Untuk Mas Andrea Hirata:
Mungkin saya hanya salah satu dari ribuan atau bahkan jutaan orang yang terinspirasi dengan buku Anda "Laskar Pelangi". Setelah lama saya tak lagi menyempatkan diri membaca buku-buku bergenre fiksi, sungguh membaca Laskar Pelangi malah membuat saya bisa tertawa dan sekaligus menangis. Cerita orang tentang Laskar Pelangi memang bukan sekedar omong kosong. Terimakasih. Banyak pelajaran sekaligus hiburan yang saya dapat dari novel Anda.
Maklum ibu rumah tangga, setelah kurang lebih 5 hari menyicil, barulah pada
Jumat, 30 November 2007 saya berhasil menyelesaikan seluruh bab Laskar Pelangi. Ada rasa ikut terluka dengan nasib seorang Lintang yang berotak brilian namun cita-citanya kandas karena kemiskinan. Ada pula keberanian dan semangat luar biasa yang menular pada diri saya atas ketangguhan seorang Ikal (penulis) yang pantang menyerah. Dalam banyak hal, cerita Laskar Pelangi membuat saya kagum sekaligus malu, karena dalam banyak kemudahan yang kini saya miliki, saya justru tak banyak berbuat apa-apa untuk orang lain, untuk melawan ketidakadilan, untuk meredam kesewenang-wenangan, dan banyak hal yang harus dibenahi di kiri-kanan kita.
Impian saya memang terbentang dari ujung kertas di kiri hingga ujung kertas di kanan. Cita-cita dan berbagai gagasan bertaburan di kepala. Namun, ternyata gagasan itu tak cukup hanya diucapkan atau dituliskan. Penyakit paling parah yang melanda para pemimpi justru bukanlah impian-impiannya, melainkan kebiasaan menunda untuk melangkah.
Lapuknya gedung sekolah, kecilnya gaji, dan miskinnya sarana dan prasarana sekolah Muhammadiyah, yang menjadi setting utama kisah Laskar Pelangi, tak membuat guru setegar Ibu Muslimah mundur untuk memberikan pengabdian yang terbaik dalam pendidikan. Adakah kini hal itu tersimpan di benak para guru di sekolah elite dan mewah? Sudah sepantasnya para guru (termasuk guru di rumah alias orangtua) membaca novel ini untuk menggugah kembali idealisme dan semangat memberi seorang pendidik sejati.
Bagi siapapun yang memiliki mimpi untuk memajukan pendidikan, dalam skala sekecil apapun, Laskar Pelangi adalah sumber inspirasi yang layak untuk dikaji. Jadikan impian tak hanya sekedar menjadi mimpi, tetapi berwujud dalam langkah-langkah nyata.
Wahai para pemimpi, Selamat membaca!
Jumat, 30 November 2007
Sabtu, 24 November 2007
Belajar Bersama
Belajar Bersama. Frasa ini mungkin sering sekali kita dengar. Tak terlalu istimewa jika dilihat secara bahasa, namun andai kita melakukannya dalam rangka mengatasi kendala-kendala pendidikan, kegiatan belajar bersama akan sangat membantu dan bahkan bisa menciptakan sebuah lompatan belajar yang cukup mencengangkan.
Mereka yang tertarik dengan pendidikan mandiri - tanpa sekolah akan merasakan manfaat belajar bersama pada banyak segi: Sisi finansial untuk mengupah guru, resources (bahan-bahan), sosialisasi, kegembiraan, dan juga persahabatan yang sehat. Bahkan beberapa mata pelajaran non eksakta bisa dipelajari bersama tanpa guru pembimbing.
Dulu di era revolusi industri, pendidikan digiring untuk memenuhi kebutuhan dunia industri, namun kini pendidikan justru telah menjadi salah satu sektor industri. Tanpa sadar hal ini telah menimbulkan degradasi dalam memandang pendidikan. Motif orang untuk mengenyam pendidikan berakhir pada 'bagaimana agar saya mendapat pekerjaan' dan 'bagaimana agar anak-anak saya juga bisa sekolah untuk dapat pekerjaan'. Sungguh sebuah lingkaran tak berujung. Tentu tidak sepenuhnya salah jika kita berharap mendapat pekerjaan, tapi hakikat berpendidikan semestinya jauh dari sekedar itu.
Ada nilai-nilai yang justru menghilang dari dunia pendidikan, yaitu integritas, kepedulian, kejujuran, keadilan, dan sikap ksatria. Yang ingin nilai 9 tak malu untuk menyontek, yang nggak bisa bayar SPP justru dibuat malu di depan orang banyak. Orang yang banyak uang bisa bersekolah di tempat yang mewah dan berfasilitas lengkap, sementara orang miskin bahkan tak bisa menginjakkan kakinya di halaman sekolah.
Belajar bersama adalah perpanjangan dari semangat gotong royong-nya orang-orang dulu. Betapa banyak kebutuhan kolektif yang terpenuhi dengan bergotong royong: Membuat rumah, membangun jembatan, membuat saluran air, dan lain-lain. Semua menjadi lebih ringan dengan kebersamaan.
Jika di sekolah tiap anak harus membeli semua buku paket, sehingga anggaran buku saja jadi membengkak. Dengan belajar bersama, pembelian buku paket bisa dibagi dengan sejumlah anak. 10 buku misalnya, jika dibagi 5 anak, maka kewajiban beli buku per orangnya hanya 2 buah. Tentu akan sangat jauh lebih ringan dibandingkan harus membeli 10 sekaligus. Kalau harga per buku adalah Rp. 20.000 saja maka pembagian itu akan menghemat hingga Rp. 160.000 per anak. Betapa terbantunya para orang tua dari kalangan buruh atau tukang becak, yang penghasilan hariannya mungkin tak lebih dari 30 ribu rupiah.
Semangat berbagi dan empati nampaknya mulai menghilang sedikit demi sedikit. Meski tak semua, guru jaman sekarang bahkan bisa dengan mudah berkata, "Guru juga manusia. Manusia butuh uang". Hal itu merupakan apologi ketika mereka membisniskan penjualan buku paket atau membisniskan bimbingan belajar.
Saya ingat sekali, ketika dulu saya susah payah mengerti pelajaran matematika kelas 1 SMA hanya karena gurunya tidak membahas secara detail setiap materi yang diajarkan di kelas. Sementara beberapa orang tertentu dengan mudah menyelesaikan PR karena ternyata mereka dapat les tambahan di lembaga bimbel, bahkan oleh guru yang sama.
Semua ternyata berujung pada integritas dan kepedulian yang kian melemah. Kehausan akan nilai-nilai kebanggaan semu lebih dominan daripada sikap ksatria. Hal itu juga merupakan cermin tentang diabaikannya nilai-nilai ketuhanan dalam pendidikan. Agama yang tersisa hanyalah ibadah ritual, selebihnya manusia menjalankan kegiatan hidupnya hanya dipandu insting, termasuk di dalamnya keserakahan akan uang dan kekuasaan.
Homeschooling (HS), yang kini sedang menjadi trend, akan berimplikasi positif jika di dalamnya hidup semangat kebersamaan ini. Orang tua yang berniat meng-homeschooling-kan anaknya tak perlu harus bergabung dengan lembaga HS berorientasi profit, jika ternyata dana yang dimiliki tidak bisa menjangkau standar biaya yang ditetapkan lembaga-lembaga tersebut.
Setiap orang tua memiliki potensi untuk menjadi pembimbing bagi anak-anaknya. Bukan untuk membuat anak-anak hafal perkalian ataupun hafal nama-nama pahlawan, tetapi untuk menumbuhkan semangat belajar mereka dan menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan ke dalam hati mereka. Carilah kawan yang juga berniat untuk HS, dan belajarlah bersama-sama untuk berbagi bahan dan juga kearifan.
HS justru menjadi sarana paling pas untuk mempraktekkan kembali semangat kebersamaan, empati, dan gotong royong yang dulu menjadi kebanggaan bangsa ini, yang dulu begitu diandalkan untuk membebaskan diri dari para penjajah asing, yang dulu menjadi pemersatu berbagai suku bangsa, yang dulu dan kini mampu menghapus air mata para dhuafa yang kelaparan, yang dulu dan juga kini mampu membuat anak-anak tersenyum meski mereka tidak berada dalam kelapangan materil.
Belajar Bersama? Selamat mencoba.
Mereka yang tertarik dengan pendidikan mandiri - tanpa sekolah akan merasakan manfaat belajar bersama pada banyak segi: Sisi finansial untuk mengupah guru, resources (bahan-bahan), sosialisasi, kegembiraan, dan juga persahabatan yang sehat. Bahkan beberapa mata pelajaran non eksakta bisa dipelajari bersama tanpa guru pembimbing.
Dulu di era revolusi industri, pendidikan digiring untuk memenuhi kebutuhan dunia industri, namun kini pendidikan justru telah menjadi salah satu sektor industri. Tanpa sadar hal ini telah menimbulkan degradasi dalam memandang pendidikan. Motif orang untuk mengenyam pendidikan berakhir pada 'bagaimana agar saya mendapat pekerjaan' dan 'bagaimana agar anak-anak saya juga bisa sekolah untuk dapat pekerjaan'. Sungguh sebuah lingkaran tak berujung. Tentu tidak sepenuhnya salah jika kita berharap mendapat pekerjaan, tapi hakikat berpendidikan semestinya jauh dari sekedar itu.
Ada nilai-nilai yang justru menghilang dari dunia pendidikan, yaitu integritas, kepedulian, kejujuran, keadilan, dan sikap ksatria. Yang ingin nilai 9 tak malu untuk menyontek, yang nggak bisa bayar SPP justru dibuat malu di depan orang banyak. Orang yang banyak uang bisa bersekolah di tempat yang mewah dan berfasilitas lengkap, sementara orang miskin bahkan tak bisa menginjakkan kakinya di halaman sekolah.
Belajar bersama adalah perpanjangan dari semangat gotong royong-nya orang-orang dulu. Betapa banyak kebutuhan kolektif yang terpenuhi dengan bergotong royong: Membuat rumah, membangun jembatan, membuat saluran air, dan lain-lain. Semua menjadi lebih ringan dengan kebersamaan.
Jika di sekolah tiap anak harus membeli semua buku paket, sehingga anggaran buku saja jadi membengkak. Dengan belajar bersama, pembelian buku paket bisa dibagi dengan sejumlah anak. 10 buku misalnya, jika dibagi 5 anak, maka kewajiban beli buku per orangnya hanya 2 buah. Tentu akan sangat jauh lebih ringan dibandingkan harus membeli 10 sekaligus. Kalau harga per buku adalah Rp. 20.000 saja maka pembagian itu akan menghemat hingga Rp. 160.000 per anak. Betapa terbantunya para orang tua dari kalangan buruh atau tukang becak, yang penghasilan hariannya mungkin tak lebih dari 30 ribu rupiah.
Semangat berbagi dan empati nampaknya mulai menghilang sedikit demi sedikit. Meski tak semua, guru jaman sekarang bahkan bisa dengan mudah berkata, "Guru juga manusia. Manusia butuh uang". Hal itu merupakan apologi ketika mereka membisniskan penjualan buku paket atau membisniskan bimbingan belajar.
Saya ingat sekali, ketika dulu saya susah payah mengerti pelajaran matematika kelas 1 SMA hanya karena gurunya tidak membahas secara detail setiap materi yang diajarkan di kelas. Sementara beberapa orang tertentu dengan mudah menyelesaikan PR karena ternyata mereka dapat les tambahan di lembaga bimbel, bahkan oleh guru yang sama.
Semua ternyata berujung pada integritas dan kepedulian yang kian melemah. Kehausan akan nilai-nilai kebanggaan semu lebih dominan daripada sikap ksatria. Hal itu juga merupakan cermin tentang diabaikannya nilai-nilai ketuhanan dalam pendidikan. Agama yang tersisa hanyalah ibadah ritual, selebihnya manusia menjalankan kegiatan hidupnya hanya dipandu insting, termasuk di dalamnya keserakahan akan uang dan kekuasaan.
Homeschooling (HS), yang kini sedang menjadi trend, akan berimplikasi positif jika di dalamnya hidup semangat kebersamaan ini. Orang tua yang berniat meng-homeschooling-kan anaknya tak perlu harus bergabung dengan lembaga HS berorientasi profit, jika ternyata dana yang dimiliki tidak bisa menjangkau standar biaya yang ditetapkan lembaga-lembaga tersebut.
Setiap orang tua memiliki potensi untuk menjadi pembimbing bagi anak-anaknya. Bukan untuk membuat anak-anak hafal perkalian ataupun hafal nama-nama pahlawan, tetapi untuk menumbuhkan semangat belajar mereka dan menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan dan ketuhanan ke dalam hati mereka. Carilah kawan yang juga berniat untuk HS, dan belajarlah bersama-sama untuk berbagi bahan dan juga kearifan.
HS justru menjadi sarana paling pas untuk mempraktekkan kembali semangat kebersamaan, empati, dan gotong royong yang dulu menjadi kebanggaan bangsa ini, yang dulu begitu diandalkan untuk membebaskan diri dari para penjajah asing, yang dulu menjadi pemersatu berbagai suku bangsa, yang dulu dan kini mampu menghapus air mata para dhuafa yang kelaparan, yang dulu dan juga kini mampu membuat anak-anak tersenyum meski mereka tidak berada dalam kelapangan materil.
Belajar Bersama? Selamat mencoba.
Jumat, 23 November 2007
Homeschooling dan PKBM
Menarik tapi juga miris. Untuk kedua kalinya saya mendapat telpon dari ibu yang memiliki persoalan dengan sekolah anaknya. Kasus yang pertama, anak (kelas 1 SD) terlalu aktif di kelas sehingga gurunya merasa terganggu atau lebih tepatnya tidak sanggup menanggulangi. Secara halus sang guru menolak anak itu berada di kelas lewat dialog dengan orang tuanya. Mungkin mirip kasus Totto-chan ya.
Kasus kedua, sang anak (kelas 1 SMP)berulang kali mangkir dari sekolah dan berbohong pada orang tuanya. Dia lebih memilih singgah di rumah familinya daripada mengikuti pelajaran. Sang ibu sedih sekali, tapi mau bilang apa.
Meski kasusnya sedikit berbeda, yang jelas orang tua kedua anak ini akhirnya melihat homeschooling (HS) sebagai alternatif. Akan tetapi, hal "menakjubkan" ternyata harus mereka temui lagi di ranah homeschooling. Ketika lembaga pendukung HS mereka datangi, ternyata biaya yang ditawarkan membuat mereka tercengang. Jumlah pertemuan dengan tutor yang hanya 2 kali atau 3 kali seminggu dibayar jauh lebih mahal daripada pertemuan tiap hari di sekolah umum. Ya, mungkin juga bisa dikatakan wajar, karena gurunya dibayar dengan standar privat. Tetapi, bagi keluarga menengah, tetap saja hal itu sangat memberatkan.
Saya akhirnya katakan pada kedua ibu ini agar mereka mencari PKBM untuk mengurus masalah legalitas dan memperoleh draft kurikulum diknas sebagai acuan. Tapi, jelas kegiatan belajar menjadi tanggung jawab orang tua. Untuk mata pelajaran yang memang membutuhkan tutor, mereka bisa mengundang guru privat yang mau dibayar alakadarnya atau patungan dengan anak dari keluarga lain.
Pada kasus seperti ini, berpikir substansialis adalah obat. HS sendiri saat ini masih menggunakan jalur persamaan sebagai salah satu cara untuk mendapat legalitas, di samping juga ijazah formal jika bergabung dengan sekolah yang mau menaungi para homeschooler (umbrella school). Bagi keluarga yang tidak memungkinkan secara finansial untuk bergabung dengan lembaga-lembaga pendukung HS atau bekerja sama dengan "umbrella school", PKBM adalah solusi yang paling mudah dan jauh lebih murah.
Kalau orang tua bisa serius mengelola kecenderungan belajar anak-anaknya, mampu menemukan bakat dan minat mereka, serta memfasilitasi pengembangan bakat dan minat itu dengan tepat, saya yakin hasilnya juga tak akan kalah dengan anak-anak HS yang bayar mahal ke lembaga-lembaga berorientasi profit.
Homeschooling mungkin hanya sebuah pilihan di antara pilihan-pilihan yang ada, namun untuk beberapa kasus (termasuk dua kasus yang saya ceritakan di atas), HS adalah jalan satu-satunya. Hanya saja, kini terjadi degradasi yang besar pada pelaksanaan HS. Sebuah model pendidikan yang harusnya bisa memerdekakan pikiran dan juga meninggalkan jauh bentuk-bentuk eksploitasi dan pembodohan, nyatanya berubah menjadi sarana baru pengerukan income. Entahlah, apa mungkin karena ini abad materialisme, sehingga model pendidikan alternatif apapun akhirnya berujung pada eksploitasi materil.
Lalu apa jadinya anak-anak kita di hari depan? Saya kadang termenung dan mencoba mengolah berbagai kemungkinan. Akhirnya saya hanya bisa bilang, selamat datang tantangan!
Kasus kedua, sang anak (kelas 1 SMP)berulang kali mangkir dari sekolah dan berbohong pada orang tuanya. Dia lebih memilih singgah di rumah familinya daripada mengikuti pelajaran. Sang ibu sedih sekali, tapi mau bilang apa.
Meski kasusnya sedikit berbeda, yang jelas orang tua kedua anak ini akhirnya melihat homeschooling (HS) sebagai alternatif. Akan tetapi, hal "menakjubkan" ternyata harus mereka temui lagi di ranah homeschooling. Ketika lembaga pendukung HS mereka datangi, ternyata biaya yang ditawarkan membuat mereka tercengang. Jumlah pertemuan dengan tutor yang hanya 2 kali atau 3 kali seminggu dibayar jauh lebih mahal daripada pertemuan tiap hari di sekolah umum. Ya, mungkin juga bisa dikatakan wajar, karena gurunya dibayar dengan standar privat. Tetapi, bagi keluarga menengah, tetap saja hal itu sangat memberatkan.
Saya akhirnya katakan pada kedua ibu ini agar mereka mencari PKBM untuk mengurus masalah legalitas dan memperoleh draft kurikulum diknas sebagai acuan. Tapi, jelas kegiatan belajar menjadi tanggung jawab orang tua. Untuk mata pelajaran yang memang membutuhkan tutor, mereka bisa mengundang guru privat yang mau dibayar alakadarnya atau patungan dengan anak dari keluarga lain.
Pada kasus seperti ini, berpikir substansialis adalah obat. HS sendiri saat ini masih menggunakan jalur persamaan sebagai salah satu cara untuk mendapat legalitas, di samping juga ijazah formal jika bergabung dengan sekolah yang mau menaungi para homeschooler (umbrella school). Bagi keluarga yang tidak memungkinkan secara finansial untuk bergabung dengan lembaga-lembaga pendukung HS atau bekerja sama dengan "umbrella school", PKBM adalah solusi yang paling mudah dan jauh lebih murah.
Kalau orang tua bisa serius mengelola kecenderungan belajar anak-anaknya, mampu menemukan bakat dan minat mereka, serta memfasilitasi pengembangan bakat dan minat itu dengan tepat, saya yakin hasilnya juga tak akan kalah dengan anak-anak HS yang bayar mahal ke lembaga-lembaga berorientasi profit.
Homeschooling mungkin hanya sebuah pilihan di antara pilihan-pilihan yang ada, namun untuk beberapa kasus (termasuk dua kasus yang saya ceritakan di atas), HS adalah jalan satu-satunya. Hanya saja, kini terjadi degradasi yang besar pada pelaksanaan HS. Sebuah model pendidikan yang harusnya bisa memerdekakan pikiran dan juga meninggalkan jauh bentuk-bentuk eksploitasi dan pembodohan, nyatanya berubah menjadi sarana baru pengerukan income. Entahlah, apa mungkin karena ini abad materialisme, sehingga model pendidikan alternatif apapun akhirnya berujung pada eksploitasi materil.
Lalu apa jadinya anak-anak kita di hari depan? Saya kadang termenung dan mencoba mengolah berbagai kemungkinan. Akhirnya saya hanya bisa bilang, selamat datang tantangan!
Jumat, 16 November 2007
Memilih Mainan Anak
Anak balita tanpa mainan? Hal itu jelas mustahil. Anak hidup dengan bermain dan belajar juga lewat bermain. Membiarkan tangan anak kosong tanpa satu pun benda dipegangnya untuk dimainkan hanya akan menjadi bumerang bagi orang tua. Rewel dan uring-uringan sangat mungkin terjadi. Lebih parah lagi jika kemudian mereka beralih menjadi "TV mania", yang kuat berjam-jam di depan televisi, sementara tayangannya belum tentu sesuai dengan usia mereka.
Namun di tengah membanjirnya produksi mainan anak, orang tua juga ternyata perlu selektif memilihnya. Beberapa kriteria perlu diperhatikan agar mainan yang kita berikan pada anak-anak memiliki nilai manfaat dan juga aman bagi mereka.
Berikut ini kriteria mainan dan permainan anak yang bisa menjadi acuan bagi orang tua:
Berasal dari bahan yang aman (tidak mengandung racun)
Bisa mengaktifkan saraf motorik (motorik kasar maupun motorik halus)
Contoh: balok-balok kayu, bola berbagai ukuran, gelas-gelas plastik untuk di tumpuk, manik-manik besar untuk dironce, alat jahit mainan, pasir dan air, lempung mainan, kelereng luncur, mobil-mobilan yang bisa ditarik, sepeda roda tiga, ayunan, perosotan, dll
Bisa mengaktifkan sisi kognitif otak
Contoh: kartu-kartu kata, kartu-kartu gambar, PAS, logico,puzzle (dari kertas, kayu, atau bahan sintetis), buku-buku cerita, balok-balok bongkar pasang, dll.
Memungkinkan adanya interaksi dengan anak sebaya atau orang tua
Misalnya: bermain bola, bermain lompat tali, atau bermain tebak kata dengan kartu-kartu.
Hindari sedapat mungkin mainan yang mempergunakan baterai pada usia balita, karena akan mengurangi aktivitas motorik mereka. Membiarkan anak-anak berlarian di halaman jauh lebih baik daripada membiarkan mereka hanya terduduk melihat mobil-mobilan elektrik berjalan dengan bantuan remote control.
Semoga bermanfaat!
Namun di tengah membanjirnya produksi mainan anak, orang tua juga ternyata perlu selektif memilihnya. Beberapa kriteria perlu diperhatikan agar mainan yang kita berikan pada anak-anak memiliki nilai manfaat dan juga aman bagi mereka.
Berikut ini kriteria mainan dan permainan anak yang bisa menjadi acuan bagi orang tua:
Berasal dari bahan yang aman (tidak mengandung racun)
Bisa mengaktifkan saraf motorik (motorik kasar maupun motorik halus)
Contoh: balok-balok kayu, bola berbagai ukuran, gelas-gelas plastik untuk di tumpuk, manik-manik besar untuk dironce, alat jahit mainan, pasir dan air, lempung mainan, kelereng luncur, mobil-mobilan yang bisa ditarik, sepeda roda tiga, ayunan, perosotan, dll
Bisa mengaktifkan sisi kognitif otak
Contoh: kartu-kartu kata, kartu-kartu gambar, PAS, logico,puzzle (dari kertas, kayu, atau bahan sintetis), buku-buku cerita, balok-balok bongkar pasang, dll.
Memungkinkan adanya interaksi dengan anak sebaya atau orang tua
Misalnya: bermain bola, bermain lompat tali, atau bermain tebak kata dengan kartu-kartu.
Hindari sedapat mungkin mainan yang mempergunakan baterai pada usia balita, karena akan mengurangi aktivitas motorik mereka. Membiarkan anak-anak berlarian di halaman jauh lebih baik daripada membiarkan mereka hanya terduduk melihat mobil-mobilan elektrik berjalan dengan bantuan remote control.
Semoga bermanfaat!
Rabu, 14 November 2007
Bahasa: Tools Penting Menuju Ilmu Pengetahuan
Pelajaran bahasa seringkali dianggap kurang bergengsi, apalagi kalau hubungannya dengan bahasa Indonesia. Anak sekolah yang tidak tahu arti penting belajar bahasa, pasti sulit untuk menemukan keasyikan saat berada di kelas bahasa, mengerjakan tugas-tugas bahasa, dan bergaul dengan guru bahasa.
Akan tetapi, sejak SD saya termasuk orang yang senang pelajaran bahasa. Mood saya tidak pernah jatuh kalau berurusan dengan pelajaran yang satu ini: baik sastranya maupun gramatikanya, entah bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris; walaupun untuk saat itu saya juga tidak tahu apa tujuan belajar bahasa.
Ketika menginjak SMA, saat saya mulai dipertemukan dengan pelajaran bahasa Asing lain selain Inggris (waktu itu kebetulan Bahasa Jepang yang saya dapat), antusiasme saya untuk belajar bahasa dengan huruf-huruf unik ini sungguh besar. Sayangnya, guru bahasa Jepang saya terlanjur pindah. Sedih juga rasanya. Tapi, karena saya sangat suka, keinginan untuk belajar bahasa ini terus berlanjut. Saya mengambil jurusan Sastra Jepang pada UMPTN tahun 1994. Namun, lagi-lagi tidak berjodoh. Saya gagal masuk PTN di jurusan Sastra Jepang. Sampai akhirnya tahun 1995 saya "terjerumus" masuk sastra Rusia yang notabene juga berhubungan dengan bahasa.
Terlepas dari perjalanan saya menyukai bahasa dan gagal menempuh studi di jurusan yang saya mau, baru kini saya menyadari arti penting mempelajarinya. Bahasa apapun itu, adalah alat untuk mengakses pengetahuan.
Perguruan Tinggi yang mengkhususkan diri dalam mengajarkan bahasa mungkin sudah cukup banyak. Akan tetapi, mengolah muatan pelajaran sehingga benar-benar "ready for used" di lapangan saat mahasiswa lulus mungkin tak banyak PT yang melakukannya. Belajar bahasa seringnya hanya murni untuk bahasa, dan bukan untuk dipergunakan dalam kehidupan. Pelajaran bahasa akhirnya menjadi satu unit studi yang masa belajarnya begitu panjang (4 tahun untuk S1- kalau lulusnya cepat), padahal sesungguhnya bisa diperpendek dengan lebih banyak mengedepankan aplikasi daripada teori.
Bahasa Asing untuk Anak Usia Dini
Anak-anak pada usia "emas" (0 - 5 tahun) akan lebih mudah menyerap pelajaran berkali-kali lipat dari orang dewasa. Oleh karena itu, memberinya stimulus dengan beragam bahasa akan sangat membantu mereka untuk belajar dari banyak sumber pengetahuan di seluruh dunia.
Kalau hingga hari ini, bahasa Asing masih dianggap cukup eksklusif, sehingga kita berpikir bahwa untuk menguasainya anak-anak harus menunggu saat kuliah tiba, sungguh hal itu bukan lagi masanya.
Anak-anak bisa mempelajari banyak bahasa sekaligus lewat cara-cara yang mengasyikan, entah VCD ataupun poster-poster bergambar. Bukan untuk membuat mereka tampak hebat dan brilian. namun semata untuk memberi mereka tools menuju ilmu pengetahuan yang tak terbilang banyaknya di berbagai belahan dunia ini.
Satu hal yang pasti, rambu-rambunya adalah tidak memaksa anak untuk belajar secara khusus pada saat mereka memang belum menyukainya.
Salam pendidikan!
Akan tetapi, sejak SD saya termasuk orang yang senang pelajaran bahasa. Mood saya tidak pernah jatuh kalau berurusan dengan pelajaran yang satu ini: baik sastranya maupun gramatikanya, entah bahasa Indonesia ataupun bahasa Inggris; walaupun untuk saat itu saya juga tidak tahu apa tujuan belajar bahasa.
Ketika menginjak SMA, saat saya mulai dipertemukan dengan pelajaran bahasa Asing lain selain Inggris (waktu itu kebetulan Bahasa Jepang yang saya dapat), antusiasme saya untuk belajar bahasa dengan huruf-huruf unik ini sungguh besar. Sayangnya, guru bahasa Jepang saya terlanjur pindah. Sedih juga rasanya. Tapi, karena saya sangat suka, keinginan untuk belajar bahasa ini terus berlanjut. Saya mengambil jurusan Sastra Jepang pada UMPTN tahun 1994. Namun, lagi-lagi tidak berjodoh. Saya gagal masuk PTN di jurusan Sastra Jepang. Sampai akhirnya tahun 1995 saya "terjerumus" masuk sastra Rusia yang notabene juga berhubungan dengan bahasa.
Terlepas dari perjalanan saya menyukai bahasa dan gagal menempuh studi di jurusan yang saya mau, baru kini saya menyadari arti penting mempelajarinya. Bahasa apapun itu, adalah alat untuk mengakses pengetahuan.
Perguruan Tinggi yang mengkhususkan diri dalam mengajarkan bahasa mungkin sudah cukup banyak. Akan tetapi, mengolah muatan pelajaran sehingga benar-benar "ready for used" di lapangan saat mahasiswa lulus mungkin tak banyak PT yang melakukannya. Belajar bahasa seringnya hanya murni untuk bahasa, dan bukan untuk dipergunakan dalam kehidupan. Pelajaran bahasa akhirnya menjadi satu unit studi yang masa belajarnya begitu panjang (4 tahun untuk S1- kalau lulusnya cepat), padahal sesungguhnya bisa diperpendek dengan lebih banyak mengedepankan aplikasi daripada teori.
Bahasa Asing untuk Anak Usia Dini
Anak-anak pada usia "emas" (0 - 5 tahun) akan lebih mudah menyerap pelajaran berkali-kali lipat dari orang dewasa. Oleh karena itu, memberinya stimulus dengan beragam bahasa akan sangat membantu mereka untuk belajar dari banyak sumber pengetahuan di seluruh dunia.
Kalau hingga hari ini, bahasa Asing masih dianggap cukup eksklusif, sehingga kita berpikir bahwa untuk menguasainya anak-anak harus menunggu saat kuliah tiba, sungguh hal itu bukan lagi masanya.
Anak-anak bisa mempelajari banyak bahasa sekaligus lewat cara-cara yang mengasyikan, entah VCD ataupun poster-poster bergambar. Bukan untuk membuat mereka tampak hebat dan brilian. namun semata untuk memberi mereka tools menuju ilmu pengetahuan yang tak terbilang banyaknya di berbagai belahan dunia ini.
Satu hal yang pasti, rambu-rambunya adalah tidak memaksa anak untuk belajar secara khusus pada saat mereka memang belum menyukainya.
Salam pendidikan!
Minggu, 11 November 2007
Pusat Baca Masyarakat Desa: Edukasi Kerakyatan untuk Mencintai Buku
Tak bisa dipungkiri, pembeli buku di negeri kita belumlah seimbang jika dibandingkan dengan jumlah penduduknya. Selain itu, fakta menunjukkan bahwa pembeli buku masih didominasi oleh orang kota, atau kalaupun ada orang desa, mereka adalah orang-orang sudah yang bermigrasi atau bersekolah ke kota. Oleh karena itu, wajar jika akhirnya mayoritas penerbit tidak membidik pasar pedesaan untuk pendistribusian buku-bukunya. Pertimbangan marketing menjadi faktor utama.
Akan tetapi, peluang untuk membidik pasar pedesaan sebenarnya masih terbuka lebar. Satu hal yang mungkin tidak disadari, orang desa itu sebenarnya juga konsumtif. Banyak orang desa sekarang ini mampu membeli TV, DVD, lemari es, mesin cuci, kendaraan bermotor, dan peralatan modern lainnya. Artinya, secara finansial sesungguhnya mereka juga mampu. Persoalannya adalah: ada atau tidaknya rasa butuh terhadap buku.
Bertitik tolak dari persoalan tersebut, maka edukasi terhadap masyarakat desa tentang penting dan asyiknya membaca buku adalah program awal. Karena menyuruh orang desa membeli buku pada tahap pertama sudah pasti akan sia-sia.
Prioritas dari program edukasi tersebut adalah menyediakan pusat baca pedesaan atau TBM (Taman Baca Masyarakat) jika kita mempergunakan istilah diknas. Buku-bukunya disuplai oleh orang-orang yang peduli dengan pentingnya membaca buku, sehingga buku-buku yang tersedia di pusat baca bukanlah buku-buku yang isinya kurang bermutu, melainkan buku-buku yang akan menginspirasi orang untuk maju. Setahap demi setahap, dengan semakin tingginya ketertarikan terhadap bahan bacaan, diharapkan buku pun akan diminati masyarakat desa sebagai sebuah produk yang wajib dibeli.
Prosesnya panjang dan lama? Hal itu harus siap dihadapi. Namun bukan tidak mungkin, dengan konsistensi para pengelolanya dan bantuan penuh dari banyak pihak, termasuk insan-insan penerbitan buku, proses itu akan berlangsung lebih cepat.
Bagaimana Mendirikan TBM
Siapapun yang tertarik mendirikan TBM, informasi berikut mungkin bisa dijadikan acuan.
Syarat Berdirinya TBM
1. Tersedia tempat/ruangan yang memadai dan nyaman berukuran minimal 3 x 4 m
2. Lokasi yang mungkin dipergunakan adalah PKBM, balai desa, PAUD, masjid, atau tempat tinggal yang dianggap memadai
3. Tersedia koleksi buku minimal 50 judul buku dengan minimal 2 eksemplar untuk setiap judul. Jadi total buku yang tersedia adalah 100 buku.
4. Tersedia Rak buku sederhana berikut karpet ataupun meja dan kursi.
5. Tersedia Papan Nama TBM
(Sumber: Iklan Layanan Masyarakat, Harian "Pikiran Rakyat" edisi Kamis, 8 November 2007)
Strategi Menghidupkan Taman Bacaan
Penyakit yang seringkali muncul dalam pengelolaan taman bacaan adalah kurangnya pengunjung. Akibatnya, para pengelola atau pengurusnya pun jadi patah arang. Baru seminggu atau paling lama sebulan, taman bacaan sudah tutup lagi.
Program-program pemancing sangatlah penting dalam hal ini. Adanya sekolah-sekolah setingkat SD dan SMP, atau mungkin juga SMU di setiap kecamatan merupakan modal untuk dijadikan pelanggan taman bacaan. Pengelola TBM bisa bekerja sama dengan pihak sekolah untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan siswa-siswanya, seperti bedah buku, lomba bikin resensi, lomba nulis cerita, lomba madding, dan lain sebagainya. Di sinilah para penggiat dan kolektor buku sangat dibutuhkan support-nya, minimal untuk menyediakan hadiah berupa buku bagi para pemenang.
Dampak Signifikan Lain TBM
Lebih jauh dari sekedar menumbuhkan minat baca dan minat membeli buku, kehadiran TBM diharapkan mampu memberikan edukasi tidak langsung bagi generasi muda pedesaan tentang kepedulian terhadap daerah dan masyarakatnya.
Urbanisasi yang tak terbendung dari desa ke kota telah menyebabkan ketimpangan komposisi penduduk. Wilayah perkotaan semakin sesak dan tak tertata karena banyaknya para urban yang mencari nafkah di kota. Salah satu penyebab urbanisasi adalah ketidakmampuan orang desa untuk melihat potensi daerahnya sebagai lahan untuk mencari nafkah.
Sumber daya alam yang melimpah di desa tidak terberdayakan dengan baik karena pengetahuan akan hal itu memang sangat minim. Orang desa akhirnya memilih jalan instan dengan bekerja di kota, entah sebagai buruh, PRT, dan lain-lain, karena langkah itulah yang dianggap lebih cepat membawa mereka pada uang.
Harapan akan terjadinya perubahan yang lebih baik pada masyarakat kita pasti ada di benak banyak orang. Namun melakukan langkah-langkah kecil untuk mewujudkan harapan itu akan jauh lebih berarti daripada merangkai imajinasi besar yang tak terpetakan dalam kapasitas kita masing-masing.
Mensedekahkan minimal 1 saja koleksi buku Anda untuk mendirikan Taman Bacaan Masyarakat akan sangat membantu pemerataan wawasan dan pengetahuan pada mereka yang sulit mengaksesnya. Insyaallah, kebajikan itu akan terus mengalir berkahnya hingga kita kembali kepada-Nya. Hal itu disabdakan Nabi Muhammad saw, "Semua amal akan terputus pada saat seseorang telah meninggal dunia, kecuali 3 hal: anak yang shaleh, ilmu yang bermanfaat, dan amal sedekah".
(Mohon Koreksi jika ada kesalahan)
Akan tetapi, peluang untuk membidik pasar pedesaan sebenarnya masih terbuka lebar. Satu hal yang mungkin tidak disadari, orang desa itu sebenarnya juga konsumtif. Banyak orang desa sekarang ini mampu membeli TV, DVD, lemari es, mesin cuci, kendaraan bermotor, dan peralatan modern lainnya. Artinya, secara finansial sesungguhnya mereka juga mampu. Persoalannya adalah: ada atau tidaknya rasa butuh terhadap buku.
Bertitik tolak dari persoalan tersebut, maka edukasi terhadap masyarakat desa tentang penting dan asyiknya membaca buku adalah program awal. Karena menyuruh orang desa membeli buku pada tahap pertama sudah pasti akan sia-sia.
Prioritas dari program edukasi tersebut adalah menyediakan pusat baca pedesaan atau TBM (Taman Baca Masyarakat) jika kita mempergunakan istilah diknas. Buku-bukunya disuplai oleh orang-orang yang peduli dengan pentingnya membaca buku, sehingga buku-buku yang tersedia di pusat baca bukanlah buku-buku yang isinya kurang bermutu, melainkan buku-buku yang akan menginspirasi orang untuk maju. Setahap demi setahap, dengan semakin tingginya ketertarikan terhadap bahan bacaan, diharapkan buku pun akan diminati masyarakat desa sebagai sebuah produk yang wajib dibeli.
Prosesnya panjang dan lama? Hal itu harus siap dihadapi. Namun bukan tidak mungkin, dengan konsistensi para pengelolanya dan bantuan penuh dari banyak pihak, termasuk insan-insan penerbitan buku, proses itu akan berlangsung lebih cepat.
Bagaimana Mendirikan TBM
Siapapun yang tertarik mendirikan TBM, informasi berikut mungkin bisa dijadikan acuan.
Syarat Berdirinya TBM
1. Tersedia tempat/ruangan yang memadai dan nyaman berukuran minimal 3 x 4 m
2. Lokasi yang mungkin dipergunakan adalah PKBM, balai desa, PAUD, masjid, atau tempat tinggal yang dianggap memadai
3. Tersedia koleksi buku minimal 50 judul buku dengan minimal 2 eksemplar untuk setiap judul. Jadi total buku yang tersedia adalah 100 buku.
4. Tersedia Rak buku sederhana berikut karpet ataupun meja dan kursi.
5. Tersedia Papan Nama TBM
(Sumber: Iklan Layanan Masyarakat, Harian "Pikiran Rakyat" edisi Kamis, 8 November 2007)
Strategi Menghidupkan Taman Bacaan
Penyakit yang seringkali muncul dalam pengelolaan taman bacaan adalah kurangnya pengunjung. Akibatnya, para pengelola atau pengurusnya pun jadi patah arang. Baru seminggu atau paling lama sebulan, taman bacaan sudah tutup lagi.
Program-program pemancing sangatlah penting dalam hal ini. Adanya sekolah-sekolah setingkat SD dan SMP, atau mungkin juga SMU di setiap kecamatan merupakan modal untuk dijadikan pelanggan taman bacaan. Pengelola TBM bisa bekerja sama dengan pihak sekolah untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang melibatkan siswa-siswanya, seperti bedah buku, lomba bikin resensi, lomba nulis cerita, lomba madding, dan lain sebagainya. Di sinilah para penggiat dan kolektor buku sangat dibutuhkan support-nya, minimal untuk menyediakan hadiah berupa buku bagi para pemenang.
Dampak Signifikan Lain TBM
Lebih jauh dari sekedar menumbuhkan minat baca dan minat membeli buku, kehadiran TBM diharapkan mampu memberikan edukasi tidak langsung bagi generasi muda pedesaan tentang kepedulian terhadap daerah dan masyarakatnya.
Urbanisasi yang tak terbendung dari desa ke kota telah menyebabkan ketimpangan komposisi penduduk. Wilayah perkotaan semakin sesak dan tak tertata karena banyaknya para urban yang mencari nafkah di kota. Salah satu penyebab urbanisasi adalah ketidakmampuan orang desa untuk melihat potensi daerahnya sebagai lahan untuk mencari nafkah.
Sumber daya alam yang melimpah di desa tidak terberdayakan dengan baik karena pengetahuan akan hal itu memang sangat minim. Orang desa akhirnya memilih jalan instan dengan bekerja di kota, entah sebagai buruh, PRT, dan lain-lain, karena langkah itulah yang dianggap lebih cepat membawa mereka pada uang.
Harapan akan terjadinya perubahan yang lebih baik pada masyarakat kita pasti ada di benak banyak orang. Namun melakukan langkah-langkah kecil untuk mewujudkan harapan itu akan jauh lebih berarti daripada merangkai imajinasi besar yang tak terpetakan dalam kapasitas kita masing-masing.
Mensedekahkan minimal 1 saja koleksi buku Anda untuk mendirikan Taman Bacaan Masyarakat akan sangat membantu pemerataan wawasan dan pengetahuan pada mereka yang sulit mengaksesnya. Insyaallah, kebajikan itu akan terus mengalir berkahnya hingga kita kembali kepada-Nya. Hal itu disabdakan Nabi Muhammad saw, "Semua amal akan terputus pada saat seseorang telah meninggal dunia, kecuali 3 hal: anak yang shaleh, ilmu yang bermanfaat, dan amal sedekah".
(Mohon Koreksi jika ada kesalahan)
Minggu, 04 November 2007
Mengamati Gaya Belajar Anak
Pernahkah kita mencari tahu, mengapa ada anak yang bisa duduk diam dan ada pula anak-anak yang tak pernah berhenti bergerak; ada anak yang suka mendengarkan cerita tapi ada juga yang lebih suka membaca buku atau melihat-lihat gambar. Selama ini, khususnya di sekolah formal, hal-hal semacam itu mungkin hanya dijadikan catatan, namun tak membuahkan gagasan untuk menerapkan model belajar yang paling sesuai untuk setiap anak yang berbeda tersebut.
Bagi para pendidik rumahan alias orang tua, mengamati gaya anak-anak dalam beraktivitas tidaklah sulit.Namun tahukah kita bahwa gaya setiap anak dalam beraktivitas adalah cerminan dari gaya belajar mereka. Oleh karena itu, jika kita sudah bisa mendeteksi kecenderungan mereka dalam beraktivitas, hal itu akan sangat membantu kita dalam memilih model belajar paling tepat bagi mereka.
Thomas Amstrong memilah gaya belajar setiap orang menjadi tiga: Visual, Auditori, dan Kinestetik (Haptik). Mereka yang bergaya belajar visual sangat peka dengan gambar dan sesuatu yang menarik indera penglihatan lainnya. Oleh karena itu, anak-anak bertipe visual akan sangat terbantu belajarnya jika kita banyak mempergunakan gambar atau video.
Adapun mereka yang bertipe auditori, akan sangat tertarik dengan stimulasi yang memancing indra pendengaran: mungkin lagu atau musik/irama. Suara mereka biasanya nyaring dan senang berceloteh. Oleh karena itu, sangat baik bagi anak-anak auditori untuk memperoleh bantuan berupa kaset berisi lagu atau kata-kata berirama, dongeng, dan alat-alat stimulasi pendengaran lainnya.
Terakhir adalah gaya belajar kinestetik (haptik). Anak-anak haptik sangat suka bergerak, dan cara mereka belajar memang membutuhkan unsur gerak fisik. Mereka akan tersiksa jika dipaksa untuk duduk diam saat belajar. Namun, gaya belajar yang satu ini memang masih sulit diterima di sekolah formal yang pasti klasikal (terdiri atas banyak anak di dalam kelas). Biasanya, guru yang tidak mengerti akan memberikan label "nakal" atau "pengganggu" pada mereka.
Memilih model belajar yang sesuai dengan gaya belajar anak, sangat penting agar proses belajar selalu berlanjut dengan suasana yang asyik bagi mereka.
Lalu, bagaimana jika gaya belajar anak-anak kita mungkin saja berbeda dengan gaya belajar orang tuanya? Tentu saja, orang tua harus 'legowo' untuk menerapkan model belajar yang sesuai dengan anak-anak. Jika pun kita tidak bisa melakukannya sendiri, kita bisa minta bantuan nenek, tante, atau teman dekat yang memang memiliki gaya yang cocok untuk mengajar anak-anak kita. Nggak ada salahnya, kan?
Salam pendidikan!
Bagi para pendidik rumahan alias orang tua, mengamati gaya anak-anak dalam beraktivitas tidaklah sulit.Namun tahukah kita bahwa gaya setiap anak dalam beraktivitas adalah cerminan dari gaya belajar mereka. Oleh karena itu, jika kita sudah bisa mendeteksi kecenderungan mereka dalam beraktivitas, hal itu akan sangat membantu kita dalam memilih model belajar paling tepat bagi mereka.
Thomas Amstrong memilah gaya belajar setiap orang menjadi tiga: Visual, Auditori, dan Kinestetik (Haptik). Mereka yang bergaya belajar visual sangat peka dengan gambar dan sesuatu yang menarik indera penglihatan lainnya. Oleh karena itu, anak-anak bertipe visual akan sangat terbantu belajarnya jika kita banyak mempergunakan gambar atau video.
Adapun mereka yang bertipe auditori, akan sangat tertarik dengan stimulasi yang memancing indra pendengaran: mungkin lagu atau musik/irama. Suara mereka biasanya nyaring dan senang berceloteh. Oleh karena itu, sangat baik bagi anak-anak auditori untuk memperoleh bantuan berupa kaset berisi lagu atau kata-kata berirama, dongeng, dan alat-alat stimulasi pendengaran lainnya.
Terakhir adalah gaya belajar kinestetik (haptik). Anak-anak haptik sangat suka bergerak, dan cara mereka belajar memang membutuhkan unsur gerak fisik. Mereka akan tersiksa jika dipaksa untuk duduk diam saat belajar. Namun, gaya belajar yang satu ini memang masih sulit diterima di sekolah formal yang pasti klasikal (terdiri atas banyak anak di dalam kelas). Biasanya, guru yang tidak mengerti akan memberikan label "nakal" atau "pengganggu" pada mereka.
Memilih model belajar yang sesuai dengan gaya belajar anak, sangat penting agar proses belajar selalu berlanjut dengan suasana yang asyik bagi mereka.
Lalu, bagaimana jika gaya belajar anak-anak kita mungkin saja berbeda dengan gaya belajar orang tuanya? Tentu saja, orang tua harus 'legowo' untuk menerapkan model belajar yang sesuai dengan anak-anak. Jika pun kita tidak bisa melakukannya sendiri, kita bisa minta bantuan nenek, tante, atau teman dekat yang memang memiliki gaya yang cocok untuk mengajar anak-anak kita. Nggak ada salahnya, kan?
Salam pendidikan!
Sekolah Calon 'Orang Tua'
Menjadi orang tua seringnya hanya akibat alamiah, karena sebuah pasangan menikah dan kemudian punya anak. Oleh karena itu, persiapan untuk menjadi orang tua mungkin hanya sedikit orang yang melakukannya dengan matang sebelum menikah.
Kejutan demi kejutan saat pertama kali menjadi ayah atau ibu seringkali tak terbayangkan sebelumnya. Pada beberapa pasangan kejutan-kejutan tersebut bisa dilalui dengan lebih santai karena mereka sudah memiliki dasar-dasar pengetahuan sebelum anak lahir. Akan tetapi, pada banyak pasangan, ternyata menghadapi anak-anak, terlebih untuk mendidik mereka cukup membuat repot karena mereka sangat awam tentang hal tersebut.
Bagaimana mengatasi persoalan itu? Sekolah untuk Calon Orang tua nampaknya perlu juga didirikan. Meski bukanlah sebuah sekolah formal, namun setidaknya berupa komunitas belajar orang tua (Learning Community for Parents) agar setiap pasangan yang baru menjadi orang tua memiliki bekal untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Contoh kecil, seperti bagaimana menstimulasi gerak fisik bayi seringkali luput dari pengetahuan pasangan baru. Banyak orang tua mempergunakan baby walker pada saat bayi masih berusia 5 atau 6 bulan. Harapannya, supaya bayi bisa bergerak leluasa di tengah keterbatasan fisik mereka yang masih belum bisa berjalan. Akibatnya, banyak bayi pengguna alat itu justru mengalami hambatan dalam merangkak dan lambat bisa berjalan.
Penemuan terbaru menunjukkan bahwa stimulasi motorik kasar yang lebih ampuh justru dengan membiarkan bayi kita mengekplorasi ruangan tanpa bantuan alat apapun. Biarkan mereka merayap, merangkak, dan kemudian belajar berjalan di atas lantai dengan leluasa. Mereka mungkin sesekali terantuk ke lantai, jatuh, atau kepalanya membentur dinding. Kita tidak perlu khawatir secara berlebihan, karena sesungguhnya hal itu sangat berguna bagi mereka untuk menempuh setiap tahapan perkembangan motoriknya.
Calon orang tua semestinya memiliki pengetahuan-pengetahuan dasar seperti itu sebelum anak lahir. Kalau sekolah untuk itu belum banyak didirikan, siapa tahu Anda terinspirasi untuk mendirikannya di lingkungan terdekat.
Salam pendidikan!
Kejutan demi kejutan saat pertama kali menjadi ayah atau ibu seringkali tak terbayangkan sebelumnya. Pada beberapa pasangan kejutan-kejutan tersebut bisa dilalui dengan lebih santai karena mereka sudah memiliki dasar-dasar pengetahuan sebelum anak lahir. Akan tetapi, pada banyak pasangan, ternyata menghadapi anak-anak, terlebih untuk mendidik mereka cukup membuat repot karena mereka sangat awam tentang hal tersebut.
Bagaimana mengatasi persoalan itu? Sekolah untuk Calon Orang tua nampaknya perlu juga didirikan. Meski bukanlah sebuah sekolah formal, namun setidaknya berupa komunitas belajar orang tua (Learning Community for Parents) agar setiap pasangan yang baru menjadi orang tua memiliki bekal untuk mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Contoh kecil, seperti bagaimana menstimulasi gerak fisik bayi seringkali luput dari pengetahuan pasangan baru. Banyak orang tua mempergunakan baby walker pada saat bayi masih berusia 5 atau 6 bulan. Harapannya, supaya bayi bisa bergerak leluasa di tengah keterbatasan fisik mereka yang masih belum bisa berjalan. Akibatnya, banyak bayi pengguna alat itu justru mengalami hambatan dalam merangkak dan lambat bisa berjalan.
Penemuan terbaru menunjukkan bahwa stimulasi motorik kasar yang lebih ampuh justru dengan membiarkan bayi kita mengekplorasi ruangan tanpa bantuan alat apapun. Biarkan mereka merayap, merangkak, dan kemudian belajar berjalan di atas lantai dengan leluasa. Mereka mungkin sesekali terantuk ke lantai, jatuh, atau kepalanya membentur dinding. Kita tidak perlu khawatir secara berlebihan, karena sesungguhnya hal itu sangat berguna bagi mereka untuk menempuh setiap tahapan perkembangan motoriknya.
Calon orang tua semestinya memiliki pengetahuan-pengetahuan dasar seperti itu sebelum anak lahir. Kalau sekolah untuk itu belum banyak didirikan, siapa tahu Anda terinspirasi untuk mendirikannya di lingkungan terdekat.
Salam pendidikan!
Langganan:
Postingan (Atom)