Assalamu'alaikum wr. wb.
Saya seorang pendatang baru di lingkungan Pendidikan Sains khususnya kajian Fisika Sekolah Lanjutan (Fisika SL). APa itu Pendidika Sains (IPA) kajian Pendidikan Fisika SL? Ini adalah salah satu program studi di lingkungan SPs UPI Bandung yang sekarang lagi digandrungi oleh para pendidik generasi muda maupun pendidik generasi senior di lingkungan sekolah, LPMP, kampus (Universitas berbasis LPTK), dll. Tetapi bukan itu yang saya maksud, Pendidikan Sains Fisika SL ini akan saya jadikan wadah sebagai pengutaraan "unek-unek" pikiran saya secara murni maupun pendapat para ahli yang menggunakan kaidah tata tulis karya ilmiah secara benar. Saya dapat menjadikan Pendidikan Sains khususnya Pendidikan Fisika sebagai tempat curhat kegalauan isi hati dan pikiran saya mengenai kajian pendidikan IPA (Sains) khususnya Pendidikan Fisika. Saya akan memperkenalkan diri:
Nama : Achmad Samsudin, M.Pd.
Pendidikan S1 : Pendidikann Fisika FMIPA Unnes Semarang
Pendidikan S2 : Pendidikan IPA (Pendidikan Fisika SL) SPs UPI Bandung
Saya kira cukup sekian dulu perkenalannya. saya akan mencoba secara berkala menulis mengenai apa saja yang berkaitan dengan Pendidikan Sains (Pendidikan Fisika SL). Saya mengucapkan terima kasih atas perhatiannya. Semoga hasil artikel atau berita yang diposting dapat bermanfaat bagi pembaca semua. Tak ada gading yang tak retak, karya saya masih banyak kelemahannya. Diharapkan kritik dan saran yang membangun agar dapat memperbaiki blog dan isi artikelnya menjadi lebih baik. Terima kasih... Salam Syam.
Wassalamu'alaikum wr. wb.
Senin, 31 Desember 2007
Minggu, 30 Desember 2007
Ketika Teknologi Menjadi "Guru"
Sudah hampir seminggu lebih VCD edutalk Bahasa Jepang diputar berulang-ulang. Aksen native speaker yang unik membuat anak-anak, terutama si sulung Azkia (5 tahun), tertarik untuk menyimaknya. Kadang-kadang mereka tertawa terbahak-bahak saat mengulang ucapan sang native speaker yang dianggap sangat lucu. Ya, mereka kini belajar tanpa guru secara fisik. Mereka belajar dengan bantuan teknologi.
Saya sering tercengang dengan kemampuan dan juga kemauan anak-anak jaman sekarang. Saat minat belajar itu tumbuh, mereka mau belajar hal-hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan saat saya seusia mereka. Input dan teruslah beri anak-anak input, tanpa kita sadari, mereka melejit menjadi anak-anak yang banyak tahu dan terus penasaran dengan ilmu-ilmu baru.
Sekarang, malah si sulung Azkia sering mengetes mamanya, "Mama tahu nggak apa hachimitsu? aishukurimo?....." dan lain-lain. Sayang, mamanya tak serajin mereka. Jadi, kosa kata Jepangnya kalah deh!
Sengaja saya kenalkan anak-anak pada beragam bahasa asing, walau awalnya mungkin hanya sekedar kosa kata. Beberapa sumber mengatakan, bahwa batas penguasaan aksen sebuah bahasa dibentuk pada 7 tahun pertama. Di atas usia tujuh tahun, penguasaan bahasa apapun yang dikenal anak-anak tidak sebaik ketika mereka mengenalnya sebelum usia 7 tahun. Percaya atau tidak, tak ada salahnya juga untuk dicoba. Toh, hal itu tidak merugikan kita dan anak-anak, selama mereka juga suka mempelajarinya.
Setidaknya dalam pengamatan saya terhadap si sulung yang minatnya kuat terhadap bahasa, tampak ia begitu pe de membaca dan mengucapkan ulang kata-kata Inggris yang berasal dari dialog film ataupun buku cerita. Yang jelas ia lebih fasih daripada saya, yang hampir 8 tahun mendapat pelajaran bahasa Inggris di sekolah.
Terima kasih buat teman saya yang sudah memberi info tentang Japanese VCD. Makasih juga buat para pencipta teknologi. Dalam banyak hal, teknologi sangat membantu anak-anak saya belajar dengan mandiri.
Saya sering tercengang dengan kemampuan dan juga kemauan anak-anak jaman sekarang. Saat minat belajar itu tumbuh, mereka mau belajar hal-hal yang mungkin tidak pernah terpikirkan saat saya seusia mereka. Input dan teruslah beri anak-anak input, tanpa kita sadari, mereka melejit menjadi anak-anak yang banyak tahu dan terus penasaran dengan ilmu-ilmu baru.
Sekarang, malah si sulung Azkia sering mengetes mamanya, "Mama tahu nggak apa hachimitsu? aishukurimo?....." dan lain-lain. Sayang, mamanya tak serajin mereka. Jadi, kosa kata Jepangnya kalah deh!
Sengaja saya kenalkan anak-anak pada beragam bahasa asing, walau awalnya mungkin hanya sekedar kosa kata. Beberapa sumber mengatakan, bahwa batas penguasaan aksen sebuah bahasa dibentuk pada 7 tahun pertama. Di atas usia tujuh tahun, penguasaan bahasa apapun yang dikenal anak-anak tidak sebaik ketika mereka mengenalnya sebelum usia 7 tahun. Percaya atau tidak, tak ada salahnya juga untuk dicoba. Toh, hal itu tidak merugikan kita dan anak-anak, selama mereka juga suka mempelajarinya.
Setidaknya dalam pengamatan saya terhadap si sulung yang minatnya kuat terhadap bahasa, tampak ia begitu pe de membaca dan mengucapkan ulang kata-kata Inggris yang berasal dari dialog film ataupun buku cerita. Yang jelas ia lebih fasih daripada saya, yang hampir 8 tahun mendapat pelajaran bahasa Inggris di sekolah.
Terima kasih buat teman saya yang sudah memberi info tentang Japanese VCD. Makasih juga buat para pencipta teknologi. Dalam banyak hal, teknologi sangat membantu anak-anak saya belajar dengan mandiri.
Minggu, 23 Desember 2007
Siluet 'Sang Pemimpi'
Hari Minggu, 23 Desember ini kami sudah ditinggal bertiga sejak pagi. Suami saya pergi ke acara penting yang sudah lama diagendakan. Jika keluarga lain menjadikan hari Minggu sebagai liburan bersama, kami sedikit berbeda. Jadwal kami bukan ditentukan oleh hari-hari kerja umum, tapi oleh agenda-agenda yang kami buat sendiri. Bisa jadi justru di hari Senin kami bisa bersama-sama, tapi di hari Sabtu dan Minggu kami malah bekerja. Ya, begitulah kiranya khas para pekerja mandiri. Semua menjadi lebih fleksibel.
Uniknya di minggu ini, anak-anak terasa lebih kooperatif. Papanya pergi mereka santai, cium tangan dan ucapan selamat jalan begitu lancar. Si kecil Luqman yang biasanya melarang papanya pergi, kali ini terlihat rela. Dia langsung melesat, berlari menuju rumah temannya yang hanya terpisah satu rumah dari rumah kami.
Saya menghentikan sementara pekerjaan yang belum kelar. Hari ini saya meniatkan diri untuk membaca. Buku kedua Andrea Hirata yang saya beli hari Jumat (21/12) "Sang Pemimpi", menyisakan tiga per empat bagian untuk dituntaskan. Dan... seperti halnya Laskar Pelangi, saya menemukan di sana kalimat-kalimat 'sakti' yang menggugah kesadaran. Persahabatan dan saling berbagi membuat saya iri. Keberanian untuk bermimpi yang disuguhkan Andrea membuat saya berusaha menata kembali jalan pikiran yang selama ini tak terarah. Pelajaran berharga: Jangan remehkan siapapun, jangan segan untuk membantu siapapun, jangan takut untuk bermimpi.
Pelajaran-pelajaran itu mengalir mengisi pikiran saya yang sejenak berhenti membaca karena harus mencuci piring dan menyiapkan makan siang untuk anak-anak. Ajaibnya, saya tiba-tiba disuguhi pemandangan yang tak biasa. Azkia menawarkan diri untuk membantu saya merapikan piring-piring bersih di rak.
"Mama, Kakak bantu merapikan piring-piring yang ringan, ya..." ujarnya.
Saya mengangguk saja. Tapi tak lama kemudian anak lelaki saya Luqman juga datang ke dapur. Bukan hanya piring plastik yang dirapikan, tapi juga gelas dan piring kaca diambilnya. Sesekali ia melirik saya yang masih mencuci sisa perabotan yang kotor, seolah meminta ijin untuk membantu. Lewat sudut mata saya menangkap kilatan pisau di tangannya. Ingin mencegah, tapi saya coba biarkan. Untuk merapikan pisau dan sendok yang tempatnya jauh di atas, anak kecil itu memanjat ember besar yang memang terletak di sebelah rak. Kakaknya mengambil sendok-sendok dari bawah, si adik meletakkannya di tempat sendok. Nah, rapilah sudah! Mereka berdua bekerja dengan sempurna. Surprise di hari yang agak mendung ini. Sayang baterai kamera sedang low, jadi saya tak sempat mengabadikan momentum indah itu.
Namun sebagai hadiah, saya berjanji mengajak mereka membuat mainan setelah makan siang. Indah sekali! Spirit of "Sang Pemimpi" yang memengaruhi pikiran dan jiwa saya ternyata menyebar ke sekeliling saya. Waktunya berubah menjadi lebih baik, waktunya berubah menjadi lebih optimistik, waktunya berbagi apapun dengan sahabat dan orang-orang yang kita sayangi. Itulah model kehidupan yang ditawarkan 'Sang Pemimpi'. Dan sepertinya, itu pula hidup yang saya impikan. Selalu semangat!
Uniknya di minggu ini, anak-anak terasa lebih kooperatif. Papanya pergi mereka santai, cium tangan dan ucapan selamat jalan begitu lancar. Si kecil Luqman yang biasanya melarang papanya pergi, kali ini terlihat rela. Dia langsung melesat, berlari menuju rumah temannya yang hanya terpisah satu rumah dari rumah kami.
Saya menghentikan sementara pekerjaan yang belum kelar. Hari ini saya meniatkan diri untuk membaca. Buku kedua Andrea Hirata yang saya beli hari Jumat (21/12) "Sang Pemimpi", menyisakan tiga per empat bagian untuk dituntaskan. Dan... seperti halnya Laskar Pelangi, saya menemukan di sana kalimat-kalimat 'sakti' yang menggugah kesadaran. Persahabatan dan saling berbagi membuat saya iri. Keberanian untuk bermimpi yang disuguhkan Andrea membuat saya berusaha menata kembali jalan pikiran yang selama ini tak terarah. Pelajaran berharga: Jangan remehkan siapapun, jangan segan untuk membantu siapapun, jangan takut untuk bermimpi.
Pelajaran-pelajaran itu mengalir mengisi pikiran saya yang sejenak berhenti membaca karena harus mencuci piring dan menyiapkan makan siang untuk anak-anak. Ajaibnya, saya tiba-tiba disuguhi pemandangan yang tak biasa. Azkia menawarkan diri untuk membantu saya merapikan piring-piring bersih di rak.
"Mama, Kakak bantu merapikan piring-piring yang ringan, ya..." ujarnya.
Saya mengangguk saja. Tapi tak lama kemudian anak lelaki saya Luqman juga datang ke dapur. Bukan hanya piring plastik yang dirapikan, tapi juga gelas dan piring kaca diambilnya. Sesekali ia melirik saya yang masih mencuci sisa perabotan yang kotor, seolah meminta ijin untuk membantu. Lewat sudut mata saya menangkap kilatan pisau di tangannya. Ingin mencegah, tapi saya coba biarkan. Untuk merapikan pisau dan sendok yang tempatnya jauh di atas, anak kecil itu memanjat ember besar yang memang terletak di sebelah rak. Kakaknya mengambil sendok-sendok dari bawah, si adik meletakkannya di tempat sendok. Nah, rapilah sudah! Mereka berdua bekerja dengan sempurna. Surprise di hari yang agak mendung ini. Sayang baterai kamera sedang low, jadi saya tak sempat mengabadikan momentum indah itu.
Namun sebagai hadiah, saya berjanji mengajak mereka membuat mainan setelah makan siang. Indah sekali! Spirit of "Sang Pemimpi" yang memengaruhi pikiran dan jiwa saya ternyata menyebar ke sekeliling saya. Waktunya berubah menjadi lebih baik, waktunya berubah menjadi lebih optimistik, waktunya berbagi apapun dengan sahabat dan orang-orang yang kita sayangi. Itulah model kehidupan yang ditawarkan 'Sang Pemimpi'. Dan sepertinya, itu pula hidup yang saya impikan. Selalu semangat!
Sabtu, 22 Desember 2007
Seputar Sosialisasi
Bersosialisasi adalah fitrah manusia. Bahkan anak-anak yang masih belia sekalipun, akan menunjukkan ciri ini secara reflek. Lihatlah anak-anak kita saat dibawa ke sebuah pertemuan dan ada anak-anak lain di sana. Meski baru pertama kali bertemu, mereka akan saling berinteraksi secara perlahan. Tentu saja bahasa sosialisasi mereka khas anak-anak. Bisa dengan berbagi makanan, berlarian, atau sekedar duduk atau bermain bersama. Percakapan biasanya akan bergulir setelah beberapa lama, tergantung karakter anak.
Terlepas dari semua itu, sosialisasi juga ternyata berdampak pada perkembangan anak-anak kita. Pengaruh yang paling terlihat adalah bahasa dan sikap. Saat anak-anak bergaul dengan teman-teman yang biasa berkata baik, bahasa mereka biasanya terbentuk menjadi baik. Namun bersiaplah saat anak-anak bergaul dengan teman yang biasa berkata kotor dan kasar, mereka pun berpotensi untuk terbiasa berkata-kata yang sama.
Memilihkan lingkungan sosial yang sehat adalah tugas berat bagi orang tua masa kini. Karakter dan bahasa negatif tersebar terlalu merata. Televisi, keluarga besar, tetangga, kampung, dan sekolah tak dijamin bebas dari bahasa negatif.
Film anak-anak pun tak ragu bercerita tentang perkelahian, perang, dan permusuhan. Kata-kata kasar dan sumpah serapah kerap berhamburan dari tokoh-tokoh jahatnya. Ya, pelajaran apa yang anak-anak tangkap dari film itu? Saya yakin hanya 10 persen saja mungkin hal positif dari film itu yang diserap anak-anak. Sisanya, dan yang paling diingat, justru adalah bahasa dan karakter yang buruk.Belum lagi keluarga besar, tetangga, kampung, dan sekolah, semuanya juga berpotensi menanamkan saham pada anak-anak kita berupa bahasa dan perilaku negatif.
Sedih ya...
Setiap kali naik kendaraan umum atau berpapasan dengan anak-anak sekolah di jalanan, entah kenapa, bahasa yang saya dengar dari mereka begitu seragam, seperti halnya baju mereka. Nama-nama binatang berhamburan tanpa editor. Mereka tertawa dengan julukan-julukan hewani itu, sama sekali tak sadar nampaknya bahwa hal itu sangat menyedihkan. Siapa yang bisa disalahkan atas itu semua?
Saya melihat, golden age di tambah dengan masa pra baligh bagi orang Muslim, adalah masa penting pendidikan. Menciptakan sinapsis-sinapsis (sambungan-sambungan neuron di otak) yang positif amat vital pengaruhnya pada perkembangan anak. Tapi, itulah kita, para orang tua yang juga masih butuh banyak belajar. Kita sering mengabaikan masa-masa itu. Kita biarkan anak-anak tumbuh tanpa memilihkan untuk mereka lingkungan yang positif dan menjauhkan mereka dari lingkungan yang negatif.
Di rumah-lah, di dalam naungan kasih sayang orang tua yang peduli, anak-anak seharusnya mendapat dasar-dasar pendidikan yang baik. Dalam keseimbangan antara kemerdekaan untuk kreatif dan nilai-nilai etika, orang tua memikul tanggung jawab besar ini. Duh, beratnya jadi orang tua. Tak cukup hanya memberi anak-anak makanan bergizi atau berdoa dan berharap agar anak-anak berakhlak baik, sopan, dan banyak harapan baik lainnya. Kita juga harus banyak belajar untuk memberi teladan.
Terlepas dari semua itu, sosialisasi juga ternyata berdampak pada perkembangan anak-anak kita. Pengaruh yang paling terlihat adalah bahasa dan sikap. Saat anak-anak bergaul dengan teman-teman yang biasa berkata baik, bahasa mereka biasanya terbentuk menjadi baik. Namun bersiaplah saat anak-anak bergaul dengan teman yang biasa berkata kotor dan kasar, mereka pun berpotensi untuk terbiasa berkata-kata yang sama.
Memilihkan lingkungan sosial yang sehat adalah tugas berat bagi orang tua masa kini. Karakter dan bahasa negatif tersebar terlalu merata. Televisi, keluarga besar, tetangga, kampung, dan sekolah tak dijamin bebas dari bahasa negatif.
Film anak-anak pun tak ragu bercerita tentang perkelahian, perang, dan permusuhan. Kata-kata kasar dan sumpah serapah kerap berhamburan dari tokoh-tokoh jahatnya. Ya, pelajaran apa yang anak-anak tangkap dari film itu? Saya yakin hanya 10 persen saja mungkin hal positif dari film itu yang diserap anak-anak. Sisanya, dan yang paling diingat, justru adalah bahasa dan karakter yang buruk.Belum lagi keluarga besar, tetangga, kampung, dan sekolah, semuanya juga berpotensi menanamkan saham pada anak-anak kita berupa bahasa dan perilaku negatif.
Sedih ya...
Setiap kali naik kendaraan umum atau berpapasan dengan anak-anak sekolah di jalanan, entah kenapa, bahasa yang saya dengar dari mereka begitu seragam, seperti halnya baju mereka. Nama-nama binatang berhamburan tanpa editor. Mereka tertawa dengan julukan-julukan hewani itu, sama sekali tak sadar nampaknya bahwa hal itu sangat menyedihkan. Siapa yang bisa disalahkan atas itu semua?
Saya melihat, golden age di tambah dengan masa pra baligh bagi orang Muslim, adalah masa penting pendidikan. Menciptakan sinapsis-sinapsis (sambungan-sambungan neuron di otak) yang positif amat vital pengaruhnya pada perkembangan anak. Tapi, itulah kita, para orang tua yang juga masih butuh banyak belajar. Kita sering mengabaikan masa-masa itu. Kita biarkan anak-anak tumbuh tanpa memilihkan untuk mereka lingkungan yang positif dan menjauhkan mereka dari lingkungan yang negatif.
Di rumah-lah, di dalam naungan kasih sayang orang tua yang peduli, anak-anak seharusnya mendapat dasar-dasar pendidikan yang baik. Dalam keseimbangan antara kemerdekaan untuk kreatif dan nilai-nilai etika, orang tua memikul tanggung jawab besar ini. Duh, beratnya jadi orang tua. Tak cukup hanya memberi anak-anak makanan bergizi atau berdoa dan berharap agar anak-anak berakhlak baik, sopan, dan banyak harapan baik lainnya. Kita juga harus banyak belajar untuk memberi teladan.
Minggu, 16 Desember 2007
Tahu dari Mana?
Pagi itu cukup cerah. Sisa-sisa embun masih nampak menghiasi ujung rerumputan. Awalnya tak sengaja saya biarkan rumput-rumput itu tumbuh liar. Alasannya satu, saya belum sempat membersihkannya. Tapi pemandangan yang saya lihat saat membuang sampah, membuat saya bersyukur tak sempat bersih-bersih di halaman depan. Aneka serangga hilir-mudik di antara tangkai-tangkai bunga sawi. Sawi-sawi itu ditanam petani penggarap sawah di depan rumah saya sekitar satu bulan yang lalu. Kini bunga-bunganya yang mulai mekar menarik perhatian serangga penghisap nektar. Lebah madu, tawon penyengat, dan kupu-kupu dengan riang menikmati sajian gratis itu. Bahkan belalang mungkin membuat sarang dengan mudah di antara rerumputan.
Pemandangan yang saya lihat memunculkan ide menarik untuk anak-anak. Saya panggil mereka untuk mengamati aneka serangga itu dari dekat. Supaya bisa melihat detailnya, saya ajak mereka untuk menangkap satu ekor. Dengan lem kayu yang dilekatkan di ujung kayu kecil, kami berhasil menangkap satu ekor tawon. Dia masih hidup. Lalu kami cocokkan dengan gambar tawon yang kami punya. Asyik juga.
Satu hal yang menarik terjadi ketika kami mengembalikan si tawon di ujung bunga sawi. Sayapnya yang lengket terkena lem kami basahi dengan air, hingga akhirnya tawon itu bisa mengepakkan sayapnya lagi. Tiba-tiba Azkia (5 tahun), putri sulung saya berkata dengan ringan, "Itu pasti tawon jantan," katanya.
"Kenapa?" tanya saya
"Kan, memang hanya tawon jantan yang bisa terbang. Tawon betina hidup di tanah. Dia nggak bisa terbang. Tawon betina akan terbang kalau tawon jantan membawanya terbang bersama-sama..." ujarnya lagi panjang lebar.
"Wah, Mama baru tahu. Kakak baca di buku ya?" tanya saya lagi. Saya tak merasa pernah mengajarinya dan saya juga memang belum tahu informasi itu.
"Enggak. Itu, kan ada di CD 'Benih'."
Saya baru ingat kalau anak-anak suka memutar VCD Harun Yahya. Salah satunya memang bercerita tentang asal-usul 'benih'.
Sepenggal cerita itu membuat saya semakin yakin bahwa sesungguhnya anak-anak adalah pembelajar mandiri. Mereka bisa belajar dari apapun yang mereka lihat, dengar, dan rasakan, tanpa orang tua harus menjejali mereka dengan segudang kata atau bergaya sebagai tutor yang menggurui mereka ini dan itu. Minat belajar anak-anak tumbuh alami, dan terpancar lewat rasa ingin tahunya yang tak pernah habis. Setelah mereka menemukan kesenangan dalam belajar, merekalah yang memutuskan akan belajar apa hari ini, sendiri tanpa harus disuruh.
Benar kata Bob Samples, penulis buku Revolusi Belajar untuk Anak, "Kita harus mendekati anak-anak seakan-akan pikiran mereka itu lengkap, utuh, dan berfungsi." Anak-anak pada dasarnya tidak suka digurui, dinilai atau diuji, persis seperti orang dewasa. Cara belajar mereka unik. Hanya saja, kadang-kadang orang dewasa menganggap mereka tak lebih dari makhluk kecil yang tak banyak tahu. Anak-anak sering dipaksa untuk belajar dengan cara yang dianggap baik menurut orang dewasa, padahal belum tentu cara itu membuat mereka suka untuk belajar.
Keep learning, parents!
Sabtu, 08 Desember 2007
Mendidik Anak Laki-Laki
Di sebuah radio swasta di Bandung sering diperdengarkan kisah seorang doktor di bidang fisika yang sikapnya begitu bersahaja. Beliau tak hanya cerdas di bidang fisika namun juga sangat peduli dengan pekerjaan rumahan yang biasa dilakukan istrinya. Beliau bahkan pernah terlambat menghadiri sebuah rapat hanya karena ingin membantu istrinya mencuci baju.
Tulisan ini mungkin sekedar refleksi dari saya pribadi terhadap pengalaman berinteraksi dan melihat fakta, bahwa kebanyakan laki-laki dewasa ternyata kurang peduli dengan masalah-masalah domestik (rumah). Pekerjaan itu sepertinya dilimpahkan secara konvensional kepada kaum hawa, padahal saya sendiri merasa bahwa hal itu tidak proporsional dan sesungguhnya kurang baik untuk sebuah sinergi antar jender, terutama bagi pasangan yang sudah menikah.
Bukankah ketika suami sakit, dijamin bahwa mereka akan dirawat dengan baik dan keperluan akan makanan dan minuman khas orang sakit juga siap di meja. Nah, ketika istri sakit, apa yang terjadi? Pasti suami kelabakan. Membuat bubur nggak bisa, membuat teh manis nggak bisa, membuat sayur bening apa lagi, dan bahkan mengompres pun tak biasa. Lucunya, layanan seperti itu sudah sering ia dapatkan; namun karena tak biasa dilakukannya, pengetahuan yang kelihatan remeh itu seolah begitu rumitnya.
Pendidikan masa kecil saya anggap sebagai penyebab paradigma pembagian kerja yang absolut itu terbentuk pada diri seseorang. Betul bahwa anak laki-laki dan anak perempuan memiliki ciri biologis yang khas yang membuat masing-masing memiliki tanggung jawab yang khas pula. Akan tetapi, dalam pikiran saya pembagian yang khas itu hanyalah berlaku pada wilayah-wilayah tertentu, dan tidak selebar seperti yang hari ini saya saksikan.
Mencuci piring, mencuci baju, menyapu, mengepel, memasak air, atau menyuapi anak, memandikan anak, membersihkan kamar mandi; menyeduh teh, susu, kopi, dan banyak pekerjaan domestik lainnya kini masih didominasi kaum ibu. Para ayah dan anak laki-laki, tinggal siap menerima ruangan yang rapi, baju yang bersih dan rapi, secangkir teh di meja, kamar mandi yang nyaman, makanan siap santap, dan segudang hal hasil pekerjaan para ibu, anak, atau adik perempuannya.
Pemilahan pekerjaan domestik secara absolut memang sudah lazim. Laki-laki dan bahkan perempuan sendiri seolah sudah menerimanya sebagai sebuah kodrat alam yang tak perlu ditolak. Kelelahan luar biasa akibat pekerjaan domestik yang tak pernah ada habisnya itu pasti adakalanya membuat kaum perempuan mengeluh atau akhirnya 'terkapar' tanpa kata-kata. Namun nyatanya semua harus terus begitu dan begitu, sehingga perempuan pun akhirnya menerima hal itu sebagai takdir. Namun sungguhkah memang begitu seharusnya?
Satu hal yang menarik, ketika kini sudah banyak laki-laki dari kalangan terpelajar yang mulai memahami substansi perbedaan jender, dan menjadi peduli dengan kelelahan istri atau ibu mereka dalam mengurus rumah, banyak di antara mereka tak bisa membantu secara maksimal karena kebiasaan yang sudah terlanjur terbentuk di dalam keluarganya di masa kecil. Kasihan melihat istri berulang kali mencuci piring, namun banyak suami tak juga bergerak ketika tumpukan piring mulai menggunung, kecuali hanya bergumam, "Duh kasihan ya istriku..". Mau bagaimana lagi, kepeduliannya pada sang istri masih belum bisa mengalahkan ketidakbiasaan yang sudah bertahun-tahun terbentuk.
Meskipun tipikal anak laki-laki memang cenderung malas, seenaknya, dan atraktif, namun saya percaya, hal itu bukanlah alasan untuk membiarkan anak laki-laki bertindak semaunya dan melimpahkan pekerjaan pada ibu atau saudara perempuannya. Saya sendiri merasa bahwa sudah saatnya tradisi yang kurang proporsional itu diubah demi kebaikan anak-anak kita dan juga cara berpikir mereka setelah dewasa. Saya sendiri bertekad untuk mendidik anak laki-laki saya, tidak hanya kuat secara fisik, namun juga peduli pada pekerjaan rumah, sehingga kelak ia akan menjadi partner yang ideal bagi istrinya, ayah yang penuh teladan bagi anak laki-lakinya, dan ayah yang menimbulkan rasa aman bagi anak perempuannya (Semoga ya...).
Bagaimana Prakteknya?
Libatkan anak laki-laki dalam berbagai pekerjaan domestik bersama-sama dengan saudara perempuannya; misalnya menyapu, merapikan mainan, memunguti sampah, mengelap meja yang basah, menyimpan gelas di dapur setelah dipakai, dll. Meski awalnya hanya sebagai latihan dan bahkan permainan, namun hal itu sedikit demi sedikit akan membentuk persepsi anak laki-laki menjadi lebih terbuka terhadap pekerjaan tersebut.
Hal yang justru paling penting adalah keterlibatan ayah. Walau bagaimanapun anak-anak akan cenderung meniru kelakuan dan kebiasaan orang tuanya daripada mendengar perintah atau ceramah. Walaupun ibu berusaha agar anak laki-lakinya terbiasa dengan pekerjaan domestik, namun jika ayahnya terlihat selalu ongkang-ongkang kaki saat 'pelajaran' itu berlangsung, yakinlah anak akan lebih meniru ayahnya. Pada akhirnya, kekompakan ayah dan ibu dalam mendidik anak adalah kunci suksesnya pendidikan itu sendiri.
Yang Juga Tak Boleh Dilupakan
Anak laki-laki memiliki ciri khas fisik yang cenderung jauh lebih kuat daripada anak perempuan. Namun saya banyak melihat, pendidikan dalam keluarga yang 'memanjakan' anak laki-laki dalam hal pekerjaan domestik bahkan sering melebar pada pekerjaan khas laki-laki itu sendiri. Akibatnya, banyak pula laki-laki dewasa, terutama di perkotaan, yang mungkin tak kenal apa itu palu, paku, obeng, tang, sendok tembok, gergaji, cangkul, sekop, memperbaiki genteng bocor, mengecat, mengganti pipa air, dll. Mungkin bisa saja pekerjaan-pekerjaan semacam itu diorderkan pada orang lain, tapi apa salahnya juga untuk sedikit lebih tahu, sehingga untuk kasus kran air yang lepas misalnya tak usahlah memanggil 'tukang'.
Maaf, mungkin tulisan ini sedikit mengganggu bagi rekan-rekan yang memiliki cara pandang yang berbeda. Sekali lagi, ini hanya sebuah refleksi pribadi. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang terus 'tumbuh' di atas prinsip belajar tanpa akhir.
Salam pendidikan!
Tulisan ini mungkin sekedar refleksi dari saya pribadi terhadap pengalaman berinteraksi dan melihat fakta, bahwa kebanyakan laki-laki dewasa ternyata kurang peduli dengan masalah-masalah domestik (rumah). Pekerjaan itu sepertinya dilimpahkan secara konvensional kepada kaum hawa, padahal saya sendiri merasa bahwa hal itu tidak proporsional dan sesungguhnya kurang baik untuk sebuah sinergi antar jender, terutama bagi pasangan yang sudah menikah.
Bukankah ketika suami sakit, dijamin bahwa mereka akan dirawat dengan baik dan keperluan akan makanan dan minuman khas orang sakit juga siap di meja. Nah, ketika istri sakit, apa yang terjadi? Pasti suami kelabakan. Membuat bubur nggak bisa, membuat teh manis nggak bisa, membuat sayur bening apa lagi, dan bahkan mengompres pun tak biasa. Lucunya, layanan seperti itu sudah sering ia dapatkan; namun karena tak biasa dilakukannya, pengetahuan yang kelihatan remeh itu seolah begitu rumitnya.
Pendidikan masa kecil saya anggap sebagai penyebab paradigma pembagian kerja yang absolut itu terbentuk pada diri seseorang. Betul bahwa anak laki-laki dan anak perempuan memiliki ciri biologis yang khas yang membuat masing-masing memiliki tanggung jawab yang khas pula. Akan tetapi, dalam pikiran saya pembagian yang khas itu hanyalah berlaku pada wilayah-wilayah tertentu, dan tidak selebar seperti yang hari ini saya saksikan.
Mencuci piring, mencuci baju, menyapu, mengepel, memasak air, atau menyuapi anak, memandikan anak, membersihkan kamar mandi; menyeduh teh, susu, kopi, dan banyak pekerjaan domestik lainnya kini masih didominasi kaum ibu. Para ayah dan anak laki-laki, tinggal siap menerima ruangan yang rapi, baju yang bersih dan rapi, secangkir teh di meja, kamar mandi yang nyaman, makanan siap santap, dan segudang hal hasil pekerjaan para ibu, anak, atau adik perempuannya.
Pemilahan pekerjaan domestik secara absolut memang sudah lazim. Laki-laki dan bahkan perempuan sendiri seolah sudah menerimanya sebagai sebuah kodrat alam yang tak perlu ditolak. Kelelahan luar biasa akibat pekerjaan domestik yang tak pernah ada habisnya itu pasti adakalanya membuat kaum perempuan mengeluh atau akhirnya 'terkapar' tanpa kata-kata. Namun nyatanya semua harus terus begitu dan begitu, sehingga perempuan pun akhirnya menerima hal itu sebagai takdir. Namun sungguhkah memang begitu seharusnya?
Satu hal yang menarik, ketika kini sudah banyak laki-laki dari kalangan terpelajar yang mulai memahami substansi perbedaan jender, dan menjadi peduli dengan kelelahan istri atau ibu mereka dalam mengurus rumah, banyak di antara mereka tak bisa membantu secara maksimal karena kebiasaan yang sudah terlanjur terbentuk di dalam keluarganya di masa kecil. Kasihan melihat istri berulang kali mencuci piring, namun banyak suami tak juga bergerak ketika tumpukan piring mulai menggunung, kecuali hanya bergumam, "Duh kasihan ya istriku..". Mau bagaimana lagi, kepeduliannya pada sang istri masih belum bisa mengalahkan ketidakbiasaan yang sudah bertahun-tahun terbentuk.
Meskipun tipikal anak laki-laki memang cenderung malas, seenaknya, dan atraktif, namun saya percaya, hal itu bukanlah alasan untuk membiarkan anak laki-laki bertindak semaunya dan melimpahkan pekerjaan pada ibu atau saudara perempuannya. Saya sendiri merasa bahwa sudah saatnya tradisi yang kurang proporsional itu diubah demi kebaikan anak-anak kita dan juga cara berpikir mereka setelah dewasa. Saya sendiri bertekad untuk mendidik anak laki-laki saya, tidak hanya kuat secara fisik, namun juga peduli pada pekerjaan rumah, sehingga kelak ia akan menjadi partner yang ideal bagi istrinya, ayah yang penuh teladan bagi anak laki-lakinya, dan ayah yang menimbulkan rasa aman bagi anak perempuannya (Semoga ya...).
Bagaimana Prakteknya?
Libatkan anak laki-laki dalam berbagai pekerjaan domestik bersama-sama dengan saudara perempuannya; misalnya menyapu, merapikan mainan, memunguti sampah, mengelap meja yang basah, menyimpan gelas di dapur setelah dipakai, dll. Meski awalnya hanya sebagai latihan dan bahkan permainan, namun hal itu sedikit demi sedikit akan membentuk persepsi anak laki-laki menjadi lebih terbuka terhadap pekerjaan tersebut.
Hal yang justru paling penting adalah keterlibatan ayah. Walau bagaimanapun anak-anak akan cenderung meniru kelakuan dan kebiasaan orang tuanya daripada mendengar perintah atau ceramah. Walaupun ibu berusaha agar anak laki-lakinya terbiasa dengan pekerjaan domestik, namun jika ayahnya terlihat selalu ongkang-ongkang kaki saat 'pelajaran' itu berlangsung, yakinlah anak akan lebih meniru ayahnya. Pada akhirnya, kekompakan ayah dan ibu dalam mendidik anak adalah kunci suksesnya pendidikan itu sendiri.
Yang Juga Tak Boleh Dilupakan
Anak laki-laki memiliki ciri khas fisik yang cenderung jauh lebih kuat daripada anak perempuan. Namun saya banyak melihat, pendidikan dalam keluarga yang 'memanjakan' anak laki-laki dalam hal pekerjaan domestik bahkan sering melebar pada pekerjaan khas laki-laki itu sendiri. Akibatnya, banyak pula laki-laki dewasa, terutama di perkotaan, yang mungkin tak kenal apa itu palu, paku, obeng, tang, sendok tembok, gergaji, cangkul, sekop, memperbaiki genteng bocor, mengecat, mengganti pipa air, dll. Mungkin bisa saja pekerjaan-pekerjaan semacam itu diorderkan pada orang lain, tapi apa salahnya juga untuk sedikit lebih tahu, sehingga untuk kasus kran air yang lepas misalnya tak usahlah memanggil 'tukang'.
Maaf, mungkin tulisan ini sedikit mengganggu bagi rekan-rekan yang memiliki cara pandang yang berbeda. Sekali lagi, ini hanya sebuah refleksi pribadi. Semoga kita bisa menjadi orang tua yang terus 'tumbuh' di atas prinsip belajar tanpa akhir.
Salam pendidikan!
Jumat, 30 November 2007
Laskar Pelangi: Inspirasi Bagi Para Pemimpi
Untuk Mas Andrea Hirata:
Mungkin saya hanya salah satu dari ribuan atau bahkan jutaan orang yang terinspirasi dengan buku Anda "Laskar Pelangi". Setelah lama saya tak lagi menyempatkan diri membaca buku-buku bergenre fiksi, sungguh membaca Laskar Pelangi malah membuat saya bisa tertawa dan sekaligus menangis. Cerita orang tentang Laskar Pelangi memang bukan sekedar omong kosong. Terimakasih. Banyak pelajaran sekaligus hiburan yang saya dapat dari novel Anda.
Maklum ibu rumah tangga, setelah kurang lebih 5 hari menyicil, barulah pada
Jumat, 30 November 2007 saya berhasil menyelesaikan seluruh bab Laskar Pelangi. Ada rasa ikut terluka dengan nasib seorang Lintang yang berotak brilian namun cita-citanya kandas karena kemiskinan. Ada pula keberanian dan semangat luar biasa yang menular pada diri saya atas ketangguhan seorang Ikal (penulis) yang pantang menyerah. Dalam banyak hal, cerita Laskar Pelangi membuat saya kagum sekaligus malu, karena dalam banyak kemudahan yang kini saya miliki, saya justru tak banyak berbuat apa-apa untuk orang lain, untuk melawan ketidakadilan, untuk meredam kesewenang-wenangan, dan banyak hal yang harus dibenahi di kiri-kanan kita.
Impian saya memang terbentang dari ujung kertas di kiri hingga ujung kertas di kanan. Cita-cita dan berbagai gagasan bertaburan di kepala. Namun, ternyata gagasan itu tak cukup hanya diucapkan atau dituliskan. Penyakit paling parah yang melanda para pemimpi justru bukanlah impian-impiannya, melainkan kebiasaan menunda untuk melangkah.
Lapuknya gedung sekolah, kecilnya gaji, dan miskinnya sarana dan prasarana sekolah Muhammadiyah, yang menjadi setting utama kisah Laskar Pelangi, tak membuat guru setegar Ibu Muslimah mundur untuk memberikan pengabdian yang terbaik dalam pendidikan. Adakah kini hal itu tersimpan di benak para guru di sekolah elite dan mewah? Sudah sepantasnya para guru (termasuk guru di rumah alias orangtua) membaca novel ini untuk menggugah kembali idealisme dan semangat memberi seorang pendidik sejati.
Bagi siapapun yang memiliki mimpi untuk memajukan pendidikan, dalam skala sekecil apapun, Laskar Pelangi adalah sumber inspirasi yang layak untuk dikaji. Jadikan impian tak hanya sekedar menjadi mimpi, tetapi berwujud dalam langkah-langkah nyata.
Wahai para pemimpi, Selamat membaca!
Mungkin saya hanya salah satu dari ribuan atau bahkan jutaan orang yang terinspirasi dengan buku Anda "Laskar Pelangi". Setelah lama saya tak lagi menyempatkan diri membaca buku-buku bergenre fiksi, sungguh membaca Laskar Pelangi malah membuat saya bisa tertawa dan sekaligus menangis. Cerita orang tentang Laskar Pelangi memang bukan sekedar omong kosong. Terimakasih. Banyak pelajaran sekaligus hiburan yang saya dapat dari novel Anda.
Maklum ibu rumah tangga, setelah kurang lebih 5 hari menyicil, barulah pada
Jumat, 30 November 2007 saya berhasil menyelesaikan seluruh bab Laskar Pelangi. Ada rasa ikut terluka dengan nasib seorang Lintang yang berotak brilian namun cita-citanya kandas karena kemiskinan. Ada pula keberanian dan semangat luar biasa yang menular pada diri saya atas ketangguhan seorang Ikal (penulis) yang pantang menyerah. Dalam banyak hal, cerita Laskar Pelangi membuat saya kagum sekaligus malu, karena dalam banyak kemudahan yang kini saya miliki, saya justru tak banyak berbuat apa-apa untuk orang lain, untuk melawan ketidakadilan, untuk meredam kesewenang-wenangan, dan banyak hal yang harus dibenahi di kiri-kanan kita.
Impian saya memang terbentang dari ujung kertas di kiri hingga ujung kertas di kanan. Cita-cita dan berbagai gagasan bertaburan di kepala. Namun, ternyata gagasan itu tak cukup hanya diucapkan atau dituliskan. Penyakit paling parah yang melanda para pemimpi justru bukanlah impian-impiannya, melainkan kebiasaan menunda untuk melangkah.
Lapuknya gedung sekolah, kecilnya gaji, dan miskinnya sarana dan prasarana sekolah Muhammadiyah, yang menjadi setting utama kisah Laskar Pelangi, tak membuat guru setegar Ibu Muslimah mundur untuk memberikan pengabdian yang terbaik dalam pendidikan. Adakah kini hal itu tersimpan di benak para guru di sekolah elite dan mewah? Sudah sepantasnya para guru (termasuk guru di rumah alias orangtua) membaca novel ini untuk menggugah kembali idealisme dan semangat memberi seorang pendidik sejati.
Bagi siapapun yang memiliki mimpi untuk memajukan pendidikan, dalam skala sekecil apapun, Laskar Pelangi adalah sumber inspirasi yang layak untuk dikaji. Jadikan impian tak hanya sekedar menjadi mimpi, tetapi berwujud dalam langkah-langkah nyata.
Wahai para pemimpi, Selamat membaca!
Sabtu, 24 November 2007
Belajar Bersama
Belajar Bersama. Frasa ini mungkin sering sekali kita dengar. Tak terlalu istimewa jika dilihat secara bahasa, namun andai kita melakukannya dalam rangka mengatasi kendala-kendala pendidikan, kegiatan belajar bersama akan sangat membantu dan bahkan bisa menciptakan sebuah lompatan belajar yang cukup mencengangkan.
Mereka yang tertarik dengan pendidikan mandiri - tanpa sekolah akan merasakan manfaat belajar bersama pada banyak segi: Sisi finansial untuk mengupah guru, resources (bahan-bahan), sosialisasi, kegembiraan, dan juga persahabatan yang sehat. Bahkan beberapa mata pelajaran non eksakta bisa dipelajari bersama tanpa guru pembimbing.
Dulu di era revolusi industri, pendidikan digiring untuk memenuhi kebutuhan dunia industri, namun kini pendidikan justru telah menjadi salah satu sektor industri. Tanpa sadar hal ini telah menimbulkan degradasi dalam memandang pendidikan. Motif orang untuk mengenyam pendidikan berakhir pada 'bagaimana agar saya mendapat pekerjaan' dan 'bagaimana agar anak-anak saya juga bisa sekolah untuk dapat pekerjaan'. Sungguh sebuah lingkaran tak berujung. Tentu tidak sepenuhnya salah jika kita berharap mendapat pekerjaan, tapi hakikat berpendidikan semestinya jauh dari sekedar itu.
Ada nilai-nilai yang justru menghilang dari dunia pendidikan, yaitu integritas, kepedulian, kejujuran, keadilan, dan sikap ksatria. Yang ingin nilai 9 tak malu untuk menyontek, yang nggak bisa bayar SPP justru dibuat malu di depan orang banyak. Orang yang banyak uang bisa bersekolah di tempat yang mewah dan berfasilitas lengkap, sementara orang miskin bahkan tak bisa menginjakkan kakinya di halaman sekolah.
Belajar bersama adalah perpanjangan dari semangat gotong royong-nya orang-orang dulu. Betapa banyak kebutuhan kolektif yang terpenuhi dengan bergotong royong: Membuat rumah, membangun jembatan, membuat saluran air, dan lain-lain. Semua menjadi lebih ringan dengan kebersamaan.
Jika di sekolah tiap anak harus membeli semua buku paket, sehingga anggaran buku saja jadi membengkak. Dengan belajar bersama, pembelian buku paket bisa dibagi dengan sejumlah anak. 10 buku misalnya, jika dibagi 5 anak, maka kewajiban beli buku per orangnya hanya 2 buah. Tentu akan sangat jauh lebih ringan dibandingkan harus membeli 10 sekaligus. Kalau harga per buku adalah Rp. 20.000 saja maka pembagian itu akan menghemat hingga Rp. 160.000 per anak. Betapa terbantunya para orang tua dari kalangan buruh atau tukang becak, yang penghasilan hariannya mungkin tak lebih dari 30 ribu rupiah.
Semangat berbagi dan empati nampaknya mulai menghilang sedikit demi sedikit. Meski tak semua, guru jaman sekarang bahkan bisa dengan mudah berkata, "Guru juga manusia. Manusia butuh uang". Hal itu merupakan apologi ketika mereka membisniskan penjualan buku paket atau membisniskan bimbingan belajar.
Saya ingat sekali, ketika dulu saya susah payah mengerti pelajaran matematika kelas 1 SMA hanya karena gurunya tidak membahas secara detail setiap materi yang diajarkan di kelas. Sementara beberapa orang tertentu dengan mudah menyelesaikan PR karena ternyata mereka dapat les tambahan di lembaga bimbel, bahkan oleh guru yang sama.
Semua ternyata berujung pada integritas dan kepedulian yang kian melemah. Kehausan akan nilai-nilai kebanggaan semu lebih dominan daripada sikap ksatria. Hal itu juga merupakan cermin tentang diabaikannya nilai-nilai ketuhanan dalam pendidikan. Agama yang tersisa hanyalah ibadah ritual, selebihnya manusia menjalankan kegiatan hidupnya hanya dipandu insting, termasuk di dalamnya keserakahan akan uang dan kekuasaan.
Homeschooling (HS), yang kini sedang menjadi trend, akan berimplikasi positif jika di dalamnya hidup semangat kebersamaan ini. Orang tua yang berniat meng-homeschooling-kan anaknya tak perlu harus bergabung dengan lembaga HS berorientasi profit, jika ternyata dana yang dimiliki tidak bisa menjangkau standar biaya yang ditetapkan lembaga-lembaga tersebut.
Setiap orang tua memiliki potensi untuk menjadi pembimbing bagi anak-anaknya. Bukan untuk membuat anak-anak hafal perkalian ataupun hafal nama-nama pahlawan, tetapi untuk menumbuhkan semangat belajar mereka dan menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan ke dalam hati mereka. Carilah kawan yang juga berniat untuk HS, dan belajarlah bersama-sama untuk berbagi bahan dan juga kearifan.
HS justru menjadi sarana paling pas untuk mempraktekkan kembali semangat kebersamaan, empati, dan gotong royong yang dulu menjadi kebanggaan bangsa ini, yang dulu begitu diandalkan untuk membebaskan diri dari para penjajah asing, yang dulu menjadi pemersatu berbagai suku bangsa, yang dulu dan kini mampu menghapus air mata para dhuafa yang kelaparan, yang dulu dan juga kini mampu membuat anak-anak tersenyum meski mereka tidak berada dalam kelapangan materil.
Belajar Bersama? Selamat mencoba.
Mereka yang tertarik dengan pendidikan mandiri - tanpa sekolah akan merasakan manfaat belajar bersama pada banyak segi: Sisi finansial untuk mengupah guru, resources (bahan-bahan), sosialisasi, kegembiraan, dan juga persahabatan yang sehat. Bahkan beberapa mata pelajaran non eksakta bisa dipelajari bersama tanpa guru pembimbing.
Dulu di era revolusi industri, pendidikan digiring untuk memenuhi kebutuhan dunia industri, namun kini pendidikan justru telah menjadi salah satu sektor industri. Tanpa sadar hal ini telah menimbulkan degradasi dalam memandang pendidikan. Motif orang untuk mengenyam pendidikan berakhir pada 'bagaimana agar saya mendapat pekerjaan' dan 'bagaimana agar anak-anak saya juga bisa sekolah untuk dapat pekerjaan'. Sungguh sebuah lingkaran tak berujung. Tentu tidak sepenuhnya salah jika kita berharap mendapat pekerjaan, tapi hakikat berpendidikan semestinya jauh dari sekedar itu.
Ada nilai-nilai yang justru menghilang dari dunia pendidikan, yaitu integritas, kepedulian, kejujuran, keadilan, dan sikap ksatria. Yang ingin nilai 9 tak malu untuk menyontek, yang nggak bisa bayar SPP justru dibuat malu di depan orang banyak. Orang yang banyak uang bisa bersekolah di tempat yang mewah dan berfasilitas lengkap, sementara orang miskin bahkan tak bisa menginjakkan kakinya di halaman sekolah.
Belajar bersama adalah perpanjangan dari semangat gotong royong-nya orang-orang dulu. Betapa banyak kebutuhan kolektif yang terpenuhi dengan bergotong royong: Membuat rumah, membangun jembatan, membuat saluran air, dan lain-lain. Semua menjadi lebih ringan dengan kebersamaan.
Jika di sekolah tiap anak harus membeli semua buku paket, sehingga anggaran buku saja jadi membengkak. Dengan belajar bersama, pembelian buku paket bisa dibagi dengan sejumlah anak. 10 buku misalnya, jika dibagi 5 anak, maka kewajiban beli buku per orangnya hanya 2 buah. Tentu akan sangat jauh lebih ringan dibandingkan harus membeli 10 sekaligus. Kalau harga per buku adalah Rp. 20.000 saja maka pembagian itu akan menghemat hingga Rp. 160.000 per anak. Betapa terbantunya para orang tua dari kalangan buruh atau tukang becak, yang penghasilan hariannya mungkin tak lebih dari 30 ribu rupiah.
Semangat berbagi dan empati nampaknya mulai menghilang sedikit demi sedikit. Meski tak semua, guru jaman sekarang bahkan bisa dengan mudah berkata, "Guru juga manusia. Manusia butuh uang". Hal itu merupakan apologi ketika mereka membisniskan penjualan buku paket atau membisniskan bimbingan belajar.
Saya ingat sekali, ketika dulu saya susah payah mengerti pelajaran matematika kelas 1 SMA hanya karena gurunya tidak membahas secara detail setiap materi yang diajarkan di kelas. Sementara beberapa orang tertentu dengan mudah menyelesaikan PR karena ternyata mereka dapat les tambahan di lembaga bimbel, bahkan oleh guru yang sama.
Semua ternyata berujung pada integritas dan kepedulian yang kian melemah. Kehausan akan nilai-nilai kebanggaan semu lebih dominan daripada sikap ksatria. Hal itu juga merupakan cermin tentang diabaikannya nilai-nilai ketuhanan dalam pendidikan. Agama yang tersisa hanyalah ibadah ritual, selebihnya manusia menjalankan kegiatan hidupnya hanya dipandu insting, termasuk di dalamnya keserakahan akan uang dan kekuasaan.
Homeschooling (HS), yang kini sedang menjadi trend, akan berimplikasi positif jika di dalamnya hidup semangat kebersamaan ini. Orang tua yang berniat meng-homeschooling-kan anaknya tak perlu harus bergabung dengan lembaga HS berorientasi profit, jika ternyata dana yang dimiliki tidak bisa menjangkau standar biaya yang ditetapkan lembaga-lembaga tersebut.
Setiap orang tua memiliki potensi untuk menjadi pembimbing bagi anak-anaknya. Bukan untuk membuat anak-anak hafal perkalian ataupun hafal nama-nama pahlawan, tetapi untuk menumbuhkan semangat belajar mereka dan menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan ke dalam hati mereka. Carilah kawan yang juga berniat untuk HS, dan belajarlah bersama-sama untuk berbagi bahan dan juga kearifan.
HS justru menjadi sarana paling pas untuk mempraktekkan kembali semangat kebersamaan, empati, dan gotong royong yang dulu menjadi kebanggaan bangsa ini, yang dulu begitu diandalkan untuk membebaskan diri dari para penjajah asing, yang dulu menjadi pemersatu berbagai suku bangsa, yang dulu dan kini mampu menghapus air mata para dhuafa yang kelaparan, yang dulu dan juga kini mampu membuat anak-anak tersenyum meski mereka tidak berada dalam kelapangan materil.
Belajar Bersama? Selamat mencoba.
Jumat, 23 November 2007
Homeschooling dan PKBM
Menarik tapi juga miris. Untuk kedua kalinya saya mendapat telpon dari ibu yang memiliki persoalan dengan sekolah anaknya. Kasus yang pertama, anak (kelas 1 SD) terlalu aktif di kelas sehingga gurunya merasa terganggu atau lebih tepatnya tidak sanggup menanggulangi. Secara halus sang guru menolak anak itu berada di kelas lewat dialog dengan orang tuanya. Mungkin mirip kasus Totto-chan ya.
Kasus kedua, sang anak (kelas 1 SMP)berulang kali mangkir dari sekolah dan berbohong pada orang tuanya. Dia lebih memilih singgah di rumah familinya daripada mengikuti pelajaran. Sang ibu sedih sekali, tapi mau bilang apa.
Meski kasusnya sedikit berbeda, yang jelas orang tua kedua anak ini akhirnya melihat homeschooling (HS) sebagai alternatif. Akan tetapi, hal "menakjubkan" ternyata harus mereka temui lagi di ranah homeschooling. Ketika lembaga pendukung HS mereka datangi, ternyata biaya yang ditawarkan membuat mereka tercengang. Jumlah pertemuan dengan tutor yang hanya 2 kali atau 3 kali seminggu dibayar jauh lebih mahal daripada pertemuan tiap hari di sekolah umum. Ya, mungkin juga bisa dikatakan wajar, karena gurunya dibayar dengan standar privat. Tetapi, bagi keluarga menengah, tetap saja hal itu sangat memberatkan.
Saya akhirnya katakan pada kedua ibu ini agar mereka mencari PKBM untuk mengurus masalah legalitas dan memperoleh draft kurikulum diknas sebagai acuan. Tapi, jelas kegiatan belajar menjadi tanggung jawab orang tua. Untuk mata pelajaran yang memang membutuhkan tutor, mereka bisa mengundang guru privat yang mau dibayar alakadarnya atau patungan dengan anak dari keluarga lain.
Pada kasus seperti ini, berpikir substansialis adalah obat. HS sendiri saat ini masih menggunakan jalur persamaan sebagai salah satu cara untuk mendapat legalitas, di samping juga ijazah formal jika bergabung dengan sekolah yang mau menaungi para homeschooler (umbrella school). Bagi keluarga yang tidak memungkinkan secara finansial untuk bergabung dengan lembaga-lembaga pendukung HS atau bekerja sama dengan "umbrella school", PKBM adalah solusi yang paling mudah dan jauh lebih murah.
Kalau orang tua bisa serius mengelola kecenderungan belajar anak-anaknya, mampu menemukan bakat dan minat mereka, serta memfasilitasi pengembangan bakat dan minat itu dengan tepat, saya yakin hasilnya juga tak akan kalah dengan anak-anak HS yang bayar mahal ke lembaga-lembaga berorientasi profit.
Homeschooling mungkin hanya sebuah pilihan di antara pilihan-pilihan yang ada, namun untuk beberapa kasus (termasuk dua kasus yang saya ceritakan di atas), HS adalah jalan satu-satunya. Hanya saja, kini terjadi degradasi yang besar pada pelaksanaan HS. Sebuah model pendidikan yang harusnya bisa memerdekakan pikiran dan juga meninggalkan jauh bentuk-bentuk eksploitasi dan pembodohan, nyatanya berubah menjadi sarana baru pengerukan income. Entahlah, apa mungkin karena ini abad materialisme, sehingga model pendidikan alternatif apapun akhirnya berujung pada eksploitasi materil.
Lalu apa jadinya anak-anak kita di hari depan? Saya kadang termenung dan mencoba mengolah berbagai kemungkinan. Akhirnya saya hanya bisa bilang, selamat datang tantangan!
Kasus kedua, sang anak (kelas 1 SMP)berulang kali mangkir dari sekolah dan berbohong pada orang tuanya. Dia lebih memilih singgah di rumah familinya daripada mengikuti pelajaran. Sang ibu sedih sekali, tapi mau bilang apa.
Meski kasusnya sedikit berbeda, yang jelas orang tua kedua anak ini akhirnya melihat homeschooling (HS) sebagai alternatif. Akan tetapi, hal "menakjubkan" ternyata harus mereka temui lagi di ranah homeschooling. Ketika lembaga pendukung HS mereka datangi, ternyata biaya yang ditawarkan membuat mereka tercengang. Jumlah pertemuan dengan tutor yang hanya 2 kali atau 3 kali seminggu dibayar jauh lebih mahal daripada pertemuan tiap hari di sekolah umum. Ya, mungkin juga bisa dikatakan wajar, karena gurunya dibayar dengan standar privat. Tetapi, bagi keluarga menengah, tetap saja hal itu sangat memberatkan.
Saya akhirnya katakan pada kedua ibu ini agar mereka mencari PKBM untuk mengurus masalah legalitas dan memperoleh draft kurikulum diknas sebagai acuan. Tapi, jelas kegiatan belajar menjadi tanggung jawab orang tua. Untuk mata pelajaran yang memang membutuhkan tutor, mereka bisa mengundang guru privat yang mau dibayar alakadarnya atau patungan dengan anak dari keluarga lain.
Pada kasus seperti ini, berpikir substansialis adalah obat. HS sendiri saat ini masih menggunakan jalur persamaan sebagai salah satu cara untuk mendapat legalitas, di samping juga ijazah formal jika bergabung dengan sekolah yang mau menaungi para homeschooler (umbrella school). Bagi keluarga yang tidak memungkinkan secara finansial untuk bergabung dengan lembaga-lembaga pendukung HS atau bekerja sama dengan "umbrella school", PKBM adalah solusi yang paling mudah dan jauh lebih murah.
Kalau orang tua bisa serius mengelola kecenderungan belajar anak-anaknya, mampu menemukan bakat dan minat mereka, serta memfasilitasi pengembangan bakat dan minat itu dengan tepat, saya yakin hasilnya juga tak akan kalah dengan anak-anak HS yang bayar mahal ke lembaga-lembaga berorientasi profit.
Homeschooling mungkin hanya sebuah pilihan di antara pilihan-pilihan yang ada, namun untuk beberapa kasus (termasuk dua kasus yang saya ceritakan di atas), HS adalah jalan satu-satunya. Hanya saja, kini terjadi degradasi yang besar pada pelaksanaan HS. Sebuah model pendidikan yang harusnya bisa memerdekakan pikiran dan juga meninggalkan jauh bentuk-bentuk eksploitasi dan pembodohan, nyatanya berubah menjadi sarana baru pengerukan income. Entahlah, apa mungkin karena ini abad materialisme, sehingga model pendidikan alternatif apapun akhirnya berujung pada eksploitasi materil.
Lalu apa jadinya anak-anak kita di hari depan? Saya kadang termenung dan mencoba mengolah berbagai kemungkinan. Akhirnya saya hanya bisa bilang, selamat datang tantangan!
Jumat, 16 November 2007
Memilih Mainan Anak
Anak balita tanpa mainan? Hal itu jelas mustahil. Anak hidup dengan bermain dan belajar juga lewat bermain. Membiarkan tangan anak kosong tanpa satu pun benda dipegangnya untuk dimainkan hanya akan menjadi bumerang bagi orang tua. Rewel dan uring-uringan sangat mungkin terjadi. Lebih parah lagi jika kemudian mereka beralih menjadi "TV mania", yang kuat berjam-jam di depan televisi, sementara tayangannya belum tentu sesuai dengan usia mereka.
Namun di tengah membanjirnya produksi mainan anak, orang tua juga ternyata perlu selektif memilihnya. Beberapa kriteria perlu diperhatikan agar mainan yang kita berikan pada anak-anak memiliki nilai manfaat dan juga aman bagi mereka.
Berikut ini kriteria mainan dan permainan anak yang bisa menjadi acuan bagi orang tua:
Berasal dari bahan yang aman (tidak mengandung racun)
Bisa mengaktifkan saraf motorik (motorik kasar maupun motorik halus)
Contoh: balok-balok kayu, bola berbagai ukuran, gelas-gelas plastik untuk di tumpuk, manik-manik besar untuk dironce, alat jahit mainan, pasir dan air, lempung mainan, kelereng luncur, mobil-mobilan yang bisa ditarik, sepeda roda tiga, ayunan, perosotan, dll
Bisa mengaktifkan sisi kognitif otak
Contoh: kartu-kartu kata, kartu-kartu gambar, PAS, logico,puzzle (dari kertas, kayu, atau bahan sintetis), buku-buku cerita, balok-balok bongkar pasang, dll.
Memungkinkan adanya interaksi dengan anak sebaya atau orang tua
Misalnya: bermain bola, bermain lompat tali, atau bermain tebak kata dengan kartu-kartu.
Hindari sedapat mungkin mainan yang mempergunakan baterai pada usia balita, karena akan mengurangi aktivitas motorik mereka. Membiarkan anak-anak berlarian di halaman jauh lebih baik daripada membiarkan mereka hanya terduduk melihat mobil-mobilan elektrik berjalan dengan bantuan remote control.
Semoga bermanfaat!
Namun di tengah membanjirnya produksi mainan anak, orang tua juga ternyata perlu selektif memilihnya. Beberapa kriteria perlu diperhatikan agar mainan yang kita berikan pada anak-anak memiliki nilai manfaat dan juga aman bagi mereka.
Berikut ini kriteria mainan dan permainan anak yang bisa menjadi acuan bagi orang tua:
Berasal dari bahan yang aman (tidak mengandung racun)
Bisa mengaktifkan saraf motorik (motorik kasar maupun motorik halus)
Contoh: balok-balok kayu, bola berbagai ukuran, gelas-gelas plastik untuk di tumpuk, manik-manik besar untuk dironce, alat jahit mainan, pasir dan air, lempung mainan, kelereng luncur, mobil-mobilan yang bisa ditarik, sepeda roda tiga, ayunan, perosotan, dll
Bisa mengaktifkan sisi kognitif otak
Contoh: kartu-kartu kata, kartu-kartu gambar, PAS, logico,puzzle (dari kertas, kayu, atau bahan sintetis), buku-buku cerita, balok-balok bongkar pasang, dll.
Memungkinkan adanya interaksi dengan anak sebaya atau orang tua
Misalnya: bermain bola, bermain lompat tali, atau bermain tebak kata dengan kartu-kartu.
Hindari sedapat mungkin mainan yang mempergunakan baterai pada usia balita, karena akan mengurangi aktivitas motorik mereka. Membiarkan anak-anak berlarian di halaman jauh lebih baik daripada membiarkan mereka hanya terduduk melihat mobil-mobilan elektrik berjalan dengan bantuan remote control.
Semoga bermanfaat!
Rabu, 14 November 2007
Bahasa: Tools Penting Menuju Ilmu Pengetahuan
Pelajaran bahasa seringkali dianggap kurang bergengsi, apalagi kalau hubungannya dengan bahasa Indonesia. Anak sekolah yang tidak tahu arti penting belajar bahasa, pasti sulit untuk menemukan keasyikan saat berada di kelas bahasa, mengerjakan tugas-tugas bahasa, dan bergaul dengan guru bahasa.
Akan tetapi, sejak SD saya termasuk orang yang senang pelajaran bahasa. Mood saya tidak pernah jatuh kalau berurusan dengan pelajaran yang satu ini: baik sastranya maupun gramatikanya, entah bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris; walaupun untuk saat itu saya juga tidak tahu apa tujuan belajar bahasa.
Ketika menginjak SMA, saat saya mulai dipertemukan dengan pelajaran bahasa Asing lain selain Inggris (waktu itu kebetulan Bahasa Jepang yang saya dapat), antusiasme saya untuk belajar bahasa dengan huruf-huruf unik ini sungguh besar. Sayangnya, guru bahasa Jepang saya terlanjur pindah. Sedih juga rasanya. Tapi, karena saya sangat suka, keinginan untuk belajar bahasa ini terus berlanjut. Saya mengambil jurusan Sastra Jepang pada UMPTN tahun 1994. Namun, lagi-lagi tidak berjodoh. Saya gagal masuk PTN di jurusan Sastra Jepang. Sampai akhirnya tahun 1995 saya "terjerumus" masuk sastra Rusia yang notabene juga berhubungan dengan bahasa.
Terlepas dari perjalanan saya menyukai bahasa dan gagal menempuh studi di jurusan yang saya mau, baru kini saya menyadari arti penting mempelajarinya. Bahasa apapun itu, adalah alat untuk mengakses pengetahuan.
Perguruan Tinggi yang mengkhususkan diri dalam mengajarkan bahasa mungkin sudah cukup banyak. Akan tetapi, mengolah muatan pelajaran sehingga benar-benar "ready for used" di lapangan saat mahasiswa lulus mungkin tak banyak PT yang melakukannya. Belajar bahasa seringnya hanya murni untuk bahasa, dan bukan untuk dipergunakan dalam kehidupan. Pelajaran bahasa akhirnya menjadi satu unit studi yang masa belajarnya begitu panjang (4 tahun untuk S1- kalau lulusnya cepat), padahal sesungguhnya bisa diperpendek dengan lebih banyak mengedepankan aplikasi daripada teori.
Bahasa Asing untuk Anak Usia Dini
Anak-anak pada usia "emas" (0 - 5 tahun) akan lebih mudah menyerap pelajaran berkali-kali lipat dari orang dewasa. Oleh karena itu, memberinya stimulus dengan beragam bahasa akan sangat membantu mereka untuk belajar dari banyak sumber pengetahuan di seluruh dunia.
Kalau hingga hari ini, bahasa Asing masih dianggap cukup eksklusif, sehingga kita berpikir bahwa untuk menguasainya anak-anak harus menunggu saat kuliah tiba, sungguh hal itu bukan lagi masanya.
Anak-anak bisa mempelajari banyak bahasa sekaligus lewat cara-cara yang mengasyikan, entah VCD ataupun poster-poster bergambar. Bukan untuk membuat mereka tampak hebat dan brilian. namun semata untuk memberi mereka tools menuju ilmu pengetahuan yang tak terbilang banyaknya di berbagai belahan dunia ini.
Satu hal yang pasti, rambu-rambunya adalah tidak memaksa anak untuk belajar secara khusus pada saat mereka memang belum menyukainya.
Salam pendidikan!
Akan tetapi, sejak SD saya termasuk orang yang senang pelajaran bahasa. Mood saya tidak pernah jatuh kalau berurusan dengan pelajaran yang satu ini: baik sastranya maupun gramatikanya, entah bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris; walaupun untuk saat itu saya juga tidak tahu apa tujuan belajar bahasa.
Ketika menginjak SMA, saat saya mulai dipertemukan dengan pelajaran bahasa Asing lain selain Inggris (waktu itu kebetulan Bahasa Jepang yang saya dapat), antusiasme saya untuk belajar bahasa dengan huruf-huruf unik ini sungguh besar. Sayangnya, guru bahasa Jepang saya terlanjur pindah. Sedih juga rasanya. Tapi, karena saya sangat suka, keinginan untuk belajar bahasa ini terus berlanjut. Saya mengambil jurusan Sastra Jepang pada UMPTN tahun 1994. Namun, lagi-lagi tidak berjodoh. Saya gagal masuk PTN di jurusan Sastra Jepang. Sampai akhirnya tahun 1995 saya "terjerumus" masuk sastra Rusia yang notabene juga berhubungan dengan bahasa.
Terlepas dari perjalanan saya menyukai bahasa dan gagal menempuh studi di jurusan yang saya mau, baru kini saya menyadari arti penting mempelajarinya. Bahasa apapun itu, adalah alat untuk mengakses pengetahuan.
Perguruan Tinggi yang mengkhususkan diri dalam mengajarkan bahasa mungkin sudah cukup banyak. Akan tetapi, mengolah muatan pelajaran sehingga benar-benar "ready for used" di lapangan saat mahasiswa lulus mungkin tak banyak PT yang melakukannya. Belajar bahasa seringnya hanya murni untuk bahasa, dan bukan untuk dipergunakan dalam kehidupan. Pelajaran bahasa akhirnya menjadi satu unit studi yang masa belajarnya begitu panjang (4 tahun untuk S1- kalau lulusnya cepat), padahal sesungguhnya bisa diperpendek dengan lebih banyak mengedepankan aplikasi daripada teori.
Bahasa Asing untuk Anak Usia Dini
Anak-anak pada usia "emas" (0 - 5 tahun) akan lebih mudah menyerap pelajaran berkali-kali lipat dari orang dewasa. Oleh karena itu, memberinya stimulus dengan beragam bahasa akan sangat membantu mereka untuk belajar dari banyak sumber pengetahuan di seluruh dunia.
Kalau hingga hari ini, bahasa Asing masih dianggap cukup eksklusif, sehingga kita berpikir bahwa untuk menguasainya anak-anak harus menunggu saat kuliah tiba, sungguh hal itu bukan lagi masanya.
Anak-anak bisa mempelajari banyak bahasa sekaligus lewat cara-cara yang mengasyikan, entah VCD ataupun poster-poster bergambar. Bukan untuk membuat mereka tampak hebat dan brilian. namun semata untuk memberi mereka tools menuju ilmu pengetahuan yang tak terbilang banyaknya di berbagai belahan dunia ini.
Satu hal yang pasti, rambu-rambunya adalah tidak memaksa anak untuk belajar secara khusus pada saat mereka memang belum menyukainya.
Salam pendidikan!
Minggu, 11 November 2007
Pusat Baca Masyarakat Desa: Edukasi Kerakyatan untuk Mencintai Buku
Tak bisa dipungkiri, pembeli buku di negeri kita belumlah seimbang jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Selain itu, fakta menunjukkan bahwa pembeli buku masih didominasi oleh orang kota, atau kalaupun ada orang desa, mereka adalah orang-orang sudah yang bermigrasi atau bersekolah ke kota. Oleh karena itu, wajar jika akhirnya mayoritas penerbit tidak membidik pasar pedesaan untuk pendistribusian buku-bukunya. Pertimbangan marketing menjadi faktor utama.
Akan tetapi, peluang untuk membidik pasar pedesaan sebenarnya masih terbuka lebar. Satu hal yang mungkin tidak disadari, orang desa itu sebenarnya juga konsumtif. Banyak orang desa sekarang ini mampu membeli TV, DVD, lemari es, mesin cuci, kendaraan bermotor, dan peralatan modern lainnya. Artinya, secara finansial sesungguhnya mereka juga mampu. Persoalannya adalah: ada atau tidaknya rasa butuh terhadap buku.
Bertitik tolak dari persoalan tersebut, maka edukasi terhadap masyarakat desa tentang penting dan asyiknya membaca buku adalah program awal. Karena menyuruh orang desa membeli buku pada tahap pertama sudah pasti akan sia-sia.
Prioritas dari program edukasi tersebut adalah menyediakan pusat baca pedesaan atau TBM (Taman Baca Masyarakat) jika kita mempergunakan istilah diknas. Buku-bukunya disuplai oleh orang-orang yang peduli dengan pentingnya membaca buku, sehingga buku-buku yang tersedia di pusat baca bukanlah buku-buku yang isinya kurang bermutu, melainkan buku-buku yang akan menginspirasi orang untuk maju. Setahap demi setahap, dengan semakin tingginya ketertarikan terhadap bahan bacaan, diharapkan buku pun akan diminati masyarakat desa sebagai sebuah produk yang wajib dibeli.
Prosesnya panjang dan lama? Hal itu harus siap dihadapi. Namun bukan tidak mungkin, dengan konsistensi para pengelolanya dan bantuan penuh dari banyak pihak, termasuk insan-insan penerbitan buku, proses itu akan berlangsung lebih cepat.
Bagaimana Mendirikan TBM
Siapapun yang tertarik mendirikan TBM, informasi berikut mungkin bisa dijadikan acuan.
Syarat Berdirinya TBM
1. Tersedia tempat/ruangan yang memadai dan nyaman berukuran minimal 3 x 4 m
2. Lokasi yang mungkin dipergunakan adalah PKBM, balai desa, PAUD, masjid, atau tempat tinggal yang dianggap memadai
3. Tersedia koleksi buku minimal 50 judul buku dengan minimal 2 eksemplar untuk setiap judul. Jadi total buku yang tersedia adalah 100 buku.
4. Tersedia Rak buku sederhana berikut karpet ataupun meja dan kursi.
5. Tersedia Papan Nama TBM
(Sumber: Iklan Layanan Masyarakat, Harian "Pikiran Rakyat" edisi Kamis, 8 November 2007)
Strategi Menghidupkan Taman Bacaan
Penyakit yang seringkali muncul dalam pengelolaan taman bacaan adalah kurangnya pengunjung. Akibatnya, para pengelola atau pengurusnya pun jadi patah arang. Baru seminggu atau paling lama sebulan, taman bacaan sudah tutup lagi.
Program-program pemancing sangatlah penting dalam hal ini. Adanya sekolah-sekolah setingkat SD dan SMP, atau mungkin juga SMU di setiap kecamatan merupakan modal untuk dijadikan pelanggan taman bacaan. Pengelola TBM bisa bekerja sama dengan pihak sekolah untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan siswa-siswanya, seperti bedah buku, lomba bikin resensi, lomba nulis cerita, lomba madding, dan lain sebagainya. Di sinilah para penggiat dan kolektor buku sangat dibutuhkan support-nya, minimal untuk menyediakan hadiah berupa buku bagi para pemenang.
Dampak Signifikan Lain TBM
Lebih jauh dari sekedar menumbuhkan minat baca dan minat membeli buku, kehadiran TBM diharapkan mampu memberikan edukasi tidak langsung bagi generasi muda pedesaan tentang kepedulian terhadap daerah dan masyarakatnya.
Urbanisasi yang tak terbendung dari desa ke kota telah menyebabkan ketimpangan komposisi penduduk. Wilayah perkotaan semakin sesak dan tak tertata karena banyaknya para urban yang mencari nafkah di kota. Salah satu penyebab urbanisasi adalah ketidakmampuan orang desa untuk melihat potensi daerahnya sebagai lahan untuk mencari nafkah.
Sumber daya alam yang melimpah di desa tidak terberdayakan dengan baik karena pengetahuan akan hal itu memang sangat minim. Orang desa akhirnya memilih jalan instan dengan bekerja di kota, entah sebagai buruh, PRT, dan lain-lain, karena langkah itulah yang dianggap lebih cepat membawa mereka pada uang.
Harapan akan terjadinya perubahan yang lebih baik pada masyarakat kita pasti ada di benak banyak orang. Namun melakukan langkah-langkah kecil untuk mewujudkan harapan itu akan jauh lebih berarti daripada merangkai imajinasi besar yang tak terpetakan dalam kapasitas kita masing-masing.
Mensedekahkan minimal 1 saja koleksi buku Anda untuk mendirikan Taman Bacaan Masyarakat akan sangat membantu pemerataan wawasan dan pengetahuan pada mereka yang sulit mengaksesnya. Insyaallah, kebajikan itu akan terus mengalir berkahnya hingga kita kembali kepada-Nya. Hal itu disabdakan Nabi Muhammad saw, "Semua amal akan terputus pada saat seseorang telah meninggal dunia, kecuali 3 hal: anak yang shaleh, ilmu yang bermanfaat, dan amal sedekah".
(Mohon Koreksi jika ada kesalahan)
Akan tetapi, peluang untuk membidik pasar pedesaan sebenarnya masih terbuka lebar. Satu hal yang mungkin tidak disadari, orang desa itu sebenarnya juga konsumtif. Banyak orang desa sekarang ini mampu membeli TV, DVD, lemari es, mesin cuci, kendaraan bermotor, dan peralatan modern lainnya. Artinya, secara finansial sesungguhnya mereka juga mampu. Persoalannya adalah: ada atau tidaknya rasa butuh terhadap buku.
Bertitik tolak dari persoalan tersebut, maka edukasi terhadap masyarakat desa tentang penting dan asyiknya membaca buku adalah program awal. Karena menyuruh orang desa membeli buku pada tahap pertama sudah pasti akan sia-sia.
Prioritas dari program edukasi tersebut adalah menyediakan pusat baca pedesaan atau TBM (Taman Baca Masyarakat) jika kita mempergunakan istilah diknas. Buku-bukunya disuplai oleh orang-orang yang peduli dengan pentingnya membaca buku, sehingga buku-buku yang tersedia di pusat baca bukanlah buku-buku yang isinya kurang bermutu, melainkan buku-buku yang akan menginspirasi orang untuk maju. Setahap demi setahap, dengan semakin tingginya ketertarikan terhadap bahan bacaan, diharapkan buku pun akan diminati masyarakat desa sebagai sebuah produk yang wajib dibeli.
Prosesnya panjang dan lama? Hal itu harus siap dihadapi. Namun bukan tidak mungkin, dengan konsistensi para pengelolanya dan bantuan penuh dari banyak pihak, termasuk insan-insan penerbitan buku, proses itu akan berlangsung lebih cepat.
Bagaimana Mendirikan TBM
Siapapun yang tertarik mendirikan TBM, informasi berikut mungkin bisa dijadikan acuan.
Syarat Berdirinya TBM
1. Tersedia tempat/ruangan yang memadai dan nyaman berukuran minimal 3 x 4 m
2. Lokasi yang mungkin dipergunakan adalah PKBM, balai desa, PAUD, masjid, atau tempat tinggal yang dianggap memadai
3. Tersedia koleksi buku minimal 50 judul buku dengan minimal 2 eksemplar untuk setiap judul. Jadi total buku yang tersedia adalah 100 buku.
4. Tersedia Rak buku sederhana berikut karpet ataupun meja dan kursi.
5. Tersedia Papan Nama TBM
(Sumber: Iklan Layanan Masyarakat, Harian "Pikiran Rakyat" edisi Kamis, 8 November 2007)
Strategi Menghidupkan Taman Bacaan
Penyakit yang seringkali muncul dalam pengelolaan taman bacaan adalah kurangnya pengunjung. Akibatnya, para pengelola atau pengurusnya pun jadi patah arang. Baru seminggu atau paling lama sebulan, taman bacaan sudah tutup lagi.
Program-program pemancing sangatlah penting dalam hal ini. Adanya sekolah-sekolah setingkat SD dan SMP, atau mungkin juga SMU di setiap kecamatan merupakan modal untuk dijadikan pelanggan taman bacaan. Pengelola TBM bisa bekerja sama dengan pihak sekolah untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan siswa-siswanya, seperti bedah buku, lomba bikin resensi, lomba nulis cerita, lomba madding, dan lain sebagainya. Di sinilah para penggiat dan kolektor buku sangat dibutuhkan support-nya, minimal untuk menyediakan hadiah berupa buku bagi para pemenang.
Dampak Signifikan Lain TBM
Lebih jauh dari sekedar menumbuhkan minat baca dan minat membeli buku, kehadiran TBM diharapkan mampu memberikan edukasi tidak langsung bagi generasi muda pedesaan tentang kepedulian terhadap daerah dan masyarakatnya.
Urbanisasi yang tak terbendung dari desa ke kota telah menyebabkan ketimpangan komposisi penduduk. Wilayah perkotaan semakin sesak dan tak tertata karena banyaknya para urban yang mencari nafkah di kota. Salah satu penyebab urbanisasi adalah ketidakmampuan orang desa untuk melihat potensi daerahnya sebagai lahan untuk mencari nafkah.
Sumber daya alam yang melimpah di desa tidak terberdayakan dengan baik karena pengetahuan akan hal itu memang sangat minim. Orang desa akhirnya memilih jalan instan dengan bekerja di kota, entah sebagai buruh, PRT, dan lain-lain, karena langkah itulah yang dianggap lebih cepat membawa mereka pada uang.
Harapan akan terjadinya perubahan yang lebih baik pada masyarakat kita pasti ada di benak banyak orang. Namun melakukan langkah-langkah kecil untuk mewujudkan harapan itu akan jauh lebih berarti daripada merangkai imajinasi besar yang tak terpetakan dalam kapasitas kita masing-masing.
Mensedekahkan minimal 1 saja koleksi buku Anda untuk mendirikan Taman Bacaan Masyarakat akan sangat membantu pemerataan wawasan dan pengetahuan pada mereka yang sulit mengaksesnya. Insyaallah, kebajikan itu akan terus mengalir berkahnya hingga kita kembali kepada-Nya. Hal itu disabdakan Nabi Muhammad saw, "Semua amal akan terputus pada saat seseorang telah meninggal dunia, kecuali 3 hal: anak yang shaleh, ilmu yang bermanfaat, dan amal sedekah".
(Mohon Koreksi jika ada kesalahan)
Minggu, 04 November 2007
Mengamati Gaya Belajar Anak
Pernahkah kita mencari tahu, mengapa ada anak yang bisa duduk diam dan ada pula anak-anak yang tak pernah berhenti bergerak; ada anak yang suka mendengarkan cerita tapi ada juga yang lebih suka membaca buku atau melihat-lihat gambar. Selama ini, khususnya di sekolah formal, hal-hal semacam itu mungkin hanya dijadikan catatan, namun tak membuahkan gagasan untuk menerapkan model belajar yang paling sesuai untuk setiap anak yang berbeda tersebut.
Bagi para pendidik rumahan alias orang tua, mengamati gaya anak-anak dalam beraktivitas tidaklah sulit.Namun tahukah kita bahwa gaya setiap anak dalam beraktivitas adalah cerminan dari gaya belajar mereka. Oleh karena itu, jika kita sudah bisa mendeteksi kecenderungan mereka dalam beraktivitas, hal itu akan sangat membantu kita dalam memilih model belajar paling tepat bagi mereka.
Thomas Amstrong memilah gaya belajar setiap orang menjadi tiga: Visual, Auditori, dan Kinestetik (Haptik). Mereka yang bergaya belajar visual sangat peka dengan gambar dan sesuatu yang menarik indera penglihatan lainnya. Oleh karena itu, anak-anak bertipe visual akan sangat terbantu belajarnya jika kita banyak mempergunakan gambar atau video.
Adapun mereka yang bertipe auditori, akan sangat tertarik dengan stimulasi yang memancing indra pendengaran: mungkin lagu atau musik/irama. Suara mereka biasanya nyaring dan senang berceloteh. Oleh karena itu, sangat baik bagi anak-anak auditori untuk memperoleh bantuan berupa kaset berisi lagu atau kata-kata berirama, dongeng, dan alat-alat stimulasi pendengaran lainnya.
Terakhir adalah gaya belajar kinestetik (haptik). Anak-anak haptik sangat suka bergerak, dan cara mereka belajar memang membutuhkan unsur gerak fisik. Mereka akan tersiksa jika dipaksa untuk duduk diam saat belajar. Namun, gaya belajar yang satu ini memang masih sulit diterima di sekolah formal yang pasti klasikal (terdiri atas banyak anak di dalam kelas). Biasanya, guru yang tidak mengerti akan memberikan label "nakal" atau "pengganggu" pada mereka.
Memilih model belajar yang sesuai dengan gaya belajar anak, sangat penting agar proses belajar selalu berlanjut dengan suasana yang asyik bagi mereka.
Lalu, bagaimana jika gaya belajar anak-anak kita mungkin saja berbeda dengan gaya belajar orang tuanya? Tentu saja, orang tua harus 'legowo' untuk menerapkan model belajar yang sesuai dengan anak-anak. Jika pun kita tidak bisa melakukannya sendiri, kita bisa minta bantuan nenek, tante, atau teman dekat yang memang memiliki gaya yang cocok untuk mengajar anak-anak kita. Nggak ada salahnya, kan?
Salam pendidikan!
Bagi para pendidik rumahan alias orang tua, mengamati gaya anak-anak dalam beraktivitas tidaklah sulit.Namun tahukah kita bahwa gaya setiap anak dalam beraktivitas adalah cerminan dari gaya belajar mereka. Oleh karena itu, jika kita sudah bisa mendeteksi kecenderungan mereka dalam beraktivitas, hal itu akan sangat membantu kita dalam memilih model belajar paling tepat bagi mereka.
Thomas Amstrong memilah gaya belajar setiap orang menjadi tiga: Visual, Auditori, dan Kinestetik (Haptik). Mereka yang bergaya belajar visual sangat peka dengan gambar dan sesuatu yang menarik indera penglihatan lainnya. Oleh karena itu, anak-anak bertipe visual akan sangat terbantu belajarnya jika kita banyak mempergunakan gambar atau video.
Adapun mereka yang bertipe auditori, akan sangat tertarik dengan stimulasi yang memancing indra pendengaran: mungkin lagu atau musik/irama. Suara mereka biasanya nyaring dan senang berceloteh. Oleh karena itu, sangat baik bagi anak-anak auditori untuk memperoleh bantuan berupa kaset berisi lagu atau kata-kata berirama, dongeng, dan alat-alat stimulasi pendengaran lainnya.
Terakhir adalah gaya belajar kinestetik (haptik). Anak-anak haptik sangat suka bergerak, dan cara mereka belajar memang membutuhkan unsur gerak fisik. Mereka akan tersiksa jika dipaksa untuk duduk diam saat belajar. Namun, gaya belajar yang satu ini memang masih sulit diterima di sekolah formal yang pasti klasikal (terdiri atas banyak anak di dalam kelas). Biasanya, guru yang tidak mengerti akan memberikan label "nakal" atau "pengganggu" pada mereka.
Memilih model belajar yang sesuai dengan gaya belajar anak, sangat penting agar proses belajar selalu berlanjut dengan suasana yang asyik bagi mereka.
Lalu, bagaimana jika gaya belajar anak-anak kita mungkin saja berbeda dengan gaya belajar orang tuanya? Tentu saja, orang tua harus 'legowo' untuk menerapkan model belajar yang sesuai dengan anak-anak. Jika pun kita tidak bisa melakukannya sendiri, kita bisa minta bantuan nenek, tante, atau teman dekat yang memang memiliki gaya yang cocok untuk mengajar anak-anak kita. Nggak ada salahnya, kan?
Salam pendidikan!
Sekolah Calon 'Orang Tua'
Menjadi orang tua seringnya hanya akibat alamiah, karena sebuah pasangan menikah dan kemudian punya anak. Oleh karena itu, persiapan untuk menjadi orang tua mungkin hanya sedikit orang yang melakukannya dengan matang sebelum menikah.
Kejutan demi kejutan saat pertama kali menjadi ayah atau ibu seringkali tak terbayangkan sebelumnya. Pada beberapa pasangan kejutan-kejutan tersebut bisa dilalui dengan lebih santai karena mereka sudah memiliki dasar-dasar pengetahuan sebelum anak lahir. Akan tetapi, pada banyak pasangan, ternyata menghadapi anak-anak, terlebih untuk mendidik mereka cukup membuat repot karena mereka sangat awam tentang hal tersebut.
Bagaimana mengatasi persoalan itu? Sekolah untuk Calon Orang tua nampaknya perlu juga didirikan. Meski bukanlah sebuah sekolah formal, namun setidaknya berupa komunitas belajar orang tua (Learning Community for Parents) agar setiap pasangan yang baru menjadi orang tua memiliki bekal untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Contoh kecil, seperti bagaimana menstimulasi gerak fisik bayi seringkali luput dari pengetahuan pasangan baru. Banyak orang tua mempergunakan baby walker pada saat bayi masih berusia 5 atau 6 bulan. Harapannya, supaya bayi bisa bergerak leluasa di tengah keterbatasan fisik mereka yang masih belum bisa berjalan. Akibatnya, banyak bayi pengguna alat itu justru mengalami hambatan dalam merangkak dan lambat bisa berjalan.
Penemuan terbaru menunjukkan bahwa stimulasi motorik kasar yang lebih ampuh justru dengan membiarkan bayi kita mengekplorasi ruangan tanpa bantuan alat apapun. Biarkan mereka merayap, merangkak, dan kemudian belajar berjalan di atas lantai dengan leluasa. Mereka mungkin sesekali terantuk ke lantai, jatuh, atau kepalanya membentur dinding. Kita tidak perlu khawatir secara berlebihan, karena sesungguhnya hal itu sangat berguna bagi mereka untuk menempuh setiap tahapan perkembangan motoriknya.
Calon orang tua semestinya memiliki pengetahuan-pengetahuan dasar seperti itu sebelum anak lahir. Kalau sekolah untuk itu belum banyak didirikan, siapa tahu Anda terinspirasi untuk mendirikannya di lingkungan terdekat.
Salam pendidikan!
Kejutan demi kejutan saat pertama kali menjadi ayah atau ibu seringkali tak terbayangkan sebelumnya. Pada beberapa pasangan kejutan-kejutan tersebut bisa dilalui dengan lebih santai karena mereka sudah memiliki dasar-dasar pengetahuan sebelum anak lahir. Akan tetapi, pada banyak pasangan, ternyata menghadapi anak-anak, terlebih untuk mendidik mereka cukup membuat repot karena mereka sangat awam tentang hal tersebut.
Bagaimana mengatasi persoalan itu? Sekolah untuk Calon Orang tua nampaknya perlu juga didirikan. Meski bukanlah sebuah sekolah formal, namun setidaknya berupa komunitas belajar orang tua (Learning Community for Parents) agar setiap pasangan yang baru menjadi orang tua memiliki bekal untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Contoh kecil, seperti bagaimana menstimulasi gerak fisik bayi seringkali luput dari pengetahuan pasangan baru. Banyak orang tua mempergunakan baby walker pada saat bayi masih berusia 5 atau 6 bulan. Harapannya, supaya bayi bisa bergerak leluasa di tengah keterbatasan fisik mereka yang masih belum bisa berjalan. Akibatnya, banyak bayi pengguna alat itu justru mengalami hambatan dalam merangkak dan lambat bisa berjalan.
Penemuan terbaru menunjukkan bahwa stimulasi motorik kasar yang lebih ampuh justru dengan membiarkan bayi kita mengekplorasi ruangan tanpa bantuan alat apapun. Biarkan mereka merayap, merangkak, dan kemudian belajar berjalan di atas lantai dengan leluasa. Mereka mungkin sesekali terantuk ke lantai, jatuh, atau kepalanya membentur dinding. Kita tidak perlu khawatir secara berlebihan, karena sesungguhnya hal itu sangat berguna bagi mereka untuk menempuh setiap tahapan perkembangan motoriknya.
Calon orang tua semestinya memiliki pengetahuan-pengetahuan dasar seperti itu sebelum anak lahir. Kalau sekolah untuk itu belum banyak didirikan, siapa tahu Anda terinspirasi untuk mendirikannya di lingkungan terdekat.
Salam pendidikan!
Senin, 29 Oktober 2007
Mainan Baru dari Limbah Pohon (Bagian 2)
Ini adalah tulisan kedua tentang mainan dari limbah pohon; sebagai sebuah apresiasi terhadap sumber alam yang murah untuk memancing imajinasi anak-anak.
Pohon Mainan untuk Membuat Hutan
Bahan:
1. Ranting pohon yang banyak cabangnya dengan ukuran sesuai selera
2. Kertas Warna
3. Lem
4. Gunting
5. Pisau
Cara Membuat:
1. Bersihkan ranting dari daun-daun yang masih menempel
2. Untuk mendapatkan ranting yang mulus, kita bisa membersihkan kulitnya dengan menggunakan pisau dan ampelas jika ada
3. Bentuklah kertas warna (yang sesuai untuk warna pohon atau sesuai selera anak) menjadi kumpulan daun berpasangan atau rangkap dua.
4. Tempelkan tiap pasang daun tiruan itu mengapit ranting.
5. Maka jadilah pohon yang siap mengisi hutan buatan.
Tentu kita akan membutuhkan banyak pohon untuk menciptakan sebuah hutan. Tunggu tulisan berikutnya untuk mengetahui cara membuat hutan. Selamat mencoba!
Pohon Mainan untuk Membuat Hutan
Bahan:
1. Ranting pohon yang banyak cabangnya dengan ukuran sesuai selera
2. Kertas Warna
3. Lem
4. Gunting
5. Pisau
Cara Membuat:
1. Bersihkan ranting dari daun-daun yang masih menempel
2. Untuk mendapatkan ranting yang mulus, kita bisa membersihkan kulitnya dengan menggunakan pisau dan ampelas jika ada
3. Bentuklah kertas warna (yang sesuai untuk warna pohon atau sesuai selera anak) menjadi kumpulan daun berpasangan atau rangkap dua.
4. Tempelkan tiap pasang daun tiruan itu mengapit ranting.
5. Maka jadilah pohon yang siap mengisi hutan buatan.
Tentu kita akan membutuhkan banyak pohon untuk menciptakan sebuah hutan. Tunggu tulisan berikutnya untuk mengetahui cara membuat hutan. Selamat mencoba!
Kamis, 25 Oktober 2007
Mainan Baru dari Limbah Pohon (Bagian 1)
Anda pasti pernah melihat fenomena ini: pohon yang telah dipangkas dibiarkan menumpuk di pojok halaman atau di buang ke tempat yang jauh lalu dibakar setelah kering. Bahkan tukang sampah pun tak mau membawanya karena bisa membuat truk menjadi cepat penuh. Tapi sungguhkah 'limbah' pohon ini sama sekali tak berguna?
Pagi sekitar jam 9 tetangga saya terlihat mengangkut tumpukan ranting dan batang pohon yang baru pangkas untuk dibuang di pinggiran kolam. Tiba-tiba saja terlintas dalam pikiran saya untuk meminta sebagian ranting-ranting itu untuk bahan belajar anak-anak. Sudah lama saya ingin mengajak anak-anak bermain dengan bahan-bahan alam. Sayangnya di perkotaan memang sangat sulit memperoleh bahan-bahan itu, walau hanya sebatang ranting pohon. Bersyukur sekali hari ini ada tetangga yang memangkas pohon di depan rumahnya dan membuang limbahnya.
Sedikit kreativitas sesungguhnya bisa membuat limbah pohon menjadi asyik sebagai mainan anak-anak. Malah anak-anak juga terlihat menikmati proses pembuatannya dengan melibatkan mereka dalam beberapa pekerjaan, seperti menguliti batang pohon serta membersihkan sampah-sampah setelah pekerjaan selesai.
Saya akan menampilkan beberapa mainan yang bisa kita buat dari bahan limbah pohon ini dalam 4 seri tulisan, yaitu kelereng luncur, "pohon" gelas, hutan, peternakan, dll. Inilah yang pertama.
Kelereng Luncur
"Pohon" Gelas
Semoga menjadi inspirasi bagi Anda.
Selasa, 23 Oktober 2007
Memperkenalkan Tanaman Obat
Semenjak saya tahu dan merasakan efek negatif obat-obatan modern, saya semakin tertarik dengan tanaman obat. Saya pikir, dengan pengetahuan yang memadai, beberapa penyakit ringan bahkan juga penyakit berat sesungguhnya bisa diatasi dengan obat-obatan alami. Tujuannya, untuk meminimalkan resiko penurunan kekebalan tubuh.
Oleh karena itulah saya memasukkan pengetahuan tentang tanaman obat dalam kurikulum belajar anak-anak. Saya berharap, dengan mengenal tanaman obat sejak kecil, anak-anak akan lebih akrab dan juga cinta obat-obatan alami.
Tahapan Belajar
Pertama kali yang kami lakukan adalah melihat macam-macam gambar tanaman obat. Setelah itu kami pilih 5 jenis yang paling mudah diperoleh di sekitar kami atau dibeli di warung. Sebagai permulaan kami ambil kunyit, jahe, kencur, lengkuas, dan daun sirih.
Anak-anak diminta untuk mengamati bentuk fisik masing-masing tanaman obat tersebut, membauinya, dan memotongnya untuk melihat bagian dalam khusus untuk umbi-umbian. Sebagai permainan kita juga bisa bermain tebak-tebakan untuk mendeteksi kepekaan penciuman. Dengan mata di terpejam, mintalah anak-anak untuk mencium bau salah satu rempah dan menebak namanya.
Acara belajar bisa dilanjutkan dengan menanam rempah tersebut di dalam pot untuk mengetahui bentuk daun dan batangnya. Mengamati tanaman itu bertunas setiap hari juga mengasyikkan.
Setelah belajar praktis dilakukan, saya mengambil info lebih detail tentang tanaman-tanaman tersebut di wikipedia versi indonesia www.id.wikipedia.org, dan anak-anak pun bisa membacanya pada saat senggang, terutama mengenai karakteristik dan fungsi tanaman-tanaman tersebut dalam pengobatan penyakit.
Semoga menjadi inspirasi bagi Anda
Minggu, 21 Oktober 2007
Waspadai Lingkungan Anak-Anak Kita!
Mendidik anak ternyata tak sesulit onta masuk ke lubang jarum, namun juga tak semudah membalikkan telapak tangan. Satu hal yang membuat pendidikan menjadi mudah, karena kunci utamanya ternyata hanyalah keteladanan; namun hal itu menjadi sulit, karena menjadi teladan berarti berjuang untuk mengubah kebiasaan.
Ingin anak-anak suka membaca, maka rajinlah membaca; ingin anak-anak suka mengaji, maka rajinlah mengaji; ingin anak-anak bersikap lemah lembut, jadilah orang yang lembut; ingin anak-anak bersikap sabar, maka jadilah seorang penyabar. Semua berawal dari contoh, semua berawal dari kebiasaan orang tua.
Beberapa hari terakhir ini, saya merasa sangat miris membaca berita di surat kabar. Pasca Ramadhan, peristiwa-peristiwa kriminal, amoral, dan KDRT ternyata tak berhenti walau barang sejenak. Paling menyedihkan, ketika hal itu menimpa anak-anak.
Peristiwa pelecehan seksual yang dilakukan ayah kandung ataupun ayah tiri kepada anaknya dan bahkan anak-anak berusia belia terhadap teman atau anak-anak berusia di bawahnya nampak agak sering menjadi bahan pemberitaan.
Hasil penelusuran menunjukkan bahwa banyak dari peristiwa tersebut diawali oleh kebiasaan orang tua yang senang menonton dan menyimpan VCD “dewasa” di rumah. Siapakah yang bisa disalahkan? Jelas tidak adil jika kesalahan ditimpakan kepada anak-anak, karena mereka tidaklah mengerti hingga orang dewasa memberi mereka contoh. Bahkan mungkin mereka pun tidak mengerti ketika mereka melakukannya, karena mereka hanya meniru.
Sangat-sangat mengkhawatirkan moral anak-anak kita jika sebagai orang tua, kita tak mampu memberikan teladan yang baik. Rumah adalah pintu pertama bagi seorang anak untuk mengenal kehidupan. Jika rumah tak bisa menjadi miniatur masyarakat yang baik, maka apa jadinya anak-anak kita jika mereka berada di luar rumah, yang juga semakin “tak ramah” sebagai sebuah lingkungan pendidikan.
Beberapa orang tua begitu ketatnya menjaga akhlak anak-anaknya. Namun pergaulan di luar rumah memungkinkan anak-anak tetap berinteraksi dengan mereka yang berperilaku buruk. Oleh karena itu, sesungguhnya orang tua tak boleh merasa aman membiarkan anak-anak berada di luar rumah tanpa pengawasan yang intensif. Setidaknya orang tua harus tahu dengan siapa anak-anaknya bergaul dan bermain. Karena jangan salah, perilaku amoral bahkan sudah bisa dilakukan anak-anak usia TK sekalipun atau bahkan oleh orang-orang dekat yang kita percayai. Waspada lebih baik daripada menyesal.
Rumah Teladan, Siapa Tertarik Membuatnya?
Ruang pendidikan alternatif. Anak belajar, orang tua juga belajar. Orang tua (bagi yang mampu secara intelektual) adalah guru utama dan tutor professional sebagai pendukung. Setiap orang belajar dengan spirit untuk menjadi teladan: meninggalkan jejak yang baik untuk orang lain hingga menginspirasi orang lain untuk juga berbuat baik
Peserta pembelajaran terdiri atas maksimal 10 anak dari beberapa keluarga. Orientasi program adalah keteladanan akhlak dan ilmu, BUKAN nilai test. Setiap anak dan orang tua adalah teladan yang baik bagi yang lainnya. Tidak ada kata salah, melainkan saling mengingatkan.
Menjadikan Al Quran dan Hadist sebagai penuntun, dan menjadikan orang-orang berilmu sebagai tempat bertanya.
Lokasi belajar: di kelas, di luar kelas, di rumah, dan di ruang-ruang publik.
Metode belajar melalui jalur kontekstual (yang di lakukan di kelas, di rumah, dan ruang-ruang publik), dan metode belajar tekstual dilakukan bersama orang tua di rumah atau perpustakaan dengan konsep: “belajar sendiri”.
Eksplorasi kreativitas adalah kebiasaan besar yang harus dibangun. Dengan begitu, anak-anak pun belajar tentang memberdayakan sumber yang ada dan membuang ketergantungan pada fasilitas yang tak terjangkau selama hasil belajar tetap tercapai dengan media seadanya.
Porsi kurikulum umum dan agama berimbang, dengan mengutamakan konsep agama adalah ilmu dan ilmu untuk beragama.
Biaya ditanggung secara patungan oleh masing-masing peserta dengan mempertimbangkan kemampuan maksimal setiap peserta, namun dimungkinkan untuk melakukan subsidi silang bagi peserta yang berkelebihan.
Legalitas formal diperoleh melalui jalur PKBM, sehingga fasilitas seperti perpustakaan, laboratorium, dan peralatan olah raga diusahakan berasal dari bantuan pemerintah atau donatur, sehingga dapat dipergunakan pula untuk masyarakat umum yang membutuhkan.
Siapa tertarik dan ingin merealisasikan gagasan ini? Mari bergabung atau buatlah dan sempurnakanlah sendiri!
Ada Apa dengan TKW?
Seorang perempuan muda bersikukuh untuk pergi ke Saudi Arabia, menjadi pembantu rumah tangga, mengadu nasib, berharap mendapat riyal untuk membeli kecukupan hidup, seperti halnya anak tetangga yang kini tampak senang dengan untaian perhiasan menghiasi leher hingga kakinya.
Suaminya tak mengijinkan. Secara ekonomi sesungguhnya hidup mereka tidaklah terlalu susah. Rumah baru sudah selesai dibangun, nafkah rutin bulanan pun tak pernah kosong. Apa yang dicari perempuan itu? Bahkan ia rela bercerai jika sang suami tak mengijinkannya pergi.
Tak usahlah menggunakan agama untuk mengukur keputusan perempuan itu, karena secara kasat mata pun, dengan anak-anak yang masih butuh perhatian ibunya, sesungguhnya keputusan itu hanya akan merusak tatanan keluarga yang sudah terbangun. Selain itu, banyak contoh menunjukkan, hasil susah payah bertahun-tahun akhirnya habis di kasa supermarket hanya dalam hitungan minggu.
Selama ini saya berpikir bahwa hanya kemiskinanlah yang menyebabkan maraknya perempuan Indonesia pergi ke luar negeri menjadi TKW; namun pembicaraan dengan perempuan muda itu membuat pikiran saya terbuka, bahwa akar persoalan sesungguhnya justru adalah pendidikan.
Ketika seorang ibu memahami dan bangga dengan tanggung jawabnya terhadap anak dan keluarga, ketika seorang istri merasa mulia dengan kedudukannya di hadapan suami, dan ketika seorang perempuan mampu menghargai dirinya lewat sumbangsih ilmu dan tenaganya untuk masyarakat; semua adalah produk pendidikan.
Sayangnya, pendidikan kini telah menjadi komoditi, tak beda dengan telur dan tepung terigu, malah jauh lebih mahal dari itu. Hingga orang kampung yang lugu lebih memilih membeli telur daripada membayar pendidikan anaknya.
Satu hal yang membuat hati kita miris dan perlu berintrospeksi: Kita pun sering tak peduli dengan orang lain, menyimpan nasehat hanya untuk catatan, abai terhadap keawaman orang-orang di sekitar kita. Padahal kita tahu, sekuntum mawar yang indah dan wangi tak lagi menarik jika di sekelilingnya penuh dengan bunga bangkai.
Salam Pendidikan!
Suaminya tak mengijinkan. Secara ekonomi sesungguhnya hidup mereka tidaklah terlalu susah. Rumah baru sudah selesai dibangun, nafkah rutin bulanan pun tak pernah kosong. Apa yang dicari perempuan itu? Bahkan ia rela bercerai jika sang suami tak mengijinkannya pergi.
Tak usahlah menggunakan agama untuk mengukur keputusan perempuan itu, karena secara kasat mata pun, dengan anak-anak yang masih butuh perhatian ibunya, sesungguhnya keputusan itu hanya akan merusak tatanan keluarga yang sudah terbangun. Selain itu, banyak contoh menunjukkan, hasil susah payah bertahun-tahun akhirnya habis di kasa supermarket hanya dalam hitungan minggu.
Selama ini saya berpikir bahwa hanya kemiskinanlah yang menyebabkan maraknya perempuan Indonesia pergi ke luar negeri menjadi TKW; namun pembicaraan dengan perempuan muda itu membuat pikiran saya terbuka, bahwa akar persoalan sesungguhnya justru adalah pendidikan.
Ketika seorang ibu memahami dan bangga dengan tanggung jawabnya terhadap anak dan keluarga, ketika seorang istri merasa mulia dengan kedudukannya di hadapan suami, dan ketika seorang perempuan mampu menghargai dirinya lewat sumbangsih ilmu dan tenaganya untuk masyarakat; semua adalah produk pendidikan.
Sayangnya, pendidikan kini telah menjadi komoditi, tak beda dengan telur dan tepung terigu, malah jauh lebih mahal dari itu. Hingga orang kampung yang lugu lebih memilih membeli telur daripada membayar pendidikan anaknya.
Satu hal yang membuat hati kita miris dan perlu berintrospeksi: Kita pun sering tak peduli dengan orang lain, menyimpan nasehat hanya untuk catatan, abai terhadap keawaman orang-orang di sekitar kita. Padahal kita tahu, sekuntum mawar yang indah dan wangi tak lagi menarik jika di sekelilingnya penuh dengan bunga bangkai.
Salam Pendidikan!
Jumat, 19 Oktober 2007
Homeschooling, Haruskah Eksklusif?
Sejak subsidi pendidikan nyaris ditiadakan, efek yang langsung terasa oleh masyarakat, adalah mahalnya biaya sekolah. Terbukanya peluang untuk tumbuhnya pendidikan alternatif seperti homeschooling (HS) adalah kabar baik. Dengan pertimbangan finansial, HS diharapkan bisa mengabaikan unsur-unsur tertentu yang membuat biaya pendidikan menjadi mahal. Biaya gedung, seragam, atau atribut-atribut fisik lainnya dapat ditiadakan. Pemerataan pendidikan pun diharapkan akan berjalan lebih baik.
Sayanganya kini model pendidikan alternatif ini juga mengalami distorsi substansi. Munculnya lembaga-lembaga non sekolah yang membuka layanan belajar berbasis HS dengan biaya yang sangat-sangat mahal membuat HS terkesan ekslusif dan tak mungkin dilakukan oleh mereka yang ekonominya pas-pasan.
Tak Perlu Mahal
Perpindahan tempat belajar dan bervariasinya metode yang digunakan dalam bersekolah di rumah tidaklah berarti akan menambah biaya pendidikan jika seorang homeschooler bisa mengelola fasilitas yang ada di sekelilingnya dengan cermat.
Perpustakaan, museum, toku buku dan barang-barang bekas, perabotan rumah, sawah, kebun, tanaman di halaman, hewan peliharaan, dan lain sebagainya adalah contoh-contoh media belajar yang dapat dimanfaatkan tanpa harus merogoh uang terlalu besar.
Satu dari sekian prinsip yang diusung HS diantaranya adalah menghubungkan pengetahuan dengan dunia nyata, dan hal itu seringkali sangat murah. Anak-anak bisa belajar matematika saat mengeluarkan biscuit dari bungkusnya, bisa belajar bahasa inggris saat membaca petunjuk memasak mie instan, atau belajar biologi saat bermain di halaman; dengan mengamati serangga dan tumbuhan yang hidup bebas.
Informasi yang memang dianggap masih kurang oleh para peminat HS adalah aspek-aspek praktis berupa gambaran kurikulum, selain juga cara mengurus legalitas, supaya anak-anak yang melakukan HS tetap bisa memperoleh ijazah resmi sesuai jenjang pendidikan yang ditempuhnya.
Namun demikian, kalau kita mau sedikit menjelajahi internet, semua informasi itu bisa diperoleh cuma-cuma. Mengakses www.puskur.net akan membantu kita untuk mengetahui standar kurikulum nasional, sehingga kita memiliki gambaran dalam merancang kurikulum bagi anak-anak.
Beberapa panduan belajar dan kurikulum pendukung lainnya juga sebenarnya bisa kita dapatkan murah dan bahkan gratis di internet. Dari sana kita bisa mengambil pengalaman para homeschooler yang sudah lebih dulu menerapkan HS, dan kita kombinasikan dengan sedikit sentuhan kreativitas keluarga masing-masing.
HS akan menjadi sangat mahal jika para homeschooler serba membeli segala perangkat belajar yang semestinya tidak perlu dibeli.
Hindari Dokotomi
Dikotomi yang tajam antara HS dan sekolah formal sangat tidak bermanfaat untuk dikembangkan. Melihat pendidikan dalam skala makro, HS pun bisa menjadi bumerang jika hanya didefinisikan sebagai bersekolah di rumah dan tidak pergi ke sekolah. Salah-salah memberikan penjelasan, apa yang diingat dari HS justru hanyalah “tidak pergi ke sekolah”, dan anak-anak malah tidak mau belajar sama sekali di manapun.
HS mungkin masih tampak asing dan eksklusif bagi mereka yang belum mengenalnya terlalu jauh. Padahal kalau kita mau membaca beragam referensi tentang HS, kita akan melihat bahwa sesungguhnya model ini sangat akrab dengan kehidupan kita dan bermanfaat bagi semua orang, termasuk bagi mereka yang akhirnya memilih sekolah formal.
Substansi HS adalah membuat belajar menjadi demikian menyenangkan, mandiri, dan sesuai minat. Tak peduli di mana pun tempatnya, baik di rumah, di pasar, di perpustakaan, ataupun di jalanan, anak-anak bisa belajar sesuatu tanpa harus dibatasi kisi-kisi materi yang mengikat.
Selain itu, prinsip dasar HS yang cukup penting adalah terlibatnya orang tua secara penuh dalam pendidikan anaknya. Sekalipun anak-anak akhirnya masuk sekolah formal, peran orang tua dalam mengelola pendidikan anaknya tidak boleh berhenti.
Meskipun HS murni (bersekolah di rumah) nampak ideal bagi sebagian orang, namun bagi orang tua lain, dengan latar belakang dan pekerjaan yang berbeda HS murni bisa jadi tidak memungkinkan. Pada kondisi inilah sekolah formal atau sekolah alternatif berupa kelas masih tetap dibutuhkan untuk mendidik anak-anak, setidaknya pada sisi koginitif. Sementara itu, menghidupkan etos belajar adalah pe er tersendiri bagi dunia sekolah.
Referensi
Beberapa buku yang membahas tema-tema seputar HS, pembelajaran mandiri, dan sekolah kreatif sudah terbit dalam bahasa Indonesia, seperti Tamasya Belajar (MLC:2005), Revolusi Belajar untuk Anak (Kaifa:2002), Sekolah Para Juara (Kaifa:2004), Belajar Tanpa Sekolah (Nuansa:2006), Totto-Chan (Gramedia:2006), Revolusi Cara Belajar (Kaifa:2001), Homeschooling Keluarga Kak Seto (Kaifa:2007), Ibuku Guruku: Belajar di Rumah dalam Balutan Kearifan dan Kehangatan (MLC:2005), Montessori untuk Sekolah Dasar (Pustaka Delapratasa:2002), Accelerated Learning (Nuansa:2002), dan lain-lain.
Membaca buku-buku tersebut, setidaknya akan membantu setiap orang untuk mengenal temuan-temuan terbaru tentang pembelajaran dan mampu melihat HS tak hanya sekedar bersekolah di rumah.
Lebih jauh menelaah HS, akan membuat kita memahami bahwa HS adalah bagian dari tanggung jawab pendidikan yang diemban orang tua. Sekalipun anak-anak kita bersekolah di sekolah formal, tidaklah hilang tanggung jawab orang tua untuk mendidik anak-anak, sehingga mereka menyukai belajar dan menjadi tumbuh positif dengan belajar.
Selasa, 09 Oktober 2007
Gambar Tempel
Kamis, 04 Oktober 2007
Kekuatan Pikiran dalam Pengasuhan Anak
Masa kecil adalah masa pembentukan konsep-konsep diri, citra diri, dan kecenderungan-kecenderungan pada manusia. Diakui atau tidak, perbedaan karakter, kebiasaan, selera, dan terlebih persepsi-persepsi kita tentang kehidupan dipengaruhi oleh masa kecil kita. Ajaibnya, semua itu dibentuk bukan lewat tutorial, melainkan diawali oleh pikiran dan persepsi orang tua atas anak-anaknya. Tak percaya?
Sebuah buku berjudul Mind Power for Children yang ditulis oleh John Kehoe dan Nancy Fischer menjelaskan tentang hal tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami. Buku setebal 201 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Think Yogyakarta.
Persepsi kita terhadap anak-anak ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap cara kita memperlakukan mereka dan cara kita berbicara atau bersikap terhadap mereka, dan hal itu pun akan menular pada anak-anak tanpa kita sadari.
Bayangkan ketika kita sedang merasa kesal pada anak-anak saat mereka membuat gaduh. Wajah kita berubah kusut, suara kita menjadi sedikit tegang, dan mungkin meledak jika tak sempat terkontrol. Lalu apa yang mungkin dipikirkan anak-anak tentang kita dengan sikap tersebut? Yakinlah mereka pun akan merasakan ketidaknyamanan itu secara otomatis.
Pada bagian awal buku ini dikatakan, "Pikiran adalah kekuatan paling dahsyat. Begitu pula dalam dunia anak. Segala bentuk pikiran yang terlintas dalam pikiran mereka setiap hari akan mempengaruhi semua aspek kehidupan mereka. Sikap, pilihan, kepribadian dan siapa mereka sebagai individu, adalah produk dari pikiran-pikiran tersebut."
Kekuatan Kata-Kata
Ketika kita sekolah dulu, mungkin pernah mendengar istilah diksi (pilihan kata). Ternyata, hal itu sangat penting diperhatikan dalam mengarahkan pikiran kita dan anak-anak.
Kata-kata adalah lukisan verbal dari pikiran dan perasaan. Kesan yang ditangkap anak-anak dari kata-kata yang kita ucapkan akan diolah sedemikian rupa oleh otak mereka.
Satu hal yang menarik, anak-anak ternyata akan lebih fokus pada kata terakhir yang mereka dengar daripada uraian kata di awal kalimat, betapapun penting dan panjangnya kata-kata pada awal kalimat tersebut.
Beberapa waktu lalu kami sekeluarga pergi mengunjungi kerabat di Jakarta. Di dalam bis kami lihat seorang ibu menggendong anaknya yang masih berusia kurang lebih satu tahun. Anak itu nampak manis dalam gendongan ibunya, sampai kemudian sang ibu berkata pada anaknya, "Ade, jangan rewel ya, jangan nangis!" Ajaibnya, tak lama kemudian anak itu malah merengek-rengek dan bahkan menangis keras tanpa alasan yang jelas.
Saya dan suami senyum-senyum. Ya, teori tentang efek kata terakhir pada anak ternyata benar-benar terbukti. Kalimat yang diucapkan si ibu adalah kalimat negatif, "Jangan rewel!" namun kesan paling dalam yang didengar anak ternyata terletak pada kata terakhir yaitu 'rewel".
Lawan dari kalimat negatif adalah kalimat positif. Mempergunakan kalimat positif akan mengarahkan pikiran kita pada apa yang kita inginkan, sedangkan kalimat negatif mengarahkan pikiran pada apa yang tidak kita inginkan.
Misalnya kalimat, "Saya tak mau gagal lagi." Itu adalah kalimat negatif yang lebih mungkin dipersepsi pikiran kita menjadi "gagal lagi". Namun sesungguhnya kalimat itu bisa berubah postif jika pilihan kata yang kita gunakan adalah, "Kali ini saya akan berhasil".
Mengajarkan Pikiran Positif pada Anak
Melatih anak untuk berpikir positif juga diawali dengan melatih mereka untuk mempergunakan kalimat positif dan menghindari kalimat negatif.
Bagaimana menjelaskan tentang perbedaan pikiran negatif dan positif pada anak-anak menurut penulis buku ini adalah dengan membuat perumpamaan. Pikiran itu ibarat taman. Pikiran positif itu adalah bunga yang membuat kita senang ketika melihatnya, sedangkan pikiran negatif adalah rumput liar yang membuat bunga terlihat kacau dan kita yang melihatnya merasa terganggu. Supaya bunga tumbuh dengan baik, maka sesering mungkin kita harus menyingkirkan rumput liar yang ada di sekelilingnya.
Kekuatan Afirmasi
Beragam hal dalam kehidupan anak-anak terkait pertemanan, persepsi diri, kemampuan-kemampuan intelektual, ataupun optimisme pribadi erat hubungannya dengan bagaimana mereka memikirkan itu semua.
Afirmasi adalah cara paling mudah untuk mengarahkan pikiran dan bahkan keadaan yang negatif menjadi positif. Sebuah penggalan cerita berikut akan menjelaskan hal itu:
Ketika Charles, anak laki-lakiku sakit, ia pergi ke dokter karena kutil yang sangat sakit, berakar di dalam kakinya. Dia dijadwalkan akan diobati dengan mencabut kutil itu seminggu kemudian. Tetapi ketika hari itu tiba, Charles mengatakan kepadaku bahwa kutil itu hampir hilang. Ketika mengeceknya. aku melihat memang benar demikian dan meminta dokter agar membatalkan janjinya. Ketika aku bertanya kepada Charles apa yang telah dia lakukan, dia mengatakan kepadaku bahwa setiap pagi dia melihat kakinya dan berkata, "kakiku bertambah baik dan baik setiap hari." Dia telah menggunakan teknik afirmasi untuk menyembuhkan penyakitnya.
Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Namun tak ada salahnya kan menyimak buku ini, untuk menyumbangkan suplemen positif bagi pikiran kita.
Sebuah buku berjudul Mind Power for Children yang ditulis oleh John Kehoe dan Nancy Fischer menjelaskan tentang hal tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami. Buku setebal 201 halaman ini diterbitkan oleh penerbit Think Yogyakarta.
Persepsi kita terhadap anak-anak ternyata sangat besar pengaruhnya terhadap cara kita memperlakukan mereka dan cara kita berbicara atau bersikap terhadap mereka, dan hal itu pun akan menular pada anak-anak tanpa kita sadari.
Bayangkan ketika kita sedang merasa kesal pada anak-anak saat mereka membuat gaduh. Wajah kita berubah kusut, suara kita menjadi sedikit tegang, dan mungkin meledak jika tak sempat terkontrol. Lalu apa yang mungkin dipikirkan anak-anak tentang kita dengan sikap tersebut? Yakinlah mereka pun akan merasakan ketidaknyamanan itu secara otomatis.
Pada bagian awal buku ini dikatakan, "Pikiran adalah kekuatan paling dahsyat. Begitu pula dalam dunia anak. Segala bentuk pikiran yang terlintas dalam pikiran mereka setiap hari akan mempengaruhi semua aspek kehidupan mereka. Sikap, pilihan, kepribadian dan siapa mereka sebagai individu, adalah produk dari pikiran-pikiran tersebut."
Kekuatan Kata-Kata
Ketika kita sekolah dulu, mungkin pernah mendengar istilah diksi (pilihan kata). Ternyata, hal itu sangat penting diperhatikan dalam mengarahkan pikiran kita dan anak-anak.
Kata-kata adalah lukisan verbal dari pikiran dan perasaan. Kesan yang ditangkap anak-anak dari kata-kata yang kita ucapkan akan diolah sedemikian rupa oleh otak mereka.
Satu hal yang menarik, anak-anak ternyata akan lebih fokus pada kata terakhir yang mereka dengar daripada uraian kata di awal kalimat, betapapun penting dan panjangnya kata-kata pada awal kalimat tersebut.
Beberapa waktu lalu kami sekeluarga pergi mengunjungi kerabat di Jakarta. Di dalam bis kami lihat seorang ibu menggendong anaknya yang masih berusia kurang lebih satu tahun. Anak itu nampak manis dalam gendongan ibunya, sampai kemudian sang ibu berkata pada anaknya, "Ade, jangan rewel ya, jangan nangis!" Ajaibnya, tak lama kemudian anak itu malah merengek-rengek dan bahkan menangis keras tanpa alasan yang jelas.
Saya dan suami senyum-senyum. Ya, teori tentang efek kata terakhir pada anak ternyata benar-benar terbukti. Kalimat yang diucapkan si ibu adalah kalimat negatif, "Jangan rewel!" namun kesan paling dalam yang didengar anak ternyata terletak pada kata terakhir yaitu 'rewel".
Lawan dari kalimat negatif adalah kalimat positif. Mempergunakan kalimat positif akan mengarahkan pikiran kita pada apa yang kita inginkan, sedangkan kalimat negatif mengarahkan pikiran pada apa yang tidak kita inginkan.
Misalnya kalimat, "Saya tak mau gagal lagi." Itu adalah kalimat negatif yang lebih mungkin dipersepsi pikiran kita menjadi "gagal lagi". Namun sesungguhnya kalimat itu bisa berubah postif jika pilihan kata yang kita gunakan adalah, "Kali ini saya akan berhasil".
Mengajarkan Pikiran Positif pada Anak
Melatih anak untuk berpikir positif juga diawali dengan melatih mereka untuk mempergunakan kalimat positif dan menghindari kalimat negatif.
Bagaimana menjelaskan tentang perbedaan pikiran negatif dan positif pada anak-anak menurut penulis buku ini adalah dengan membuat perumpamaan. Pikiran itu ibarat taman. Pikiran positif itu adalah bunga yang membuat kita senang ketika melihatnya, sedangkan pikiran negatif adalah rumput liar yang membuat bunga terlihat kacau dan kita yang melihatnya merasa terganggu. Supaya bunga tumbuh dengan baik, maka sesering mungkin kita harus menyingkirkan rumput liar yang ada di sekelilingnya.
Kekuatan Afirmasi
Beragam hal dalam kehidupan anak-anak terkait pertemanan, persepsi diri, kemampuan-kemampuan intelektual, ataupun optimisme pribadi erat hubungannya dengan bagaimana mereka memikirkan itu semua.
Afirmasi adalah cara paling mudah untuk mengarahkan pikiran dan bahkan keadaan yang negatif menjadi positif. Sebuah penggalan cerita berikut akan menjelaskan hal itu:
Ketika Charles, anak laki-lakiku sakit, ia pergi ke dokter karena kutil yang sangat sakit, berakar di dalam kakinya. Dia dijadwalkan akan diobati dengan mencabut kutil itu seminggu kemudian. Tetapi ketika hari itu tiba, Charles mengatakan kepadaku bahwa kutil itu hampir hilang. Ketika mengeceknya. aku melihat memang benar demikian dan meminta dokter agar membatalkan janjinya. Ketika aku bertanya kepada Charles apa yang telah dia lakukan, dia mengatakan kepadaku bahwa setiap pagi dia melihat kakinya dan berkata, "kakiku bertambah baik dan baik setiap hari." Dia telah menggunakan teknik afirmasi untuk menyembuhkan penyakitnya.
Anda boleh percaya, boleh juga tidak. Namun tak ada salahnya kan menyimak buku ini, untuk menyumbangkan suplemen positif bagi pikiran kita.
Senin, 01 Oktober 2007
Ketika Sekolahku Roboh
Hari Sabtu, jam 11 siang waktu itu, entah mengapa Pak guru sudah mengakhiri pelajaran di kelas. Jelas lebih awal dari seharusnya. Anak-anak sih senang sekali. Apalagi di akhir pekan seperti itu, untuk belajar memang bawaannya agak malas. Yang terbayang adalah liburan setelah selama 6 hari berturut-turut dihadapkan pada situasi yang rutin.
Ruangan kelas kami paling ujung, dan memang satu-satunya ruangan yang masih tersisa dari 5 ruangan kelas yang ada. Sisanya sudah tak bisa dipakai lagi. Atapnya rusak dan bahkan sudah condong. Bangunan itu masih bisa berdiri hanya karena ditopang oleh beberapa bilah bambu besar.
Ya, hanya bermodal keberanian saja tampaknya, guru kami mau mengisi satu kelas paling ujung yang masih lumayan utuh. Habis, di mana lagi kami harus belajar kalau hampir semua ruangan rusak.
Tanpa berpikir apa-apa, hari Sabtu itu kami semua pulang dengan riang. Jarak sekolah ke rumah sekitar 20 menit berjalan kaki. Saat pulang adalah saat yang paling berkesan. Kadang-kadang kami melewati jalan pintas yang penuh dengan pohon buah-buahan. Semilir angin sejuk menyambut kami di tengah rimbunnya pepohonan.
Kurang lebih pukul 14.30, terdengar ribut-ribut di jalanan. Rasa penasaran membuat saya keluar. Seorang tetangga berteriak-teriak, "Sakola runtuh! sakola runtuh! (sekolah roboh! sekolah roboh!".
Tak percaya rasanya mendengar berita itu. Saya pergi bersama teman-teman menengok sekolah yang baru beberapa jam lalu masih berdiri. Tertegun kami melihat bangunan sekolah yang kini sudah rata dengan tanah, termasuk kelas paling ujung tempat kami belajar.
Entah, perasaan sedih dan juga senang bercampur jadi satu. Sedihnya, karena kami tak tahu harus belajar di mana setelah itu, namun senangnya, karena kami pulang cepat, sehingga tak sempat jadi korban.
Kenangan itu begitu melekat hingga saya lulus kuliah saat ini. Selama beberapa minggu kami belajar di rumah dinas guru kami, sampai kemudian pindah ke balai desa dengan jam belajar yang lebih pendek karena harus bergantian dengan kelas-kelas yang lain.
Peristiwa itu terjadi sekitar 20 tahun yang lalu. Saya tak mengira, kalau ternyata kini pun peristiwa robohnya bangunan sekolah tetap terjadi di berbagai wilayah, dan sebagian malah menimbulkan korban.
Mungkin, sebenarnya ini merupakan cermin, betapa buruknya negara menjamin keberlangsungan pendidikan secara merata. Karena di saat banyak bangunan sekolah yang roboh, ternyata dengan cepatnya pusat-pusat perbelanjaan berdiri di sudut-sudut kota; gedung-gedung perkantoran pun dipugar berkali-kali, meski sebenarnya masih layak pakai.
Andai pendidikan adalah prioritas yang penting bagi negara, mungkin tak akan ada lagi cerita tentang sekolah roboh. Yang ada adalah anak-anak yang antusias, guru yang berdedikasi, dan masyarakat yang maju, baik spiritual maupun intelektualnya.
Salam pendidikan!
Ruangan kelas kami paling ujung, dan memang satu-satunya ruangan yang masih tersisa dari 5 ruangan kelas yang ada. Sisanya sudah tak bisa dipakai lagi. Atapnya rusak dan bahkan sudah condong. Bangunan itu masih bisa berdiri hanya karena ditopang oleh beberapa bilah bambu besar.
Ya, hanya bermodal keberanian saja tampaknya, guru kami mau mengisi satu kelas paling ujung yang masih lumayan utuh. Habis, di mana lagi kami harus belajar kalau hampir semua ruangan rusak.
Tanpa berpikir apa-apa, hari Sabtu itu kami semua pulang dengan riang. Jarak sekolah ke rumah sekitar 20 menit berjalan kaki. Saat pulang adalah saat yang paling berkesan. Kadang-kadang kami melewati jalan pintas yang penuh dengan pohon buah-buahan. Semilir angin sejuk menyambut kami di tengah rimbunnya pepohonan.
Kurang lebih pukul 14.30, terdengar ribut-ribut di jalanan. Rasa penasaran membuat saya keluar. Seorang tetangga berteriak-teriak, "Sakola runtuh! sakola runtuh! (sekolah roboh! sekolah roboh!".
Tak percaya rasanya mendengar berita itu. Saya pergi bersama teman-teman menengok sekolah yang baru beberapa jam lalu masih berdiri. Tertegun kami melihat bangunan sekolah yang kini sudah rata dengan tanah, termasuk kelas paling ujung tempat kami belajar.
Entah, perasaan sedih dan juga senang bercampur jadi satu. Sedihnya, karena kami tak tahu harus belajar di mana setelah itu, namun senangnya, karena kami pulang cepat, sehingga tak sempat jadi korban.
Kenangan itu begitu melekat hingga saya lulus kuliah saat ini. Selama beberapa minggu kami belajar di rumah dinas guru kami, sampai kemudian pindah ke balai desa dengan jam belajar yang lebih pendek karena harus bergantian dengan kelas-kelas yang lain.
Peristiwa itu terjadi sekitar 20 tahun yang lalu. Saya tak mengira, kalau ternyata kini pun peristiwa robohnya bangunan sekolah tetap terjadi di berbagai wilayah, dan sebagian malah menimbulkan korban.
Mungkin, sebenarnya ini merupakan cermin, betapa buruknya negara menjamin keberlangsungan pendidikan secara merata. Karena di saat banyak bangunan sekolah yang roboh, ternyata dengan cepatnya pusat-pusat perbelanjaan berdiri di sudut-sudut kota; gedung-gedung perkantoran pun dipugar berkali-kali, meski sebenarnya masih layak pakai.
Andai pendidikan adalah prioritas yang penting bagi negara, mungkin tak akan ada lagi cerita tentang sekolah roboh. Yang ada adalah anak-anak yang antusias, guru yang berdedikasi, dan masyarakat yang maju, baik spiritual maupun intelektualnya.
Salam pendidikan!
Kamis, 27 September 2007
Homeschooling: Pendidikan Berbasis Keluarga
Siapapun yang tertarik dengan tema-tema seputar homeschooling (HS), informasi ini mungkin cukup bermanfaat.
HS sudah mulai hangat dan bahkan kini agak "panas" dibicarakan di ruang publik. Selain karena terbitnya buku-buku HS karya penulis lokal yang promonya cukup gencar, atau mungkin juga karena HS ternyata sudah mampu menarik perhatian dan menyulut respon subjektif anggota dewan dan pakar pendidikan.
HS memang unik, tapi bukan berarti aneh. Pendidikan anak yang dipayungi oleh institusi keluarga adalah fondasi pendidikan yang paling sempurna. Kemunculan istilah HS yang berasal dari barat hanyalah sebuah istilah yang memudahkan penyebutan. Namun pada faktanya, pendidikan keluarga yang dimotori oleh orang tua sudah hidup berabad-abad lamanya, bahkan mungkin sejak zaman Nabi Adam a.s.
Kita tentu belum lupa bahwa para Nabi adalah para pendidik utama anak-anaknya dan memiliki pendidik yang terbaik semasa kecilnya. Tanggung jawab pendidikan itu mereka aktualisasikan lewat fase-fase kehidupan bersama anak-anak yang alami namun penuh dengan visi.
Nabi Ibrahim a.s mendidik langsung putranya Ismail dengan ajaran Allah lewat peristiwa-peristiwa nyata kehidupan. Bahkan sejak awal Ismail sudah dilibatkan dalam pendirian Baitullah ('Rumah' Allah)di Makkah dan dilatih sikap pengorbanannya lewat peristiwa penyembelihan. Semua itu memang bukanlah kebetulan, melainkan gabungan antara ketaatan dan usaha seorang manusia dan bimbingan Sang Khalik.
Begitu pula dengan Nabi Musa a.s, Nabi Isa a.s, beliau semua tumbuh terdidik dengan hadirnya orang-orang yang sangat peduli dengan pendidikan mereka. Nabi Musa a.s memiliki Aisiyah dan Bunda kandungnya sebagai pengasuh dan juga pengarah, meski beliau hidup dalam lingkungan Firaun yang zhalim. Adapun Nabi Isa a.s memiliki Maryam sebagai pengasuh dan pendidik yang disucikan Allah.
Demikian halnya dengan Nabi Muhammad saw terhadap putrinya Fathimah Az Zahra dan sepupunya Ali bin Abi Thalib, pendidikan untuk mereka telah dilakukan sejak kecil dengan tempaan-tempaan hidup yang keras, yang akhirnya mengokohkan iman serta akhlak dan pribadi mereka. Hal itulah yang akhirnya menjadi harta berharga yang mampu memelihara kualitas keturunan Nabi setelah Nabi tiada.
Bagaimana dengan kita? Anak-anak pada zaman ini sesungguhnya tengah dikelilingi oleh srigala-srigala lapar yang sedang mengumpulkan teman. Kapitalisme menjelma dalam berbagai wujud, termasuk dalam dunia pendidikan. Kini, anak-anak lebih membutuhkan fondasi pendidikan dari keluarganya jauh lebih besar daripada anak-anak zaman dulu. Karena tanpa fondasi yang kuat, mereka akan lebih mudah terbawa arus.
Mencermati gaya hidup anak-anak dan remaja saat ini, terasa hati miris dan juga khawatir. Media yang menjajakan produk dan nilai-nilai liberalisme moral bertebaran di mana-mana hingga ruang untuk mengingatkan manusia akan tujuan hidup dan hakikat kematian nyaris tak tersisa. Dan ironisnya, media-media itu justru dilegalkan oleh pemerintah.
Beberapa pihak sering menafikan bahwa media tidaklah berpengaruh besar terhadap perilaku anak-anak. Namun benarkah demikian? Fakta di lapangan justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Media ternyata telah menjadi rujukan anak-anak untuk menciptakan citra atas dirinya. Pakaian mereka, cara mereka berbicara, cara mereka bergaul, cara mereka belajar, dan cara mereka bersikap, nyaris semuanya adalah hasil copy-paste dari idola mereka yang dipublikasikan besar-besaran oleh media.
Lalu, siapa yang bisa bertanggung jawab jika sebagian besar anak dan remaja tumbuh tanpa jati diri dan akhlak yang terpuji. Saya pikir, media ataupun para idola itu tak akan mau bertanggung jawab atau bahkan tak pernah merasa bersalah. Ya, tentu saja tidak ada lagi yang bisa mengemban tanggung jawab besar terhadap pendidikan anak-anaknya kecuali ORANG TUA.
Pesan Al Quran surat At Tahrim (66) ayat 6 berbunyi, “Hai, orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakunya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Sehubungan dengan HS, sesungguhnya ada misi yang indah yang tersimpul dari homeschooling, home-education, home-learning, atau apapun namanya, yaitu mengembalikan basis pendidikan anak-anak yang selama beberapa waktu terakhir secara tidak sadar bertumpu pada lingkungan dan sekolah formal, kembali kepada keluarga.
Jangan simpulkan HS sebagai rival sekolah formal, karena spirit HS sesungguhnya telah hidup jauh sebelum sekolah formal ada. Kalau saja kata “sekolah” agak mengganggu persepsi kita yang sudah terlanjur melekat pada sekolah formal, maka saya lebih suka menyebutnya pendidikan rumah. Sebuah frasa yang menaungi wilayah yang lebih luas dari sekedar kegiatan belajar-mengajar atau tutorial.
Saya percaya, bahwa sekolah formal saja tak akan sanggup memberikan kebutuhan pendidikan anak-anak kita tanpa pendidikan yang komprehensif di dalam keluarga. Satu hal yang paling penting dalam hal ini adalah akhlak. Sekolah formal mungkin bisa melakukan transfer pengetahuan pada anak-anak, namun belum tentu mampu menghembuskan nilai-nilai moral dari setiap pengetahuan.
Misalnya saja ilmu tentang jenis-jenis kebutuhan dalam ilmu sosial: kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Apa yang diketahui anak-anak tentang hal itu selain hapalan tentang contoh-contohnya? Saya kira hanya guru yang memiliki visi yang mampu mengaitkan pengetahuan itu dengan konteks moral, misalnya bagaimana kebutuhan sekunder dan tersier seperti pakaian mewah atau mobil mewah bisa dikesampingkan jika kita masih melihat orang-orang yang kelaparan dan tak punya pakaian layak masih terlihat di sekitar kita.
Akhlak adalah produk pengetahuan. Pengetahuan yang baik dan ditransfer dengan cara serta visi yang baik lebih mungkin menghasilkan anak-anak yang berakhlak baik. Adapun pengetahuan yang baik, namun disampaikan dengan cara dan semangat yang kering dari para pengajarnya, hanya akan menjadi sebuah hapalan yang mungkin segera terlupakan setelah materi itu selesai diujikan dalam test.
Kita tentu tak bisa menuntut banyak dari guru dan sekolah formal untuk melakukan prombakan pembelajaran. Oleh karena itu, orang tualah ujung tombak dalam menancapkan nilai-nilai transenden sebuah pengetahuan yang tak terbilang banyaknya ini.
Mari kita usahakan, “Make a good family for the best country”.
Salam Pendidikan!
HS sudah mulai hangat dan bahkan kini agak "panas" dibicarakan di ruang publik. Selain karena terbitnya buku-buku HS karya penulis lokal yang promonya cukup gencar, atau mungkin juga karena HS ternyata sudah mampu menarik perhatian dan menyulut respon subjektif anggota dewan dan pakar pendidikan.
HS memang unik, tapi bukan berarti aneh. Pendidikan anak yang dipayungi oleh institusi keluarga adalah fondasi pendidikan yang paling sempurna. Kemunculan istilah HS yang berasal dari barat hanyalah sebuah istilah yang memudahkan penyebutan. Namun pada faktanya, pendidikan keluarga yang dimotori oleh orang tua sudah hidup berabad-abad lamanya, bahkan mungkin sejak zaman Nabi Adam a.s.
Kita tentu belum lupa bahwa para Nabi adalah para pendidik utama anak-anaknya dan memiliki pendidik yang terbaik semasa kecilnya. Tanggung jawab pendidikan itu mereka aktualisasikan lewat fase-fase kehidupan bersama anak-anak yang alami namun penuh dengan visi.
Nabi Ibrahim a.s mendidik langsung putranya Ismail dengan ajaran Allah lewat peristiwa-peristiwa nyata kehidupan. Bahkan sejak awal Ismail sudah dilibatkan dalam pendirian Baitullah ('Rumah' Allah)di Makkah dan dilatih sikap pengorbanannya lewat peristiwa penyembelihan. Semua itu memang bukanlah kebetulan, melainkan gabungan antara ketaatan dan usaha seorang manusia dan bimbingan Sang Khalik.
Begitu pula dengan Nabi Musa a.s, Nabi Isa a.s, beliau semua tumbuh terdidik dengan hadirnya orang-orang yang sangat peduli dengan pendidikan mereka. Nabi Musa a.s memiliki Aisiyah dan Bunda kandungnya sebagai pengasuh dan juga pengarah, meski beliau hidup dalam lingkungan Firaun yang zhalim. Adapun Nabi Isa a.s memiliki Maryam sebagai pengasuh dan pendidik yang disucikan Allah.
Demikian halnya dengan Nabi Muhammad saw terhadap putrinya Fathimah Az Zahra dan sepupunya Ali bin Abi Thalib, pendidikan untuk mereka telah dilakukan sejak kecil dengan tempaan-tempaan hidup yang keras, yang akhirnya mengokohkan iman serta akhlak dan pribadi mereka. Hal itulah yang akhirnya menjadi harta berharga yang mampu memelihara kualitas keturunan Nabi setelah Nabi tiada.
Bagaimana dengan kita? Anak-anak pada zaman ini sesungguhnya tengah dikelilingi oleh srigala-srigala lapar yang sedang mengumpulkan teman. Kapitalisme menjelma dalam berbagai wujud, termasuk dalam dunia pendidikan. Kini, anak-anak lebih membutuhkan fondasi pendidikan dari keluarganya jauh lebih besar daripada anak-anak zaman dulu. Karena tanpa fondasi yang kuat, mereka akan lebih mudah terbawa arus.
Mencermati gaya hidup anak-anak dan remaja saat ini, terasa hati miris dan juga khawatir. Media yang menjajakan produk dan nilai-nilai liberalisme moral bertebaran di mana-mana hingga ruang untuk mengingatkan manusia akan tujuan hidup dan hakikat kematian nyaris tak tersisa. Dan ironisnya, media-media itu justru dilegalkan oleh pemerintah.
Beberapa pihak sering menafikan bahwa media tidaklah berpengaruh besar terhadap perilaku anak-anak. Namun benarkah demikian? Fakta di lapangan justru menunjukkan hal yang sebaliknya. Media ternyata telah menjadi rujukan anak-anak untuk menciptakan citra atas dirinya. Pakaian mereka, cara mereka berbicara, cara mereka bergaul, cara mereka belajar, dan cara mereka bersikap, nyaris semuanya adalah hasil copy-paste dari idola mereka yang dipublikasikan besar-besaran oleh media.
Lalu, siapa yang bisa bertanggung jawab jika sebagian besar anak dan remaja tumbuh tanpa jati diri dan akhlak yang terpuji. Saya pikir, media ataupun para idola itu tak akan mau bertanggung jawab atau bahkan tak pernah merasa bersalah. Ya, tentu saja tidak ada lagi yang bisa mengemban tanggung jawab besar terhadap pendidikan anak-anaknya kecuali ORANG TUA.
Pesan Al Quran surat At Tahrim (66) ayat 6 berbunyi, “Hai, orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakunya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”
Sehubungan dengan HS, sesungguhnya ada misi yang indah yang tersimpul dari homeschooling, home-education, home-learning, atau apapun namanya, yaitu mengembalikan basis pendidikan anak-anak yang selama beberapa waktu terakhir secara tidak sadar bertumpu pada lingkungan dan sekolah formal, kembali kepada keluarga.
Jangan simpulkan HS sebagai rival sekolah formal, karena spirit HS sesungguhnya telah hidup jauh sebelum sekolah formal ada. Kalau saja kata “sekolah” agak mengganggu persepsi kita yang sudah terlanjur melekat pada sekolah formal, maka saya lebih suka menyebutnya pendidikan rumah. Sebuah frasa yang menaungi wilayah yang lebih luas dari sekedar kegiatan belajar-mengajar atau tutorial.
Saya percaya, bahwa sekolah formal saja tak akan sanggup memberikan kebutuhan pendidikan anak-anak kita tanpa pendidikan yang komprehensif di dalam keluarga. Satu hal yang paling penting dalam hal ini adalah akhlak. Sekolah formal mungkin bisa melakukan transfer pengetahuan pada anak-anak, namun belum tentu mampu menghembuskan nilai-nilai moral dari setiap pengetahuan.
Misalnya saja ilmu tentang jenis-jenis kebutuhan dalam ilmu sosial: kebutuhan primer, sekunder, dan tersier. Apa yang diketahui anak-anak tentang hal itu selain hapalan tentang contoh-contohnya? Saya kira hanya guru yang memiliki visi yang mampu mengaitkan pengetahuan itu dengan konteks moral, misalnya bagaimana kebutuhan sekunder dan tersier seperti pakaian mewah atau mobil mewah bisa dikesampingkan jika kita masih melihat orang-orang yang kelaparan dan tak punya pakaian layak masih terlihat di sekitar kita.
Akhlak adalah produk pengetahuan. Pengetahuan yang baik dan ditransfer dengan cara serta visi yang baik lebih mungkin menghasilkan anak-anak yang berakhlak baik. Adapun pengetahuan yang baik, namun disampaikan dengan cara dan semangat yang kering dari para pengajarnya, hanya akan menjadi sebuah hapalan yang mungkin segera terlupakan setelah materi itu selesai diujikan dalam test.
Kita tentu tak bisa menuntut banyak dari guru dan sekolah formal untuk melakukan prombakan pembelajaran. Oleh karena itu, orang tualah ujung tombak dalam menancapkan nilai-nilai transenden sebuah pengetahuan yang tak terbilang banyaknya ini.
Mari kita usahakan, “Make a good family for the best country”.
Salam Pendidikan!
Senin, 24 September 2007
Berkunjung ke Perpustakaan
Hari Senin, 24 September 2007 adalah pengalaman pertama buat Azkia dan Luqman pergi ke perpustakaan umum. Selama ini kami lebih sering ke toko buku untuk berburu bacaan-bacaan baru.
Jarak perpustakaan daerah tidak terlalu jauh dari rumah. Hanya kurang lebih 20 menit, kami sudah tiba di sana. Setelah mengamati sekeliling kami naik ke lantai dua, karena di sanalah ruangan untuk buku-buku anak. Seorang petugas memberitahu kami tentang hal tersebut, ketika kami terlihat mencari-cari.
Waah, sekarang ruangan anak tampak lebih nyaman. Dengan beralaskan karpet, kami bisa membaca sambil duduk lesehan. Beberapa bantal besar juga terlihat ada di tengah ruangan, tak ketinggalan juga boneka-boneka berjejer di atas rak buku.
Koleksi bukunya sekarang lumayan bertambah, tapi masih tetap kurang untuk perpustakaan sebesar itu. Kebanyakan buku yang ada sudah berusia lanjut. Terlihat lapuk dan memang hasil terbitan lama. Hanya beberapa ensiklopedi yang terlihat masih bagus, tapi sayangnya tak bisa dipinjam ke rumah.
Si kecil Luqman memilih beberapa buku lalu duduk bersama papanya minta dibacakan. Tapi baru 15 menit berlalu, dia sudah mulai bosan. “Mama, pulang yuk! Adek pengen makan nasi…” Jadilah ia diajak dulu jalan-jalan keluar untuk beli makanan.
Sementara azkia terlihat masih penasaran dengan beberapa rak yang belum dilihat-lihat. Sampai akhirnya dia menemukan satu rak berisi buku bilingual. Ia memang sedang suka baca buku bilingual. Keinginannya untuk belajar bahasa Inggris sangat besar.
Akhir-akhir ini, tanpa sadar ia sudah membaca lebih dari 10 buku bilingual, dan selalu tertarik membaca teks-teks bahasa Inggris yang ia lihat di majalah ataupun di brosur-brosur produk.
Awalnya kami hanya membacakannya sekali untuk setiap kalimat, lalu dia menirunya. Setelah makin banyak kata-kata yang dia tahu cara mengucapkannya, kini hanya kata-kata yang dianggap baru yang kami koreksi pengucapannya.
Setelah menghabiskan kurang lebih 4 buku, Azkia siap pulang karena Luqman sudah datang. Itulah pengalaman pertama ke perpustakaan dan mereka cukup menikmatinya.
Kamis, 20 September 2007
Saat Kami Mulai Homeschooling Terstruktur
Inilah mungkin momentum yang paling dinanti. Setelah kurang lebih 4 tahun lalu saya memutuskan untuk menjalankan homeschooling (HS) bagi anak-anak, tanggal 19 September 2007 saya beritikad untuk menjalankan HS secara lebih terstruktur.
Hal tersebut dipicu oleh semakin nyatanya sinyal-sinyal kesiapan anak pertama saya Azkia (5 tahun) untuk diajari secara sengaja. Kalau saya tidak segera tanggapi, bisa-bisa spirit belajarnya menguap sebelum menjadi energi yang memberdayakan.
Tanggal 20 September hari Kamis 2007, Sejak pagi saya mulai menyiapkan beragam lembar kerja dari berbagai sumber, termasuk dari internet dan ensiklopedi yang ada di rumah. Wow! ternyata asyik juga menjadi guru. Sumber-sumber dari internet yang sebagian besar berbahasa Inggris sedikit menjadi kendala, namun juga memicu semangat untuk menggali lagi sisa-sisa kemampuan berbahasa yang cukup lama tak pernah dipergunakan.
Beberapa website yang menyediakan free worksheet untuk sains dan matematika seperti www.HomeEducationResources.com dan www.funteaching.com cukup membantu saya dalam penyediaan bahan-bahan awal.
Satu hal yang menambah semangat adalah antusiasme anak-anak yang saya beritahu tentang akan dimulainya kegiatan sekolah di rumah. Mereka ikut sibuk dan menunggu-nunggu apa yang terjadi.
Beberapa poster baru tentang herbivora animal, tanaman obat, peralatan dapur, dan rambu-rambu lalu lintas saya pasang di dinding untuk memicu gagasan dan rasa penasaran mereka. Ruang belajar yang selama ini ditata seadanya dibuat lebih kondusif dan memancing semangat.Buku-buku yang awalnya sering berserakan setelah dibaca, kini punya tempatnya sendiri.
Pelajaran pertama Azkia hari ini adalah menulis. Selama ini dia belajar menulis secara autodidak. Walaupun secara prinsip sudah bisa menulis, namun komposisi huruf masih sekenanya. Karena dia sendiri yang minta diajari menulis, saya rasa tidak ada salahnya mengajari dia cara menulis yang baik, setidaknya secara estetis tidak terlalu kacau.
Saya rancang form untuk menulis di komputer dan dicetak di kertas HVS A4. Setelah itu, dibukukan dengan mempergunakan strapler dan lakban hitam. Covernya dari kertas concorde 220 gram berwarna biru. Saya beri judul: Buku Belajar Menulis Azkia Ainul Mardhiah, di beri dekorasi bunga, dan di bagian bawahnya ditambahkan kata: "homeschooling". Sudah bisa ditebak, Azkia senang sekali, karena ia merasa istimewa dengan buku pribadi seperti itu.
Setelah acara menulis selesai, saya mulai memperkenalkan konsep worksheet sebagai tantangan. Sebuah teks dengan kata-kata yang tidak lengkap. Dia harus mengisi kata yang kosong dengan daftar kata yang ada di sebuah kotak. Isi teks sebenarnya sudah sering dia baca sebelumnya di ensiklopedi, sehingga worksheet itu hanya sebagai reminder saja.
Hari sudah sore, pelajaran terstruktur dicukupkan dulu. Saya tahu, gumpalan rasa penasaran masih mengganggu Azkia. Tapi, masih ada esok, yang siap memberi tantangan berbeda.
Selasa, 18 September 2007
Ketika Anak Bersikap Baik
"Nasinya masih dimasak. Tunggu sebentar ya," ujar saya pada anak-anak. Mereka sudah minta makan siang, sementara saya agak terlambat memasak nasi.
Tak disangka si sulung Azkia berkata, "Nggak apa-apa. Kakak lagi sibuk beres-beres kok. Mama terusin aja kerja lagi."
Wah, merdu sekali terdengar di telinga. Begitulah ketika anak-anak sedang bersikap manis, kata-kata dan sikap mereka begitu menyenangkan.
Tapi saya sedikit merenung juga, kenapa adakalanya anak-anak be te sehingga prilaku mereka bikin kesal, tapi adakalanya juga mereka bersikap manis. Setelah dipikir-pikir, nampaknya itu tergantung juga dari sikap kita.
Anak-anak pun sesungguhnya punya ego bawaan sejak lahir, dan ego itu akan bekerja manakala benteng pertahanan mereka diserang dengan kata-kata atau sikap orang lain, termasuk orang tuanya, yang kurang menyenangkan. Sebaliknya, anak-anak juga makhluk yang tahu berterimakasih. Mereka akan bersikap sangat santun ketika orang tuanya juga ramah pada mereka.
Jadi, ramahlah pada anak untuk mendapatkan senyum dan sikap manis mereka yang indah.
Langganan:
Postingan (Atom)