Senin, 25 Januari 2010
Selalu Berbenah Meskipun Berada di Pinggiran
Meskipun berada di pinggiran Kota Lubuklinggau, namun keinginan untuk maju selalu ditekadkan keluarga besar SMPN 13 Lubuklinggau. Dibawah kepemimpinan, Muai, SMPN 13 sudah menunjukkan sedikit kemajuan. Apa itu?
Hetty Arnita
BERKUNJUNG ke kawasan SMPN 13 di Kelurahan Rahma yang berdekatan dengan kantor Camat Lubuklinggau Selatan I sungguh menyenangkan. Meskipun berada di pinggiran kota, namun karena lokasi sekolah yang tenang jauh dari keramaian ditambah lagi dengan pepohonan jati yang rindang dan sekolahnya bersih menambah apiknya pemandangan di sekitar SMPN 13.
Meskipun baru menjabat sebagai kepala sekolah, 15 Juli 2009 lalu, Muai telah melakukan terobosan untuk menjadikan SMPN 13 yang bersih, rindang, dan berprestasi sesuai dengan visi misi yang diemban sekolah. Untuk mewujudkan semua itu, kata Muai, tentunya harus mendapat dukungan dari keluarga besar SMPN 13.
“Alhamdulillah, selama ini keluarga besar SMPN 13 selalu bekerjasama dalam rangka mewujudkan sekolah yang bersih, rindang, serta berprestasi dibidang akademik. Mudah-mudahan saja semua ini akan berlangsung terus menerus jangan sampai berhenti di tengah jalan,” ucap Muai kepada wartawan koran ini di ruang kerjanya, Senin (25/1).
Adapun hal-hal yang telah dilakukannya untuk mendukung program penghijauan yang dicanangkan pemerintah, Muai mengajak anak didik dan dewan guru melakukan penanaman pohon rindang untuk menambah sejuknya suasana sekolah. Tak heran, saat berada di SMPN 13 ditemukan ratusan pohon yang ditanam.
“Dan untuk melatih kreativitas anak didik pada bidang bercocok tanam, maka kami mengajak anak-anak untuk berkebun. Hasilnya, masing-masing kelas saat ini telah memiliki kebun. Adapun tanaman yang di tanam berbeda-beda seperti kacang panjang, jagung, dan berbagai sayuran lainnya yang sangat bermanfaat,” imbuhnya.
Dibidang akademik, lanjut Muai, selalu bertekad meningkatkan kualitas pendidikan yang ada di SMPN 13. Untuk itu, dia beserta dewan guru selalu memberikan materi pelajaran yang dilanjutkan dengan praktik lapangan. Tujuannya, supaya apa yang didapat anak didik di kelas bisa diterapkan langsung di lapangan.
“Apalagi dalam waktu dekat anak kelas IX akan melaksanakan Ujian Nasional (UN), artinya untuk mengikuti UN mereka harus dipersiapkan sedemikian rupa supaya dalam pelaksanaan UN tidak grogi. Untuk itu, kami melakukan belajar tambahan bagi anak-anak kelas IX. Jadwal yang dilakukan setiap Senin dan Selasa,” terang Muai.
Sebagai tenaga pendidik, yakni guru mata pelajaran yang dimiliki SMPN 13. Muai berharap, dengan diadakannya belajar tambahan target kelulusan 100 persen yang telah ditetapkan sekolah dapat terwujud.
“Dengan begitu kan kita juga menyukseskan program pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Kota Lubuklinggau. Dan pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Pemkot Lubuklinggau yang selalu memperhatikan SMPN 13, sehingga bisa menjadi seperti ini,” pungkasnya.(*)
Jumat, 22 Januari 2010
RUANG LINGKUP MANAJEMEN DALAM POSITIVISME, TEORI KRITIS, PROVETIK, DAN POST MODERNISME
Pertama-tama penulis akan mengulas wacana positivisme. Setelah itu, menjelaskan teori kritis dengan masalah bagaimana teori kritis dapat dipahami dalam kerangka praksis, dan seterusnya. Positivisme membebaskan pikiran dari ketentuan-ketentuan yang sifatnya dogmatik. Bersamaan dengan hal tersebut, keyakinan yang optimis untuk memecahkan masalah apa saja. Kelemahan dari positivisme adalah klaim bahwa ia merupakan satu-satunya jalan kesuksesan. Padahal, sejatinya positivistik terbuka pada semua pengetahuan bukan membatasi. Selain itu, ia bebas nilai, dan tidak menyinggung benar salah. Pandangan seperti ini bertolak dari ruh manajemen pendidikan yang tidak terlepas dari aturan dogmatik dan tetap bersandar pada sesuatu yang sifatnya dapat dibenarkan (benar) atau justru tergolong salah.
Dalam sejarah keilmuan, wacana positivisme klasik sempat menjadi primadona paradigma dalam ilmu-ilmu sosial. Wacana positivisme yang dipelopori oleh para pemikir empirik radikal–pertama kali dicetuskan oleh Saint Simon pada tahun 1825–menjadi landasan epistemologi dalam menentukan kebenaran dalam ilmu sosial. Auguste Comte misalnya, dengan Sosiologi Positif menjadi paradigma pokok ilmu sosial yang berbasis pendekatan empirik sosial. Gugus ilmu sosial yang berkembang pada waktu itu menjadikan positivisme sebagai dominator rasionalitas dalam ilmu pengetahuan. Ini tentu saja dilandasi dengan pemikiran yang sudah berkembang pada waktu Renaissance dibuka sebagai swift epistemology dari epistemologi deduktif Platonik menjadi epistemologi induktif empirik Aristotelian yang semakin diradikalkan oleh Francis Bacon dalam induktivisme rasional.
Pada dasarnya, positivisme adalah jawaban alternatif dan tegas atas kegagalan filsafat spekulatif yang diradikalkan oleh filsafat Idealisme Jerman Immanuel Kant dan Filsafat Sejarah Hegel. Reaksi epistemologi ini lahir dari penolakan klaim kebenaran yang bersifat spekulatif dan jauh dari maksud sebenarnya dari pencarian kebenaran itu sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, positivisme mengalami modifikasi metodologis dan epistemologis yang sebenarnya juga menjauhi pendekatan positif yang ditawarkan sebagai suatu sistem kebenaran. Korelasinya dengan manajemen pendidikan, tentu positivistik memiliki cara pandang positif. Bahwa segala sesuatu harus berdasar fakta-fakta yang dapat diteropong oleh panca indra. Tiap sesuatunya harus nyata. Namun demikian, manajemen pendidikan tidak bebas nilai sebagaimana ajaran positivistik. Karena itulah manajemen pendidikan menempati posisi yang cukup strategis dalam merespons perkembangan ilmu-ilmu sosial.
B. Positivisme dan Perkembangannya
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
Pertama, Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte, dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer. Kedua, Munculnya tahap kedua dalam positivisme–empirio-positivisme–berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
Ketiga, Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.
C. Mengenal Positivisme Logis
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina. Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengkaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah.
D. Teori Kritis dan Pembawa Ajarannya
Filsafat dan ilmu sosial abad XX diwarnai oleh empat pemikiran besar yaitu, fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitis dan aliran Neo Marxis–yang sering mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yang disesuaikan dengan keadaan zaman. Teori kritis, secara klasifikatif, dapat digolongkan pada kelompok yang terakhir. Meski dalam perdebatan filosofis, ada yang menganggap bahwa teori kritis adalah teori yang bukan marxis lagi.
Neo Marxisme adalah aliran pemikiran Marx yang menolak penyempitan dan reduksi ajaran Karl Marx oleh Engels. Ajaran Marx yang dicoba diinterpretasikan oleh Engels ini adalah versi inferpretasi yang nantinya sebagai “Marxisme” resmi. Marxisme Engels ini adalah versi interpretasi yang dipakai oleh Lenin. Interpretasi Lenin nanti pada akhirnya berkembang menjadi Marxisme-Leninisme (atau yang lebih dikenal dengan Komunisme). Beberapa tokoh neomarxisme sebetulnya pada akhirnya menolak marxisme-leninisme. Mereka menolak interpretasi Engels dan Lenin karena interpretasi tersebut adalah interpretasi ajaran Marx yang menghilangkan dimensi dialektika ala Karl Marx yang dipercaya sebagai salah satu bagian inti dari pemikiran Karl Marx. Tokoh neomarxisme adalah Georg Lukacs dan Karl Korsch, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski dan Adam Schaff.
Salah satu aliran pemikiran Kiri Baru yang cukup ternama adalah pemikiran Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seorang pedagang grosir gandum, yang pada akhir hayat “mencoba untuk cuci dosa” mau melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan di dunia (termasuk dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme).
Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno, seorang musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf, Friedrich Pollock, seoraang ekonom, Erich Fromm, seorang ahli Psikoanalisa Freud, Karl Wittfogel, seorang Sinolog, Leo Lowenthal, seorang Sosiolog, Walter Benjamin, seorang kritikus sastra, Herbert Marcuse, murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika.
Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt-paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina-paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.
Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein adalah Teori Kritis menjadi inspirasi dari gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori oleh kaum muda–yang pada waktu itu secara historis telah tidak ingat lagi dengan masa kelaparan dan kedinginan pasca perang dunia II. Generasi muda tahun 1960-an telah merasa muak dengan kebudayaan yang menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah generasi yang secara mendalam meragukan atau menyangsikan kekenyangan kapitalisme dan disorientasi nilai modern.
Yang merupakan ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori ini berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis tidak bersifat kontemplatif atau spekulatif murni. Teori Kritis pada titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah. Pada dasarnya, Teori Kritis mau menjadi praktis.
Teori Kritis tidak mau mengekor Karl Marx. Kelemahan marxisme pada umumnya adalah mereka menjiplak analisa Marx dan menerapkannya mentah-mentah pada masyarakat modern. Oleh sebab itu, biasanya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi dalam pemikiran Teori Kritis adalah maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan.
Pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan berangkat dari konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.
E. Pengaruh Teori Kritis Terhadap Ilmu Manajemen
Pertemuan pertama Teori Kritis dengan ilmu manajemen sebenarnya terjadi ketika Teori Kritis berimigrasi ke Amerika Serikat. Perkembangan ilmu manajemen di Amerika sudah mengalami perkembangan yang pesat. Premis awal Ilmu manajemen di Amerika merupakan pernik awal perkembangan teknologi pendidikan. Perkembangan ilmu manajemen di Amerika banyak ditandai dengan perkembangan ruang lingkup manajemen di negara tersebut. Sementara itu, paradigma dominan ilmu manajemen dipenuhi dengan paradigma positivistik.
Teori Kritis yang dibawa oleh para sarjana Jerman akhirnya berpindah di beberapa universitas di Amerika pada tahun 1933. Tentu saja, pertemuan dua tradisi intelektual tersebut menghasilkan kontroversi. Paradigma kritis yang sangat kritis idealistik bertemu dengan tradisi keilmuan yang pragmatis. Dalam sejarah perkembangannya, penelitian komunikasi di Amerika dipengaruhi oleh kondisi sejarah sosial, politik dan budaya yang terjadi. Komunikasi pada titik tertentu, di Amerika, berada dalam titik pragmatik yang sangat komersial dan memunculkan diskursus klasik terhadap perubahan sosial, terutama yang berkaitan dengan arus kesejahteraan yang bersifat kapitalistik.
Ide pragmatisme sangat mewarnai penelitian komunikasi di Universitas Chicago yang kajiannya sangat empirik. Paul Lazarfeld, Kurt Lewin, Harold Laswell dan Carl Hovland. Studi yang dikembangkan oleh Wilbur Schramm adalah studi kuantitatif dalam konteks anthropologi komunikasi.
Kontribusi kritisisme Teori Kritis dikembangkan oleh Adorno yang mengkritik pendekatan Paul Lazarfeld yang sangat dipengaruhi oelh pendekatan struktural fungsionalistik ala Talcott Parsons. Horkheimer dan Adorno melihat cacat epistemologi dalam ilmu komunikasi yang berwatak totaliter dan ideologis. Teori Kritis melihat bahwa ada kecenderungan di kalangan ilmuwan komunikasi menjadi ilmu ini untuk dipaksakan dalam wujud ilmu yang sangat mekanistik. Model pemikiran administratif yang dikembangkan oleh pemikir Universitas Chicago dikritisi oleh model pemikiran kritis.
Beberapa ciri model pemikiran kritis, antara lain: ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).
Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik menyolok dari tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).
Ciri ketiga adalah ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, dapat dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari analisis penelitian yang dibuat.
Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri paradigma kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada proses dialogal dalam seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang telah, sedang dan akan terjadi.
Dengan demikian, karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti untuk melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini manajemen dan ruang lingkupnya. Maka, dalam paradigma kritis, penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini bisa membuat perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87). Dalam konteks karakteristik yang keempat ini, penelitian paradigma kritis mengutamakan juga analisis yang menyeluruh, kontekstual dan multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam seluruh kejadian sosial yang ada (Denzin, 2000:170).
Perkembangan teori kritis semakin jelas ketika Sekolah Frankfurt menjadi motor penggerak teori tersebut. Selain bahwa Sekolah Frankfurt bersentuhan dengan perkembangan ilmu sosial kritis pada waktu itu, Sekolah tersebut juga merefleksikan peran pendidikan pada masyarakat waktu itu. Tentu saja, konteks Jerman pada waktu itu juga sangat dipengaruhi oleh sejarah Jerman pada waktu pemerintahan Hitler (Nazi).
Dalam perkembangan selanjutnya, Sekolah Frankfurt juga menyatakan bahwa ternyata media bisa menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik, dalam arti tertentu media bisa menjadi bagian dari ideological state apparatus (Littlejohn, 2002:213). Dalam hal tertentu, media bukan adalah realitas yang netral dan bebas kepentingan, tapi media massa justru menjadi realitas yang rentan dikuasai oleh kelompok yang lebih dominan dan berkuasa (Rogers, 1994:102-125).
Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan keterangan di atas adalah keyakinan bahwa ada kekuatan laten dalam masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini berarti paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi masyarakat. Masalahnya siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol? Ada kepentingan apa? Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi dan marginalisasi kelompok tertentu dalam seluruh proses pendidikan masyarakat.
F. Meretas Jalan Sosiologi: Marxisme Baru Dan Teori Kritis
Max Weber (1864-1920), pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang yang di zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx yang memandang segala sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx, Weber dalam karya-karyanya menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik, dan sejarah teori sosial. Weber menggabungkan berbagai spektrum daerah penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka.
Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di barat lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan modal sekelompok orang yang lebih kaya.
Kegelisahan teoretis yang sama, bahwa marxisme klasik terlalu naif dengan mendasarkan segala motif tindakan atas kelas-kelas ekonomi memiliki dampak besar yang melahirkan teori kritis dan marxisme baru. Aliran ini dikenal sebagai Mazhab Frankfurt, sebuah kumpulan teori sosial yang dikembangkan di Institute for Social Research, yang didirikan di Frankfurt, Jerman pada tahun 1923. Mazhab ini terinspirasi dari pandangan-pandangan Marx, namun tidak lagi menjelaskan dominasi atas dasar perbedaan kelas ekonomi semata, melainkan atas otoritas penguasa yang menghalangi kebebasan manusia.
Jika fokus marxisme klasik adalah struktur ekonomi politik, maka marxisme baru bersandar pada budaya dan ideologi. Kritisismenya terasa pada kritik-kritik yang dilontarkan atas ideologi-ideologi yang bersandar pada pendekatan psikolog klasik Austria, psikoanalisisme Sigmund Freud (1856-1939); tentang kesadaran, cara berfikir, penjajahan budaya, dan keinginan untuk membebaskan masyarakat dari kebohongan publik atas produk-produk budaya.
Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor Adorno (1903-1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis mazhab ini. Analisisnya berkenaan dengan pembedaan antara peradaban barat dan timur, dan bagaimana peradaban barat telah menyimpang dengan konsep rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam semesta. Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh sosiolog Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya, sosiolog Frankfurt termuda, Juergen Habermas, mengubah agenda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris atas rasionalisme pencerahan.
Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak sekali teoretisi sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti hiburan, musik, mode, dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya. Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini, sudah tidak ada lagi determinisme ekonomi dan tak lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar) akan menjadi agen perubahan sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum radikal di kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan agen-agen untuk melakukan transformasi sosial di kemudian hari.
Hingga saat ini, neo-marxisme masih terus berkembang namun tidak banyak menuai perkembangan teoretis. Tradisinya hidup di studi-studi budaya, namun masih memiliki motif yang sama yaitu upaya pembukaan tabir dan motif-motif kapitalisme di tengah-tengah masyarakat.
G. Ilmu Sosial Profetik: Teori Kritis dan Teologi Pembebasan
Diskursus mengenai ilmu sosial profetis hampir tenggelam. Patut disayangkan apabila gagasan yang digulirkan kembali oleh penggagasnya, yakni DR. Kuntowijoyo, secara berturut-turut pada 13 tahun lalu, tanggal 7-9 Agustus 1997 ini dilewatkan tanpa responsi yang memuaskan. Kita mesti menempatkan ilmu sosial profetis dalam perspektif keilmuan yang lebih luas. Pertama-tama akan dilihat kerangka historis beserta ethos intelektual ilmu sosial profetis yang pada derajat tertentu menyematkan interpretasi atasnya. Kemudian menghadapkan interpretasi tersebut dengan bentuk pengetahuan lain sebagai jalan untuk mengelaborasi potensi praktisnya, sehingga ilmu sosial profetis lepas dari sekedar kegairahan yang simbolis belaka.
Ilmu sosial profetis diperkenalkan oleh DR. Kuntowijoyo pertama-tama dimaksudkan sebagai ‘alternatif’ terhadap gagasan yang dilontarkan oleh Moeslim Abdurrahman, yakni mengenai pentingnya merumuskan teologi baru yang disebutnya sebagai Teologi Transformatif. Perkembangan istilah dari ‘Teologi Transformatif” menjadi “Ilmu Sosial Profetis” sebetulnya melewati apa yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai “Ilmu Sosial Transformatif”. Oleh karenanya perkembangan tersebut mengandung dua penggantian yang sangat menentukan nantinya bagi gagasan definitif ilmu sosial profetis, yakni penggantian istilah “teologi” menjadi “ilmu sosial”, serta penggantian istilah “transformatif” menjadi “profetik”.
Pada penggantian istilah “Teologi” menjadi “Ilmu Sosial”, Kuntowijoyo menghendaki adanya penerimaan secara luas pengembangan gagasan Teologi Transformatif. Dipandang olehnya bahwa konsep teologi dalam masyarakat kita masih dipersepsi secara berbeda-beda, yang menyebabkan pembaharuan atasnya relatif belum dapat diterima. Hal ini terutama karena adanya pengartian baginya sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin ketuhanan (tauhid). Pembaharuan teologi bisa berarti mengubah doktrin sentral Islam mengenai keesaan Tuhan. Padahal menurut kalangan ini masalah teologis merupakan masalah yang dianggap sudah selesai di dalam Islam. Sedangkan istilah ilmu sosial dianggapnya lebih netral dan terhindar dari pretensi doktrinal, karena kebanyakan dari masyarakat mengakui sifatnya yang nisbi.
Tujuan selanjutnya dari penggantian istilah ini adalah penekanan pencarian ilmu sosial profetis yang menurutnya lebih terfokus pada aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal. Tidak seperti teologi, ruang lingkup ilmu sosial tidak ditekankan pada aspek normatif yang bersifat permanen. Sehingga pada akhirnya, dengan pemakaian istilah ilmu sosial kita akan dengan bebasnya mengutak-atik avonturisme intelektual kita di segala ruang waktu. Karenanya terbuka kemungkinan adanya review, revisi dan rekonstruksi yang boleh hadir kapan saja dan terus menerus.
Dalam penggantian istilah “Transformatif” menjadi “Profetis”, sebetulnya Kuntowijoyo sedang melancarkan kritik atas ide yang diupayakan Pencerahan Barat mengenai ilmu yang mesti bebas nilai. Berlawanan dengan itu ia malah menghendaki bahwa kita harus secara sadar memilih arah, sebab dan subyek dari ilmu sosial yang kita bangun. Sehingga ilmu sosial tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, melainkan juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Ilmu sosial profetis dengan demikian tidak hanya menggairahkan transformasi demi perubahan itu sendiri, namun mendasarkan transformasinya atas dasar cita-cita etik dan profetik tertentu.
Sebagai contoh, Kuntowijoyo sendiri menetapkan bahwa bagi masyarakat Islam, transformasi sosial dilaksanakan berdasarkan cita-cita etik dan profetik yang diderivasi dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 110, yakni menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah SWT, yang kemudian dibumbuinya dengan istilah bercita rasa Barat, yakni humanisasi, liberasi dan transendensi.
Beranjak dari sifat keilmuan dan transformasinya yang sarat nilai profetis (transenden) seperti disebutkan di atas, penulis ingin menghadapkan gagasan ilmu sosial profetis ini dengan bentuk-bentuk pengetahuan lain yang hampir serupa. Penghadapan ini penting untuk menindaklanjuti pendekatan terhadap proyek ilmu sosial profetis, terutama yang menyangkut pertanyaan: bagaimanakah kita menerjemahkan ilmu sosial profetis tersebut secara lebih praktis?
Satu hal penting yang perlu dikemukakan untuk memulai menjawab pertanyaan di atas adalah bahwa Kuntowijoyo sendiri merekomendasi perlunya sikap inklusif bagi pencerahan proyek ilmu sosial profetis. Karena sikap eksklusif baginya merupakan sikap yang a-historis dan tidak realistis. Semua peradaban, bahkan agama menurutnya mengalami proses meminjam dan memberi satu sama lain dalam interaksinya. Sehingga ilmu sosial profetis sendiri dalam elaborasi praktisnya tidak perlu ditutup dari kemungkinan meminjam bentuk pengetahuan atau praxis lain yang telah ada. Namun pertanyaannya kemudian adalah: bentuk pengetahuan mana atau yang bagaimanakah yang akan dipilih?
Dengan menengok kembali ethos yang ingin dikembangkan ilmu sosial profetis, maka penulis memandang cocok memilih Teori Kritis Jurgen Habermas untuk memulai memberi tanggapan atas pertanyaan tersebut. Hal ini karena adanya kesetaraan atau kesamaan bentuk pengetahuan dan emansipasi di antara keduanya. Salah satu pilar penting yang ingin dibangun Jurgen Habermas dalam Teori Kritisnya adalah bahwa bentuk pengetahuan yang diciptakan haruslah bersifat ‘tidak berfungsi’. Di satu sisi bentuk pengetahuan itu berfungsi seperti filsafat, yang mendorong refleksi-diri dan memberi aspek normatif dalam realitas sosial.
Namun di lain sisi seperti ilmu pengetahuan, yang memiliki kekakuan metodis untuk mengetahui aspek empiris realitas sosial. Dan karena pengetahuan tersebut kemudian harus diabdikan dalam usaha-usaha emansipatoris, baik dalam struktur pengetahuan maupun struktur sosial, maka bentuk pengetahuan tersebut bukanlah bentuk kontemplatif murni atau netral, melainkan senantiasa terkait dengan praxis. Namun di antara keduanya pun terdapat perbedaan yang bisa jadi penting berhubungan dengan aspek normatif yang ditetapkan bagi masing-masing pencerahan dan praxisnya. Yakni bahwa Jurgen Habermas tidak secara tegas menetapkan aspek normatifnya berupa nilai-nilai profetis sebagaimana ilmu sosial profetis. Walaupun terbuka kemungkinan Teori Kritis meminjam nilai-nilai profetis, namun secara definitif, transendensi bukan merupakan rukun yang wajib ada. Namun hal ini pun tidak perlu menjadi soal bilamana ilmu sosial profetis sendiri meminjam Teori Kritis, dengan maksud kemudian mentransendensikannya. Dengan kata lain ilmu sosial profetis merupakan bentuk transendental dari Teori Kritis.
Ilmu sosial profetis dengan demikian terbatas hanya bisa meminjam metode teoritis dan sifat transformasi Teori Kritis. Sedangkan berhubungan dengan nilai-nilai profetis dimana transformasi hendak diterangi, ilmu sosial profetis lebih bisa berdialektika dengan bentuk pengetahuan lain. Yakni Teologi Pembebasan dalam sifat heteropraxisnya. Dalam dialektika tersebut, sejauh berhubungan dengan sifat normatif Al-Qur’an, ilmu sosial profetis mesti dicita-citakan tidak semata bersifat memantapkan ajaran (orthodoxy) atau hanya menuntut dijalankannya ajaran dalam tindak keseharian (orthopraxis). Melainkan ia bersifat orthodox sejauh bersumber pada orthopraxis (heteropraxis). Di dalam praxis ini ilmu sosial profetis dituntut sebagai sebuah rumusan ajaran (iman) sejauh berpangkal dari pengalaman konkrit dan kembali secara baru pada tindakan yang dituntut oleh rumusan ajaran tersebut.
Untuk mengetes sifat heteropraxisnya ini, kita dapat meminjam metode “Lingkaran Hermeneutika” yang dikembangkan seorang pemikir Teologi Pembebasan, yakni JL Segundo. Di dalam lingkaran hermeneutika ini terdapat dua kesangsian, yakni kesangsian ideologis dan kesangsian eksegetis, yang dihadapkan pada dua obyek pokok, yakni realitas dan interpretasi Kitab Suci.
Dari dua kesangsian dan dua obyek pokok tersebut, kemudian ditetapkan empat langkah Lingkaran Hermeneutika. Di dalam tesisnya yang berjudul Teologi Pembebasan, F Wahono Nitiprawira mengutip empat langkah tersebut. Yakni pertama, cara mengalami realitas yang terumuskan mendorong pada posisi kesangsian ideologis. Kedua, kesangsian ideologis tersebut diterapkan atas superstruktur, yang didalamnya terdapat teologi yang sudah beku. Ketiga, mendapatkan cara baru mengalami realitas teologis yang mendorong pada posisi kesangsian eksegetis, terutama mulai menyangsikan bahwa interpretasi Kitab Suci yang ada tidak mengikutsertakan data yang penting dan relevan. Keempat, mempunyai cara baru yang kaya dan mendalam dalam menginterpretasi Kitab Suci, yang kemudian meneruskannya dengan mengalami kembali realitas secara baru.
Secara hipotetis ilmu sosial profetis yang menempatkan diri sebagai elaborasi ilmiah dari transendensi tentu bersifat heteropraxis. Namun sayang kita tidak dapat menguji benar-benar sifat heteropraxisnya kini, karena ilmu sosial profetis sendiri belum sampai kepada taraf yang lebih terinci untuk diuji hasil pencerahannya. Oleh karena itu bilamana ilmu sosial profetis dianggap sebagai suatu gagasan penting bagi pengkayaan kehidupan kita, upaya pengembangannya mesti menjadi hal yang mendesak. Jangan sampai ia menjadi kepompong sutra yang tidak ada kehidupan di dalamnya.
H. Menelusuri Makna Postmodernisme
Apabila kita berbicara mengenai pengertian postmodernisme, maka akan beragam definisi yang bisa ditemukan. Beberapa di antaranya definisi postmodernisme menurut Kvale (2006) bahwa istilah postmodernisme, yang berasal dari istilah posmodern, dapat sangat luas, kontroversial, dan ambigu. Hal ini terlihat dari pembagian pengertian yang Kvale (2006) lakukan untuk membedakan istilah postmodern, yaitu: Postmodernitas yang berkaitan dengan era postmodern, Posmodernism yang berkaitan dengan ekspresi kultural era postmodern, Pemikiran posmodern, atau wacana, yang berkaitan dengan refleksi filosofis dari era dan budaya postmodern.
Dalam situs Posmo.doc dijelaskan pula bahwa postmodernisme adalah sebuah istilah yang rumit. Suatu hal yang sulit, bila tidak bisa dikatakan mustahil, untuk menjelaskan postmodernisme. Tidak hanya postmodernisme bisa ditemukan dalam berbagai hal (seperti dalam seni, arsitekur, studi literatur, dan ilmu sosial), namun juga dalam berbagai hal tersebut postmodernisme dimengerti dan dijelaskan dengan berbagai cara yang berbeda.
Dalam bukunya Mengenal Posmodernisme, Garrat, Sardar, dan Curry (1998) mengatakan bahwa pemakaian pertama istilah ”postmodernisme” adalah sebelum tahun 1926. Pada 1870-an istilah tersebut pertama kali digunakan oleh seniman Inggris, John Watkins, dan pada 1917 oleh Rudolf Panwitz. Di dalam buku tersebut dijelaskan bahwa postmodernisme menyiratkan pengingkaran, bahwa ia bukan modern lagi. Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme Postmodernisme adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar, yaitu: Ia melawan dan mengaburkan pengertian postmodernisme, dan ia menyiratkan pengetahuan yang lengkap tentang modernisme yang telah dilampaui oleh zaman baru
Sebuah zaman, zaman apapun, dicirikan lewat bukti perubahan sejarah dalam cara kita melihat, berpikir, dan berbuat. Kita dapat mengenali perubahan ini pada lingkup seni, teori, dan sejarah ekonomi. Definisi praktis postmodernisme dapat diperoleh dengan menyelidikinya.
Dalam situs decon.doc disebutkan perbedaan mendasar mengenai modernisme dan postmodernisme. Situs tersebut menyebutkan bahwa modernisme adalah kata lain dari penerangan humanis. Pemikir evalengical, Thomas Oden, berkata bahwa periode ini dimulai dari runtuhnya Bastille pada tahun 1789 (Revolusi Perancis) dan berakhir dengan kolapsnya komunisme dan runtuhnya tembok berlin pada tahun 1989. Modernisme adalah suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian dan kemungkinan mengetahui kebenaran dengan hanya menggunakan penalaran manusia.
Oleh karena itu, dalam arti simbolik penalaran menggantikan posisi Tuhan, naturalisme menggantikan posisi supernatural. Modernisme sebagai pengganti dinyatakan sebagai penemuan ilmiah, otonomim manusia, kemajuan linier, kebenaran mutlak (atau kemungkinan untuk mengetahui), dan rencana rasional dari social order Modernisme dimulai dengan rasa optimis yang tinggi. Sedangkan postmodernisme adalah sebuah reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial; kebenaran sama dengan kekuatan atau kekuasaan.
Identitas diri muncul dari kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan. Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Singkatnya, postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam persepktif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri.
Pada situs perspektifpsikologisosial.doc disebutkan bahwa teori postmodernisme atau dikenal dengan singkatan “posmo” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori postmodernisme menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991). Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.. Pada situs tersebut juga disebutkan bahwa berdasarkan pandangan postmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal.
Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan–nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya
Pengertian lain mengenai postmodernisme penulis ambil dari situs wikipedia Postmodernism. Situs tersebut menyebutkan bahwa postmodernisme adalah sebuah istilah yang abstrak dan teoritis yang dibedakan dengan istilah postmodernity, yang mendeskripsikan mengenai iklim sosiologi atau budaya. Istilah postmodernisme dibuat pada akhir tahun 1940 oleh sejarawan Inggris, Arnold Toynbee. Akan tetapi istilah tersebut baru digunakan pada pertengahan 1970 oleh kritikus seni dan teori asal Amerika, Charles Jencks, untuk menjelaskan gerakan antimodernisme seperti Pop Art, Concept Art, dan Postminimalisme. Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap mengenai postmodernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas. Ia memandang postmodernisme muncul sebelum dan setelah modernisme, dan merupakan sisi yang berlawanan dari modernisme.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Flaskas (2002) yang mengatakan bahwa postmodernisme adalah oposisi dari premis modernisme. Beberapa di antaranya adalah gerakan perpindahan dari fondasionalisme menuju anti-fondasionalisme, dari teori besar (grand theory) menuju teori yang spesifik, dari sesuatu yang universal menuju ke sesuatu yang sebagian dan lokal, dari kebenaran yang tunggal menuju ke kebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut mencerminkan tantangan postmodernist kepada modernist.
Sedangkan Adian (2006) menangkap adanya gejala “nihilisme” kebudayaan barat modern. Sikap kritis yang bercikal bakal pada filsuf semacam Nietzsche, Rousseau, Schopenhauer yang menanggapi modernisme dengan penuh kecurigaan. Sikap-sikap kritis terhadap modernisme tersebut nantinya akan berkembang menjadi satu mainstream yang dinamakan postmodernisme. Postmodernisme sendiri memecah dirinya dalam tiga jalur wacana:
pertama, wacana kritis terhadap estetika modern, kedua, wacana kritis terhadap arsitektur modern, ketiga, wacana kritis terhadap filsafat modern.
Postmodernisme sebagai wacana pemikiran harus dibedakan dengan postmodernitas sebagai sebuah kenyataan sosial. Postmodernitas adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang, melainkan produksi dan reproduksi informasi dimana sektor jasa menjadi faktor yang paling menentukan. Masyarakat adalah masyarakat konsumen yang tidak lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup. Sedangkan postmodernisme adalah wacana pemikiran baru sebagai alternatif terhadap modernisme. Modernisme sendiri digambarkan sebagai wacana pemikiran yang meyakini adanya kebenaran mutlak sebagai objek representasi bagi subjek yang sadar, rasional, dan otonom.
Sebagai realitas pemikiran baru, postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme, seperti adanya subjek yang sadar-diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier. Istilah “pos”, menurut kubu postmodernisme, adalah kematian modernisme yang mengusung klaim kesatuan representasi, humanisme-antroposentrisme, dan linieritas sejarah guna memberi jalan bagi pluralisme representasi, antihumanisme, dan diskontuinitas.
I. Islam dan Postmodernisme
Menurut Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., mengatakan bahwa terdapat perbedaan aksentuasi makna dan semangat ketika postmodernisme difahami sebagai periode kesejarahan dan mode pemikiran, meskipun keduanya memiliki keterkaitan yang amat erat: yang pertama mengajak kita untuk memusatkan pada kajian sosiologis terhadap kehidupan masyarakat postmodern, sedang yang kedua pada analisa konseptual-filosofis.
Ketika postmodernisme dikaitkan dengan Islam, kita juga bisa meniliknya dari dua arah tersebut. Tapi di sini kita sulit mencari sosok pemikir yang secara spesifik dan intens terlibat dalam wacana postmodernisme sebagai sebuah agenda filosofis-intelektual. Barangkali hanya dua nama yang mudah disebutkan, yakni Mohamed Arkoun dan Hassan Hanafi. Yang pertama seorang intelektual muslim kelahiran Aljazair yang tinggal di Perancis, dan yang kedua berasal dari Mesir yang juga banyak mengenyam pendidikan di Perancis. Keduanya memiliki keterlibatan intelektual secara langsung dengan isu dan gerakan postmodernisme di Eropa. Dari keduanya itu kelihatannya Arkoun lebih terlibat jauh. Berbagai karyanya, yang sebagian besar masih dalam edisi Perancis, memang secara eksplisit memperkenalkan konsep "dekonstruksi" dari Derrida dalam memahami Al-Qur'an, meskipun dalam segi yang amat fundamental Arkoun berbeda dari Derrida dan pemikir postmodernis yang lain.
Dalam analisa sosiologis-historis, kaitan antara postmodernisme dan Islam sampai sejauh ini sedikit sekali mendapat perhatian. Di antara yang sedikit itu adalah karya Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam (1992) dan Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion (1992). Meskipun keduanya secara eksplisit menyebutkan postmodernism dalam judul bukunya, tetapi analisanya kurang masuk lebih dalam memasuki agenda diskusi yang dilakukan oleh kaum poststrukturalis.
Namun begitu kedua buah buku ini setidaknya memberikan pengantar bagi kita untuk memasuki arena diskusi mengenai kaitan Islam dengan persoalan modernitas dan postmodernitas. Ahmed memulai analisanya dengan terlebih dahulu mencirikan karakter sosiologis postmodernisme. Di sana terdapat delapan yang menonjol, yaitu: Pertama, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.
Kedua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistim indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media masa telah menjelma bagaikan "agama" atau "tuhan" sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi. Ketiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi, sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
Keempat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisisme dengan masa lalu. Kelima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat roda, negara maju sebagai "titik pusat" yang menentukan gerak pada "lingkaran pinggir". Keenam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
Ketujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif. Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam wacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut "era postmodernisme" banyak mengandung paradoks.
Paradoks yang digaris bawahi Ahmed antara lain ialah: masyarakat mengajukan kritik pedas terhadap materialisme, tapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme semakin menguat; masyarakat bisa menikmati kebebasan individual yang begitu prima yang belum pernah terjadi dalam sejarah, namun pada saat yang sama peranan negara bertambah kokoh; dan masyarakat cenderung ragu terhadap agama, tetapi pada saat yang sama terdapat indikasi kelahiran metafisika dan agama.
Baik dari aspek kajian sosiologis maupun intelektual-filosofis, isu postmodernisme muncul sebagai agenda wacana masyarakat Barat. Sejak 6 abad terakhir praktis kepemimpinan dunia dipegang oleh Barat, setelah sebelumnya oleh dunia Islam. Dunia Islam jauh ketinggalan dalam menyumbangkan peradaban sains dan teknologi dan kreasi-kreasi lain. Islam sebagai paradigma syariat dan teologi memang kelihatan masih kokoh (untuk tidak mengatakan jumud atau beku), tetapi Islam sebagai paradigma peradaban berada di luar panggung permainan, dan cenderung sebagai penonton yang "cemburu".
Sejarah mencatat bahwa loncatan-loncatan kreasi dan inovasi intelektual dalam Islam terjadi justeru ketika terjadi kontak dan pergulatan dengan Barat. Hal ini terjadi begitu menyolok ketika Islam berjumpa dengan warisan intelektual Yunani. Karya-karya intelektual Islam terbaik dan amat monumental terbentuk pada abad-abad pertengahan di mana pergulatan berlangsung begitu intens antara filsafat Yunani dan pemikir-pemikir muslim Arab Persia khususnya. Kontak kedua yang juga amat menentukan dalam perkembangan Islam terjadi pada awal abad ke-20 ini. Gerakan pembaharuan dan modernisasi dalam Islam merebak setelah Islam berjumpa dengan Barat modern. Hampir semua tokoh modernis dalam Islam adalah mereka yang memiliki apresiasi kritis terhadap intelektualisme Barat.
Pada fase ini kontak dengan Barat memberikan pencerahan dalam pemikiran politik dan apresiasi teknologi. Pada penghujung abad 20 ini, setelah Perang Dunia I dan II kelihatannya pola hubungan Islam-Barat melahirkan nuansa-nuansa baru. Pada fase ketiga inilah postmodernisme masuk sebagai salah satu agenda, meskipun bagi mayoritas pemikir muslim, ia tetap merupakan bagian tak terpisahkan dari paradigma westernisme-modernisme. Dengan mengamati buku-buku mutakhir yang berkenaan dengan hubungan Barat dan Islam, terdapat indikasi yang kuat bahwa respons dunia Islam, terdapat Barat lebih diwarnai dengan semangat politis-ideologis. Karya John Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality? (1992), dengan bagus mencoba menjelaskan hubungan Barat dan Islam yang selalu ditandai konflik.
Menurut Hassan Hanafi, sebagaimana dikemukakan oleh Kazuo Shimogaki dalam Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme (1993), Barat sekarang ini secara sadar dan gencar melakukan imperialisme kultural atas dunia Islam sehingga proyek modernisme Barat yang dikenalkan pada dunia Islam tak lain dari sebuah penaklukkan dan dominasi. Penaklukkan ini, kata Esposito, telah memporakporandakan bangunan sejarah tata nilai dan kelembagaan yang telah beratus tahun tegak dalam komunitas muslim. Namun demikian, meskipun secara sosial dunia Islam mengalami kelumpuhan akibat kolonialisme Barat, monoteisme Islam yang begitu kuat yang telah berakar ratusan tahun dalam sejarah sanggup menjadi benteng pertahanan dan ruh bagi dunia islam untuk mencoba bangkit melawan Barat.
Sebagai akibat dari penjajahan itu, jika dalam agenda percaturan peradaban mondial umat Islam berada di luar panggung permainan, hal itu--di samping karena kelelahan intelektual yang menimpa dunia Islam--dikarenakan Barat memang tidak ingin ada kelompok lain yang tampil menyainginya. Kelelahan intelektual dan psikologis akibat penjajahan ini telah menyebabkan umat Islam merasa kurang bertanggungjawab atas krisis dunia dan kemanusiaan yang sebagian besar disebabkan oleh perilaku masyarakat Barat.
Secara psikologis, tidaklah mudah untuk menghapus begitu saja pengalaman pahit akibat penjajahan Barat atas dunia Islam. Dengan meminjam istilah Josiah Royce, jika konsep komunitas itu ditentukan oleh kenangan bersama tentang masa lalu serta nilai-nilai yang dihayati bersama yang kemudian diproyeksikan ke masa depan, maka kenangan anti Barat merupakan nilai dan memori yang berkembang secara turun temurun dari generasi ke generasi umat Islam. Perkembangan ini bahkan oleh Samuel Huntington dinilai semakin menguat, karena Barat sendiri melihat dunia Islam sebagai ancaman terutama setelah jatuhnya komunisme.
Penilaian Huntington ini, menurut hemat saya, bukan mengada-ada, karena dia sekedar membaca secara jeli terhadap denyut anatomi dan psikologi hubungan Barat-Islam. Implikasi sinyalemen Huntington ini bagaikan bahan bakar yang berfungsi mengawetkan api konflik atau "perang terbuka" antara Barat versus Islam. Dan oleh karenanya pihak diplomat dan beberapa intelektual Amerika lainnya dibuat sibuk berupaya "menutupi", "meralat" atau "membantah" deklarasi Huntington yang jujur dan bisa merugikan mereka sendiri.
Di dalam dunia Islam sendiri isu anti Barat ini kadangkala dijadikan semacam komoditi "legitimasi" untuk membangun popularitas dan keabsahan bagi munculnya "pahlawan pembela umat". Dengan cara melancarkan serangan terhadap Barat, meskipun secara retorik, seseorang akan mendapat applaus dari umatnya. Sebaliknya, seorang muslim yang dinilai begitu dekat dengan Barat akan diragukan ketokohan dan loyalitasnya pada kepentingan Islam. Di Indonesia, juga di beberapa negara di Timur Tengah, gejala ini tidaklah sulit untuk diamati.
Dari uraian di atas, satu hal yang ingin ditegaskan Rektor UIN Jakarta itu ialah, perasaan terancam dan luka historis dunia Islam akibat penjajahan cenderung menutupi bagi terciptanya wacana yang jujur antara Barat dan Islam untuk melihat proyek "modernitas" dan "postmodernitas". Hubungan antara keduanya lebih diwarnai dengan kepentingan politis-ekonomis, yaitu relasi kuasa untuk saling menaklukkan ketimbang dialog peradaban yang saling isi mengisi secara suka rela.
Di mata para pemikir postmodernisme, paradigma modernisme dan proyek modernisasi dinilai telah gagal atau--yang pasti--mempunyai cacat dan kelemahan mendasar sehingga dalam berbagai aspeknya harus didekonstruksi.Tatanan realitas yang dibangun oleh cara pandang modernisme harus dibongkar, mulai dari tataran epistemologinya. Mengapa? Karena dengan epistemologilah kita memandang dan mendefinisikan realitas, dan pada urutannya di atas definisi yang kita susun itulah kita bangun realitas kehidupan. Jika fondasinya sudah salah, maka fondasinya akan membahayakan kehidupan itu sendiri.
Demikianlah maka kalau kita membicarakan kaitan antara Islam dan postmodernisme, kita mau tak mau harus juga memeriksa kembali modus keberagamaan kita, pandangan kita tentang watak bahasa agama, dan bagaimana bahasa agama tersebut mesti kita sikapi.
H. Kesimpulan
Ruang lingkup manajemen, baik dalam positivisme, teori kritis, profetik dan postmodernisme, semuanya berorientasi pada satu titik akhir bahwa segala sesuatu, khususnya ilmu manajemen dan Islam sebagai suatu agama, harus berorientasi pada kenyataan sosial, fakta-fakta social, data-data empiris yang dapat ditangkap oleh pancaidera. Sebagai ilmu pendidikan, manajemen memerlukan kerjasama dan keterbukaan pada ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti psikologi, sosiologi, dan lain sebagainya. Walaupun manajemen sejatinya berdasar pada data empiris, bukan berarti ia bebas nilai dan tak mengenal benar salah. Manajemen selalu menghiasi dirinya dengan nilai kebaikan dan menghindari nilai sebaliknya. Manajemen harus terus devaluasi dan dikembangkan sesuai perkembangan zaman. Manajemen tidak boleh statis, tapi berevolusi terus-menerus.
DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang
Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987
Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2006.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Hardiman, Budi Francisco. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan. Yogyakarta:Kanisius, 1990
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosilogi : Klasik dan Modern, Jil. 1Cet. 3, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Kvale, Steinar (ed.). Psikologi dan Posmodernisme. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2006
Laeyendecker, L. Tata, Perubahan dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah
Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983
Magnis-Suseno, Franz. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:Kanisius, 1992
Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah : Menurut Karl R. Popper,
PT. Gramedia, Jakarta, 1989
http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism. Tanggal 23 desember 2008
http://www.itu.dk/courses/VV/E2000/Frank-PoMo.doc. Tanggal 2 Januari 2009
http://www.fni.com/cim/briefing/decon.doc. Tanggal 2 Januari 2009
http://home.unpar.ac.id/~hasan/perspektif%20dalam%20psikologi%20
sosial.doc. Tanggal 2 Januari 2009
MENDIDIK ANAK DENGAN PENUH KASIH SAYANG (TAFSIR QS. LUQMAN AYAT: 12-13)
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar anak manusia, karena dengan pendidikanlah kita akan memahami segala sesuatu, terlebih dapat menggapai kebahagiaan karena memiliki ilmu. Setiap orangtua pasti menginginkan putra-putrinya menjadi orang yang berbahagia dan bermanfaat. Dengan demikian, dibutuhkan cara atau metode yang tepat dalam mendidik anak sehingga ia dapat dikonstruk sedemikian rupa, sebagaimana yang diharapakan oleh Qu’ran, yakni menjadi anak yang shalih dan shalihah.
Hal ini sangat sesuai dengan dengan tujuan pendidikan, antara lain; mewujudkan bimbingan pada manusia agar tidak binasa dengan hukum-hukum alam, mewujudkan kebahagiaan pada hambanya, dan menjadikan manusia yang intelek, dan mempunyai derajat yang tinggi. Tujuan pendidikan ini juga sejalan dengan tujuan pendidikan nasional, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.
Orangtua yang bijak sudah barang tentu mengharapkan anak yang dicintainya tumbuh menjadi manusia shalih dan shalihah, memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Keinginan itu tentu harus disertai dengan upaya untuk mewujudkannya. Dalam hal ini, Luqman adalah figur yang baik dalam mendidik anak-anaknya, sehingga ia patut dijadikan sebagai teladan. Nasihat-nasihat yang diberikan kepada anaknya–jika kita kerjakan, dapat mengantarkan anak kita meraih keinginan mulia tersebut.
Secara keseluruhan, ada dua perkara penting yang dinasihatkan Luqman kepada putranya, yaitu menyangkut persoalan keyakinan (akidah). Luqman menasihati putranya agar tidak mempersekutukan Allah Swt. (QS. Lukman [3]: 13). Ia pun mengingatkan anaknya bahwa Allah Swt. yang Mahatahu atas segala sesuatu–di langit maupun di bumi, akan membalas semua amal perbuatan manusia, seberat apa pun amal perbuatan itu (QS. Lukman [3]: 16).
Selanjutnya, berkaitan dengan pelaksanaan amal yang menjadi konsekuensi tauhid, baik menyangkut hubungan manusia dengan al-Khaliq, dengan dirinya sendiri, maupun dengan sesama manusia. Pada ayat 17, Luqman memerintahkan anaknya untuk mendirikan shalat (hubungan manusia dengan al-Khaliq), melakukan amar makruf nahi mungkar (hubungan manusia dengan sesamanya), dan meneguhkan sifat sabar dalam jiwanya (hubungan manusia dengan dirinya sendiri).
Seorang Luqman juga mengingatkan anaknya untuk menjauhi larangan-larangan Allah Swt. Sifat sombong dan perilaku angkuh adalah di antara perbuatan yang harus dijauhi (QS. Lukman [3]: 18). Sebaliknya, sifat yang harus dilekatkan adalah menyederhanakan langkah dan melunakkan suara.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa semua nasihat Luqman itu berorientasi pada keselamatan agama anaknya. Ia menginginkan anaknya menjadi manusia yang taat kepada Tuhannya dalam seluruh aspek kehidupan. Hanya dengan jalan itu kebahagiaan dunia dan akhirat dapat diraihnya.
B. Memetik Kisah, Menuai Hikmah
Jika diperhatikan kisah-kisah dalam al-Quran, hal yang sama juga dilakukan para nabi dan rasul. Mereka semua amat menginginkan anaknya menjadi orang yang berpegang teguh kepada agama yang benar, seperti yang dikabarkan Allah Swt., dalam (QS al-Baqarah [2]: 132).
•
“Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
Juga kisah Lukman mengisahkan bagaimana ia mendidik anaknya, agar tidak sekali-kali menyekutukan Allah Swt., karena perbuatan yang demikian termasuk kezaliman di mata Tuhan, sebgaimana QS Luqman [31]: 13 yakni:
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Ayat ini merupakan sepenggal kisah tentang nasihat-nasihat Luqman kepada putranya. Karena ada kisah tersebut, surat ini dinamakan surat Luqman. Secara umum, surat Luqman termasuk surat Makiyyah. Seperti layaknya surat Makiyyah, surat ini lebih menitikberatkan pada tema-tema akidah, mengenai keesaan Allah Swt (wahdaniyyah), kenabian, dan hari kebangkitan.1
Pada ayat ini Allah Swt. mengingatkan nasihat-nasihat bijak sosok Luqman. Nasihat yang amat bernilai itu diawali dengan peringatan menjauhi perbuatan syirik. Para ulama berbeda pendapat mengenai siapa Luqman yang dimaksud dalam ayat ini. Sebagian mufassir menyatakan, ia adalah Cicit Azar (Bapak Nabi Ibrahim as). Sebagian lagi berpendapat, ia adalah keponakan Ayyub dari Saudara perempuannya. Adapula yang menyebutkan, ia adalah sepupu Ayyub dari bibinya.2 Adapun menurut Ibnu Katsir, ia adalah Luqman bin Anqa bin Sadun. Para mufassir juga berbeda pendapat tentang asal-usul, tempat tinggal, dan pekerjaannya.
Tidak bisa dipastikan pendapat mana yang paling benar. Sebab, al-Quran tidak merinci siapa sesungguhnya Luqman yang dimaksud. Sebagai kitab yang berfungsi menjadi petunjuk dan pelajaran bagi manusia, penjelasan tentang hal itu tidak terlampau penting. Sedang yang lebih urgen justru pelajaran apa yang dapat kita petik dari kejadian tersebut?
Di dalam al-Quran banyak kisah yang hanya diceritakan peristiwanya, tanpa dirinci waktu, tempat terjadinya, kronologi dan pelakunya; layaknya buku sejarah. Demikian pula dengan kisah Luqman dalam ayat ini. Al-Quran hanya memberitakan bahwa dia termasuk orang yang mendapat limpahan al-hikmah dari-Nya. Allah Swt. berfirman dalam QS Luqman [31]: 12.
•
“Dan Sesungguhnya Telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".
Secara bahasa al-hikmah berarti ketepatan dalam ucapan dan amal.3 Menurut ar-Raghib, al-hikmah berarti mengetahui perkara-perkara yang ada dan mengerjakan hal-hal yang baik. Menurut Mujahid, al-hikmah adalah pemahaman, akal, dan kebenaran dalam ucapan selain kenabian.4 Hikmah dari Allah Swt. bisa berarti benar dalam keyakinan dan pandai dalam agama dan akal.
Berbeda dengan pendapat di atas, Ikrimah, as-Sudi, dan asy-Sya’bi. Mereka menafsirkan al-hikmah sebagai kenabian. Karena itu, menurut mereka, Luqman adalah seorang Nabi.5 Pendapat ini berbeda dengan jumhur ulama yang berpandangan bahwa dia seorang hamba yang shalih, bukan Nabi.
Kendati bukan Nabi, Luqman menempati derajat paling tinggi. Ia adalah orang yang kamil fi nafsih wa mukmil li ghayrih, yakni orang yang dirinya telah sempurna sekaligus berusaha menyempurnakan orang lain. Kesempurnaan Luqman ditunjukkan dalam ayat sebelumnya, bahwa dia termasuk hamba Allah Swt. yang mendapat hikmah dari-Nya. Adapun upayanya untuk membuat orang lain menjadi sempurna terlihat pada nasihat-nasihat yang disampaikan kepada putranya.
Dalam ayat itu disebutkan wa huwa ya’izhuh. Kata ya‘izh berasal dari al-wa‘zh atau al-‘izhah yang berarti mengingatkan kebaikan dengan ungkapan halus yang bisa melunakkan hati.6 Karena itu, dalam mendidik anaknya, Luqman menempuh cara yang amat baik, yang bisa meluluhkan hati anaknya sehingga mau mengikuti nasihat-nasihat yang diberikan.
“Ya bunayya la tusyrik billah (Hai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah),” pintanya. Sangat terlihat Luqman memanggil putranya menggunakan redaksi tasghir: ya bunayya. Hal itu bukan untuk mengecilkan atau merendahkan, namun untuk menunjukkan rasa cinta dan kasih sayang kepada anaknya. Dengan panggilan seperti itu, diharapkan nasihat yang disampaikan lebih mudah diterima.
Nasihat pertama yang disampaikan kepada putranya itu adalah la tusyrik billah (jangan mempersekutukan Allah). Mempersekutukan Allah adalah mengangkat selain Allah Swt. sebagai tandingan yang disetarakan atau disejajarkan dengan-Nya. Ketika Rasulullah Saw. ditanya oleh salah seorang sahabatnya, Wail bin Abdullah ra., mengenai dosa apa yang paling besar, beliau menjawab:
Syirik, yakni kamu menjadikan tandingan bagi Allah (HR an-Nasa’i).
Larangan syirik ini berlaku abadi. Bahkan tidak seorang rasul pun yang diutus Allah Swt. kecuali menyampaikan larangan tersebut. (Lihat: QS az-Zumar [39]: 65). “Inna asy-syirk la zhulm ‘azhim (Sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar). Dalam nasihatnya, Luqman tidak saja melarang syirik, namun juga menjelaskan alasan dilarangnya perbuatan tersebut. Di tiap nasihatnya, Luqman selalu berorientasi pada sebab-akibat dari nasihat yang ia sampaikan.
Secara bahasa azh-zhulm (kezaliman) berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya.7 Syirik disebut azh-zhulm karena menempatkan Pencipta setara dengan ciptaan-Nya, menyejajarkan Zat yang berhak disembah dengan yang tidak berhak disembah, atau melakukan penyembahan kepada makhluk yang tidak berhak disembah. Banyak ayat al-Quran yang menyebut perbuatan syirik sebagai azh-zhulm (Lihat, misalnya: QS al-An‘am [6]: 82).
Selain kezaliman besar, dalam ayat lain, syirik juga disebut sebagai kesesatan yang nyata (QS. Saba’ [34]: 24) dan amat jauh (QS. an-Nisa’ [4]: 116). Karena itu, wajar jika syirik dinilai sebagai dosa terbesar dan tidak ada dosa yang melebihinya. Jika dosa-dosa lain, manusia masih bisa berharap mendapat ampunan dari Allah Swt., tidak demikian dengan syirik. Siapa pun yang telah melakukan perbuatan syirik, dan tidak bertobat, lalu meninggal dalam kesyirikan, maka tidak akan diampuni Allah Swt. (QS an-Nisa’ [4]: 48, 116). Lebih dari itu, syirik akan menyebabkan terhapusnya semua amal yang dikerjakan manusia (QS az-Zumar [39]: 65). Pelakunya diharamkan masuk surga (QS al-Maidah [5]: 72), sebaliknya ia kekal di dalam neraka (QS al-Bayyinah [98]: 6). Oleh karenanya, syirik menyebabkan penyesalan yang tak terbayarkan bagi pelakunya (QS al-Kahfi [18]: 42).
C. Akidah: Hal Utama yang Mesti di Nasihatkan
Pantas kita garisbawahi urutan perkara yang dinasihatkan Luqman. Pertama kali yang ia nasihatkan adalah perkara akidah. Ia menginginkan anaknya lurus akidahnya. Setelah itu, baru menyangkut perkara amaliah. Pilihan ini tentu bukan suatu kebetulan. Sebab, dari berbagai sisi, akidah memang harus didahulukan. Mengapa demikian? Karena seorang anak yang tidak memiliki akidahyang benar dan kokoh, maka ia akan mudah terjebak dengan kesesatan, minimal terjaga dari pendangkalan akidah, yang bakal merusak nilai akidah itu sendiri.
Akidah merupakan penentu status manusia, tergolong sebagai orang mukmin atau kafir. Orang yang meyakini akidah yang benar adalah orang mukmin. Sebaliknya, orang yang mengingkari akidah tersebut tergolong sebagai orang kafir. Turunannya, perbedaan status ini akan menentukan nasib kita, memperoleh bahagia atau sebaliknya. Di akhirat kelak, orang-orang kafir akan menjadi penghuni neraka (QS al-Bayyinah [98]: 6), sebaliknya orang-orang Mukmin dan beramal shalih akan menjadi penduduk surga (QS al-Bayyinah [98]: 8).
Keyakinan pada akidah yang benar juga menjadi syarat diterimanya amal. Allah Swt. hanya menerima amal yang dikerjakan orang-orang mukmin. Sebaliknya, amal perbuatan orang-orang kafir sama sekali tidak dinilai pada hari kiamat kelak (QS al-Kahfi [18]: 105). Semua amalnya pun terhapus dan sia-sia, baik di dunia maupun di akhirat (QS al-Baqarah [2]: 217; QS at-Taubah [9]: 69), dan laksana debu yang diterbangkan (QS al-Furqan [25]: 23). Itu berarti, perbaikan amal perbuatan tanpa didahului dengan penerimaan pada akidah yang benar tidak akan berguna.
Selain itu, perbuatan manusia juga sangat ditentukan akidahnya. Orang yang meyakini akidah Islam akan terikat dengan syariah. Sebaliknya, orang yang mengingkari akidah Islam dipastikan akan mengabaikan ketetapan syariah. Oleh karenanya, siapa pun yang hendak memperbaiki perilaku seseorang, harus meluruskan akidahnya terlebih dahulu.
Jika dicermati dalam al-Quran, para nabi dan rasul juga melakukan hal yang sama. Mereka mendahulukan seruan akidah sebelum lainnya. Demikian juga dengan Rasulullah saw. Yang pertama kali rasul dakwahkan ke tengah masyarakat Jahiliah adalah perkara akidah. Sedang ayat-ayat yang turun di awal dakwahnya juga menekankan pada akidah.
Rasulullah saw. juga memerintahkan para sahabatnya untuk menyerukan kepada akidah terlebih dulu sebelum menjelaskan ketetapan lainnya. Ketika beliau mengutus Muadz bin Jabal ra. ke Yaman yang mayoritas penduduknya Ahlul Kitab, beliau memerintakan agar perkara pertama yang didakwahkan kepada mereka adalah mengesakan Allah Swt., baru setelah itu dijelaskan tentang kewajiban mendirikan shalat lima waktu dalam sehari semalam serta membayar zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin mereka (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, dan Abu Dawud).
D. Meretas Pendidikan Anak Dengan Lafaz Tahlil
Dalam pendidikan anak, Rasulullah saw. telah memerintahkan para orangtua untuk menekankan pendidikan akidah. Ibnu Abbas menuturkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
Ajarkan kalimat La ilaha illa Allah kepada anak-anak kalian sebagai kalimat pertama. (HR al-Hakim).
Abd ar-Razaq meriwayatkan bahwa para sahabat menyukai untuk mengajari anak-anak mereka dengan kalimat La ilaha illa Allah sebagai kalimat yang pertama kali dapat mereka ucapkan secara fasih sampai tujuh kali sehingga kalimat itu menjadi yang pertama-tama mereka ucapkan.18
Mengesakan Allah dan mengakui Muhammad sebagai Rasul, sesungguhnya termasuk perbuatan mulia. Yang demikian itu termasuk nilai keber-Islaman kita. Barangsiapa yang hendak bertemu dengan Allah Swt., dikelak hari kemudian, maka ia harus mengerjakan amal shalih dan tidak mempersekutukan Allah8. Demikianlah teladan dari orang-orang bijak dalam mendidik anaknya. Pastinya, kita juga menginginkan anak-anak yang kita asuh meraih bahagia dan surga. Mendidik anak bukan hanya bertalian langsung dengan pembentukan karakter kepribadian, tapi lebih dari itu, ia selalu diajari untuk mengenal Tuhannya, melalui berbagai amalan.
E. Analisa Tafsir QS. Luqman [31]: 12-13
Kedua surat ini mengajarkan kepada kita semua agar berhati-hati dalam mendidik anak, terutama berkaitan dengan keesaan Allah Swt. Menjauhi segala pengabdian di luar ke-Tuhanan adalah mutlak merupakan sesuatu yang harus diajarkan kepada putra-putri kita di awal usia, menjelang remaja. Larangan berbuat syirik sangat ditekankan kepada kita oleh Allah melalui Luqman, juga terutama bagi anak-anak kita.
Walaupun larangan berbuat syirik sifatnya umum, kita juga dituntut untuk senantiasa mewaspadainya, terutama pendidikan anak anak. Usia remaja sangat efektif dalam membentuk karakter keilahian pada keturunan kita. Doktrin agar tidak terjerumus pada kemusyrikan merupakan hal mendasar yang harus ditanamkan pada setian anak.
Kemudian, setelah seorang anak memiliki kekokohan dalam akidah, maka pendidikan yang kita berikan adalah bagaimana ia menjadi orang yang senantiasa bersyukur atas nikmat Allah Swt. Karena apabila anak kita belum tahu urgensi syukur, maka yang terjadi ia akan kerap ingkar. Walaupun anak kita tidak bersyukur, sesungguhnya Allah maha kaya dan terpuji. Hal yang paling pantas untuk kita contoh adalah kelembutan dan kasih sayang, tampak pada diri Lukman. Profil Lukman tidak mengenal otoritarianisme dalam mendidik anak.
Pelajaran mahal yang dapat kita petik dari kedua ayat ini adalah, Allah Swt menganugrahkan hikmah kepada Lukman. Dimana menurut Quraish Shihab dalam Tafsir Al Misbahnya mengartikan kata hikmah sebagai sesuatu yang bila digunakan akan menghalangi terjadinya mudarat, atau kesulitan yang lebih besar. Lebih lanjut Ketua PSQ Lentera Hati ini menjelaskan bahwa, hikmah yang dianugerakan kepada Luqman, yang kemudian ditularkan pada putranya adalah masalah syukur.
Barangsiapa bersyukur maka ia telah berbuat baik pada dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang kufur, maka ia merugikan diri sendiri, bukan Allah Swt.9. Hal ini yang kerap tidak dipahami oleh kebanyakan diantara kita. Kita berasumsi bahwa Allah Swt membutuhkan ibadah-ibadah kita, termasuk bersyukur. Meraka bermaksud menipu Allah, bahwa dengan berbuat kufur–dirinya merasa tidak rugi, bahkan menganggap Allah-lah yang berugi10. Luqman merupakan sosok ayah yang sangat dikagumi karena pintarnya dalam mendidik putranya. Apa yang diwasiatkan Luqman kepada anaknya (dahulu) dan kita saat ini, sungguh termasuk sumbangan berharga dalam mendidik anak bangsa, menjadi generasi yang senantiasa beribadah dan mengesakan Allah Swt, ganderung bersyukur, dan jauh dari sifat ingkar atas pelbagai nikmat-Nya.
***
Catatan kaki:
1 Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafasir, II/451
2 Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, III/1446, Dar al-Fikr, Beirut. 2000.
3 Shihab al-Din al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, xi/84; Wahbah az-Zuhayli, Tafsîr al-Munîr, XI/143.
4 Burhan al-Din al-Baqa’i, Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-آyat wa as-Suwar, VI/13, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995.
5 Mahmud Hijazi, at-Tafsir al-Wadhih, III/47, an-Nashir, 1992.
6 Fakhr ad-Din al-Razi, at-Tafsir al-Kabir Aw Mafatih al-Ghayb, XIII/128, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990.
7 Muhammad Suwaid, Mendidik Anak bersama Nabi, terj. Salafudin A. Sayyid, hlm. 133, Pustaka Arafah, Solo. 2003
8 Qutub, Sayyid. Tafsi Fi Zhilalil-Qur’an VII, Gemaa Insani Press, Jakarta,2003,hlm. 247
9 Hamid, Abdul Kisyk, 10 Wasiat Ilahi dalam al-Qur’an, terj. Al wasiyat Al asyr, Mitra Pustaka: 2005, hlm. 18
10 Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-Misbah 11; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an, (Jakarta: Lentera Hati, 2003, hlm. 120-121
DAFTAR RUJUKAN
Al-Qur-an al-Karim, Bandung: Pustaka Hidayah, 1997
Ash-Shabuni, Shafwat at-Tafasir, II
Burhan al-Din al-Baqa’i, Nazhm ad-Durar fi Tanasub al-آyat wa as-Suwar, VI,
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1995.
Fakhr ad-Din al-Razi, at-Tafsir al-Kabir Aw Mafatih al-Ghayb, XIII,
Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990.
Hamid, Abdul Kisyk, 10 Wasiat Ilahi dalam al-Qur’an, terj. Al wasiyat
Al asyr, Mitra Pustaka: 2005
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, III, Dar al-Fikr, Beirut. 2000.
Mahmud Hijazi, at-Tafsir al-Wadhih, III, an-Nashir, 1992.
Qutub, Sayyid. Tafsi Fi Zhilalil-Qur’an VII, Gemaa Insani Press,
Jakarta, 2003
Shihab al-Din al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, xi; Wahbah az-Zuhayli,
Tafsîr al-Munîr, XI
Suwaid, Muhammad, Mendidik Anak bersama Nabi, terj. Salafudin
A. Sayyid, Pustaka Arafah, Solo. 2003
Shihab, M.Quraish, Tafsir Al-Misbah 11; Pesan, Kesan, dan Keserasian
al-Qur'an, Jakarta: Lentera Hati, 2003
http://thejargon.multiply.com, diakses tanggaL 23 Desember 2008
Ketika Steve and Bill Bicara (Steve-Gates)
"Bukti Kejeniusan Bill Gates adalah Beliau selalu mempunyai Strategy yang hebat dalam menyampaikan ide-idenya kepada orang lain"
~Arip Nurahman~
Above. Gates here explaining the Live strategy. A lot of images and a lot of text. Usually Mr. Gates' slides have titles rather than more effective short declarative statements (this slide has neither). Good graphic design guides the viewer and has a clear hierarchy or order so that she knows where to look first, second, and so on. What is the communication priority of this visual? It must be the circle of clip art, but that does not help me much.
Inilah orang–orang yang didoakan oleh para malaikat
Orang yang tidur dalam keadaan bersuci. Imam Ibnu
Hibban meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra., bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang tidur dalam
keadaan suci, maka malaikat akan bersamanya di dalam
pakaiannya. Dia tidak akan bangun hingga malaikat
berdoa ‘Ya Allah, ampunilah hambamu si fulan karena
tidur dalam keadaan suci’” (hadits ini dishahihkan
oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat
Tarhib I/37)
Orang yang duduk menunggu shalat. Imam Muslim
meriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah
SAW bersabda, “Tidaklah salah seorang diantara kalian
yang duduk menunggu shalat, selama ia berada dalam
keadaan suci, kecuali para malaikat akan mendoakannya
‘Ya Allah, ampunilah ia. Ya Allah sayangilah ia’”
(Shahih Muslim no. 469)
Orang – orang yang berada di shaf bagian depan di
dalam shalat.
Imam Abu Dawud (dan Ibnu Khuzaimah)
dari Barra’ bin ‘Azib ra., bahwa Rasulullah SAW
bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya
bershalawat kepada (orang – orang) yang berada pada
shaf – shaf terdepan” (hadits ini dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud I/130)
Orang – orang yang menyambung shaf (tidak membiarkan
sebuah kekosongan di dalm shaf). Para Imam yaitu
Ahmad, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al
Hakim meriwayatkan dari Aisyah ra., bahwa Rasulullah
SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikat
selalu bershalawat kepada orang – orang yang
menyambung shaf – shaf” (hadits ini dishahihkan oleh
Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wat Tarhib
I/272)
Para malaikat mengucapkan ‘Amin’ ketika seorang Imam
selesai membaca Al Fatihah. Imam Bukhari meriwayatkan
dari Abu Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda,
“Jika seorang Imam membaca ‘ghairil maghdhuubi
‘alaihim waladh dhaalinn’, maka ucapkanlah oleh kalian
‘aamiin’, karena barangsiapa ucapannya itu bertepatan
dengan ucapan malaikat, maka ia akan diampuni dosanya
yang masa lalu” (Shahih Bukhari no. 782)
Orang yang duduk di tempat shalatnya setelah melakukan
shalat. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Hurairah,
bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Para malaikat akan
selalu bershalawat kepada salah satu diantara kalian
selama ia ada di dalam tempat shalat dimana ia
melakukan shalat, selama ia belum batal wudhunya,
(para malaikat) berkata, ‘Ya Allah ampunilah dan
sayangilah ia’” (Al Musnad no. 8106, Syaikh Ahmad
Syakir menshahihkan hadits ini)
Orang – orang yang melakukan shalat shubuh dan ‘ashar
secara berjama’ah. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu
Hurairah ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Para
malaikat berkumpul pada saat shalat shubuh lalu para
malaikat ( yang menyertai hamba) pada malam hari (yang
sudah bertugas malam hari hingga shubuh) naik (ke
langit), dan malaikat pada siang hari tetap tinggal.
Kemudian mereka berkumpul lagi pada waktu shalat
‘ashar dan malaikat yang ditugaskan pada siang hari
(hingga shalat ‘ashar) naik (ke langit) sedangkan
malaikat yang bertugas pada malam hari tetap tinggal,
lalu Allah bertanya kepada mereka, ‘Bagaimana kalian
meninggalkan hambaku ?’, mereka menjawab, ‘Kami datang
sedangkan mereka sedang melakukan shalat dan kami
tinggalkan mereka sedangkan mereka sedang melakukan
shalat, maka ampunilah mereka pada hari kiamat’” (Al
Musnad no. 9140, hadits ini dishahihkan oleh Syaikh
Ahmad Syakir)
Orang yang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuan
orang yang didoakan. Diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Ummud Darda’ ra., bahwasannya Rasulullah SAW
bersabda, “Doa seorang muslim untuk saudaranya yang
dilakukan tanpa sepengetahuan orang yang didoakannya
adalah doa yang akan dikabulkan. Pada kepalanya ada
seorang malaikat yang menjadi wakil baginya, setiap
kali dia berdoa untuk saudaranya dengan sebuah
kebaikan, maka malaikat tersebut berkata ‘aamiin dan
engkaupun mendapatkan apa yang ia dapatkan’” (Shahih
Muslim no. 2733)
Orang – orang yang berinfak (berderma). Imam Bukhari
dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra.,
bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak satu hari pun
dimana pagi harinya seorang hamba ada padanya kecuali
2 malaikat turun kepadanya, salah satu diantara
keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti bagi
orang yang berinfak’. Dan lainnya berkata, ‘Ya Allah,
hancurkanlah harta orang yang pelit’” (Shahih Bukhari
no. 1442 dan Shahih Muslim no. 1010)
Orang yang makan sahur. Imam Ibnu Hibban dan Imam Ath
Thabrani, meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra.,
bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan
para malaikat-Nya bershalawat kepada orang – orang
yang makan sahur” (hadits ini dishahihkan oleh Syaikh
Al Albani dalam Shahih At Targhiib wat Tarhiib I/519)
Orang yang menjenguk orang sakit. Imam Ahmad
meriwayatkan dari ‘Ali bin Abi Thalib ra., bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seorang mukmin
menjenguk saudaranya kecuali Allah akan mengutus
70.000 malaikat untuknya yang akan bershalawat
kepadanya di waktu siang kapan saja hingga sore dan di
waktu malam kapan saja hingga shubuh” (Al Musnad no.
754, Syaikh Ahmad Syakir berkomentar, “Sanadnya
shahih”)
Seseorang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain.
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Umamah Al
Bahily ra., bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Keutamaan
seorang alim (berilmu) atas seorang ahli ibadah
bagaikan keutamaanku atas seorang yang paling rendah
diantara kalian. Sesungguhnya penghuni langit dan
bumi, bahkan semut yang di dalam lubangnya dan bahkan
ikan, semuanya bershalawat kepada orang yang
mengajarkan kebaikan kepada orang lain” (dishahihkan
oleh Syaikh Al Albani dalam Kitab Shahih At Tirmidzi
II/343)
Maraji’ :
Disarikan dari Buku Orang – orang yang Didoakan
Malaikat, Syaikh Fadhl Ilahi, Pustaka Ibnu Katsir,
Bogor, Cetakan Pertama, Februari 2005
Bersosialisasi
Sejauh ini, beberapa keluarga yang memang sudah berhimpun dalam sebuah grup pendukung bisa saling bertemu sebulan sekali atau sesuai kesepakatan. Hal itu merupakan salah satu cara untuk menciptakan pertemanan di antara sesama anak-anak HE.
Akan tetapi, kami mencoba membuat alternatif lain untuk melatih anak-anak berkomunikasi dengan teman sebaya. Kami membuka taman bacaan kecil di rumah khusus untuk anak-anak.
Setelah kami perhatikan, ternyata anak-anak HE baik-baik saja dalam bergaul. Mereka juga punya adaptasi yang cukup bagus saat bersama teman-temannya. Terlepas dari semua itu, sesungguhnya bersosialisasi lebih dari sekedar bertemu teman dan bermain, tapi belajar untuk mengenal manusia dan saling memahami.
Anngaran UN Bakal Turun
Namun, kata dia, selang dua minggu ini, sejatinya dana tersebut belum dibutuhkan untuk pencetakan soal unas. Sebab, tender soal unas baru akan dilakukan. "Dalam waktu dekat ini, proses tender sedang dalam persiapan. Sehingga, belum butuh biaya. Jadi, nggak langsung tender terus bayar. Bayarnya setelah ada pengumuman pemenang. Februari paling tidak anggaran sudah turun," jelas Nuh kemarin (14/1).
Rencananya, hari ini anggaran unas dibahas Departemen kementeriannya bersama Panitia Kerja (Panja) Komisi X DPR. "Prinsipnya, anggaran sudah disetujui. Tinggal tunggu pencairannya saja," tambah mantan rektor ITS itu.
Nuh mengatakan, problem pencetakan soal unas dapat teratasi kendati Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) urung mengambil alih tugas itu. Nuh mengatakan, sejatinya PT tidak bermaksud menolak tugas itu. Sebab, percetakan yang dimiliki beberapa perguruan tinggi dinilai belum memadai untuk mencetak jumlah naskah ujian dengan skala besar. Karena itu, Mendiknas telah memandatkan kembali tugas itu kepada pemprov. "Satu-dua minggu ini, tender akan dilakukan," imbuh Nuh.
Menurut dia, yang penting saat ini adalah mengawal pencetakan soal unas. PT, kata dia, akan mengawal proses tersebut. Karena itu, Departemen Pendidikan Nasional juga minta pemprov, pemkab/pemkot, dan Irjen agar mempersiapkan pengawasan dengan baik. "Kami siapkan tugas masing-masing. Pemprov dan pemkab tugasnya apa? Demikian pula kepala sekolah," ujarnya. Pengawasan ketat akan dilakukan di semua lini. Mulai proses pencetakan dan pendistribusian soal, pelaksanaan ujian, hingga pemindaian lembar jawaban ujian nasional (LJUN).
Nuh mengimbau semua pihak mempersiapkan unas dengan baik. Sekolah dan siswa tidak usah khawatir ihwal dimajukannya jadwal ujian. Menurut dia, pemadatan materi bisa diupayakan dengan baik. Hal itu, kata Nuh, bergantung pada kesiapan sekolah dalam memberikan materi pelajaran.
Nuh menjelaskan, lebih baik saat ini Departemen konsentrasi pada persiapan unas. Tidak terjebak dengan pro-kontra ujian itu. Pasalnya, dalam raker bersama komisi X beberapa waktu lalu, sudah diputuskan untuk menyelenggarakan ujian itu. Syaratnya, hasil unas dipakai untuk pemerataan pendidikan dan salah satu syarat kelulusan. "Kalau ada yang minta agar unas hanya dipakai sebagai pemerataan saja, kenapa namanya ujian nasional? Kenapa nggak pemerataan nasional saja?" cetusnya. Menurut Nuh, sinergi keduanya akan semakin baik.
Secara terpisah, sejumlah anggota DPR mengakui memang masih menahan anggaran Rp 524 miliar yang akan dialokasikan untuk pelaksanaan unas. "Unas tetap jalan, itu sepakat. Tapi, standarnya harus jelas dulu," ujar Ketua Kelompok Fraksi PKS di Komisi X Ahmad Zainuddin, di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, kemarin.
kecurangan dalam UN
”Semua pihak ingin semua sekolah dan daerah melaksanakan ujian nasional secara jujur supaya hasilnya murni,” kata Djemari Mardapi, Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, di Jakarta, Selasa (19/1).
Dalam upaya mencapai UN kredibel, Pusat Penilaian Pendidikan Kementerian Pendidikan Nasional ditugaskan untuk memetakan hasil UN dan kejujuran menurut sekolah, provinsi, kota/kabupaten.
Selain melakukan identifikasi, lanjut Djemari, pengawasan dalam penyelenggaraan ujian nasional jenjang SMA/MA tahun ini diperketat. Demikian juga peran perguruan tinggi dalam tim pemantau independen untuk pelaksanaan UN tingkat SMP dan SMK.
”Jika tahun lalu perguruan tinggi cuma pengamat, tahun ini mereka sebagai pengawas yang bisa masuk ruang kelas jika dibutuhkan. Dalam pengarahan kepada guru-guru pengawas ruangan, perguruan tinggi juga terlibat,” kata Djemari.
DIY paling bersih
Secara terpisah, Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh di Madiun mengatakan, untuk mencegah terjadinya kecurangan UN, pengawasan dan pengamanan akan diperketat mulai dari penggandaan soal, distribusi soal, pelaksanaan ujian di setiap ruang ujian, sampai penilaian.
”Pengawasan UN di semua tahapan akan diperketat,” kata Mendiknas seusai menyosialisasi pelaksanaan UN kepada para bupati yang hadir dalam Rapat Kerja Nasional Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Madiun, Senin (18/1) malam.
Pada kesempatan tersebut, Menteri memaparkan hasil evaluasi UN di seluruh provinsi di Indonesia dari sisi jumlah kecurangan yang terjadi. Dari pemaparan itu, pelaksanaan UN di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta paling bersih karena sedikit terjadi kecurangan. Sebaliknya, provinsi yang pelaksanaan UN paling banyak terjadi kecurangan adalah Gorontalo.
Anggaran terbatas
Di Surabaya, Koordinator Pelaksana Pengawas UN SMA/MA dan Tim Pemantau Independen UN SMP Jawa Timur Syafsir Akhlus mengatakan, karena keterbatasan anggaran, bantuan pengawasan UN dari perguruan tinggi untuk SMA dan SMP tidak mencakup semua sekolah. ”Kendatipun demikian, pengawas perguruan tinggi negeri tetap bersungguh-sungguh memantau pelaksanaan UN 2010,” ujarnya.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengalokasikan anggaran Rp 10,9 miliar untuk pengawasan dan pemindaian UN di Jawa Timur ditambah Rp 2,2 miliar untuk tim pemantau independen. Untuk itu, BSNP mengharapkan setiap sekolah diawasi dua orang dari perguruan tinggi. Tahun sebelumnya, setiap sekolah diawasi satu orang dengan anggaran keseluruhan Rp 8,2 miliar.
Sementara itu, Rektor Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Priyo Suprobo mengatakan, akan sangat baik bila ada satuan tugas pengawas UN dari masyarakat yang benar-benar peduli pada kejujuran. Selain cakupannya lebih luas, anggaran yang dikeluarkan lebih hemat karena kemungkinan pengawasan dilakukan para relawan. Bila ada satuan tugas dari masyarakat, kata Priyo, sesungguhnya tidak perlu ada pengawas dari perguruan tinggi.
Selasa, 19 Januari 2010
Ketika Steve and Bill Bicara (Steve-Gates)
— Dr. Koichi Kawana
Senin, 18 Januari 2010
KMKB; Keluarga Mahasiswa Kota Banjar di Bandung
Letter | Major Term | Minor Terms |
---|---|---|
S | Specific | Significant,[3] Stretching, Simple |
M | Measurable | Meaningful,[3] Motivational,[3] Manageable |
A | Attainable[4] | Appropriate, Achievable, Agreed,[5][6] Assignable,[7] Actionable,[8] Action-oriented,[3] Ambitious[9] |
R | Relevant | Realistic,[7] Results/Results-focused/Results-oriented,[4] Resourced,[10] Rewarding[3] |
T | Time-bound | Time-oriented, Time framed, Timed, Time-based, Timeboxed, Timely,[4][6] Time-Specific, Timetabled, Time limited, Trackable, Tangible |
E | Evaluate | Ethical, Excitable |
R | Reevaluate | Rewarded, Reassess, Revisit, Recorded |
1. Menyediakan Media Pembelajaran yang Berkualitas
(Silahkan Klik untuk lebih jelasnya)
9. Pengadaan Pelatihan Olimpiade bagi adik-adik pelajar di Kota Banjar
10. Penerapan dan Pengembangan IPTEKS (Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni) mutakhir
11. Organizational Social Responsibility
12. Awal Pembangunan ASRAMA KMKB
Further reading
- Roger L. Kemp, "America's Cities: Strategic Planning for the Future," The Interstate, Danville, IL (1988).
- Roger L. Kemp, "Strategic Planning in Local Government: A Casebook," Planners Press, American Planning Association (APA), Chicago, IL (1992).
- Roger L. Kemp, "Handbook of Strategic Planning," Cummings & Hathaway, East Rockaway, NY (1995).
- Patrick L. Burkhart and Suzanne Reuss (1993). Successful Strategic Planning: A Guide for Nonprofit Agencies and Organizations. Newbury Park: Sage Publications.
- Bradford and Duncan (2000). Simplified Strategic Planning. Chandler House.
- Stephen G. Haines (2004). ABCs of strategic management : an executive briefing and plan-to-plan day on strategic management in the 21st century.
- Kono, T. (1994) "Changing a Company's Strategy and Culture", Long Range Planning, 27, 5 (October 1994), pp: 85-97
- Philip Kotler (1986), "Megamarketing" In: Harvard Business Review. (March—April 1986)
- John Naisbitt (1982). Megatrends: Ten New Directions Transforming our Lives. Macdonald.
- T. Levitt (1960) "Marketing myopia", In: Harvard Business Review, (July—August 1960)
- M. Lorenzen (2006). "Strategic Planning for Academic Library Instructional Programming." In: Illinois Libraries 86, no. 2 (Summer 2006): 22-29.
- L. Fahey and V. K. Narayman (1986). Macroenvironmental Analysis for Strategic Management&rdquo. West Publishing.
- R. F. Lusch and V. N. Lusch (1987). Principles of Marketing. Kent Publishing,
- Estelle Metayer: "Demystifying Competitive Intelligence" Ivey Business Journal, Nov 1999
- Brian Tracy (2000). The 100 Absolutely Unbreakable Laws of Business Success. Berrett, Koehler Publishers.
- Michael Allison and Jude Kaye (2005). Strategic Planning for Nonprofit Organizations. Second Edition. John Wiley and Sons.
See also
Semoga Bermanfaat, Terima Kasih dan Tetap Bersemangat