yang ada.
Anda mungkin mau mencoba?
Rabu, 29 Agustus 2007
Minggu, 26 Agustus 2007
Membuat Kartu Kata untuk Belajar Membaca
Banyak cara untuk menstimulasi kemampuan membaca, salah satunya dengan mempergunakan kartu kata bergambar. Anak-anak yang efektif belajar dengan melihat (visual) akan sangat terbantu dengan media yang mempergunakan gambar.
Ibu-ayah bisa membuat sendiri kartu-kartu ini dengan beberapa bahan yang mudah didapat dan juga cukup murah.
Bahan:
- Berbagai jenis gambar berwarna dari majalah atau koran bekas, poster gambar (yang biasa dijual di emperan atau toko buku), atau brosur-brosur belanja supermarket.
- Karton duplek
- Lem
Alat:
- gunting
- penggaris
- pensil
- spidol besar warna merah
Cara membuat:
- bagilah karton duplek dengan bantuan pensil dan penggaris, menjadi kartu-kartu dengan ukuran panjang 24 cm dan lebar 8 cm lalu digunting.
- Untuk satu kartu terdiri atas dua buah duplek yang direkatkan, sehingga dua sisi masing-masing berwarna putih.
- Sisi yang pertama diisi dengan gambar yang direkatkan dengan lem berikut tulisan nama gambar tesebut, sementara sisi yang kedua diisi dengan tulisannya saja dari gambar tersebut.
- Tumpulkan ujung-ujung kartu supaya tidak melukai mata atau bagian tubuh lainnya ketika dimainkan oleh anak-anak.
- Simpanlah kartu-kartu berurutan berdasarkan kategori, misalnya sayur-sayuran, hewan, pakaian, dan sebagainya.
Contoh cara bermain:
- Jejerkan 5 buah kartu dengan bagian bergambar berada di atas. Biarkan selama 5 detik.
- Lalu baliklah kartu-kartu itu sehingga bagian yang tidak bergambar berada di atas.
- Bermainlah tebak-tebakan dengan anak, kartu apakah yang kita tunjukkan.
- 5 – 10 menit cukup untuk memainkan permainan itu, dan bersegeralah beralih ke kegiatan lain yang mungkin lebih menantang, seperti bermain bola atau yang lainnya, yang memang disukai anak.
Ibu-ayah bisa membuat sendiri kartu-kartu ini dengan beberapa bahan yang mudah didapat dan juga cukup murah.
Bahan:
- Berbagai jenis gambar berwarna dari majalah atau koran bekas, poster gambar (yang biasa dijual di emperan atau toko buku), atau brosur-brosur belanja supermarket.
- Karton duplek
- Lem
Alat:
- gunting
- penggaris
- pensil
- spidol besar warna merah
Cara membuat:
- bagilah karton duplek dengan bantuan pensil dan penggaris, menjadi kartu-kartu dengan ukuran panjang 24 cm dan lebar 8 cm lalu digunting.
- Untuk satu kartu terdiri atas dua buah duplek yang direkatkan, sehingga dua sisi masing-masing berwarna putih.
- Sisi yang pertama diisi dengan gambar yang direkatkan dengan lem berikut tulisan nama gambar tesebut, sementara sisi yang kedua diisi dengan tulisannya saja dari gambar tersebut.
- Tumpulkan ujung-ujung kartu supaya tidak melukai mata atau bagian tubuh lainnya ketika dimainkan oleh anak-anak.
- Simpanlah kartu-kartu berurutan berdasarkan kategori, misalnya sayur-sayuran, hewan, pakaian, dan sebagainya.
Contoh cara bermain:
- Jejerkan 5 buah kartu dengan bagian bergambar berada di atas. Biarkan selama 5 detik.
- Lalu baliklah kartu-kartu itu sehingga bagian yang tidak bergambar berada di atas.
- Bermainlah tebak-tebakan dengan anak, kartu apakah yang kita tunjukkan.
- 5 – 10 menit cukup untuk memainkan permainan itu, dan bersegeralah beralih ke kegiatan lain yang mungkin lebih menantang, seperti bermain bola atau yang lainnya, yang memang disukai anak.
Kamis, 23 Agustus 2007
Membuat Anak Cinta Belajar
"Mama, ajarin Kakak corel draw, ya!" pinta Azkia (5 tahun), anak pertama saya, suatu hari. Saya bilang, "ya,". Walaupun saya tidak begitu mahir, tapi lumayanlah kalau cuma bikin desain sederhana.
Permintaan itu diulang hingga tiga hari berikutnya karena saya selalu lupa. Ketika tadi pagi saya ingat, meskipun sambil masak saya sempatkan jadi tutor sebentar. Buka programnya sih tak perlu lagi diajarkan, dia sudah bisa sendiri.
Nah, beberapa langkah saya ajarkan, dari membuat kotak dan lingkaran lalu diwarnai dengan efek warna bervariasi. Ya, langsung deh dia jalan sendiri. Ajaibnya, efek warna yang saya ajarkan malah tidak dia pakai. Dia melompat dengan mempergunakan efek warna yang lain, dan saya sendiri belum pernah mencobanya.Dalam hati sih geli juga. Kok bisa ya?
Begitu alami minat belajar anak-anak hingga kadang-kadang orang dewasa pun bisa terkagum-kagum. Akan tetapi, hal itu ternyata bukanlah hadiah gratis tanpa usaha. Kecintaan terhadap belajar lahir dari banyaknya kesempatan untuk mencoba.
Dulu saya baru belajar komputer ketika lulus SMA, itu pun baru program wordstar, lotus, dan Dbase. Kenal mouse dan program windows justru ketika mepet karena harus menyelesaikan skripsi. Waah, telat sekali ya. Nah, anak-anak sekarang, hanya dengan melihat dan mencoba, tanpa teori, tanpa modul dan papan tulis, mereka bisa mengoperasikan program MS.Office dan sebagainya dengan cepat.
Apa yang membedakan saya dengan anak-anak saya atau orang-orang yang pintar dengan orang-orang yang tidak pintar? Saya bisa mengatakan dengan yakin, "KESEMPATAN!". Bukankah setiap anak itu sesungguhnya terlahir dengan potensi cerdas. Seperti apa cetak biru anak setelah dewasa justru diproses pada masa kecil.
Semakin banyak kesempatan yang dimiliki anak untuk mencoba berbagai hal, maka ia makin tertarik untuk tahu lebih banyak. Makin sedikit kesempatan yang disediakan orang tua untuk mencoba, makin terkikis pula rasa ingin tahu anak terhadap banyak hal. Jelas sekali, ketika rasa ingin tahu itu hilang, maka anak-anak tak punya modal untuk menyukai belajar.
Pada beberapa keterampilan, saya melihat kemajuan anak-anak memang bergerak sesuai kemampuan dan kemauannya. Kita tidak bisa memaksa mereka, karena hal itu hanya akan membuat mereka berontak. Hal yang perlu kita lakukan adalah tak bosan menyediakan bahan walaupun pada awalnya mungkin tak pernah mereka pedulikan.
Ketika saya mulai memperkenalkan keterampilan mewarnai gambar pada Azkia saat ia berusia 3 tahun, saya lihat ia hanya membubuhkan satu coretan kecil di gambarnya. Sedikit heran juga melihat hal itu. Akan tetapi, saya mencoba untuk tidak bosan memberinya gambar dan kertas, sehingga ia terus berlatih sendiri; tak pernah dinilai atau dicela meski warnanya selalu belum penuh dan masih keluar garis.
Waktu berlalu, kini setelah usianya menjelang 5 tahun ternyata ia tak hanya bisa mewarnai gambar dengan indah, tapi juga mampu membuat gambar dan mewarnainya sendiri.
Oleh karena itu, ketika hal yang sama berulang pada adiknya, saya tak lagi heran. Saya tetap rela menghamburkan kertas ketika ia ingin print gambar-gambar di komputer untuk diwarnai atau corat-coret walaupun tak jelas bentuknya. Saya yakin, suatu saat ia akan berminat dan bisa melakukannya dengan baik meskipun saya tidak tahu kapan persisnya.
Pendidikan rumah memang memungkinkan orang tua untuk menerapkan sikap fleksibel itu dalam segala hal. Anak-anak belajar sesuatu karena mereka memang menginginkannya dan bukan karena guru menyuruhnya. Hasilnya? Jelas akan berbeda. Sesuatu yang dilakukan dengan rasa suka dan sepenuh jiwa biasanya juga menebarkan karya yang lebih berwarna dan menjadi inspirasi bagi orang lain. Bukan kita yang meminta anak-anak untuk belajar, tapi anak-anaklah yang meminta kita untuk mengajari mereka.
Salam pendidikan!
Permintaan itu diulang hingga tiga hari berikutnya karena saya selalu lupa. Ketika tadi pagi saya ingat, meskipun sambil masak saya sempatkan jadi tutor sebentar. Buka programnya sih tak perlu lagi diajarkan, dia sudah bisa sendiri.
Nah, beberapa langkah saya ajarkan, dari membuat kotak dan lingkaran lalu diwarnai dengan efek warna bervariasi. Ya, langsung deh dia jalan sendiri. Ajaibnya, efek warna yang saya ajarkan malah tidak dia pakai. Dia melompat dengan mempergunakan efek warna yang lain, dan saya sendiri belum pernah mencobanya.Dalam hati sih geli juga. Kok bisa ya?
Begitu alami minat belajar anak-anak hingga kadang-kadang orang dewasa pun bisa terkagum-kagum. Akan tetapi, hal itu ternyata bukanlah hadiah gratis tanpa usaha. Kecintaan terhadap belajar lahir dari banyaknya kesempatan untuk mencoba.
Dulu saya baru belajar komputer ketika lulus SMA, itu pun baru program wordstar, lotus, dan Dbase. Kenal mouse dan program windows justru ketika mepet karena harus menyelesaikan skripsi. Waah, telat sekali ya. Nah, anak-anak sekarang, hanya dengan melihat dan mencoba, tanpa teori, tanpa modul dan papan tulis, mereka bisa mengoperasikan program MS.Office dan sebagainya dengan cepat.
Apa yang membedakan saya dengan anak-anak saya atau orang-orang yang pintar dengan orang-orang yang tidak pintar? Saya bisa mengatakan dengan yakin, "KESEMPATAN!". Bukankah setiap anak itu sesungguhnya terlahir dengan potensi cerdas. Seperti apa cetak biru anak setelah dewasa justru diproses pada masa kecil.
Semakin banyak kesempatan yang dimiliki anak untuk mencoba berbagai hal, maka ia makin tertarik untuk tahu lebih banyak. Makin sedikit kesempatan yang disediakan orang tua untuk mencoba, makin terkikis pula rasa ingin tahu anak terhadap banyak hal. Jelas sekali, ketika rasa ingin tahu itu hilang, maka anak-anak tak punya modal untuk menyukai belajar.
Pada beberapa keterampilan, saya melihat kemajuan anak-anak memang bergerak sesuai kemampuan dan kemauannya. Kita tidak bisa memaksa mereka, karena hal itu hanya akan membuat mereka berontak. Hal yang perlu kita lakukan adalah tak bosan menyediakan bahan walaupun pada awalnya mungkin tak pernah mereka pedulikan.
Ketika saya mulai memperkenalkan keterampilan mewarnai gambar pada Azkia saat ia berusia 3 tahun, saya lihat ia hanya membubuhkan satu coretan kecil di gambarnya. Sedikit heran juga melihat hal itu. Akan tetapi, saya mencoba untuk tidak bosan memberinya gambar dan kertas, sehingga ia terus berlatih sendiri; tak pernah dinilai atau dicela meski warnanya selalu belum penuh dan masih keluar garis.
Waktu berlalu, kini setelah usianya menjelang 5 tahun ternyata ia tak hanya bisa mewarnai gambar dengan indah, tapi juga mampu membuat gambar dan mewarnainya sendiri.
Oleh karena itu, ketika hal yang sama berulang pada adiknya, saya tak lagi heran. Saya tetap rela menghamburkan kertas ketika ia ingin print gambar-gambar di komputer untuk diwarnai atau corat-coret walaupun tak jelas bentuknya. Saya yakin, suatu saat ia akan berminat dan bisa melakukannya dengan baik meskipun saya tidak tahu kapan persisnya.
Pendidikan rumah memang memungkinkan orang tua untuk menerapkan sikap fleksibel itu dalam segala hal. Anak-anak belajar sesuatu karena mereka memang menginginkannya dan bukan karena guru menyuruhnya. Hasilnya? Jelas akan berbeda. Sesuatu yang dilakukan dengan rasa suka dan sepenuh jiwa biasanya juga menebarkan karya yang lebih berwarna dan menjadi inspirasi bagi orang lain. Bukan kita yang meminta anak-anak untuk belajar, tapi anak-anaklah yang meminta kita untuk mengajari mereka.
Salam pendidikan!
Rabu, 22 Agustus 2007
Televisi dan Perilaku Anak-Anak
Hiaat! Hiaat! Rasakan ini, "dugh!". Tinju si kecil mengenai lengan kakaknya. "Aaaaau! Sakiit! Jangan pukul Kakak, De!" teriak sang kakak yang sedang serius menyusun lego.
Itulah tayangan film kartun yang adegannya diulang oleh jagoan kecil saya. Sempat heran juga, kenapa akhir-akhir ini anak bungsu saya sering menyerang dengan tangan atau benda-benda yang dipegangnya. Oh, tanpa saya sadari televisi yang beberapa waktu terakhir sempat agak dilonggarkan telah menjadi sumber inspirasi.
Itulah dia televisi, kotak ajaib dengan suara dan gambar bergerak, selain bisa menghibur, juga mampu menghipnotis penontonnya, tak terkecuali anak-anak.
Memang selalu ada kontroversi tentang televisi bagi anak-anak. Namun secara umum, saya bisa katakan, televisi itu sama halnya seperti makanan. Jika tayangannya baik maka efeknya juga baik, jika isinya negatif maka akibatnya menjadi racun bagi otak, dan terimplementasikan dalam perilaku.
Racun-Racun Televisi
Anak-anak belajar lewat kegiatan yang reflek dan cepat menyerap informasi dari hal-hal yang diulang, meskipun hanya sekilas. Televisi memiliki kekuatan tersebut.
Oleh karena itu, memilihkan tayangan yang baik adalah cara paling bijak. Banyak tayangan yang sepertinya diperuntukkan bagi anak-anak tetapi nyatanya mengandung muatan yang tidak cocok dengan anak-anak. Bahkan film kartun pun tidak semuanya cocok untuk anak. Banyak di antara film kartun mengandung unsur kekerasan, intimidasi, ketakutan, dan kata-kata yang negatif.
Satu hal lagi yang perlu diwaspadai adalah tayangan iklan. Adakalanya film yang diputar di TV cukup bagus, tapi iklan pendukungnya mengandung muatan yang kurang baik termasuk di antaranya budaya konsumtif.
Adapun film-film dan tayangan untuk dewasa jelas sudah termasuk dalam daftar pertama yang harus kita jauhkan dari anak-anak. Kita tentu belum lupa kasus meninggal dan cederanya beberapa anak akibat meniru tayangan "Smack Down".
Sebenarnya, televisi seringkali hanya menjadi pelarian anak-anak dan bahkan orang dewasa yang tidak memiliki kegiatan menarik. Oleh karena itu, selalulah progresif mencari bahan-bahan kegiatan positif dan menarik di dunia nyata untuk kita dan juga anak-anak kita. Jangan sampai kita terkena candu televisi hanya karena kita kehabisan aktivitas.
Salam Pendidikan!
Itulah tayangan film kartun yang adegannya diulang oleh jagoan kecil saya. Sempat heran juga, kenapa akhir-akhir ini anak bungsu saya sering menyerang dengan tangan atau benda-benda yang dipegangnya. Oh, tanpa saya sadari televisi yang beberapa waktu terakhir sempat agak dilonggarkan telah menjadi sumber inspirasi.
Itulah dia televisi, kotak ajaib dengan suara dan gambar bergerak, selain bisa menghibur, juga mampu menghipnotis penontonnya, tak terkecuali anak-anak.
Memang selalu ada kontroversi tentang televisi bagi anak-anak. Namun secara umum, saya bisa katakan, televisi itu sama halnya seperti makanan. Jika tayangannya baik maka efeknya juga baik, jika isinya negatif maka akibatnya menjadi racun bagi otak, dan terimplementasikan dalam perilaku.
Racun-Racun Televisi
Anak-anak belajar lewat kegiatan yang reflek dan cepat menyerap informasi dari hal-hal yang diulang, meskipun hanya sekilas. Televisi memiliki kekuatan tersebut.
Oleh karena itu, memilihkan tayangan yang baik adalah cara paling bijak. Banyak tayangan yang sepertinya diperuntukkan bagi anak-anak tetapi nyatanya mengandung muatan yang tidak cocok dengan anak-anak. Bahkan film kartun pun tidak semuanya cocok untuk anak. Banyak di antara film kartun mengandung unsur kekerasan, intimidasi, ketakutan, dan kata-kata yang negatif.
Satu hal lagi yang perlu diwaspadai adalah tayangan iklan. Adakalanya film yang diputar di TV cukup bagus, tapi iklan pendukungnya mengandung muatan yang kurang baik termasuk di antaranya budaya konsumtif.
Adapun film-film dan tayangan untuk dewasa jelas sudah termasuk dalam daftar pertama yang harus kita jauhkan dari anak-anak. Kita tentu belum lupa kasus meninggal dan cederanya beberapa anak akibat meniru tayangan "Smack Down".
Sebenarnya, televisi seringkali hanya menjadi pelarian anak-anak dan bahkan orang dewasa yang tidak memiliki kegiatan menarik. Oleh karena itu, selalulah progresif mencari bahan-bahan kegiatan positif dan menarik di dunia nyata untuk kita dan juga anak-anak kita. Jangan sampai kita terkena candu televisi hanya karena kita kehabisan aktivitas.
Salam Pendidikan!
Senin, 20 Agustus 2007
Membuat "Lilin" Mainan
Pernah mendengar lilin mainan? Pasti ayah dan ibu dengan putra-putri yang masih balita akrab sekali dengan benda ini, karena anak-anak memang menyukainya. Beberapa sumber bahkan mengatakan bahwa bermain lilin mainan dan juga tanah liat bermanfaat untuk melatih motorik halus anak-anak, sehingga mereka lebih bisa berkonsentrasi dan lebih mudah untuk menguasai keterampilan menulis.
Untuk mendapatkannya sangat mudah. Tinggal berkunjung ke toko-toko mainan anak, supermarket, dan bahkan toko alat-alat tulis, pasti di sana tersedia lilin mainan. Tapi, memang akan terasa mahal juga harganya kalau anak-anak sangat sering bermain. Nah, ternyata kita bisa menyiasati itu dengan membuatnya sendiri. Tidak sama persis sih dengan lilin mainan yang dijual di toko-toko, tapi memiliki karakter dan fungsi yang hampir sama.
Bagi ayah-ibu yang belum tahu resep membuat "lilin" mainan, berikut saya berikan informasinya:
Bahan:
- 1/4 kg tepung terigu
- 1 gelas garam
- pewarna makanan berbagai warna (setidaknya 3 warna utama: merah, biru, kuning; warna lainnya bisa dihasilkan dari campuran 3 warna tersebut)
- 3 sendok minyak goreng
- 1/4 gelas air
Cara membuat:
- Campurkan terigu, garam, minyak, dan air menjadi satu lalu uleni (seperti adonan roti) sampai adonan tidak lengket di tangan dan wadahnya.
- Bagilah adonan tersebut menjadi beberapa bagian
- Berilah setiap bagian dengan warna berbeda sesuai selera
- lilin mainan buatan sendiri siap dimainkan
Catatan: Kalau menginginkan lebih banyak adonan, jumlah bahan tinggal ditambah dengan komposisi yang seimbang sesuai resep pertama.
Supaya lebih seru, kita bisa siapkan juga cetakan berbagai bentuk. Mungkin bisa mempergunakan cetakan kue milik ibu di rumah, tapi sebaiknya dengan pengawasan karena cetakan kue biasanya terbuat dari logam dan agak tajam.
Tips
- Wadahi lilin buatan dengan nampan supaya tidak berceceran di lantai atau karpet.
- Kalau mempergunkan karpet sebagai alas duduk, pilihlah karpet berbahan dasar plastik (bukan bludru) supaya lebih mudah dibersihkan.
- Supaya "lilin" ini bisa dipergunakan lagi dalam beberapa hari pemakaian (maksimal 7 hari), ayah-ibu bisa membungkusnya dengan plastik tertutup lalu menyimpannya di lemari es setelah dipakai, tapi hanya di bagian pendingin bukan di bagian pembeku (freezer).
Semoga bermanfaat, selamat mencoba!
Kamis, 16 Agustus 2007
PAUD Berbasis Rumah
Pemerintah, lewat Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Departemen Pendidikan Nasional (Dediknas), sedang gencar mensosialisasikan pentingnya pendidikan untuk anak usia dini (PAUD). Hal itu tentu sangat positif, karena memeratakan PAUD adalah bagian yang tak terpisahkan dari upaya meningkatkan kualitas generasi penerus kita.
Mendidik anak usia dini ibarat meletakkan pondasi yang kokoh bagi kehidupan anak-anak secara pribadi dan kelangsungan generasi suatu bangsa secara kolektif. Hasilnya mungkin tidak bisa kita lihat dan rasakan dalam sekejap, namun setelah anak-anak tumbuh dewasa, pondasi yang dibentuk di masa kecil itu akan sangat terasa manfaatnya.
Sayangnya, PAUD yang populer di masyarakat lebih identik dengan Play Group dan Taman Kanak-Kanak (TK) dibandingkan pendidikan “rumahan”. Wajar pula kalau program pemerataan PAUD lebih diarahkan untuk memperbanyak jumlah Play Group dan TK atau bentuk-bentuk pendidikan klasikal lainnya daripada mengembangkan unit-unit pendidikan bagi orang tua. Padahal kita tahu bahwa pendidik terbaik untuk anak-anak balita atau anak prasekolah adalah orang tuanya.
Sekalipun ada institusi khusus yang menangani pengembangan kemampuan anak usia dini, seharusnya itu hanyalah pelengkap. Walau bagaimanapun waktu yang dihabiskan anak-anak di rumah jauh lebih banyak dibandingkan di sekolah. Berdasarkan fakta tersebut, tentu pengetahuan orang tua tentang kegiatan dan pembelajaran menarik di rumah justru sangat penting untuk dikembangkan.
Masalah yang biasanya dihadapi para ibu pemula adalah kurangnya informasi dan skill dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak balitanya. Hal itu bisa dimaklumi, karena sebagian besar orang tua tidak mempersiapkan dirinya untuk menjadi orang tua. Menjadi ayah atau ibu tampak begitu alamiah, sehingga nyaris semua orang tidak menganggap perlu untuk mencari tahu terlebih dahulu tentang ilmu-ilmu keayahbundaan sebelum mereka menikah. Tak heran jika para ibu-ayah pemula akhirnya dikejutkan oleh persoalan-persoalan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Setelah masalah timbul, barulah keduanya sibuk mencari tahu.
Mungkin itu pula salah satu alasan mengapa orang tua memasukkan anak-anak balitanya ke playgroup atau TK. Orang tua merasa khawatir, mereka tidak mampu mengembangkan kemampuan anak-anak mereka secara maksimal.
Antusiasme untuk memperbanyak jumlah TK dan sejenisnya patut kita acungi jempol. Hal itu merupakan salah satu solusi agar semakin banyak anak-anak usia dini yang “terlayani” pendidikannya. Akan tetapi, bagi kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah, selain belum meratanya pengetahuan tentang pentingnya PAUD, mereka juga memiliki masalah lain untuk memasukkan anak-anak balitanya ke TK, yaitu faktor biaya.
Semurah-murahnya biaya pendidikan di tingkat Taman Kanak-Kanak saat ini tetap cukup berat jika satu keluarga memiliki beberapa anak usia sekolah. Mereka lebih memprioritaskan pembiayaan anak-anak yang sudah masuk SD atau jenjang di atasnya, daripada menyekolahkan anaknya yang masih balita. Adakalanya beberapa orang tua yang mungkin sudah memiliki kesadaran akan pentingnya PAUD, harus bersikap rasional ketika berhadapan dengan masalah tersebut.
Mengembangkan Skill Orang Tua
Ketika orang tua memutuskan untuk tidak memasukkan anak balitanya ke kelas-kelas prasekolah, timbul dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, banyak anak-anak balita yang tidak punya kegiatan terarah, dan ujung-ujungnya malah menjadikan televisi sebagai teman bermain. Sementara itu, kita tentu sepakat bahwa tidak semua acara TV itu baik bagi perkembangan anak-anak. Dan kemungkinan kedua, ada orang tua yang kreatif menyediakan kegiatan pengganti sekolah yang tidak kalah bagusnya. Anak-anak tetap bisa belajar banyak hal meskipun hanya lewat kegiatan “rumahan” dan memanipulasi perabotan yang ada menjadi alat belajar.
Kemungkinan yang terakhir memang sangat kecil terjadi, karena patut kita akui, pengetahuan tentang cara mendidik anak usia dini belumlah begitu merata. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah menggalakan terbentuknya unit-unit belajar bagi orang tua.
Unit-unit belajar ini bukan hanya membantu anak-anak yang tidak bisa masuk playgroup atau TK, melainkan juga bisa meningkatkan kualitas pendidikan anak di keluarga-keluarga yang mampu menyekolahkan anaknya tapi masih lemah dalam pengetahuan keayahbundaan.
Informasi yang dituturkan Jeanette Vos dan Gordon Dryden dalam bukunya The Learning Revolutions: To Change The Way the World Learns, yang edisi terjemahannya sudah diterbitkan Penerbit Kaifa, menyebutkan bahwa di Malaysia telah diselenggarakan program pendidikan orang tua yang disebut Nury, berasal dari kata “nur”, yang berati cahaya. Program itu diselenggarakan di desa-desa oleh Dr. Noor Laily Dato’ Abu Bakar dan Mansor Haji Sukaimi. Dalam sepuluh tahun mereka telah melatih 20.000 orang tua di Malaysia dan 2.000 di Singapura.
Program Missouri Parents As Teachers (PAT) di Amerika Serikat, juga telah menjadi pemicu yang penting dari konsep orang tua sebagai guru. Ini dimulai pada 1981 sebagai program percontohan dengan nama Parents as First Teachers (Orang Tua sebagai Guru Pertama). Program tersebut ditujukan untuk mendidik para orang tua, sehingga mereka mampu mendidik anak-anaknya sendiri.
PAT sekarang telah menjadi layanan yang dibiayai pemerintah. Sekitar 60.000 keluarga dengan anak-anak berusia 0 – 3 tahun telah mengikuti program tersebut. Mereka dibimbing oleh sekitar 1.500 pendidik orang tua terlatih yang bekerja sebagai honorer.
Pada setiap kunjungan, pendidik orang tua itu membawa serta berbagai permainan dan buku yang sesuai dengan fase pertumbuhan anak, mendiskusikan apa yang diharapkan orang tua, dan memberikan selembar kertas berisi tip-tip menstimulasi minat anak pada tahap tersebut.
Selain dua negara di atas, siapa kira, program pendidikan orang tua berbasis rumah ternyata juga dikembangkan di Israel, dan diberi nama HIPPY (Home Instruction Program for Preschool Youngsters). Program tersebut bertujuan untuk memandu keluarga dalam mendidik anak-anak prasekolahnya. Program itu di mulai di Israel pada 1969 yang ditujukan bagi hampir 200.000 pengungsi yang datang ke Israel dari Afrika dan Asia. Mereka sangat miskin, dan anak-anak mereka kadang terabaikan karena orang tuanya bekerja keras mencari kesejahteraan di tempat yang baru. Seperti halnya PAT, HIPPY melakukan pelatihan langsung di rumah, tetapi ditujukan bagi orang tua dari anak-anak yang berusia empat dan lima tahun.
Melihat informasi tersebut, nampaknya tak heran jika ketiga negara itu memiliki keunggulan dari sisi sumber daya manusia jika dibandingkan negara kita. Kepedulian pemerintahnya dan orang-orang berpendidikan di negara-negara tersebut terhadap pendidikan bagi anak usia dini yang “berbasis rumah dan keluarga” telah membuahkan hasil yang cukup memuaskan.
Hari ini pemerintah juga nampaknya sudah memberikan ruang yang lebih lapang bagi terlaksanakan konsep tersebut dengan menjadikan pos yandu dan PKK sebagai pelaksana PAUD alternatif..
Akan tetapi, kelompok masyarakat yang sudah tercerahkan dengan berbagai informasi pendidikan anak usia dini, juga merupakan ujung tombak penyebaran ilmu keayahbundaan. Mungkin langkah pertama bisa dimulai dengan membuka kelompok-kelompok diskusi “parenting” yang terdiri atas beberapa orang tua, dan sesekali mengundang rekan-rekan yang kompeten di bidang ini. Bukan tidak mungkin hal ini akan berkembang pesat, dan akhirnya memicu peningkatan kualitas pengasuhan anak di rumah, yang dengan itu pula mampu memaksimalkan hasil yang selama ini sudah dicapai dari penyelenggaraan Playgroup dan Taman Kanak-Kanak.
Pendidikan memang cara paling tepat untuk mengubah suatu bangsa menjadi lebih baik, dan upaya ke arah itu sudah dibangun sejak lama lewat pendidikan yang diinstitusikan secara formal. Namun pada kenyataannya kita tidak bisa mengandalkan itu sebagai satu-satunya cara untuk membentuk anak-anak yang berkualitas dari berbagai segi. Kita tetap membutuhkan pendidikan rumah untuk mensinergikannya.
Walau bagaimanapun lingkungan yang positif terbentuk dari unit-unit masyarakat terkecil yang juga positif. Alih-alih ingin meningkatkan kualitas anak-anak kita, pendidikan yang tidak berimbang, antara sekolah dan rumah tak jarang malah menyebabkan kegagalan kolektif.
Salam pendidikan!
Senin, 13 Agustus 2007
PAUD dan Calistung
(Dimuat di Harian Pikiran Rakyat edisi Kamis, 12 April 2007)
PEMBERITAAN "PR" tanggal 9 Maret 2007, halaman 25, memuat pernyataan Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Departemen Pendidikan Nasional, Dr. Ace Suryadi, dengan judul "Calistung pada PAUD Salah Besar!". Menurut Dr. Ace, pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung) pada anak usia dini merupakan salah satu bentuk kesalahan terbesar yang diterapkan sistem pendidikan nasional Indonesia. Pada usia dini, pengajaran calistung justru akan membatasi interaksi siswa dengan lingkungan. Meskipun begitu, ia pun mengatakan, jika keinginan belajar calistung datang dari diri anak secara langsung, hal itu sah-sah saja.
Di pihak lain, beberapa waktu lalu, di Surat Pembaca "PR" edisi Rabu, 20 Desember 2006, seorang bapak mengungkapkan kekecewaannya terhadap salah satu SD, tempat anaknya sekolah. Ketika pendaftaran dilakukan dan anaknya dinyatakan lulus tes, pihak sekolah setuju untuk mengajar anak dari awal, dengan asumsi bahwa semua anak belum bisa membaca dan menulis. Namun, setelah waktu berlalu beberapa bulan ternyata si anak terus mengalami ketertinggalan dalam mengikuti pelajaran. Hal itu disebabkan ia belum juga bisa membaca, sedangkan pelajaran di kelas I sekolah dasar (SD) sekarang ini sudah berupa teks yang cukup banyak dan otomatis membutuhkan kemampuan membaca dan menulis untuk mengikuti dan memahaminya.
Tumpang tindih
Persoalan membaca, menulis, dan berhitung atau calistung memang merupakan fenomena tersendiri. Kini menjadi semakin hangat dibicarakan para orang tua yang memiliki anak usia taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar karena mereka khawatir anak-anaknya tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolahnya nanti jika sedari awal belum dibekali keterampilan calistung.
Kekhawatiran orang tua pun makin mencuat ketika anak-anaknya belum bisa membaca menjelang masuk sekolah dasar. Hal itu membuat para orang tua akhirnya sedikit memaksa anaknya untuk belajar calistung, khususnya membaca. Terlebih lagi, istilah-istilah "tidak lulus", "tidak naik kelas", kini semakin menakutkan karena akan berpengaruh pada biaya sekolah yang bertambah kalau akhirnya harus mengulang kelas.
Selama ini taman kanak-kanak didefinisikan sebagai tempat untuk mempersiapkan anak-anak memasuki masa sekolah yang dimulai di jenjang sekolah dasar. Kegiatan yang dilakukan di taman kanak-kanak pun hanyalah bermain dengan mempergunakan alat-alat bermain edukatif. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung tidak diperkenankan di tingkat taman kanak-kanak, kecuali hanya pengenalan huruf-huruf dan angka-angka, itu pun dilakukan setelah anak-anak memasuki TK B.
Akan tetapi, pada perkembangan terakhir hal itu menimbulkan sedikit masalah, karena ternyata pelajaran di kelas satu sekolah dasar sulit diikuti jika asumsinya anak-anak lulusan TK belum mendapat pelajaran calistung.
Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan pelajaran membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar. Beberapa anak mungkin berhasil menguasai keterampilan tersebut, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan.
Paradigma belajar
Perbedaan definisi belajar menjadi pangkal persoalan dalam mempelajari apa pun, termasuk belajar calistung. Selama bertahun-tahun belajar telah menjadi istilah yang mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras pikiran dan konsentrasi. Oleh karena itu, permainan dan nyanyian tidaklah dikatakan belajar walaupun mungkin isi permainan dan nyanyian adalah ilmu pengetahuan.
Teori psikologi perkembangan Jean Piaget selama ini telah menjadi rujukan utama kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum.
Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia 7 tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di mana anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak cocok diajarkan kepada anak-anak TK yang masih berusia balita.
Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada anak-anak di bawah 7 tahun. Alih-alih ingin mencerdaskan anak, akhirnya anak-anak malah memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan belajar setelah mereka beranjak besar.
Pesan yang ditangkap dari teori Piaget sering kali berhenti pada "larangan belajar calistung", namun tidak banyak orang memahami alasannya. Padahal perkembangan dalam pembelajaran di era informasi sekarang ini sebenarnya sudah semakin jauh berubah. Topik pelajaran bukanlah persoalan yang akan menghambat seseorang, pada usia berapa pun, untuk mempelajarinya. Syaratnya hanyalah mengubah cara belajar, disesuaikan dengan kecenderungan gaya belajar dan usianya masing-masing sehingga terasa menyenangkan dan membangkitkan minat untuk terus belajar.
Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini tidaklah perlu dianggap tabu bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah merekonstruksi cara untuk mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap kegiatan belajar mereka tak ubahnya seperti bermain dan bahkan memang berbentuk sebuah permainan.
Memang benar jika calistung diajarkan seperti halnya orang dewasa belajar, besar kemungkinan akan berakibat fatal. Anak-anak bisa kehilangan gairah belajarnya karena menganggap pelajaran itu sangat sulit dan tidak menyenangkan.
Merujuk pada temuan Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, sesungguhnya pelajaran calistung hanyalah sebagian kecil pelajaran yang perlu diperoleh setiap anak. Cara kita memandang calistung semestinya juga sama dengan cara kita memandang pelajaran lain, seperti motorik dan kecerdasan bergaul ataupun musikal.
Penganut behavior-isme memang mencela pembelajaran baca-tulis dan matematika untuk anak usia dini. Mereka menganggap hal itu sebuah pembatasan terhadap keterampilan.
Namun, sesungguhnya pelajaran calistung bisa membaur dengan kegiatan lainnya yang dirancang dalam kurikulum TK tanpa harus membuat anak-anak terbebani. Adakalanya tidak diperlukan waktu ataupun momentum khusus untuk mengajarkan calistung. Anak-anak bisa belajar membaca lewat poster-poster bergambar yang ditempel di dinding kelas. Biasanya dinding kelas hanya berisi gambar benda-benda. Bisa saja mulai saat ini gambar-gambar itu ditambahi poster-poster kata, dengan ukuran huruf yang cukup besar dan warna yang mencolok.
Setiap satu atau dua minggu, gambar-gambar diganti dengan yang baru, dan tentu akan muncul lagi kata-kata baru bersamaan dengan penggantian itu. Dalam waktu satu atau dua tahun, bisa kita hitung, lumayan banyak juga kata yang bisa dibaca anak-anak. Jangan heran kalau akhirnya anak-anak bisa membaca tanpa guru yang merasa stres untuk mengajari mereka menghafal huruf atau mengeja.
Demikian halnya dengan pelajaran berhitung. Mengenalkan kuantitas benda adalah dasar-dasar matematika yang lebih penting daripada menghafal angka-angka, dan hal itu sangat mudah diajarkan pada anak usia dini. Poster berbagai benda berikut lambang bilangan yang mewakilinya bisa kita tempel di dinding kelas. Sambil bernyanyi, guru bisa mengajak anak-anak berkeliling kelas untuk membaca dan melihat bilangan.
Maria Montessori dan Glenn Doman menjadi pelopor dalam pengembangan metode belajar membaca dan matematika bagi anak-anak usia dini. Maria Montessori, seorang dokter wanita pertama dari Italia, telah mempraktikkan pembelajaran multiindrawi lewat kegiatan sehari-hari. Pengalaman tersebut diperolehnya setelah menangani anak-anak bermental terbelakang. Lewat kegiatan-kegiatan sederhana yang diulang setiap hari, sebagian besar anak-anak itu mengalami kemajuan yang pesat. Mereka bahkan bisa membaca dan menulis pada usia yang relatif muda, sekitar 4 dan 5 tahun tanpa harus merasa terbebani.
Montessori menciptakan alat-alat belajar dari benda-benda yang akrab di sekeliling kita. Ia membuat alat belajar seperti perlengkapan bermain. Untuk mengajar anak-anak membaca, ia membuat berbagai macam kartu huruf dari papan kayu atau kertas tebal. Setiap huruf dicetak dari kertas ampelas yang cukup kasar. Selain anak-anak membunyikan huruf-huruf tersebut, mereka juga merabanya untuk membentuk kepekaan terhadap tekstur huruf. Kartu-kartu berisi kata bergambar yang dikelompokkan ke dalam jenis-jenis kata juga menjadi alat belajar yang menarik bagi anak-anak.
Glenn Doman adalah contoh lain pendobrak teori perkembangan Piaget. Doman adalah seorang dokter bedah otak. Ia berhasil membantu menyembuhkan orang-orang yang mengalami cedera otak lewat flash card. Ia membuat kartu-kartu kata yang ditulis dengan tinta berwarna merah pada karton tebal, dengan ukuran huruf yang cukup besar. Kartu-kartu itu ditampilkan di hadapan si pasien dalam waktu cepat, hanya satu detik per kata. Adanya perkembangan pada otak pasiennya membuat ia ingin mencobanya kepada anak-anak bahkan bayi.
Metode flash cards bagi sebagian besar orang adalah mustahil. Karena, bisa saja anak-anak menghafal kata-kata yang sudah diperkenalkan namun akan kebingungan ketika diberikan kata-kata baru yang belum pernah dibacanya.
Kritik terhadap flash cards memang sering dilontarkan orang, termasuk sebagian ahli psikologi. Hal itu disebabkan flash cards dianggap sebagai cara yang kurang rasional, merusak pembelajaran nalar dan logika. Flash cards berbasis hafalan, sedangkan kemampuan membaca menurut para psikolog dan orang pada umumnya harus diproses melalui tahapan-tahapan fonemik dan fonetik. Anak-anak harus terlebih dahulu mengenal huruf dan mampu membedakan bunyi, sampai akhirnya bisa menggabungkan huruf-huruf tersebut menjadi sebuah kata.
Itulah letak perbedaan Doman dan para pengkritiknya. Doman hanya merekomendasikan pembelajaran membaca dan matematika sekitar 45 detik per hari. Bisa kita bayangkan, betapa sebentarnya, dan kemungkinan anak-anak merasa terbebani karena metode itu sangatlah kecil. Tak heran jika anak-anak usia 2 atau 3 tahun pun sudah mahir membaca dan juga menjadi sangat suka serta tentu saja tidak menolak untuk belajar membaca dengan pendekatan tersebut.
Mengembangkan kemampuan para pendidik PAUD untuk mengajar calistung secara menyenangkan, mungkin akan lebih baik daripada melarang pelajaran calistung pada anak usia dini secara keseluruhan, tanpa memberikan solusi untuk mengatasi persoalan baca-tulis di sekolah dasar. Bukan pelajarannya yang harus dipersoalkan, tetapi cara menyajikannya.***
PEMBERITAAN "PR" tanggal 9 Maret 2007, halaman 25, memuat pernyataan Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Departemen Pendidikan Nasional, Dr. Ace Suryadi, dengan judul "Calistung pada PAUD Salah Besar!". Menurut Dr. Ace, pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung (calistung) pada anak usia dini merupakan salah satu bentuk kesalahan terbesar yang diterapkan sistem pendidikan nasional Indonesia. Pada usia dini, pengajaran calistung justru akan membatasi interaksi siswa dengan lingkungan. Meskipun begitu, ia pun mengatakan, jika keinginan belajar calistung datang dari diri anak secara langsung, hal itu sah-sah saja.
Di pihak lain, beberapa waktu lalu, di Surat Pembaca "PR" edisi Rabu, 20 Desember 2006, seorang bapak mengungkapkan kekecewaannya terhadap salah satu SD, tempat anaknya sekolah. Ketika pendaftaran dilakukan dan anaknya dinyatakan lulus tes, pihak sekolah setuju untuk mengajar anak dari awal, dengan asumsi bahwa semua anak belum bisa membaca dan menulis. Namun, setelah waktu berlalu beberapa bulan ternyata si anak terus mengalami ketertinggalan dalam mengikuti pelajaran. Hal itu disebabkan ia belum juga bisa membaca, sedangkan pelajaran di kelas I sekolah dasar (SD) sekarang ini sudah berupa teks yang cukup banyak dan otomatis membutuhkan kemampuan membaca dan menulis untuk mengikuti dan memahaminya.
Tumpang tindih
Persoalan membaca, menulis, dan berhitung atau calistung memang merupakan fenomena tersendiri. Kini menjadi semakin hangat dibicarakan para orang tua yang memiliki anak usia taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar karena mereka khawatir anak-anaknya tidak mampu mengikuti pelajaran di sekolahnya nanti jika sedari awal belum dibekali keterampilan calistung.
Kekhawatiran orang tua pun makin mencuat ketika anak-anaknya belum bisa membaca menjelang masuk sekolah dasar. Hal itu membuat para orang tua akhirnya sedikit memaksa anaknya untuk belajar calistung, khususnya membaca. Terlebih lagi, istilah-istilah "tidak lulus", "tidak naik kelas", kini semakin menakutkan karena akan berpengaruh pada biaya sekolah yang bertambah kalau akhirnya harus mengulang kelas.
Selama ini taman kanak-kanak didefinisikan sebagai tempat untuk mempersiapkan anak-anak memasuki masa sekolah yang dimulai di jenjang sekolah dasar. Kegiatan yang dilakukan di taman kanak-kanak pun hanyalah bermain dengan mempergunakan alat-alat bermain edukatif. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung tidak diperkenankan di tingkat taman kanak-kanak, kecuali hanya pengenalan huruf-huruf dan angka-angka, itu pun dilakukan setelah anak-anak memasuki TK B.
Akan tetapi, pada perkembangan terakhir hal itu menimbulkan sedikit masalah, karena ternyata pelajaran di kelas satu sekolah dasar sulit diikuti jika asumsinya anak-anak lulusan TK belum mendapat pelajaran calistung.
Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan pelajaran membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar. Beberapa anak mungkin berhasil menguasai keterampilan tersebut, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan.
Paradigma belajar
Perbedaan definisi belajar menjadi pangkal persoalan dalam mempelajari apa pun, termasuk belajar calistung. Selama bertahun-tahun belajar telah menjadi istilah yang mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras pikiran dan konsentrasi. Oleh karena itu, permainan dan nyanyian tidaklah dikatakan belajar walaupun mungkin isi permainan dan nyanyian adalah ilmu pengetahuan.
Teori psikologi perkembangan Jean Piaget selama ini telah menjadi rujukan utama kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum.
Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia 7 tahun. Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di mana anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur, sehingga tidak cocok diajarkan kepada anak-anak TK yang masih berusia balita.
Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada anak-anak di bawah 7 tahun. Alih-alih ingin mencerdaskan anak, akhirnya anak-anak malah memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan belajar setelah mereka beranjak besar.
Pesan yang ditangkap dari teori Piaget sering kali berhenti pada "larangan belajar calistung", namun tidak banyak orang memahami alasannya. Padahal perkembangan dalam pembelajaran di era informasi sekarang ini sebenarnya sudah semakin jauh berubah. Topik pelajaran bukanlah persoalan yang akan menghambat seseorang, pada usia berapa pun, untuk mempelajarinya. Syaratnya hanyalah mengubah cara belajar, disesuaikan dengan kecenderungan gaya belajar dan usianya masing-masing sehingga terasa menyenangkan dan membangkitkan minat untuk terus belajar.
Belajar membaca, menulis, berhitung, dan bahkan sains kini tidaklah perlu dianggap tabu bagi anak usia dini. Persoalan terpenting adalah merekonstruksi cara untuk mempelajarinya sehingga anak-anak menganggap kegiatan belajar mereka tak ubahnya seperti bermain dan bahkan memang berbentuk sebuah permainan.
Memang benar jika calistung diajarkan seperti halnya orang dewasa belajar, besar kemungkinan akan berakibat fatal. Anak-anak bisa kehilangan gairah belajarnya karena menganggap pelajaran itu sangat sulit dan tidak menyenangkan.
Merujuk pada temuan Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk, sesungguhnya pelajaran calistung hanyalah sebagian kecil pelajaran yang perlu diperoleh setiap anak. Cara kita memandang calistung semestinya juga sama dengan cara kita memandang pelajaran lain, seperti motorik dan kecerdasan bergaul ataupun musikal.
Penganut behavior-isme memang mencela pembelajaran baca-tulis dan matematika untuk anak usia dini. Mereka menganggap hal itu sebuah pembatasan terhadap keterampilan.
Namun, sesungguhnya pelajaran calistung bisa membaur dengan kegiatan lainnya yang dirancang dalam kurikulum TK tanpa harus membuat anak-anak terbebani. Adakalanya tidak diperlukan waktu ataupun momentum khusus untuk mengajarkan calistung. Anak-anak bisa belajar membaca lewat poster-poster bergambar yang ditempel di dinding kelas. Biasanya dinding kelas hanya berisi gambar benda-benda. Bisa saja mulai saat ini gambar-gambar itu ditambahi poster-poster kata, dengan ukuran huruf yang cukup besar dan warna yang mencolok.
Setiap satu atau dua minggu, gambar-gambar diganti dengan yang baru, dan tentu akan muncul lagi kata-kata baru bersamaan dengan penggantian itu. Dalam waktu satu atau dua tahun, bisa kita hitung, lumayan banyak juga kata yang bisa dibaca anak-anak. Jangan heran kalau akhirnya anak-anak bisa membaca tanpa guru yang merasa stres untuk mengajari mereka menghafal huruf atau mengeja.
Demikian halnya dengan pelajaran berhitung. Mengenalkan kuantitas benda adalah dasar-dasar matematika yang lebih penting daripada menghafal angka-angka, dan hal itu sangat mudah diajarkan pada anak usia dini. Poster berbagai benda berikut lambang bilangan yang mewakilinya bisa kita tempel di dinding kelas. Sambil bernyanyi, guru bisa mengajak anak-anak berkeliling kelas untuk membaca dan melihat bilangan.
Maria Montessori dan Glenn Doman menjadi pelopor dalam pengembangan metode belajar membaca dan matematika bagi anak-anak usia dini. Maria Montessori, seorang dokter wanita pertama dari Italia, telah mempraktikkan pembelajaran multiindrawi lewat kegiatan sehari-hari. Pengalaman tersebut diperolehnya setelah menangani anak-anak bermental terbelakang. Lewat kegiatan-kegiatan sederhana yang diulang setiap hari, sebagian besar anak-anak itu mengalami kemajuan yang pesat. Mereka bahkan bisa membaca dan menulis pada usia yang relatif muda, sekitar 4 dan 5 tahun tanpa harus merasa terbebani.
Montessori menciptakan alat-alat belajar dari benda-benda yang akrab di sekeliling kita. Ia membuat alat belajar seperti perlengkapan bermain. Untuk mengajar anak-anak membaca, ia membuat berbagai macam kartu huruf dari papan kayu atau kertas tebal. Setiap huruf dicetak dari kertas ampelas yang cukup kasar. Selain anak-anak membunyikan huruf-huruf tersebut, mereka juga merabanya untuk membentuk kepekaan terhadap tekstur huruf. Kartu-kartu berisi kata bergambar yang dikelompokkan ke dalam jenis-jenis kata juga menjadi alat belajar yang menarik bagi anak-anak.
Glenn Doman adalah contoh lain pendobrak teori perkembangan Piaget. Doman adalah seorang dokter bedah otak. Ia berhasil membantu menyembuhkan orang-orang yang mengalami cedera otak lewat flash card. Ia membuat kartu-kartu kata yang ditulis dengan tinta berwarna merah pada karton tebal, dengan ukuran huruf yang cukup besar. Kartu-kartu itu ditampilkan di hadapan si pasien dalam waktu cepat, hanya satu detik per kata. Adanya perkembangan pada otak pasiennya membuat ia ingin mencobanya kepada anak-anak bahkan bayi.
Metode flash cards bagi sebagian besar orang adalah mustahil. Karena, bisa saja anak-anak menghafal kata-kata yang sudah diperkenalkan namun akan kebingungan ketika diberikan kata-kata baru yang belum pernah dibacanya.
Kritik terhadap flash cards memang sering dilontarkan orang, termasuk sebagian ahli psikologi. Hal itu disebabkan flash cards dianggap sebagai cara yang kurang rasional, merusak pembelajaran nalar dan logika. Flash cards berbasis hafalan, sedangkan kemampuan membaca menurut para psikolog dan orang pada umumnya harus diproses melalui tahapan-tahapan fonemik dan fonetik. Anak-anak harus terlebih dahulu mengenal huruf dan mampu membedakan bunyi, sampai akhirnya bisa menggabungkan huruf-huruf tersebut menjadi sebuah kata.
Itulah letak perbedaan Doman dan para pengkritiknya. Doman hanya merekomendasikan pembelajaran membaca dan matematika sekitar 45 detik per hari. Bisa kita bayangkan, betapa sebentarnya, dan kemungkinan anak-anak merasa terbebani karena metode itu sangatlah kecil. Tak heran jika anak-anak usia 2 atau 3 tahun pun sudah mahir membaca dan juga menjadi sangat suka serta tentu saja tidak menolak untuk belajar membaca dengan pendekatan tersebut.
Mengembangkan kemampuan para pendidik PAUD untuk mengajar calistung secara menyenangkan, mungkin akan lebih baik daripada melarang pelajaran calistung pada anak usia dini secara keseluruhan, tanpa memberikan solusi untuk mengatasi persoalan baca-tulis di sekolah dasar. Bukan pelajarannya yang harus dipersoalkan, tetapi cara menyajikannya.***
Sabtu, 11 Agustus 2007
Obrolan Sebelum Tidur
Malam tiba, aura tidur mulai keluar. Sprei pun sudah dirapikan. Sebagian anak mungkin masih punya sisa energi untuk melanjutkan rasa penasaran mereka terhadap sesuatu. Termasuk anak kedua saya Luqman, menjelang tidur seringkali masih asyik dengan tali temali yang diikatkan di kursi atau meja. Sementara kakaknya Azkia, biasanya masih sibuk dengan pensil warna dan gambarnya yang sedang diwarnai. Semua mengalir tanpa komando, dan kami menikmatinya.
Saat mereka merasa siap untuk tidur,dengan kaki bersih dan perasaan damai menghampiri kami, sebuah perbincangan pendek tak terasa bergulir malam itu.
Terinspirasi dari buku 10 Prinsip Spiritual Parenting, saya mengajak anak-anak menikmati saat menjelang tidur itu. Saya katakan pada mereka, "Alhamdulillah, enak sekali ya bisa tidur di atas kasur. Anak-anak jalanan mungkin tak punya kasur untuk tidur".
"Kenapa anak-anak jalanan nggak punya kasur?" tanya si kecil Luqman antusias.
"Karena papa dan mamanya nggak punya uang buat beli kasur. Mungkin juga mereka tidak punya rumah untuk berteduh kalau hujan dan panas," kata saya.
"Tapi kan ada pohon," celetuk Azkia.
"Iya, sih! Tapi kalau anginnya kencang, mereka bisa kedinginan," ujar saya.
Luqman tercenung dan berkata, "Jadi, anak-anak jalanan nggak punya kasur buat tidur. Papa dan mamanya nggak punya uang buat beli kasur, iya Ma?"
"Iya. Jadi kita harus bersyukur kepada Allah karena kita masih bisa tinggal di rumah yang punya dinding, tidak akan kedinginan dan kehujanan,"
Celotehan pun melebar ke mana-mana, hingga kue-kue yang kadang tidak dihabiskan setelah dibeli. Mereka punya pendapat dan kadang-kadang menyimpulkan sendiri.
Sering setelah malam itu, kami membiasakan diri untuk mengajak anak-anak mengobrol tentang sesuatu sebelum tidur. Memasukkan nilai-nilai mungkin cukup sulit jika berwujud perintah dan larangan ketika mereka sedang beraktivitas. Tetapi menjelang tidur, ternyata hal itu nampak begitu alami, mengalir tanpa protes dan kemarahan.
Saat mereka merasa siap untuk tidur,dengan kaki bersih dan perasaan damai menghampiri kami, sebuah perbincangan pendek tak terasa bergulir malam itu.
Terinspirasi dari buku 10 Prinsip Spiritual Parenting, saya mengajak anak-anak menikmati saat menjelang tidur itu. Saya katakan pada mereka, "Alhamdulillah, enak sekali ya bisa tidur di atas kasur. Anak-anak jalanan mungkin tak punya kasur untuk tidur".
"Kenapa anak-anak jalanan nggak punya kasur?" tanya si kecil Luqman antusias.
"Karena papa dan mamanya nggak punya uang buat beli kasur. Mungkin juga mereka tidak punya rumah untuk berteduh kalau hujan dan panas," kata saya.
"Tapi kan ada pohon," celetuk Azkia.
"Iya, sih! Tapi kalau anginnya kencang, mereka bisa kedinginan," ujar saya.
Luqman tercenung dan berkata, "Jadi, anak-anak jalanan nggak punya kasur buat tidur. Papa dan mamanya nggak punya uang buat beli kasur, iya Ma?"
"Iya. Jadi kita harus bersyukur kepada Allah karena kita masih bisa tinggal di rumah yang punya dinding, tidak akan kedinginan dan kehujanan,"
Celotehan pun melebar ke mana-mana, hingga kue-kue yang kadang tidak dihabiskan setelah dibeli. Mereka punya pendapat dan kadang-kadang menyimpulkan sendiri.
Sering setelah malam itu, kami membiasakan diri untuk mengajak anak-anak mengobrol tentang sesuatu sebelum tidur. Memasukkan nilai-nilai mungkin cukup sulit jika berwujud perintah dan larangan ketika mereka sedang beraktivitas. Tetapi menjelang tidur, ternyata hal itu nampak begitu alami, mengalir tanpa protes dan kemarahan.
Kamis, 09 Agustus 2007
Bermain Air itu Asyik!
"Mamaaa, lihat sini!" teriak Azkia. Ternyata ia ingin menunjukkan spons berwarna kuning yang berubah menjadi hijau karena dicelupkan ke dalam air yang diberi warna biru. Tapi spons itu berubah menjadi kuning lagi setelah airnya diperas. Waah! itu biasa buat orang dewasa, tapi bagi anak-anak ternyata sangat menakjubkan.
Sudah sebulan terakhir, sejak kami pindah rumah, anak-anak diberi jadwal khusus untuk bermain air. Pagi hari sekitar jam 8, ketika matahari mulai cukup hangat, mereka siap dengan perlengkapan rutin. Satu buah waskom cukup besar, gelas plastik, botol air mineral, corong plastik, mangkuk berbagai ukuran, dan mobil-mobilan dibawa ke halaman depan.
Mereka bisa bereksperimen dengan macam-macam kegiatan ciptaan mereka sendiri. Mencuci mobil-mobilan atau memandikan boneka dan menyiram tanaman. Cuka, soda kue, pewarna makanan cair, dan sabun pencuci piring juga bisa jadi media yang asyik untuk memunculkan kejutan dan kegembiraan. Tak kalah serunya dengan permainan di playground.
Setelah satu kali ditunjukkan cara membuat lelehan gunung api dari campuran cuka, pewarna merah, dan soda, mereka bisa membuat variasi lain dengan bahan-bahan itu setiap hari. Memang sih tangan dan baju jadi belepotan macam-macam warna. Tapi, keasyikan mereka mengeksplorasi banyak gagasan lewat air membuat masalah itu menjadi kecil.
Setelah mereka puas, baju basah dan kadang belepotan tanah, air mandi yang hangat siap menanti di kamar mandi. Seru! Pasti begitu, setidaknya itulah yang terlihat dari celotehan mereka yang riang tentang temuan hari ini. Hari menjelang siang dan matahari mulai tinggi, kegiatan pun beralih di ruangan.
Aktivitas yang asyik dengan air tentu saja hampir tak bisa dijumpai di kelas-kelas prasekolah. Bermain bebas untuk pembelajaran penuh kejutan dan menumbuhkan keberanian untuk mencoba hal-hal baru. Saya yakin, justru itulah modal mereka untuk mencintai belajar sepanjang hidupnya.
Salam pendidikan!
Minggu, 05 Agustus 2007
Bersekolah di Gerbong Kereta
Totto-chan berhenti melangkah ketika melihat gerbang sekolah baru itu. Gerbang sekolahnya yang dulu terbuat dari pilar-pilar beton yang halus. Nama sekolah tertera di sana dengan huruf-huruf besar. Tapi gerbang sekolah baru ini hanya terdiri atas dua batang kayu yang tidak terlalu tinggi. Kedua batang itu masih ditumbuhi ranting dan daun. Ini tumbuh,” kata Totto-chan. “Mungkin akan terus tumbuh sampai lebih tinggi dari tiang telepon!”. Kedua “tiang gerbang” itu memang pohon hidup, lengkap dengan akar-akarnya. Ketika berjalan mendekati tiang-tiang tersebut, Totto-chan harus memiringkan kepalanya untuk membaca nama sekolah, karena papan namanya terpasang miring akibat tertiup angin. “To-mo-e Ga-ku-en”.
Penggalan cerita di atas adalah hasil goresan pena Tetsuko Kuroyanagi dalam bukunya berjudul Totto-chan, Gadis Cilik di Jendela. Sebuah buku yang mengangkat kisah nyata sang penulis semasa kecil, dengan kenangan-kenangan manis, lucu, sekaligus mengharukan selama ia bersekolah di gerbong kereta. Buku ini menorehkan sejarah baru dalam dunia penerbitan di Negeri Jepang karena mampu terjual hingga 4,5 juta eksemplar dalam setahun.
Buku setebal 271 halaman yang diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama ini sangat menarik untuk dikaji, mengingat kegiatan bersekolah yang kita temui hari ini ternyata sudah semakin jauh dari kata “menyenangkan”. Belajar di sekolah seringkali hanya menjadi sebuah beban, yang kebanyakan motifnya lebih karena dipaksakan.
Sosaku Kobayasi, sang kepala sekolah tempat Totto-chan belajar adalah figur dari seorang konseptor pendidikan yang maju. Ia mencoba memahami anak-anak sedemikian rupa, sehingga lahirlah gagasan-gagasan pembelajaran yang mampu menghidupkan naluri belajar setiap anak sampai pada taraf kecintaan pada belajar itu sendiri. Anak-anak selalu antusias belajar tanpa harus didorong oleh motivasi supaya mendapat nilai tinggi atau lulus dalam ujian.
Gerbong Kereta yang Penuh Kejutan
Totto-chan adalah murid baru di Tomoe. Sebelum bersekolah di Tomoe, Totto-chan dianggap sebagai anak nakal. Ia selalu nampak melamun di kelas, namun kadang-kadang asyik mengobrol dengan sepasang burung walet ketika gurunya sedang mengajar. Sering ia berdiri di depan jendela untuk memanggil para pemusik jalanan memainkan alat musiknya. Berkali-kali gurunya terpaksa menghentikan sementara kegiatan belajar sampai para pemusik jalanan itu selesai bermain, karena anak-anak lain di kelasnya juga berebut menuju jendela untuk melihat tontonan itu. Akibat perilaku-perilakunya yang dianggap mengacaukan kelas, Totto-chan akhirnya dikeluarkan dari sekolah pertamanya itu.
Hal yang berbeda justru terjadi di Tomoe. Sekolah yang dibuat dari gerbong kereta ini, telah membuat Totto-chan yang mulanya dianggap “bermasalah” justru bisa menjadi begitu manis. Gadis kecil itu selalu bersemangat untuk belajar setiap hari, bahkan ia selalu merasa waktu berputar terlalu lama di malam hari. Ia ingin hari segera pagi supaya bisa secepatnya pergi ke sekolah.
Mengapa Totto-chan senang dengan sekolah barunya? Rupanya hal itu bukanlah sebuah kebetulan. Setiap hari di Tomoe Gakuen, gadis itu selalu mendapatkan banyak kejutan. Anak-anak selalu menemukan pelajaran-pelajaran baru yang disajikan dengan cara yang mengasyikan dan merangsang rasa ingin tahu. Tak heran jika setiap murid Tomoe akhirnya memendam rasa penasaran ketika sekolah usai. Dalam hati mereka selalu bertanya, kejutan apa lagi yang akan mereka temui esok hari?
Berorientasi pada Praktek
“Inilah guru kalian hari ini. Dia akan mengajarkan banyak hal kepada kalian.” Dengan kata-kata itu, kepala sekolah memperkenalkan seorang guru baru. Totto-chan mengamati guru itu dengan seksama. Kesan pertamanya, guru itu tidak berpakaian seperti guru. Di luar kaus dalamnya ia mengenakan kemeja lengan pendek bermotif garis-garis. Dia tidak berdasi dan lehernya berkalung handuk. Celana panjangnya terbuat dari kain katun celup warna biru. Pipa celananya sempit dan penuh tambalan.. di kepalanya bertengger topi jerami yang sudah usang…”
Mr. Kobayashi sering mengabaikan hal-hal yang bersifat formal demi pembelajaran yang lebih bermakna bagi murid-muridnya. Itulah yang ia lakukan ketika ia hendak memberikan pelajaran tentang pertanian. Ia tak segan memilih seorang petani tulen yang mungkin tak pernah kenal bangku sekolah untuk menjadi guru bagi murid-murid di Tomoe dalam ilmu pertanian. Ia berpendapat bahwa akan lebih baik bagi anak-anak jika mereka belajar dengan langsung mempraktekkannya.
Sang guru pun segera mengajar di lapangan, di sebuah lahan berumput, agar anak-anak bisa melihat dan melakukan langsung tahapan-tahapan dalam bertani, dari mulai membersihkan rumput liar hingga menanam, menyiram, memupuk, dan memelihara tanaman yang tumbuh. Bagi anak-anak pengalaman itu sangat menakjubkan dan membuat mereka benar-benar bersemangat untuk mengamati setiap perubahan dan pertumbuhan dari tanaman yang telah ditanam. Satu hal lainnya yang terjadi karena kegiatan itu, anak-anak belajar menghargai siapapun yang memberikan ilmu kepada mereka sekalipun guru itu bukanlah seorang lulusan akademi yang berijazah.
Ketika pelajaran musik berlangsung, Mr. Kobayashi mempersilakan anak-anak untuk mempergunakan lantai kelas-gerbong mereka, yang dilapisi kayu, untuk dijadikan “kertas”. Dengan mempergunakan kapur, sambil tengkurap di lantai gerbong, anak-anak belajar menuliskan not yang dimainkan Mr. Kobayashi lewat piano. Jika ternyata masih salah, mereka dengan segera bisa menghapusnya. Sisa waktu yang mereka miliki sebelum jam pelajaran musik usai juga bisa dipergunakan untuk corat-coret bebas. Pelajaran ditutup dengan kegiatan bergotong royong menghapus semua coretan, mempergunakan kain pel yang sudah tersedia di sekolah.
Siapa sangka, kegiatan corat-coret itu ternyata berdampak sangat positif bagi anak-anak ketika mereka berada di luar sekolah. Secara berangsur-angsur, puasnya mereka melakukan corat-coret di sekolah membuat mereka tak lagi berminat untuk mencorat-coret sembarangan di dinding bangunan orang lain.
Melejitkan Rasa Percaya Diri
Bagaimana jadinya jika seorang anak ternyata terlahir cacat atau mengalami kecelakaan sehingga ia terpaksa menjadi anak cacat? Tidak banyak sekolah umum yang mampu melayani kekhususan mereka sehingga anak-anak itu tetap merasa berarti di tengah-tengah kawan-kawannya yang bertubuh normal.
Sosaku Kobayashi sangat peduli pada kondisi psikis anak-anak, terlebih pada anak-anak dengan keadaan khusus. Ia menciptakan situasi sekolah yang secara tidak langsung telah menumbuhkan rasa percaya diri pada murid-muridnya. Ia menunjukkan kepada semua anak, termasuk anak-anak cacat, bahwa mereka itu sama. Bentuk fisik anak-anak yang beraneka macam bukanlah halangan untuk belajar, dan bukan pula ukuran untuk menilai seseorang. Ia menekankan pada murid-muridnya bahwa setiap anak memiliki keistimewaan.
Hal itu ditunjukkan pada sebuah festival yang diselenggarakan sekolah. Pada waktu itu dibuatlah berbagai lomba ketangkasan. Uniknya, pemenang pertama dari semua lomba itu selalu sama, yaitu seorang anak yang bertubuh paling kecil dan pendek. Ia mampu memenangkan perlombaan justru karena tubuhnya yang khusus. Ternyata Mr. Kobayashi sengaja membuat permainan-permainan yang memungkinan anak itu untuk menang, dengan harapan perasaan minder yang menghantuinya bisa memudar.
Sosaku Kobayashi bahkan pernah menegur dengan keras seorang guru di Tomoe karena sang guru mengucapkan kata-kata yang menyinggung ketidaknormalan seorang muridnya di depan murid-murid yang lain. Tidak ada yang mampu melakukan semua itu, melainkan orang yang sangat peduli dan sangat mencintai murid-muridnya.
Ruang untuk Rasa Ingin Tahu
Sekolah sering disebut-sebut sebagai tempat untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sayangnya, tak banyak sekolah yang memberi ruang cukup bagi murid-muridnya untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka.
Tentu saja akan begitu, karena waktu yang tersedia di sekolah jauh lebih sedikit dibandingkan target materi dan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin berhamburan di otak murid-muridnya yang berjumlah puluhan.
Uniknya, Tomoe mampu memberikan ruang itu bagi setiap muridnya. Anak-anak di Tomoe boleh memilih apa yang ingin dipelajarinya terlebih dahulu, sesuai dengan minat mereka.
Ketika pelajaran dimulai di pagi hari, guru menyiapkan daftar pertanyaan mengenai apa yang akan diajarkan pada hari itu. Guru akan mempersilakan anak-anak untuk memilih pelajaran apa yang akan mereka pelajari terlebih dahulu. Setiap anak boleh memilih pelajaran yang berbeda. Anak-anak yang ingin belajar fisika segera sibuk dengan tabung-tabung percobaan dan mencatat hasil temuan mereka.
Anak-anak yang suka mengarang, mereka sibuk menulis sesuatu. Sementara itu, anak-anak yang ingin belajar biologi, mereka asyik mengidentifikasi tumbuhan atau hewan.
Anak-anak itu begitu antusias dan jelas tidak khawatir kalau rasa penasaran mereka akan terjegal oleh pilihan topik yang ditetapkan guru, sebagaimana umumnya kita temui di sekolah biasa.
Setiap anak akhirnya belajar secara mandiri. Mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing tanpa harus saling mengganggu. Sebagian ada yang menggambar, dan yang lainnya mungkin membaca buku.
Guru akan mendatangi setiap anak jika diminta, dan menjelaskan segala hal yang diperlukan hingga anak itu benar-benar mengerti.
Inspirasi untuk Perubahan
Buku, yang edisi terjemahannya di Indonesia sudah mencapai cetakan kesebelas pada September 2006 ini, telah memberikan inspirasi bagi para pendidik di negeri Jepang untuk membuat perubahan-perubahan yang lebih baik dalam pembelajaran di sekolah. Buku ini bahkan dijadikan bacaan wajib bagi para guru, terutama pada pelajaran pertanian, musik, dan para guru di sekolah luar biasa.
Pada saat orang-orang Jepang merasa jemu dengan sistem pendidikan yang berlaku pada waktu itu, mereka seperti disegarkan oleh model sekolah ala Totto-chan yang dirancang Sosaku Kobayashi. Bagi siapa saja yang membutuhkan inspirasi untuk menciptakan model sekolah yang lebih dinamis, mutlak perlu membaca buku ini.
Jumat, 03 Agustus 2007
Belajar Membaca untuk Anak Usia Dini
Bisa membaca di usia dini mungkin bukanlah segalanya. Ada hal yang lebih penting dari kemampuan membaca, yang justru agak sering terlewatkan, yaitu bagaimana membuat anak-anak senang dengan buku dan kegiatan membaca. Jika pembentukan kebiasaan membaca kurang dibangun, tak jarang, ada anak yang sudah bisa membaca tetapi tidak tertarik dengan buku.
Akan tetapi, tidaklah pula berlebihan jika orang tua mulai menyediakan media belajar membaca (apapun itu) pada saat anak-anak terlihat begitu antusias dengan buku dan kegiatan membaca, meskipun mereka masih berusia balita atau bahkan batita. Kontroversi tentang hal tersebut memang masih selalu hangat dibicarakan dan tak pernah ada habisnya dari waktu ke waktu. Beberapa pihak bahkan melarang orang tua atau guru untuk mengajarkan keterampilan membaca pada usia dini, dengan alasan takut anak-anak jadi terbebani, sehingga mereka menjadi benci dengan kata "belajar".
Namun sejauh pengalaman saya, selama prinsip belajar 'fun' yang dikembangkan, materi apapun yang diajarkan kepada anak usia dini selalu direspon dengan baik dan anak-anak suka untuk belajar. Mengajak anak-anak untuk belajar membaca menurut saya jauh lebih baik daripada membiarkan mereka menonton TV seharian. Tanpa kita sadari sesungguhnya anak-anak juga belajar sesuatu lewat TV, yang sayangnya lebih banyak berupa hal-hal negatif daripada hal-hal yang positif.
Seputar metode belajar
Metode mengajar balita membaca sangatlah beragam. Karena begitu beragamnya, lagi-lagi kita akan menemukan perbedaan dasar pemikiran dari metode-metode tersebut. Meskipun kadang-kadang sering mencuat pertentangan yang tajam antar berbagai metode, kita tak perlu bingung. Kenali saja semua konsep yang ditawarkan, dan kenali pula gaya belajar anak-anak kita. Jika metode dan gaya belajar cocok, kita bisa lebih mudah memotivasi anak untuk belajar.
Berdasarkan telaah saya, sejauh ini di dunia belajar ini dikenal 2 metode besar, yaitu metode terstruktur dan metode tidak terstruktur (acak). Keduanya tidak lebih baik atau lebih jelek dari yang lainnya. Metode terstruktur dan tidak terstruktur (acak) bisa saling melengkapi sesuai karakter dua belahan sisi otak kita yang kini populer dengan istilah otak kiri dan otak kanan.
Otak kiri memiliki karakteristik yang teratur, runut (sistematis), analitis, logis, dan karakter-karakter terstruktur lainnya. Kita membutuhkan kerja otak kiri ini untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan data, angka, urutan, dan logika.
Adapun karakteristik otak kanan berhubungan dengan rima, irama, musik, gambar, dan imajinasi. Aktivitas kreatif muncul atas hasil kerja otak kanan.
Melalui deskripsi tentang karakteristik dua belahan otak tersebut, kita tentu bisa melihat bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Apa jadinya para kreator-kreator seni jika tak punya tim manajemen yang handal. Bisa kita bayangkan pula sepi dan monotonnya dunia ini jika penghuninya hanyalah para ahli matematika atau akuntansi yang selalu sibuk dengan angka. Secara personal, kita pun akan menjelma menjadi orang yang "timpang" jika tidak mampu menyeimbangkan kinerja dua sisi otak kita. Kita pun bisa tumbuh menjadi orang yang "ekstrem" dalam memandang belajar dan cara belajar.
Selain metode belajar, karakteristik anak-anak juga perlu kita ketahui dan pahami agar kita bisa merancang model-model belajar yang menarik minat anak. Beberapa karakteristik anak secara umum adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi lebih pendek (relatif)
2. Tidak suka diatur/dipaksa
3. Tidak suka dites
Ketiga ciri tersebut jelas menunjukkan kepada kita bahwa mengajar balita membaca tak bisa dilakukan dengan cara-cara orang dewasa. Kita membutuhkan teknik-teknik yang lebih bervariasi dan adaptif terhadap kecenderungan anak-anak. Dan hanya satu kegiatan yang bisa melumerkan 3 karakteristik di atas yaitu BERMAIN. Mengapa? Karena dalam bermain anak-anak tidak menemukan tes, paksaan, dan batas waktu. Ketika bermainlah anak-anak menemukan kebebasan dirinya untuk berekspresi. Ketika bermain pula mereka menemukan kesenangan mereka.
Model-model belajar membaca untuk inspirasi
Belajar membaca lewat kosa kata
Kosa kata adalah pembentuk kalimat. Lewat kosa kata yang makin beragam, kalimat yang kita keluarkan pun akan semakin kaya. Lewat kosa kata, anak-anak akan belajar tak hanya kemampuan membaca tetapi juga perbendaharaan dan pemahaman akan kata-kata yang akan mereka gunakan dalam berbicara.
Variasi yang bisa digunakan diantaranya, kartu kata yang disajikan dengan model Glen Doman, poster kata yang ditempel di dinding, buku-buku bergambar yang kalimatnya pendek dan ukuran hurufnya cukup besar. Prinsip yang dipakai dari metode tersebut adalah belajar dengan melakukannya. BELAJAR MEMBACA dengan MEMBACA.
Hal-hal khusus yang menyertai model ini adalah kemungkinan anak-anak untuk mengenal pola lebih lama. Artinya, bisa jadi untuk bisa benar-benar membaca semua kata yang diperlihatkan kepada mereka (meski belum diajarkan) membutuhkan waktu yang cukup lama, tergantung kecepatan anak.
Belajar Membaca lewat Suku Kata
Model ini paling banyak digunakan, terutama di sekolah-sekolah. Prinsip dasarnya adalah terlebih dulu mengenali pola sebelum masuk pada fase membaca.
Belajar lewat suku kata misalnya ba bi bu be bo dan seterusnya juga memiliki efek tersendiri, diantaranya kecepatan membaca yang sedikit lambat jika tidak diiringi latihan langsung lewat buku atau bacaan-bacaan. Mengapa demikian? Karena anak-anak akan terbiasa dengan membaca pola lebih dulu baru membaca. Kerja otak kiri lebih dominan dalam hal tersebut.
Untuk mengimbanginya, kita harus lebih sering memotivasi anak untuk membaca kata-kata secara langsung lewat buku tanpa harus memilah suku katanya.
Belajar membaca dengan mengeja
Model ini di awali dengan pengenalan huruf baru kemudian merangkainya menjadi gabungan huruf dan kemudian kata. Sebenarnya metode ini sudah jarang digunakan orang karena memang terbukti cukup sulit bagi anak.
Kerja otak kiri akan semakin dominan jika kita memakai metode ini. Anak-anak harus melewati tiga tahapan menuju kata, yaitu huruf, suku kata, lalu kata. Memang ada anak-anak yang bisa belajar dengan metode ini, tapi lagi-lagi latihan membaca kata secara intensif harus mengiringinya agar anak-anak merasa percaya diri untuk membaca.
Belajar Multi Metode
Adakalanya spesialisasi itu baik untuk mengenal kedalaman suatu ilmu, tapi dalam belajar membaca kita bisa mempergunakan multi metode sekaligus tanpa harus merasa tabu hanya karena teori yang kita peroleh dianggap paling rasional.
Dengan kata lain, kita bisa memperkenalkan pada anak-anak kita semuanya, huruf, suku kata, ataupun kosa kata. Catatan pentingnya tentu saja: sajikan dengan perasaan riang sehingga anak-anak kita pun mendeteksi kegembiraan dan ketulusan yang kita berikan pada mereka. Hal itu jauh lebih berarti dan lebih efektif daripada segudang metode terhebat sekalipun.
Tersisa dari itu semua, "kita memang tak boleh berhenti belajar".
Salam pendidikan!
Langganan:
Postingan (Atom)