Rabu, 24 September 2008
Senangnya, Saat Anak Makin Mandiri
Proses menuju mandiri berlangsung sejak anak-anak lahir. Tugas orang tua-lah untuk membimbing anak-anak untuk mencapai kemandirian sesuai dengan fase usianya. Hal pertama yang harus disadari adalah kenyataan bahwa belajar menuju kemandirian akan diawali dengan "kesalahan".
Cobalah kita cermati atau kita ingat-ingat perilaku bayi-bayi kita. Awalnya bayi-bayi hanya bisa terlentang dan perlu bantuan kita untuk telungkup, namun lama- kelamaan mereka bisa melakukannya sendiri dengan terus berlatih setiap hari. Seiring usia, bayi pun terus meningkatkan keterampilan fisiknya, dari duduk, merayap, merangkak, berdiri, hingga berjalan. Dan ternyata, ada beberapa hal yang jika sekiranya kita abaikan, perkembangan keterampilan fisik itu jadi terlambat atau bahkan kurang berkembang dengan baik.
Salah satu penyebab yang saya percaya bisa menghambat perkembangan gerak fisik adalah "kurungan" yang kita sediakan buat bayi-bayi kita. Apakah "kurungan" itu? Kurungan itu adalah hambatan-hambatan berupa ruang yang sempit untuk anak-anak bergerak, seperti misalnya roda bayi, kebiasaan sering digendong, dan televisi.
Dengan asumsi bahwa dengan alat bantu berupa roda atau baby-walker, bayi akan lebih cepat berjalan, hal itu kini mulai banyak ditentang secara empirik. Pada kenyataannya, "mobil" bayi itu hanya akan membuat bayi bisa membawa tubuhnya dari satu tempat ke tempat lain tapi tidak menggerakkan otot-otot kaki dan tangan mereka. Tanpa latihan gerak secara alami, justru membuat otot bayi menjadi kurang optimal perkembangannya. Boleh-lah dikatakan, bahwa memang BELAJAR YANG PALING EFEKTIF ADALAH DENGAN MELAKUKANNYA . Buat Anda yang pernah punya pengalaman membesarkan bayi, pasti bisa melihat efek-efek dari setiap pola yang terapkan kepada bayi-bayinya.
Dengan alasan khawatir anaknya akan terluka karena terantuk tembok saat merangkak atau terjatuh saat berdiri, beberapa orang tua memilih untuk terus menggendong bayinya, meski sang bayi sudah berumur 6 - 9 bulan. Dengan alasan tak mau kotor, beberapa orang tua juga terus-menerus memasangkan diapers pada anaknya hingga usia 5 tahun bahkan lebih tanpa melatih mereka untuk bisa buang air di kamar mandi. Dengan alasan kepraktisan, beberapa orang tua juga masih terus memandikan dan menceboki anak-anaknya hingga usia 7 tahun lebih. Dengan alasan tak mau banyak bicara dan agar anaknya tenang saat ia bekerja, beberapa orang tua mendudukkan anaknya di depan televisi hingga berjam-jam lamanya, padahal ia sendiri tahu bahwa acara televisi tidak semuanya baik untuk ditonton oleh anak-anak. Banyak hal, banyak alasan, sering dilontarkan orang tua untuk membuat "kurungan" pada anak-anaknya untuk tumbuh menjadi mandiri.
Benar, bahwa untuk membuat anak bisa melakukan semuanya sendiri membutuhkan pengorbanan, entah itu kotor dan basah saat mereka sedang belajar mengambil minuman dan makanan sendiri, atau kita harus sering mengepel lantai karena anak masih pipis di celana dalam fase latihan tanpa diapers, atau banyak kertas terpakai untuk latihan anak-anak mencorat-coret sampai mereka bisa menulis dan menggambar dengan baik, dan lain-lain.
Jangan remehkan kemandirian anak betapapun dalam hal-hal yang sederhana: Membuang sampah ke tempatnya, membaca buku tanpa disuruh, menyapu tanpa diminta, mengerjakan worksheet tanpa dinilai, merapikan mainan tanpa diperintah, dll. Tahukah, bahwa kemandirian begitu menakjubkan dan membanggakan, bukan hanya bagi para pendidik atau pengajar, melainkan juga bagi anak-anak itu sendiri. Kemampuan untuk mandiri akan membuat anak-anak memiliki rasa percaya diri yang luar biasa dalam menempuh kehidupan.
Sepanjang perjalanan pendidikan yang terus berlangsung, satu demi satu keterampilan hidup harus diperkenalkan dan diajarkan, hingga akhirnya kita akan melihat anak-anak tersenyum bahagia dan optimis menghadapi hidup. Betapa senangnya saat anak makin mandiri. Tidakkah demikian?
Selasa, 23 September 2008
Membangun Sekolah Bertaraf International (Inventing Better School)
1. Sarana dan Prasarana
Components of Most International Schools
(Hardware in International School)
Di Susun dan Di Edit oleh:
(Implementer)
Bpk. Endang J*. S.Pd., Drs. Ahmad S*., Drs. Nanang S.*
SMAN 1 Kota Banjar
(Conception)
Arip Nurahman and Ade Akhyar N.
Department of Physics Education Indonesia University of Education, Bandung Indonesia and
Follower Open Course Ware at Massachusetts Institute of Technology (MIT), Cambridge M.A., USA.
Department of Geology Engineering UNSOED University, Purwokerto M.J. Indonesia
(Corrector in Language)
Yusuf Kurniawan S.Pd., Taryono S.Pd. & Arif Nurhasan S.T.
Abstract
A school (from Greek σχολή (scholē), originally meaning "leisure", and also "that in which leisure is employed", "school"), is an institution designed to allow and encourage students (or "pupils") to learn, under the supervision of teachers. Most countries have systems of formal education, which is commonly compulsory. In these systems, students progress through a series of schools. The names for these schools vary by country (discussed in the Regional section below), but generally include primary school for young children and secondary school for teenagers who have completed primary education.
In addition to these core schools, students in a given country may also have access to and attend schools both before and after primary and secondary education. Kindergarten or pre-school provide some schooling to very young children (typically ages 3-5). University, vocational school, college or seminary may be available after (or in lieu of) secondary school. A school may also be dedicated to one particular field, such as a school of economics or a school of dance. Alternative schools may provide nontraditional curriculum and methods.
There are also non-government schools, called private schools. Private schools may be for children with special needs when the government does not supply for them; religious, such as Islamic School,
Christian Schools, Khalsa Schools, Torah Schools and others; or schools that have a higher standard of education or seek to foster other personal achievements.
In homeschooling and online schools, teaching and learning take place outside of a traditional school building.
Introduction
History of Education
In its widest sense, the history of education is the history of teaching and of learning, and the history of what might be described as the curricula: what it is that is taught or learned.
Education has taken place in most communities since earliest times. Each generation has sought to pass on cultural and social values, traditions, morality, religion, knowledge and skills to the next generation. The history of the curricula of such informal education reflects human history itself, the history of knowledge, beliefs, skills and cultures of humanity.
In pre-literate societies, education was achieved orally and through imitation. Later, with the development of writing, it became possible for stories, poetry, knowledge, beliefs, and customs to be recorded and passed on more accurately to people out of earshot and to future generations.
As the customs and knowledge of ancient civilizations became more complex, many skills would have been learned from a master on the job, in construction, stone work, metal work, boat building, animal husbandry, agriculture, the making of weapons and defenses, the military skills, and many other occupations. Schools of formal learning were also established, although schooling was usually only available to a small part of the population, either at religious institutions or for the wealthy who could afford to pay for their tutors. The earliest known universities, or places of higher education, started teaching a millennium or more ago.
However, for most of the past 2000 years in many civilizations across the world, a formal general education, even at primary level, and literacy have been available only to small sections of the community. In most cultures, universal formal education of all children is a recent development, not occuring in many countries until after 1850. Even today, in some parts of the world, literacy rates are below 60 per cent (for example, in Afghanistan, Pakistan, Bangladesh and most of Africa).
Schools, colleges and universities have not been the only methods of formal education and training. Many professions have additional training requirements, and in Europe, from the Middle Ages until recent times, the skills of a trade were not generally learnt in a classroom, but rather by serving an apprenticeship.
Nowadays, formal education consists of systematic instruction, teaching and training by professional teachers. This consists of the application of pedagogy and the development of curricula.
Contents
Components of most schools
Schools are organized spaces purposed for teaching and learning. The classrooms, where teachers teach and students learn, are of central importance, but typical schools have many other areas which may include:
- Cafeteria (Commons), dining hall or canteen where students eat lunch.
- athletic field, playground, gym, and/or track place where students participating in sports or physical education practice
- auditorium or hall where student theatrical or musical productions can be staged and where all-school events such as assemblies are held.
- office where the administrative work of the school is done.
- library where students consult and check out books.
- Specialized classrooms including laboratories for science education.
- A Computer lab where computer-based work is done
A library is a collection of information, sources, resources, and services, and the structure in which it is housed: it is organized for use and maintained by a public body, an institution, or a private individual. In the more traditional sense, a library is a collection of books. The term can mean the collection, the building that houses such a collection, or both.
The collection and services are used by people who choose not to — or cannot afford to — purchase an extensive collection themselves, who need material no individual can reasonably be expected to have, or who require professional assistance with their research.
However, with the collection of media other than books for storing information, many libraries are now also repositories and access points for maps, prints, or other documents and works of art on various storage media such as microform (microfilm/microfiche), audio tapes, CDs, LPs, cassettes, videotapes, and DVDs. Libraries may also provide public facilities to access CD-ROMs, subscription databases, and the Internet.
Thus, modern libraries are increasingly being redefined as places to get unrestricted access to information in many formats and from many sources. In addition to providing materials, they also provide the services of specialists, librarians, who are experts at finding and organizing information and at interpreting information needs.
More recently, libraries are understood as extending beyond the physical walls of a building, by including material accessible by electronic means, and by providing the assistance of librarians in navigating and analyzing tremendous amounts of knowledge with a variety of digital tools.
The term "library" has itself acquired a secondary meaning: "a collection of useful material for common use," and in this sense is used in fields such as computer science, mathematics and statistics, electronics and biology.
Contents
- 1 History
- 2 Islamic libraries
- 3 Medieval Christian libraries
- 4 Public libraries
- 5 Types of libraries
- 6 Organization
- 7 Library use
- 8 Library management
- 9 Famous libraries
- 10 Standardization
- 11 See also
- 12 References
- 13 External links
Security
Because they are shared by multiple users, computers in typical labs often have security software installed. This software may limit, trace, or block certain activities. Macintosh computers may have software such as the older At Ease or the newer MacAdministrator. Windows computers may have protection software such as Fortres or Deep Freeze, and often contain network applications, like Novell NetWare for network security and administration. Due to the high number of computers in a lab, many lab administrators choose to use remote administration software such as VNC. Computer labs in schools often have classroom management software installed to manage and control student computer activity from the teacher’s computer, to monitor or prevent web browsing and to remotely control student computers.
The computers are often in a computer network. The computers may also be thin clients.
In addition, some companies such as Kinkos or Mail Boxes Etc. provide labs with computers to use for an hourly fee. Computers are used for research and other reasons.
See also
- Internet cafe
- TECH Center – computer lab and technology facility at Temple University
- University of Cambridge Computer Laboratory and Oxford University Computing Laboratory – two early and prominent computer science departments that are called "laboratory" for historic reasons.
Oleh: Bpk. Satria Dharma
(Direktur The Centre for the Betterment of Education (CBE))
Ketertinggalan di berbagai bidang di era globalisasi dibandingkan negara-negara tetangga rupanya menyebabkan pemerintah terdorong untuk memacu diri untuk memiliki standar internasional. Sektor pendidikan termasuk yang didorong untuk berstandar internasional. Dorongan itu bahkan dicantumkan di dalam :
UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi, “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan, untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional. “.
Dengan berbekal keinginan kuat dan ayat itu maka Depdiknas segera mengeluarkan program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang proyek rintisannya saja telah menyertakan ratusan SMP dan SMA di hampir semua Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia dengan menggelontorkan dana ratusan milyar meski peraturan pemerintah yang mengatur pengelolaan seperti itu belum ada. Ini proyek prestisius karena akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50%, Pemerintah Propinsi 30 %, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20%. Padahal, untuk setiap sekolahnya saja Pemerintah Pusat mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun dalam masa rintisan tersebut.
Siapa saja yang nantinya akan masuk ke sekolah SBI ini? Siswa yang bisa masuk ke sekolah tersebut, adalah mereka yang dianggap sebagai bibit-bibit unggul yang telah diseleksi ketat dan yang akan diperlakukan secara khusus. Jumlah siswa di kelas akan dibatasi antara 24-30 per kelas. Kegiatan belajar mengajarnya akan menggunakan bilingual. Pada tahun pertama bahasa pengantar yang digunakan 25 persen bahasa Inggris 75 persen bahasa Indonesia. Pada tahun kedua bahasa pengantarnya masing-masing 50 persen untuk Inggris dan Indonesia. Pada tahun ketiga bahasa pengantar menggunakan 75 persen bahasa Inggris dan 25 persen bahasa Indonesia.
Karena dianggap sebagai bibit unggul maka siswa diprioritaskan untuk belajar ilmu eksakta dan teknologi informasi dan komunikasi (ICT/Information and Communication Technology). Karenanya, siswa kelas khusus ini diberi fasilitas belajar tambahan berupa komputer dengan sambungan internet. Apa kurikulum yang akan diberikan kepada mereka agar ‘berstandar internasional’?
Tidak jelas betul karena hanya disebutkan rumusnya adalah SNP + X. SNP adalah Standar Nasional Pendidikan sedangkan X hanya disebutkan sebagai penguatan, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman, melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara internasional umpamanya Cambridge, IB, TOEFL/TOEIC, ISO, UNESCO.
Berapa dana yang harus dikeluarkan oleh orang tua yang ‘ngebet’ dengan program ini? Masih akan diatur. Tapi yang jelas orang tua harus merogoh koceknya dalam-dalam dan hanya orang tua yang kaya saja yang bisa masuk. Ini adalah program prestisius sehingga biayanya memang harus mahal!.
Semoga Saja Tidak! (Amin!)
References
- ^ Online Etymology Dictionary; H.G. Liddell & R. Scott, A Greek-English Lexicon
- ^ School Vandalism Takes Its Toll
- ^ Bulling, Anti-bullying Legislation, and School Safety
- ^ Work-Related Stress in teaching
- ^ Teacher Support for England & Wales
- ^ Teacher Support for Scotland
- ^ http://www.brainconnection.com/topics/?main=fa/test-stress
- ^ http://www.paloaltoonline.com/weekly/morgue/2005/2005_05_06.stress06.shtml
- ^ http://www.webmd.com/parenting/guide/school-stress-anxiety-children
Bibliography
- Dodge, B. (1962). ‘Muslim Education in the Medieval Times’, The Middle East Institute, Washington D.C.
- Education as Enforcement: The Militarization and Corporatization of Schools, edited by Kenneth J. Saltman and David A. Gabbard, RoutledgeFalmer 2003.review
- Makdisi, G. (1980). ‘On the origin and development of the college in Islam and the West’, in Islam and the Medieval West, ed. Khalil I. Semaan, State University of New York Press
- Nakosteen, M. (1964). ‘History of Islamic origins of Western Education AD 800-1350’, University of Colorado Press, Boulder, Colorado,
- Ribera, J. (1928). ‘Disertaciones Y Opusculos’, 2 vols. Madrid
- Spielhofer, Thomas, Tom Benton, Sandie Schagen. “A study of the effects of school size and single-sex education in English schools.” Research Papers in Education Jun. 2004:133 159, 27.
- Toppo, Greg. "High-tech school security is on the rise." USA Today 9 Oct 2006.
- Traditions and Encounters, by Jerry H. Bentley and Herb F. Ziegler
Sedikit Tentang Quran
Apakah pernyataan ini dapat kita terima? Dalam quran dapat kita temukan pendefinisian quran tentang dirinya. Dalam beberapa ayat dapat kita temukan bahwa quran adalah kitab "pembeda antara yang hak dan yang bathil", kitab "pengingat", kitab "petunjuk". Pembawaan makna ini jelas mengisyaratkan bahwa quran bukanlah kitab sejarah, Science, kesehatan atau disiplin keilmuan yang lain. Memang pada beberapa sisi quran menyinggung masalah keilmuan tertentu tapi itu semua tidak lain hanyalah sebuah bagian-bagian yang saling terkait dan terhubung satu dengan yang lain dalam sebuah tujuan yang jelas. Salah satu makna quran secara jelas mengisyaratkan bahwa quran adalah alat untuk menyampaikan manusia kepada petunjuk di jalan yang benar menuju kesempurnaan.
Terlebih lagi kita juga tahu bahwa alquran adalah kitab yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw sebagai seorang pemberi petunjuk jadi jelas bahwa quran adalah kitab petunjuk bukan kitab-kitab yang lain. Ketika quran membahas masalah sejarah itu tidak lain adalah isyarat pada suatu pembahasan yang bisa disebut dengan filsafat sejarah. Jadi sejarah yang tertuang dalam quran tidak dimaksudkan sebagai pencatatan tentang suatu kejadian semata, lebih dari itu merupakan upaya untuk memberi gambaran kejadian yang mengajarkan konsep-konsep kehidupan. Ketika quran berbicara tentang fir'aun dan sosok Nabi Musa ini tidak hanya menceritakan kejadian pengakuan seseorang sebagai Tuhan. Ini adalah gambaran bahwa akan atau telah terjadi kejadian-kejadian semacam itu didunia ini. Disini para pembaca kitab quran diajak untuk mengambil pelajaran dari cerita itu yaitu bagaimana memberikan penyikapan terhadap sosok pemimpin zalim serta mengaku sebagai Tuhan.
Pada kenyataan kita dapat melihat banyak sekali para pemegang kekuasaan melakukan kewenangan seperti seorang pengaku tuhan walau mereka tidak melisankan semua itu. Namun dilihat dari kesombongan keangkuhan, serta arogansi yang dilakukan menggambarkan secara jelas akan itu semua. Begitu juga pada saat quran meberitakan masalah-masalah yang lain semua sejarah yang ada adalah sekumpulan pelajaran bagi orang-orang yang ingin mengambil ibrah.
Renungan Malam Alqadar
Bismillah wa biAsmaillahilla'dzam
wa bi asma Rasulillah wa Alihil Muthahar.
Kembali datang dan kami tak bisa apa, hanya mampu termenung mentafakur ulah diri . . . .
kelam hitam mencekam setumpuk noda nista dan dosa
malam alqadar datang kami bersimpuh sujud menggenangi sesalan pembangkangan dg isak tangis, berharap kelegaan kala air mata penyesalan kami tergenang memenuh pelupuk dan menerjang mengairi pipi kami dg deras
apakah hanya sesal?
apakah penyesalan itu cukup?
Hanya sesederhana itukah?
Kami sadar, kami tahu tidak hanya semisal itu!
Duhai Kekasih . . .
Ego kami teramat besar
Kesombongan kami tak lagi tertakar
Kedunguan kami membuat kami sesumbar, menyombongkan keburukan yg kami yakini sebagai keindahan, keutamaan tuju.
Duhai Cinta. . . .
Andai hati ini terlampau kelam oleh deraan noda biarlah seujung benang rasa cinta pada sesama berkenan Engkau tanam kuat disana.
Buka dengannya bilik buram keegoan kami. Biarkan kami merasai derita saudara kami di irak, Palestina, Afgan
seantero bumiMu.
Duhai Kasih. . .
Eratkan tangan silaturahmi kami umat muslim
tunjukkan kebesaran Engkau dengan membesarkan hati saudara-saudara kami di pusat-pusat konflik. Luaskan hati mereka Ridhakan segala hal dihadapan mereka hanya karena-Mu. Jadikan ibu-ibu diantara mereka para penopang landasan keimanan Hakiki-Mu. Jadikan para bapak diantara mereka para pendidik menuju kecintaan pada kebenaran yang Engkau isyaratkan. Jadikan para putra-putri mereka hiasan bagi orang tua mereka dalam perjuangan menuju kehakian. Tentramkan mereka bersama tetangga-tetangga mereka. Luaskan pintu Rizki yang berakibat rasa sukur pada Engkau. Bukakan pintu-pintu Rahmat-Mu atas mereka masukkan mereka melaluinya.
Minggu, 21 September 2008
Ekonomi Negara Perusak Sistem dan Keanggunan Pendidikan dan berbagai Aset Negara Lain di Ujung Tanduk
Bangkrutnya Lehman Brothers, perusahaan sekuritas berusia 158 tahun milik Yahudi ini menjadi pukulan berat bagi perekonomian AS yang sejak beberapa tahun terakhir mulai goyah. Para analis menilai, bencana pasar keuangan akibat rontoknya perusahaan keuangan dan bank-bank besar di Negeri Paman Sam satu per satu, tinggal menunggu waktu saja. Inikah tanda-tanda kehancuran sebuah imperium, negara adi daya bernama Amerika Serikat?
Krisis Terburuk
Pernyataan bangkrutnya Lehman Brothers hari Senin kemarin, langsung mengguncang bursa saham di seluruh dunia. Dalam pembukaan perdagangan hari Selasa (16/9), bursa saham di kawasan Asia seperti di Jepang, Hongkong, China, Asutralia, Singapura, India, Taiwan dan Korea Selatan, mengalami penurunan antara 2 sampai 7 persen. Termasuk bursa saham di kawasan Timur Tengah, Rusia, Eropa, Amerika Selatan dan Amerika Utara. Tak terkecuali di AS sendiri, para investor di Bursa Wall Street mengalami kerugian besar, bahkan surat kabar New York Times menyebutnya sebagai kerugian paling buruk sejak peristiwa serangan 11 September 2001.
Mantan Kepala Federal Reserve Alan Greenspan mengatakan, krisis keuangan yang terjadi di AS merupakan krisis keuangan terburuk yang pernah ia saksikan dan masih berlangsung dalam jangka waktu lama. Ia meyakini krisis ini akan makin mendalam yang bisa mengakibatkan resesi ekonomi di AS. “Kemungkinan AS bisa lolos dari resesi ekonomi sangat kecil, di bawah 50 persen, ” kata Greenspan dalam wawancara dengan ABC News hari Minggu kemarin.
Pernyataan Greenspan bertolak belakang dengan pernyataan-pernyataan Presiden AS George W. Bush dan jajaran pejabat perekonomiannya. Bush mengatakan, apa yang terjadi saat ini cuma penyesuaian kecil dan ia akan bekerja keras untuk meminimalkan dampaknya guna mencegah terjadinya kekacauan ekonomi.
“Saya percaya perekonomian negeri ini akan bergairah kembali. Dalam jangka pendek, penyesuaian di pasar finansial akan terasa sangat menyakitkan. Tapi dalam jangka panjang, saya percaya pasar modal kita sangat fleksibel dan mampu menyesuaikan diri dengan penyesuaian ini, ” kata Bush yakin.
Sementara Menteri Keuangan AS Henry Paulson mengatakan, dirinya akan bekerjasama dengan dewan legislatif AS dan otoritas keuangan di berbagai negara untuk memulihkan “stabilitas dan ketertiban” di pasar modal AS setelah krisis yang menimpa.
Namun para analis bersikap skeptis dengan optimisme Bush dan para pejabat perekonomiannya. “Orang-orang di pemerintahan tidak paham apa yang dialami rata-rata rakyat Amerika. “Mereka saat ini dalam kondisi sangat tertekan. Rumah-rumah mereka sudah tidak ada harganya lagi, mereka terlilih hutang kartu kredit, ” kata Israel Adelman, seorang trader dari perusahaan Fordham Financials di Wall Street.
Kepala ekonom di The Saudi British Bank (SBB), John Sfakianakis mengatakan, krisis perbankan yang terjadi di AS menunjukkan bahwa tak ada satu pun institusi finansial yang sempurna dan AS perlu segera memperbaiki regulasinya.
Ia juga mengatakan bahwa sentimen negatif akibat krisis itu akan berlanjut dan tantangan bagi insitusi keuangan adalah bagaimana mereka menjaga kesehatan finansial perusahaannya.”Waktu akan menunjukkan apakah sebuah institusi keuangan bisa keluar dari krisis ini, ” kata Sfakianakis.
“Mereka yang pesimis meyakini situasi pasar modal akan lesu sampai tahun 2009 nanti dan baru akan bangkit kembali pada tahun 2010. Harus diakui, menyeimbangkan antara kepanikan dengan kepercayaan pasar bukan hal yang mudah. Sikap pemerintah AS yang menolak memberikan kucuran dana buat Lehman menunjukkan bahwa otoritas AS tidak mau menolong perusahaan-perusahaan yang bermasalah, ” sambungnya.
Krisis keuangan yang terjadi saat ini juga memicu tanda tanya soal moralitas para bankir dan pemegang saham. Ketika kondisi sedang bagus, mereka jor-joran memberikan modal pada masyarakat kelas atas, menerima gaji, bonus dan keuntungan yang sangat besar. Tapi ketika kondisi keuangan sedang dilanda krisis, para bankir dan pemegang saham seolah lepas tangan dan membebankan tanggung jawabnya pada pembayar pajak.
Dampak paling nyata dari bangkrutnya Lehman Brothers adalah meningkatnya jumlah pengangguran di AS, bahkan di berbagai belahan dunia. Di seluruh dunia, jumlah pegawai jaringan perusahaan Lehman Brothers mencapai 25.000 orang. Pada bulan Agustus 2008, Lehman sudah mengumumkan akan memecat 5 persen dari jumlah pegawainya atau sekitar 1.500 orang.
Sebelum Lehman, sejumah perusahaan di AS sudah melakukan pemangkasan karyawan. Misalnya perusahaan penerbitan koran Gannett Co. Inc. menyatakan akan merumahkan 600 karyawannya dan Ford Motor Co. akan megurangi 300 orang karyawannya. Para analis mempekirakan tingkat pengangguran AS sampai pertengahan tahun 2009 akan meningkat dari 5, 7 persen menjadi 6, 5 persen. Bertambahnya pengangguran berarti bertambahnya beban perekonomian pemerintah.
AS Diambang Kehancuran?
Setelah Lehman Brothers, kebangkrutan masih menghantui perusahaan perusahaan di Wall Street. Apalagi sejumlah perusahaan finansial yang selama ini dipercaya kuat juga mengalami kesulitan keuangan. Perusahaan pesaing Lehman, Merrill Lynch misalnya, sudah diambil oleh pemerintah AS. Perusahaan raksasa lainnya, American International Group (AIG)-salah satu perusahaan asuransi terbesar di dunia-saat ini juga sedang mencari pinjaman sebesar 40 milyar dollar.
Sejumlah analis berpendapat, inilah detik-detik kehancuran ekonomi negara adidaya AS. Negara yang menganut sistem ekonomi neo-liberal dan menancapkan ekonomi imperialisnya ke berbagai belahan negara, akhirnya ambruk juga. “Esensinya, riwayat Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi global sudah tamat, ” kata Max Keiser, seorang analis pasar di Paris.
“Sejarah dollar AS sebagai mata uang cadangan dunia sudah selesai dan kita akan melihat negara lain yang akan muncul sebagai kekuatan baru, yang paling memiliki peluang besar adalah negara China, ” papar Keiser.
Menurutnya, krisis keuangan yang menghantam AS sebenarnya sudah diprediksi. AS yang menganut sistem keuangan neo-liberal secara bebas memberikan kredit. Tiba-tiba, ketika kredit tak tersedia sejak musim panas kemarin, bank-bank mulai kelimpungan.
Tapi, kata Keiser, skenario “kiamat” ini tidak akan terjadi di negara-negara berkembang yang memiliki sumber minyak seperti di Timur Tengah atau negara-negara yang masyarakatnya memiliki dana simpanan yang besar, seperti di China.
“Skenario kiamat ini hanya akan terjadi di AS dan Inggris, di mana masyarakatnya hidup dari uang pinjaman dari generasi ke generasi, ” tukas Keiser.
Hal serupa diungkapkan Andrew Critchlow, redaktur pelaksana Dow Jones Timur Tengah yang berbasis di Dubai. “Saya pikir ini adalah saat-saat yang menentukan bagi perekonomian dunia, bagi AS, bagi kita semua, yang akan selalu diingat sepanjang hidup kita, ” kata Andrew.
Ia menyamakan krisis keuangan di AS saat ini dengan kondisi era tahun 1920-an, ketika masyarakat dunia mengalami apa yang disebut Great Depression. Secara teknis, bisnis perbankan dan keuangan sudah tidak berjalan.
“Yang paling mengkhawatirkan jika kondisi ini benar-benar menghantam perekonomian riil, menghantam orang-orang di jalan. Mereka tidak punya uang lagi, tidak punya pekerjaan dan berpotensi akan kehilangan rumah-rumah mereka juga, ” sambung Andrew.
Allister Heath, editor surat kabar finansial London’s City A.M menambahkan, ketika bank-bank besar seperti Lehman mengalami kebangkrutan, yang terkena dampaknya juga masyarakat kecil, termasuk para pensiunan yang mempercayakan uang pensiunnya diinvestasikan di bursa-bursa saham yang kebanyakan ditanamkan di sektor perbankan. Selain itu, kata Heath, ribuan orang juga akan menjadi pengangguran.
Pada akhirnya, situasi ini akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada lembaga keuangan termasuk pada pemerintah dengan sistem perekonomian neo-liberalnya yang ternyata rapuh. Sebuah gambaran yang tragis bagi sebuah imperium bernama AS, yang selalu sesumbar dengan sistem perekonomian kapitalis yang disebarkannya ke seluruh dunia, ternyata tak mampu menolong perekonomian di negerinya sendiri ketika terancam kebangkrutan. Bagaimana, masih silau dengan gemerlapnya Amerika Serikat?(eramuslim /berbagai sumber)
Agen mossad Memimpin Israel
Menlu Israel Tzipi Livni terpilih menggantikan Perdana Menteri (PM) Ehud Olmert sebagai ketua partai berkuasa, Kadima. Livni, seorang mantan agen Mossad tapi beraliran moderat, unggul tipis 1,1 persen dari pesaing utamanya, mantan Menteri Pertahanan Shaul Mofaz.
“Tanggung jawab nasional kepada publik membawa saya mendapatkan tugas ini dengan rasa hormat luar biasa,” kata Livni, beberapa saat setelah hasil pemilihan diumumkan, Kamis (18/9). Livni mempunyai waktu 42 hari ini membentuk pemerintahan koalisi baru. Jika berhasil, dia akan menjadi wanita Israel pertama sebagai perdana menteri sejak Golda Meir yang turun pada 1974. Jika Livni gagal, pemerintah akan melaksanakan pemilu awal 2009.
Olmert yang mundur sebagai ketua partai karena terkait kasus dugaan korupsi tetap menjadi pemimpin sementara sampai parlemen menyetujui kabinet baru. Juru bicara Olmert, Mark Regev, mengatakan, bosnya menelepon Livni dan mengucapkan selamat atas kemenangannya. Menurut Regev, Olmert akan memberitahu kabinet, Minggu (21/9), bahwa dia mundur. “Setelah itu dia akan mundur,” kata Regev.
Livni pernah menjadi pengacara top. Ia berpangkat letnan di militer Israel saat menjadi agen Mossad dan bertugas di Paris pada usia 20-an tahun. Sejumlah laporan menyebutkan, dia aktif terlibat perburuan teroris di Eropa.
Kedua orangtuanya adalah anggota kelompok Irgun, yakni organisasi Yahudi garis keras yang meledakkan markas Mandat Inggris di King David Hotel pada 1946. Livni kini menjadi ketua tim negosiasi untuk pembentukan dua negara merdeka dengan para pemimpin Palestina di Ramallah. Ny Livni menikahi seorang eksekutif perusahaan iklan dan dikarunia dua anak. (okezone)
sumber: muhsin labib
Keangkuahn Yang Tak Kunjung Berhenti
Demikian dikatakan para saksi mata kepada kantor berita DPA. Dua anak-anak dan tiga wanita termasuk di antara para korban ketika rumah tangga Ali Taema di Distrik Al Dor, 170km utara ibukota Irak, Baghdad diserang helikopter AS.
Dalam insiden terpisah , pria-pria tidak dikenal menembak mati seorang pria dan istrinya dan mencederai empat anggota dari keluarga yang sama termasuk seorang anak-anak di kota Mosul, Irak utara, kata kantor berita Suara Irak (VOI). Pria-pria bersenjata itu menyerbu rumah keluarga itu di distrik Al Yabesat , 405 km utara Baghdad, Kamis petang . Alasan serangan itu tidak diketahui, kata satu sumber polisi.
Di daerah Safraniyah pinggiran selatan Baghdad , para pelaku yang tidak dikenal meledakkan bom di depan gedung organisasi kaum Syiah, Shadid al Mihrab yang adalah bagian dari Majelis Islam Agung di Irak.
sumber muhsin labib
Sabtu, 20 September 2008
Pengelolaan Pendidikan Sekolah Berstandar International
Pengelolaan Pendidikan Sekolah Berstandar International
(Sekolah Bertaraf Internasional)
Di Susun dan Di Edit oleh:
(Implementer)
Bpk. Endang J*. S.Pd., Drs. Ahmad S*., Drs. Nanang S.*
SMAN 1 Kota Banjar, Jawa Barat. Indonesia.Arip Nurahman
Department of Physics Education Indonesia University of Education, Bandung Indonesia
and
Tunggu dulu.
Jika kita cermati ternyata program SBI ini mengandung banyak kekurangan mencolok. Alih-alih menghasilkan kualitas bertaraf internasional kualitas pendidikan kita justru akan terjun bebas.
Mengapa? Ada beberapa kelemahan mendasar dari program SBI ini.
Pertama, program ini nampaknya tidak didahului dengan riset yang mendalam dan konsepnya lemah. Dengan menyatakan bahwa SBI = SNP + X, maka sebenarnya konsep SBI ini tidak memiliki bentuk dan arah yang jelas. Tidak jelas apa yang diperkuat, diperkaya, dikembangkan, diperdalam, dll tersebut.
Jika konsep ini secara jelas menyatakan mengadopsi atau mengadaptasi standar pendidikan internasional seperti Cambridge IGCSE atau IB, umpamanya, maka akan lebih jelas kemana arah dari program ini.
Dengan memasukkan TOEFL/TOEIC, ISO dan UNESCO sebagai “X” juga menunjukkan bahwa Dikdasmen juga tidak begitu paham dengan apa yang ia maksud dengan “X” tersebut. Atau mungkin ini sebuah strategi agar target yang hendak dikejar menjadi longgar dan sulit untuk diukur?
Sekolah-sekolah yang mengadopsi atau berkiblat pada standar internasional seperti Cambridge atau International Baccalaureate (IB) adalah sekolah-sekolah yang memang dirancang untuk mempersiapkan siswa-siswa mereka agar dapat melanjutkan ke luar negeri. Dengan sistem kurikulum tersebut siswa mereka memang dipersiapkan untuk dapat belajar di luar negeri.
Mereka bahkan tidak perlu mengikuti Ujian Nasional karena mereka memang tidak berencana untuk meneruskan pendidikan mereka di universitas di Indonesia. Nah, dengan demikian, apakah sebenarnya yang hendak dituju dengan program SBI ini? Jika yang hendak dituju adalah peningkatan kualitas pembelajaran dan output pendidikan maka mengadopsi IB ataupun mengikutsertakan siswa dalam ujian Cambridge bukanlah jawabannya.
Ujian Cambridge diperuntukkan bagi siswa yang ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri. Meski demikian nilai yang tinggi dalam ujian Cambridge juga bukan jaminan bahwa siswa dapat diterima di perguruan tinggi di luar negeri. Nilai ujian Cambridge hanya akan memudahkan siswa untuk dapat diterima di perti LN karena nilai ujian Cambridge diakui oleh beberapa negara. Permasalahannya adalah berapa banyak dari siswa kita sebenarnya yang ingin melanjutkan pendidikannya ke luar negeri?
Berapa persenkah dari lulusan sekolah publik kita yang benar-benar ingin dan mampu, baik secara finansial maupun intelektual, untuk melanjutkan studinya ke luar negeri? Jika Depdiknas tidak memiliki data statistik tentang hal ini mengapa tiba-tiba timbul kebijakan untuk mengubah sekolah-sekolah kita menjadi SBI yang berkiblat pada Cambridge?
Bukankah ini suatu pengorbanan yang sangat sia-sia yang bakal menelantarkan siswa-siswa lain yang tidak akan melanjutkan pendidikannya ke luar negeri? Untuk apa kita mengerahkan seluruh energi dan kapasitas kita membawa siswa menuju ke sistem Cambridge,umpamanya, jika sebenarnya tujuan yang hendak dituju bukanlah kesana? Ini adalah contoh tujuan pendidikan yang sangat misleading.
Jelas sekali bahwa tidak mungkin sekolah harus mengikuti dua kiblat, yaitu UNAS dan Cambridge umpamanya, karena akan sangat menyulitkan bagi sekolah maupun murid untuk mengikuti dua kiblat tersebut. Beberapa sekolah National Plus yang selama ini memang dirancang untuk mengikuti dua kiblat tersebut mengakui bahwa sangat sulit bagi mereka untuk mengikuti dua kiblat tersebut sekaligus. (Bpk. Satria Dharma, Direktur The Centre for the Betterment of Education (CBE))
In today's public schools, where diversity is vast and complex, a good school must provide a strong functioning culture that aligns with their visionof purpose. Good schools depend on a strong sense of purpose and leadership. However, in order to build a culture that is integral to school life, principals must gear their students, faculty, and staff in a common direction and provide a set of norms that describes what they should accomplish.
Sergiovanni (2001) elaborates on the principal's influence in shaping school culture by stating that, once established in a school, strong culture acts as a powerful socializer of thought and programmer of behavior. Yet, the shaping and establishment of such a culture does not just happen; they are, instead, a negotiated product of the shared sentiments of school participants.
When competing points of view and competing ideologies exist in school, deciding which ones will count requires some struggling. Principals are in an advantageous position to strongly influence the outcome of this struggle.
The building of school culture further requires that building leaders pay close attention to the informal, subtle or symbolic aspects of school life. Teachers, parents, and students should look for answers to questions such as:
1. What is this school about?
2. What is important here?
3. What do we believe in?
4. Why do things function the way they do?
5. How do I fit into the scheme of things?
As Greenfield (1973) stated, what many people seem to want from schools is that schools reflect the values that are central and meaningful in their lives. If this view is correct, schools are cultural artifacts that people struggle to shape in their own image. Only in such forms do they have faith in them; only in such forms can they participate comfortably in them.
Leaders of successful schools develop moral order that bind the people around them together. When establishing culture, principals must be able to infuse various ideas, beliefs, values, theories and decision making into their school. Collaborative discourse is a powerful tool that can be used to facilitate the process of developing school culture and climate.
Leaders, who look to build their school communities, must recognize that educators, who work together, achieve a collective purpose resulting from their collegiality, which is critical in establishing a successful school. However, for meaningful collaboration to occur, capacity building must take place. Capacity building has frequently appeared in educational literature across the United States.
Ann Lieberman (1997) coined this term which means, organizing schools for improvement by allowing teachers to work in teams and with instructional leaders to channel staff efforts towards a clear, commonly shared purpose for student learning. When channeled correctly, these habits and conditions allow staff members to work and contribute to a professional community.
Such communities are places where teachers, specialist and building administrators engage in decision making, have a shared sense of purpose and work to support an infrastructure that involves alignment of instructions goals. Newmann and Wehlage in their 1995 work, Successful School Restructuring, firmly link student achievement to the effective work habits of adults stating that the most successful school were those that used restructuring to help them as professional communities.
Teachers and leaders collaborate and help one another achieve the purpose of student learning. Teachers and instructional supervisors in these schools help one another take responsibility for academic success. These schools which maintain a strong professional community are better able to offer authentic pedagogy and are more effective in promoting student achievement.
School leaders who give their attention to establishing their school culture by addressing the question, what is this school about, begin with a period of organization as the school initiates new collaborative processes that relates to norms, teams, vision, use of data, shared expectations, and ways of working together.
Standar Pengelolaan Pendidikan.
Sebagaimana juga telah ditetapkan dalam UUSPN Nomor 20 Tahun 2003 dan PP Nomor 19 Tahun 2005, dan lebih dijabarkan dalam Permendiknas Nomor 19 Tahun 2007 bahwa “setiap satuan pendidikan wajib memenuhi standar pengelolaan pendidikan yang berlaku secara nasional”, beberapa aspek standar pengelolaan sekolah yang harus dipenuhi adalah meliputi:
(1) perencanaan program,
(2) pelaksanaan rencana kerja,
(3) pengawasan dan evaluasi,
(4) kepemimpinan sekolah/madrasah, dan
(5) sistem informasi manajemen.
Standar perencanaan program sekolah meliputi: rumusan visi sekolah, misi sekolah, tujuan sekolah, rencana kerja sekolah. Standar pelaksanaan rencana kerja sekolah, maka harus terpenuhi dan terealisasi beberapa aspek dalam penyelenggaraan pendidikan yaitu: kepemilikan pedoman-pedoman sekolah yang mengatur berbagai aspek pengelolaan secara tertulis, struktur organisaisi sekolah, pelaksanaan kegiatan, bidang kesiswaan, bidang kurikulum dan kegiatan pembelajaran, bidang pendidik dan tenaga kependidikan, bidang sarana dan prasarana, bidang keuangan dan pembiayaan, budaya danyang berlaku secara nasional lingkungan sekolah, dan peran serta masyarakat dan kemitraan.
Standar pengawasan dan evaluasi yang harus juga dipenuhi dan dilaksanakan sekolah adalah: aspek-aspek program pengawasan, evaluasi diri, evaluasi dan pengembangan, evaluasi pendayagunaan pendidik dan tenaga kependidikan, dan akreditasi sekolah. Kepemimpinan sekolah yang diharapkan dapat dipenuhi oleh sekolah antara lain: adanya kepala sekolah yang memenuhi persyaratan, minimal satu wakil kepala sekolah yang dipilih secara demokratis, kepala sekolah memiliki kemampuan memimpin (pengetahuan, keterampilan, dan perilaku) sekolah, dan terdapat pendelegasian sebagian tugas dan kewenangan kepada wakilnya.
Sedangkan sistem informasi manajemen (SIM) merupakan suaru sistem yang mengaplikasikan berbagai bidang pendidikan berbasiskan komputer/internet. Hal ini diharapkan dapat dipenuhi oleh sekolah untuk mengelola dan hiendukung berbagai administrasi sekolah, memberikan fasilitas yang efisien, dan sebagai bentuk layanan informasi dan komunikasi kepada para pemangku kepentingan.
MEMBANGUN BUDAYA SEKOLAH
Oleh Suparlan *)
Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa semua hak itu berasal dari kewajiban yang telah dilaksanakan dengan baik
(Mahatma Gandhi)
Pertama, kita bentuk kebiasaan-kebiasaan kita. Setelah itu, kebiasaan-kebiasaan tersebutlah yang akan membentuk kita
(John C. Maxwell)
Kurang lebih satu jam sebelum menulis artikel ini, penulis sangat prihatin karena telah membaca e-mail tentang kesadisan seorang guru di Jombang yang telah menampar muridnya. Sebelumnya ada berita tentang seorang guru SMK yang telah menampar sekian orang siswanya. Bahkan jauh sebelumnya kita tentu mendengar berita di sebuah institutut pemerintahan dalam negeri (IPDN) -- yang mencetak birokrat pemerintahan -- telah berlangsung lama adanya bentuk-bentuk kekerasan para senior terhadap yuniornya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, budaya sekolah (school culture) yang seperti apakah sebenarnya yang ada di lembaga-lembaga pendidikan tersebut? Apakah lembaga pendidikan itu adalah lembaga pendidikan yang angker, seperti tempat yang menakutkan, atau lembaga pendidikan yang amburadul, seperti pasar yang kumuh, yang semua orang bebas keluar masuk, atau lembaga pendidikan yang terbuka, tertib, bersih, dan sehat.
Seperti apa lembaga pendidikan yang akan kita bangun, amat tergantung pada banyak faktor, mulai kondisi SDM-nya seperti kepala sekolah sampai dengan tenaga pendidik dan tenaga administrasinya sampai dengan peserta didiknya. Budaya sekolah juga amat dipengaruhi oleh sistem manajemen dan organisasinya, serta fasilitas sekolah yang mendudungnya. Suatu lembaga pendidikan berasrama milik militer atau kepolisian akan terlihat mulai dari adanya sistem penjagaan yang ketat. Begitu masuk pintu gerbang lembaga itu suasana itu sudah mulai terasa. Dua penjaga bersenjata lengkap berdiri di depan pos jaga yang siap akan menanyakan kepada semua tamu yang datang. Penjaga itu bisa saja siswa piket atau petugas outsourcing yang ditugasi untuk itu. Itulah budaya kasat mata yang dapat segera kita lihat.
Ada sebuah sekolah dasar yang lokasinya berada di kompleks perumahan. Para orangtua siswa atau para pengantarnya bergerombol di depan pintu gerbang sekolah. Bahkan para pedagang kecil membuka dagangannya di depan gedung sekolah. Suasananya bak pasar tumpah yang ramai. Para siswa mondar-mandir keluar-masuk sekolah. Kadangkala bersama dengan bapak ibu guru yang buru-buru masuk sekolah karena bel telah berbunyi keras sekali. Dan para siswa pun kemudian bersorak lari ke ruangan kelasnya masing-masing.
Masih banyak lagi bentuk-bentuk budaya sekolah yang mencerminkan wajah lembaga pendidikan sekolah itu. Tulisan singkat ini akan menggambarkan beberapa budaya sekolah dan karakteristiknya.
Apakah budaya sekolah itu?
Peterson (1999) menjelaskan “school culture is the behind-the-scenes context that reflects the values, beliefs, norms, traditions, and rituals that build up over time as people in a school work together” Lebih dari itu, Peterson juga menambahkan bahwa budaya sekolah “influences not only the actions of the school population, but also its motivations and spirit”. Budaya sekolah adalah konteks di belakang layar sekolah yang menunjukkan nilai-nilai, norma-norma, tradisi-tradisi, rutual-ritual, yang telah dibangun dalam waktu yang lama oleh semua warga dalam kerja sama di sekolah. Budaya sekolah berpengaruh tidak hanya kepada kegiatan warga sekolah, tetapi juga motivasi dan semangatnya. Dalam konsep sekolah efektif (effective school), budaya sekolah sering disebut sebagai suasana sekolah (school climate), dimaknai sebagai bagaimana warga sekolah berfikir dan bertindak.
Apakah Budaya Sekolah Berpengaruh Terhadap Pendidik dan Keberhasilan Siswa?
Sudah barang tentu, budaya sekolah dapat berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan di dalam sekolah, termasuk kepada pendidik dan peserta dididk. Budaya sekolah berpengaruh terhadap bagaimana pendidik berhubungan dan bekerja sama dengan semua warga sekolah, dengan sesama pendidik, peserta didik, orangtua peserta didik, pegawai tata usaha sekolah, dan juga kepada masyarakat. Nilai-nilai sosial budaya sangat berpengaruh terhadap bagaimana sekolah menghadapi masalah sekolah, dan sekaligus memecahkan masalahnya, termasuk masalah hasil belajar peserta didik.
Nilai-nilai sosial budaya sekolah tentu saja dapat dibangun, diubah sesuai dengan budaya baru yang tumbuh dalam masyarakat. Ketika masyarakat masih memiliki paradigma lama dengan menyerahkan sepenuhnya urusan pendidikan anaknya kepada sekolah, maka lahirlah satu bentuk hubungan sekolah dengan orangtua siswa dan masyarakat yang sangat birokratis. Orangtua dan masyarakat berada di bawah perintah kepala sekolah.
Tiga Model Budaya Sekolah dan Karakteristiknya
Dalam praktik di lapangan, ada tiga model budaya sekolah, yang satu dengan yang lain dapat dibedakan, tetapi kadang-kadang juga sering saling tumpang tindih. (Spahier & King, 1984 [as cited in Butler & Dickson, 1987])
Pertama, budaya sekolah birokratis (bureaucratic school culture). Model budaya sekolah ini antara lain ditunjukkan adanya budaya yang menekankan adanya petunjuk dari atasan. Kebijakan sekolah mengikuti arahan dari atasan, dan oleh karena itu para guru lebih banyak mengikuti arahan tersebut. Pendidik juga kurang dapat berinteraksi dengan orangtua siswa dan masyarakat, karena semua harus mengikuti peraturan dan ketentuan dari atasan.
Kedua, budaya sekolah racun (toxic school culture). Dalam model ini, peserta diddik dipandang sebagai masalah ketimbang sebagai pihak yang harus dilayani. Bentuk-bentuk kekerasan guru terhadap siswa yang sering kita dengar akhir-akhir ini merupakan hasil dari budaya sekolah yang seperti ini. Sama dengan pada model budaya sekolah yang birokratis, budaya sekolah racun ini juga malah jarang memberikan kesempatan kepada pendidik untuk memberikan masukan terhadap upaya pemecahan masalah yang terjadi di sekolah.
Ketiga, budaya sekolah kolegial (collegial school culture). Berbeda dengan kedua budaya sekolah sebelumnya, sekolah sangat memberikan apresiasi dan rekognisi terhadap peran dan dukungan dari semua pihak. Kejujuran dan komunikasi antarwarga sekolah dapat berlangsung secara efektif. Itulah sebabnya keterlibatan semua warga sekolah sangat dihargai dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan sekolah. Pendek kata, semua penyelenggaraan sekolah direncanakan, dilaksanakan secara demokratis, dalam suasana penuh kolegial.
Budaya sekolah apa saja yang harus dibangun?
Banyak sekali nilai-nilai sosial budaya yang harus dibangun di sekolah. Sekolah adalah ibarat taman yang subur tempat menanam benih-benih nilai-nilai sosial budaya tersebut. Ingin menanam benih-benih kejujuran dalam masyarakat? Tanamlah di sekolah. Demikian seterusnya dengan benih-benih nilai-nilai sosial budaya lainnya. Dalam tulisan singkat ini hanya diberikan beberapa contoh nilai-nilai sosial budaya yang harus ditanam di ladang bernama sekolah.
1. Pertama, kebiasaan menggosok gigi. Kebiasaan ini sangat Islami. Nabi Muhammad SAW selalu melakukan “siwak” dalam kehidupan sehari-harinya. Ada nilai religius dan medis yang dapat dipetik dari kebiasaan ini. Ucapan yang baik akan berasal dari mulut yang bersih. Secara medis, gigi dan mulut yang bersih akan berdampak terhadap kesehatan otak kita. Hasilnya sama dengan tinjauan dari sudut pandang religius.
2. Kedua, etika. Etika atau akhlakul karimah adalah tata aturan untuk bisa hidup bersama dengan orang lain. Kita hidup tidak sendirian, dilahirkan oleh dan dari orang lain yang bernama ibu dan ayah kita, dan kemudian hidup bersama dengan orang lain. Oleh karena itu, kita harus hidup beretika, menghormati diri sendiri dan orang lain.
3. Ketiga, kejujuran. Semua warga sekolah harus dilatih berbuat jujur, mulai jujur kepada dirinya sendiri, jujur kepada Tuhan, jujur kepada orang lain. Kejujuran itu harus dibangun di sekolah. Bukan sebaliknya. Dari tinjauan inilah barangkali KPK telah membuat program kantin kejujuran di ribuan sekolah di negeri ini. Konon, materi materi matapelajaran matematika modern seharusnya menghasilkan manusia yang jujur di negeri ini. Apalagi dengan materi pelajaran Pendidikan Agama. Tetapi nyatanya tidak demikian. Malah telah menghasilkan banyak koruptor. Materi tentang penjumlahan, pengurangan, dan perkalian ternyata jauh lebih sulit dibandingkan dengan materi tentang pembagian. Hasilnya, membagi kasih sayang, membagi pemerataan, dan membagi kebahagiaan ternyata jarang dilakukan ketimbang mengumpulkan hasil korupsi, mengalikan bunga bank untuk kekayaan pribadi. Oleh karena itu, maka budaya kejujuran harus dapat dibangun di sekolah.
4. Keempat, kasih sayang. Penulis pernah mengutip pandangan guru besar IKIP Surabaya, yang menyatakan bahwa ada tiga landasan pendidikan yang harus dibangun, yaitu (1) kasih sayang, (2) kepercayaan, dan (3) kewibawaan. Menurut beliau, kasing sayang telah melahirkan kepercayaan. Kepercayaan menghasilkan kepercayaan, dan kepercayaan akan menghasilkan kewibawaan.
5. Kelima, mencintai belajar. Mana yang lebih penting? Apakah menguasai pelajaran atau mencintai belajar? Learning how to learn, ternyata akan jauh lebih penting ketimbang bersusah payah menghafalkan bahan ajar yang selalu akan terus bertambah itu. Dari sini lahirlah pendapat bahwa belajar konsep jauh lebih penting daripada menghafalkan fakta dan data.
6. Keenam, bertanggung jawab. Sering kali kita menuntut hak ketimbang tanggung jawab. Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa semua hak itu berasal dari kewajiban yang telah dilaksanakan dengan baik. Itulah sebabnya maka kita harus memupuk rasa tanggung jawab ini sejak dini ini di lembaga pendidikan sekolah, bahkan dari keluarga.
7. Ketujuh, menghormati hukum dan peraturan. Sering kita menghormati hukum dan peraturan karena takut kepada para penegak hukum. Kita mematuhi hukum dan perundang-undangan karena takut terhadap ancaman hukuman. Seharusnya, kita mengormati hukum dan peraturan atas dasar kesadaran bahwa hukup dan peraturan itu adalah kita buat untuk kebaikan hidup kita.
8. Kedepalapan, menghormati hak orang lain. Kita masih sering membeda-bedakan orang lain karena berbagai kepentingan. Kita tidak menghargai bahwa sebagian dari apa yang kita peroleh adalah hak orang lain. Kita masih lebih sering mementingkan diri sendiri ketimbang memberikan penghargaan kepada orang lain. Penghargaan kepada orang lain tidak boleh melihat perbedaan status sosial, ekonomi, agama, dan budaya.
9. Kesembilan, mencintai pekerjaan. Ingin berbahagia selamanya, maka bekerjalah dengan senang hati. Ini adalah kata-kata mutiara yang selalu melekat di hati. Pekerjaan adalah bagian penting dari kehidupan ini. Siapa yang tidak bekerja adalah tidak hidup. Oleh karena itu, peserta didik harus diberikan kesadaran tentang pentingnya menghargai pekerjaan.
10. Kesepuluh, suka menabung. Memang kita sering memperoleh hasil pas-pasan dari hasil pekerjaan kita. Tetapi, yang lebih sering, kita mengikuti pola hidup ”lebih besar tiang daripada pasak”. Tidak mempunyai penghasilan cukup tetapi tetap melakukan pola hidup konsumtif. Penghasilan pas-pasan, tetapi tetap menghabiskan uangnya untuk tujuan yang mubazir, seperti merokok. Kita masih jarang memiliki semangat menabung untuk masa depan.
11. Kesebelas, suka bekerja keras. Ngobrol dan duduk-duduk santai adalah kebiasaan lama di pedesaan kita. Pagi-pagi masih berkerudung sarung. Padahal, setelah shalat Subuh, kita diharuskan bertebaran di muka bumi untuk bekerja. Untuk ini, suka bekerja harus menjadi bagian dari pendidikan anak-anak kita di sekolah dan di rumah.
12. Keduabelas, tepat waktu. Waktu adalah pedang, adalah warisan petuah para sahabat Nabi. Time is money adalah warisan para penjelajah ”rules of the waves” bangsa pemberani orang Inggris. Sebaliknya, jam karet adalah istilah sehari-hari bangsa sendiri yang sampai saat ini kita warisi. Mengapa warisan ini tidak dapat segera kita ganti? Maka tanamlah benih-benih menghargai waktu di ladang sekolah kita.
Sudah barang tentu masih banyak lagi nilai-nilai sosial budaya yang harus kita tanam melalui ladang lembaga pendidikan sekolah. Nilai-nilai sosial budaya tersebut harus dapat kita tanam dan terus kita pupuk melalui proses pendidikan dan pembudayaan di rumah, sekolah, dan dalam kehidupan masyarakat kita. Amin.
References:
Covey, S. (1990). Principle-centered leadership. New York: Simon & Schuster, Inc.
Goldhammer, R. (1980). Clinical supervision: Special methods for the supervision of teachers.New York:
Holt.
Greenfield, Thomas B (1984). Leaders and schools: Willfulness and non-natural order, in Thomas Sergiovanni and John E. Corbally (Eds.), Leadership and Organizational Cultur. Urbana-Champaign: University of Illinois Press.
Hoy, W., & Forsyth, P. (1986). Effective supervision: theory into practice. New York: McGraw-Hill Company.
Karp, S. (2005). The trouble with takeover. Educational Leadership, 62, (5), 28-32.
Lashway, L. (2003, July). Role of the school leader. Retrieved Feb 12, 2004, from http://eric.uoregon.edu/trends_issues/rolelead/index.html#providing
Lambert, L. (1998). Building leadership capacity in schools. Alexandria, VA: ASCD.
McEwan, E. (2003). 7 steps to effective instructional leadership. 2nd ed. Thousand Oaks, CA: Corin Press.
McQuarrie, F., Wood, F. (1991, August). Designs on the job learning. Retrieved Feb 12, 2005, from http://www.nsdc.org/library/publications/jsd/wood203.pdf
Newmann, F., Wehlage T. (1996). Authentic achievement: Restructuring schools for intellectual quality. San Francisco, CA:
Jossey-Bass. Patterson, W. (2003). Breaking out of our boxes. Phi Delta Kappan, 84, (8), 569-577.
Sergiovanni, T. (2001). The Principalship: A reflective practice. 5th ed. San Antonio, TX: Trinity Press.
http://www.idonbiu.com/2009/07/standar-pengelolaan-pendidikan.html
Ucapan Terima Kasih:
Kepada Orang Tua Tersayang, Guru-guru, teman dan sahabat yang sama-sama ku kasihi, serta semua pihak yang tidak mungkin saya sebutkan satu-persatu, atas bantuannya baik moril maupun materil. Semoga Kebaikannya diblas dengan yang lebih baik oleh Sang Pencipta, Amin!,
Special Kepada Teh Evi K.Y. atas Foto-foto SMAN 1 nya.
Semoga Bermanfaat, Bersemangat dan Terima Kasih.
Jumat, 19 September 2008
Mengenal dan Mengolah Bahan Makanan
Kita tentu tahu bahwa banyak makanan yang dijual kurang memenuhi komponen gizi yang seimbang, terutama unsur serat. Selain itu, penambahan zat perasa dan pewarna makanan yang kadang berlebihan pada jajanan diluar sesusungguhnya tidak baik untuk kesehatan mereka.
Kini telah hadir buku berjudul Mengenal dan Mengolah Bahan Makanan yang mencoba memperkenalkan bahan-bahan makanan dan cara mengolahnya, ditujukan khusus buat anak-anak dan remaja usia 8 - 15 tahun. Buku ini diterbitkan oleh Chilpress - Imprint Salamadani Publishing Bandung.
Dukungan desain dan ilustrasi gambar juga foto dalam buku ini diharapkan bisa menggugah minat anak-anak untuk mulai mempelajari kegiatan mengolah makanan sejak dini sehingga mereka menjadi mandiri.
Selain berisi beberapa resep masakan, buku ini juga mengajak anak-anak untuk mengenal aneka bumbu masak, cara mencuci, mengupas, dan memotong sayuran; cara memotong dan mencuci daging serta ikan; cara membuat bumbu siap pakai, dan mengenal aneka sambal serta cara membuatnya.
Mau menghadiahkannya buat anak-anak, adik, atau keponakan Anda? Silakan kunjungi toko buku kesayangan Anda dan carilah cover buku yang saya tampilkan di sini.
Selamat membaca!
Kamis, 18 September 2008
antara Barrack Obama & Cut Nyak Dien
Cut Nyak Dien (1850-1908)
Perempuan Aceh Berhati Baja
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1850, ini sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.
Ketika Lampadang, tanah kelahirannya, diduduki Belanda pada bulan Desember 1875, Cut Nyak Dien terpaksa mengungsi dan berpisah dengan ayah serta suaminya yang masih melanjutkan perjuangan. Perpisahan dengan sang suami, Teuku Ibrahim Lamnga, yang dianggap sementara itu ternyata menjadi perpisahan untuk selamanya. Cut Nyak Dien yang menikah ketika masih berusia muda, begitu cepat sudah ditinggal mati sang suami yang gugur dalam pertempuran dengan pasukan Belanda di Gle Tarum bulan Juni 1878.
Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia 28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda. Teuku Umar telah dinobatkan oleh negara sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.
Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun.
Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekalipun tidak pernah berhasil.
Tapi seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit orang tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan.
Melihat keadaan yang demikian, anak buah Cut Nyak Dien merasa kasihan kepadanya walaupun sebenarnya semangatnya masih tetap menggelora. Atas dasar kasihan itu, seorang panglima perang dan kepercayaannya yang bernama Pang Laot, tanpa sepengetahuannya berinisiatif menghubungi pihak Belanda, dengan maksud agar Cut Nyak Dien bisa menjalani hari tua dengan sedikit tenteram walaupun dalam pengawasan Belanda. Dan pasukan Belanda pun menangkapnya.
Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya. Dia lalu ditawan dan dibawa ke Banda Aceh.
Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga dia pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat. Di tempat pembuangan itulah akhirnya dia meninggal dunia pada tanggal 6 Nopember 1908, dan dimakamkan di sana.
Perjuangan dan pengorbanan yang tidak mengenal lelah didorong karena kecintaan pada bangsanya menjadi contoh dan teladan bagi generasi berikutnya. Atas perjuangan dan pengorbanannya yang begitu besar kepada negara, Cut Nyak Dien dinobatkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Penobatan tersebut dikuatkan dengan SK Presiden RI No.106 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964. ► juka-atur
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
Barack Hussein Obama II (pronounced /bəˈrɑːk hʊˈseɪn oʊˈbɑːmə/; born August 4, 1961) is the President-elect of the United States and the first African American to be elected President of the United States. Obama was the junior United States Senator from Illinois from 2005 until he resigned on November 16, 2008, following his election to the Presidency. His term of office as the 44th U.S. president begins January 20, 2009.
He is a graduate of Columbia University and Harvard Law School, where he was president of the Harvard Law Review. Obama worked as a community organizer and practiced as a civil rights attorney before serving three terms in the Illinois Senate from 1997 to 2004. He also taught constitutional law at the University of Chicago Law School from 1992 to 2004. Following an unsuccessful bid for a seat in the U.S. House of Representatives in 2000, he announced his campaign for the U.S. Senate in January 2003, won a primary victory in March 2004, and was elected to the Senate in November 2004. Obama delivered the keynote address at the Democratic National Convention in July 2004.
As a member of the Democratic minority in the 109th Congress, he helped create legislation to control conventional weapons and to promote greater public accountability in the use of federal funds. He also made official trips to Eastern Europe, the Middle East, and Africa. During the 110th Congress, he helped create legislation regarding lobbying and electoral fraud, climate change, nuclear terrorism, and care for U.S. military personnel returning from combat assignments in Iraq and Afghanistan.
Contents
- 1 Early life and career
- 2 State legislator, 1997–2004
- 3 2004 U.S. Senate campaign
- 4 U.S. Senator, 2005–2008
- 5 2008 presidential campaign
- 6 Political positions
- 7 Family and personal life
- 8 Cultural and political image
- 9 Notes
- 10 References
- 11 Further reading
- 12 External links
Siapa ngga kenal Cut Nyak Dien? Kalo sampe ada yang ngacung, perlu saya pertanyakan dulu lulus eSDe-nya nyogok apa ngga. Ya betul… siapa yang ngga kenal Cut Nyak Dien, yang merupakan salah satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.
Sejarah mengenai perjuangan beliau banyak tercatat. Di buku-buku sejarah, di blog-blog banyak orang, di berbagai web.. tinggal masukan kata kunci, dan viola… catatan mengenai beliau bisa sampeyan baca di sana. Mulai dari sejak beliau lahir, bagaimana kehidupan beliau, bagaimana perjuangan beliau, sampai akhirnya beliau wafat. Banyak catatan yang begitu indah.
dan membaca catatan-catatan tersebut, saya makin mengagumi sosok beliau. Seperti yang ditulis Zen disini;
“Seperti Srikandi, di jelujur riwayat Tjut Njak Dien, kita saksikan bagaimana feminitas dan maskulinitas seperti melebur. Kesetiaan feminin dan kekerashatian maskulin berpadu-padan dengan sedemikian rupa sehingga Tjut Njak Dien hadir dalam ruang imajinasi bangsa Indonesia dengan begitu impresifnya. Sejarah kita mencatat banyak sosok perempuan hebat. Tetapi dalam hal tersebut, keunikan Tjut Njak Dien bisa dibilang tak ada padanannya dalam sejarah perlawanan rakyat Nusantara terhadap penjajahan Belanda.”
Hari ini adalah 100 tahun wafatnya beliau. Saya tidak tahu apakah banyak diantara sampeyan yang mengenangnya atau tidak. Tapi saya salah satunya yang ikut mengenang. Mengenang betapa teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak ditangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Seperti yang saya saksikan dalam film buatan Om Eros Djarot beberapa tahun yang lalu itu.
Saya bukan orang Aceh, baru satu kali seumur hidup saya berkunjung ke sana, pun belum pernah mengunjungi makan beliau di Sumedang sana. Tapi cerita mengenai beliau begitu lekat di benak saya, sejak saya mengenal sosok beliau waktu eSDe sampai sekarang.
lalu apa hubungannya dengan Barrack Obama?
Ngga tau. Saya bikin judul seperti itu karena sebagian warga Indonesia saat ini masih euforia dalam kemenangan Barrack Obama dalam pemilu As yang baru lewat itu. Euforia yang *maaf* tidak pernah saya saksikan dalam pemilu-pemilu yang terjadi disini. Mau itu pemilu pemilihan ketua erte sampe pemilu pemilihan presiden. Yang saya saksikan disini hanya lah gontok-gontokan, tawuran antar para pendukung, tidak mengakui kekalahan, dan merasa dicurangi sehingga mengajukan diri lagi dalam pemilu berikutnya. *sigh* Yah mudah-mudahan yang pada bergembira karena kemenangan Obama itu tidak lupa akan keberadaan Cut Nyak Dien disini.
Bukan, saya ngga sinis dengan euforia orang-orang itu. Saya justru mendapat pencerahan dari pemilu AS itu. Lihat saja, semua berlangsung cepat. Ngga pake tawuran, ngga pake nunggu sidang pleno KPU. Karena McCain secara legowo sudah mengakui kekalahannya, dan saya berharap ada pemimpin di sini yang mempunyai sikap begitu juga dalam setiap pemilu. Terpilihnya Obama sebagai orang kulit hitam pertama yang menduduki jabatan nomor satu di AS yang terkenal rasis itu, tidak saja membuat semua anak di seluruh permukaan bumi ini sekarang punya setiap alasan untuk percaya bahwa mereka bisa menjadi apapun yang mereka inginkan bahkan menjadi Presiden, tapi juga membuat saya percaya bahwa perubahan untuk menjadi lebih baik itu ada dan bukan hanya sekedar wacana atau cita-cita.
Ya.. seperti perjuangan Cut Nyak Dien untuk Aceh.
Sumber:
1. http://simplychi.wordpress.com/2008/11/06/antara-barrack-obama-cut-nyak-dien/#more-368
2.http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/c/cut-nyak-dien/index.shtml
3. Wikipedia