LUBUKLINGGAU-Terkait kisruhnya tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Musi Rawas (Mura) periode 2010-2015 yang dihelat Juni mendatang, mendapat tanggapan dari berbagai elemen mahasiswa. Kali ini, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Lubuklinggau bersama elemen mahasiswa lain mengancam akan melakukan aksi besar-besaran untuk menghentikan tahapan Pemilukada Mura 2010.
Mereka menilai, tahapan Pemilukada terdapat indikasi adanya konspirasi politik tertentu yang menginginkan pelaksanaan Pemilukada tersebut berjalan tidak seperti yang diharapkan Undang-Undang (UU) yang mengatur pemilihan tersebut. Ini sangat jelas terlihat sejak start awal proses tahapan berjalan, panitia pengawas tidak dilibatkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Mura yang dalam hal ini sebagai penyelenggara harus melakukan semua proses tahapan sesuai dengan UU yang berlaku, khususnya UU Nomor 22 Tahun 2007 pasal 27 ayat 1 huruf a poin 2 dan 4 tentang Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
“Ini merupakan proses pembodohan politik masyarakat. Kami sebagai mahasiswa yang notabenenya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat sangat prihatin dengan keadaan seperti ini. Penyelenggaraan proses demokrasi yang seharusnya berjalan sesuai perundangan yang berlaku telah dicederai, ini jelas merupakan pelanggaran. Kami minta pihak terkait untuk segera meluruskan permasalahan ini, bagaimana proses demokrasi dapat berjalan dengan baik jika tidak ada lembaga yang mengawasi proses tersebut,” ungkap sekretaris GMNI Lubuklinggau, Aren Frima, kepada wartawan koran ini, Rabu (17/3).
Memang benar dalam hal pengawasan seluruh elemen masyarakat berhak mengawasi proses pelaksanaan sebagaimana telah diatur oleh UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Panwaslu. Namun, perlu juga diketahui bahwa ada UU khusus mengatur kelembagaan pengawasan Pemilu yaitu UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Tugas Panwaslu.
“Kita menginginkan ada lembaga yang independent khusus untuk mengawasi proses Pemilu tersebut, sehingga legalitas formal lembaga tersebut ada sebagaimana diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2008. KPU harus objektif dalam mengimplementasikan UU tersebut. Jika Panwaslu tidak ada, maka proses Pemilukada Mura telah mengkangkangi UU. Dan hal ini jelas merupakan pelanggaran, konsekuensinya pun sudah cukup jelas,” lanjutnya.
Semua tentu mengetahui setiap kandidat pasti mempunyai tim khusus untuk mengawasi proses pelaksanaan Pemilukada, jika terdapat pelanggaran yang terjadi di dalam pelaksanaan apakah dapat memastikan laporan atau temua pelanggaran yang dilaporkan tidak memenuhi unsur keberpihakan pada kandidat tertentu.
Hal ini sangatlah penting, mengingat kondisi Pemilukada Kabupaten Mura sangat rentan dengan kecurangan. Jangan sampai dikemudian hari pelaksanaan Pemilukada ini tidak dilegitimasi oleh masyarakat. Maka dari itu, proses tahapan Pemilukada ini harus dihentikan sebelum adanya suatu lembaga pengawasan (Panwaslu).
“Jika tidak, maka kami dari kalangan mahasiswa beserta elemen lainnya yang sepakat tentang hal ini akan melakukan aksi besar-besaran. Kami sudah berkoordinasi tentang akan dilakukannya aksi ini, antara lain Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) STKIP-PGRI Lubuklinggau, BEM STIE MURA, BEM STMIK MURA serta beberapa LSM yang peduli terhadap Pemilu bersih,” pungkasnya.
Sementara itu, ketua BEM STKIP-PGRI Lubuklinggau, Iswandi menyampaikan kekecewaannya terhadap pernyataan salah seorang anggota DPRD Mura yang menyatakan bahwa pelaksanaan Pilkada tak perlu dipersoalkan.
“Kami sangat kecewa dengan pernyataan itu, sebab ibarat kita bermain sepakbola apabila tidak ada wasit maka akan kacau permainan itu. Begitu juga dengan Pilkada, apabila tidak ada Panwaslu maka pelaksanaannya akan mengakibatkan kekacauan apalagi kalau sampai pendukung salah satu kandidat tidak puas dengan hasil pemilihan. Lantas, kemana mereka akan mengadu,” ungkap Iswandi.(05)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar