Selasa, 16 Desember 2003

BAHASA INGGRIS DAN MITOS ITU

Apa yang disebut mitos? Mitos adalah sesuatu yang kita percayai dan telah diangap sebagai sebuah kebenaran sejak dahulu tapi sebenarnya tidak benar. Salah satu contoh adalah mitos bahwa cula badak merupakan aprodisiak yang ampuh sehingga badak dibunuhi dan culanya dipreteli untukaprodisiak. Celakanya itu cuma mitos yang tidak ada landasan ilmiahnya. Badak dibunuh untuk sesuatu yang tidak benar.
Begitu juga dengan belajar bahasa Inggris. Belajar bahasa Inggris diyakini akan dapat membuat para pegawai akan meningkat kinerjanya. Lebih daripada itu, belajar bahasa Inggris juga akan dapat membuat sebuah bangsa akan mampu maju dan berkembang di era kesejagatan yang kita sebut era globalisasi itu. Pokoknya kalau tidak bisa bahasa Inggris dianggap ‘kurang gaul’ dan tidak akan mampu berpretasi dalam karirnya. Akibatnya, hampir semua pemimpin daerah memaksa aparat-aparatnya untuk kursus bahasa Inggris. Maka maraklah kursus bahasa Inggris bagi pegawai pemda di hampir semua daerah.
Tapi apa yang terjadi? Setelah belajar bahasa Inggris dan kursus ke berbagai lembaga yang paling top dengan biaya yang paling mahalpun ternyata tidak mampu mendongkrak kemampuan berbahasa Inggris para aparat yang rata-rata memang kemampuan bahasa Inggrisnya payah. Apakah dengan itu berarti para aparat tersebut kinerjanya buruk dan tidak punya ‘masa depan’? Tidak. Itu hanya mitos.
Masalah penggunaan bahasa (dan budaya) asing (bahasa Inggris) sebenarnya telah menjadi perdebatan panjang sejak jaman Sutan Takdir Alisyahbana pada tahun 60-an. Kita terombang-ambing antara mengadopsinya menjadi bahasa kedua atau tetap menjadikannya sebagai bahasa asing. Perlakuan atara keduanya tentu berbeda dan dampaknya juga tentu berbeda. Sebagai contoh, beberapa negara tetap mempertahankan bahasa nasionalnya dan bertekad untuk tidak mempopulerkan penggunaan bahasa Inggris. Negara-negara tersebut adalah Jepang, Prancis, Jerman, Italia, dll. Kalau Anda berkunjung kesana jangan harap Anda akan mendapat jawaban jika bertanya dalam bahasa Inggris. Mereka sangat bangga dengan bahasa nasional mereka dan mereka menuntut agar setiap orang yang datang ke negara mereka menggunakan bahasa nasional mereka.
Beberapa negara lain, sebaliknya, beranggapan bahwa hanya dengan menguasai bahasa Inggris secara penuh dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari kemajuan bangsa akan diperoleh. Mereka mempopulerkan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua, seperti India, Singapura, sebagian Kanada, Philipina, dan bahkan menjadikannya sebagai bahasa nasional karena faktor sejarah seperti Australia, New Zealand, dan Amerika. Di negara-negara tersebut Anda dapat dengan mudah menggunakan bahasa Inggris karena bahasa tersebut dipergunakan secara meluas dalam kehidupan sehari-hari.
Malaysia sendiri yang semula ingin mempertahankan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dan tidak ‘menggalakkan’ penggunaan bahasa Inggris kini mulai banting setir setelah melihat bahwa ‘bahasa Melayu is going nowhere’ karena bangsa penggunanya tidak memiliki pengaruh di dunia internasional dan semakin kecil pengaruhnya. Sebaliknya, bahasa Inggris semakin menampakkan pengaruh kuatnya dalam era kesejagatan ini. Mereka kini mulai mengambil sikap tegas untuk mempopulerkan bahasa Inggris di kelas-kelas mereka sejak sekolah dasar. Di negara tersebut buku-buku Harry Potter tidak diterjemahkan dan jika ingin membacanya silakan baca dalam bahasa aslinya.
Bagaimana dengan bangsa kita? Apakah kita telah mengambil keputusan sejak perdebatan panjang pada jaman Sutan Takdir Alisyahbana yang menguras energi kita tersebut? Dengan segala kerendahan hati saya katakan tidak. Kita tidak pernah ‘menyelesaikan’ perdebatan tersebut dan tidak pernah berani melangkah dari sekedar berdebat dan mulai mengambil keputusan seperti Jepang mengambil keputusan untuk tetap mempertahankan bahasa mereka bagi pelajar-pelajar mereka dan lebih memilih untuk menerjemahkan buku-buku berbahasa asing ke dalam bahasa ibu mereka. ‘Get the content, leave the language behind’ adalah prinsip mereka. Mereka berkeyakinan bahwa tanpa menguasai bahasa Inggris pun mereka akan sanggup menjadi bangsa besar. Budaya bangsa tidak akan mereka kompromikan sedikitpun. Suatu sikap yang sangat heroik.
Orang-orang Jepang memang pada akhirnya tidak mahir berbahasa asing (dibandingkan dengan orang-orang kita, misalnya) tapi mereka tetap memperoleh ilmu pengetahuan yang berasal dari Barat dengan cara menterjemahkannya. Hampir tidak ada buku-buku penting yang tidak mereka terjemahkan dan terbitkan daam bahasa jepang. Disini berlaku pepatah “Siapa melangkah lebih jauh melihat lebih banyak”. Bangsa Jepang tetap unggul dan maju meski mereka tidak fasih berbahasa Inggris. Sangat jarang ada orang Jepang yang fasih berbahasa Inggris. Jauh lebih mudah mencari orang yang mengerti bahasa Inggris di Indonesia ketimbang di Jepang. Jepang juga tidak mau ‘repot-repot’ untuk ‘menginggriskan’ petunjuk-petunjuk jalan umum mereka. Kalau tidak bisa membaca huruf dan berbahasa Jepang, silakan tersesat!
Nah, bagaimana dengan Indonesia? Kita ternyata tidak melangkah kemana-mana. Kita bersikap ambigu. Menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa kedua atau bahasa yang penting dengan perlakuan yang sama seperti negara Singapura dan Filipina tidak kita lakukan karena yang kontra tentu akan menghantam sikap ‘tidak nasionalis’ tersebut habis-habisan. Tetapi, sebaliknya, menterjemahkan semua buku bahasa Inggris kedalam bahasa Indonesia juga tidak Lagipula kita tidak punya daya dan biaya untuk itu. Kita berada dalam posisi mendua. Akibatnya ya seperti sekarang ini. Bahasa Indonesia kita perkosa habis-habisan tapi bahasa Inggris juga tidak kita kuasai.
Sayang sekali karena ‘perdebatan’ tersebut tidak ditutup dengan suatu kebulatan tekad untuk mengambil sikap akhirnya kita mencari kesimpulan di luar arena diskusi dan berusaha sendiri-sendiri untuk mencari jawaban. Akhirnya tidak terjadi usaha untuk menjawab masalah secara nasional melainkan secara individu. Artinya tidak ada kesepakatan secara nasional dan kita diminta untuk menjawab sendiri kemana kita menuju. Apa dampaknya? Akhirnya permasalahan besar ini tidak pernah ditangani secara nasional dan orang berjuang sendiri-sendiri untuk memecahkannya dan sering terjerumus pada mitos-mitos. Saya melihat betapa banyak orang yang telah ‘terjerumus’ oleh salah satu mitos yaitu bahwa setiap orang yang ingin hidup di era globalisasi ini harus menguasai bahasa Inggris. Mitos ? Ya, tentu saja karena ternyata bangsa Jepang tetap dapat menjadi bangsa besar tanpa harus menguasai bahasa Inggris. Orang Prancis yang tetap menganggap bahasanya sebagai bahasa paling unggul dan bahasa Inggris hanya sebagai alternatif tapi tetap unggul sebagai sebuah bangsa. ‘Terjerumus’? Ya, karena banyak orang yang menghabiskan banyak waktu, biaya dan energinya untuk berlajar bahasa Inggris sepanjang hidupnya tanpa pernah mampu memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-harinya ataupun dalam bidang pekerjaannya.
Perlu dipahami bahwa untuk menguasai ketrampilan berbahasa Inggris seperti yang kita idam-idamkan umpamanya : dapat menggunakannya secara fasih dengan orang asing, bisa membaca buku-buku berbahasa Inggris, dapat mendengarkan percakapan berbahasa Inggris di radio dan televisi, membutuhkan proses yang sangat panjang dan rumit. Kalau ada kursus yang berani menjamin Anda akan dapat melakukan itu hanya dalam bilangan bulan, percayalah itu cuma iklan jualan kecap. Kalau tidak percaya tanyalah kepada semua orang yang pernah ikut kursus tersebut apakah mereka telah mampu menggunakan bahasa Inggris secara aktif sesuai dengan promosinya. Tidak ada cara ajaib untuk bisa menguasai bahasa asing.
Jadi bagaimana? Menurut saya, tidak ada gunanya bagi para aparat kepemerintahan untuk ikut kursus bahasa Inggris dengan tujuan seperti di atas. Pertama, ketrampilan berbahasa Inggris yang mereka butuhkan akan memakan waktu, biaya dan energi yang sangat besar yang mungkin akan lebih bermanfaat jika mereka gunakan untuk mempelajari bidang pekerjaan masing-masing. Bahkan mereka yang belajar khusus bahasa Inggris di perguruan tinggi sebagai mayor mereka banyak yang tidak dapat menguasai ketrampilan berbahasa Inggris yang tinggi seperti yang diharapkan. Dalam sebuah tes pada guru-guru bahasa Inggris di Balikpapan terungkap bahwa kemampuan mereka ternyata menyedihkan. Padahal mereka telah belajar bahasa Inggris bertahun-tahun. Kalau ingin menguasai bahasa asing dengan baik mulailah sejak kanak-kanak dan gunakan metode yang benar. Jika sudah tua akan sulit untuk menguasainya. Kedua, tanpa bisa berbahasa Inggris pun kita akan dapat berprestasi dan meningkatkan kinerja dengan baik. Banyak sekali contoh orang-orang hebat da berprestasi tinggi yang sama sekali tidak dapat berbahasa Inggris. Bangsa Jepang, Prancis, Jerman, Italia, dll telah membuktikannya. Jika kita membutuhkan kemampuan berbahasa Inggris karena banyaknya tamu-tamu asing dan karena kita butuh berkomunikasi dengan dunia internasional kita dapat menyewa penerjemah yang hebat. Itu jauh lebih simpel dan murah. Bukankah para konsultan asing yang datang ke daerah semuanya membawa penerjemah? Mereka tentu tidak akan repot-repot belajar bahasa Indonesia untuk masuk ke daerah kita. Efektif dan efisien. Seringkali saya sedih mendengar betapa para pejabat kita bicara tergagap-gagap dalam bahasa Inggris yang kacau struktur dan maknanya. Padahal mereka adalah orang yang menguasai pekerjaan mereka dan fasih mengungkapkannya dalam bahasa Indonesia. Tak perlu kita malu kalau tidak bisa berbahasa Inggris. Bangsa-bangsa besar lainnya juga tidak. Malulah kalau tidak menguasai bidang pekerjaan kita dan tidak mampu mengungkapkannya dalam bahasa Indonesia. Soal bahasa Ingrisnya serahkan pada ahlinya. Mereka belajar untuk itu.
Sebuah sekolah dasar terkemuka di Balikpapan pernah menyatakan sebagai sekolah yang unggul dimana salah satu faktornya adalah 19 dari 50 guru sekolah tersebut bisa berbahasa Inggris dengan baik. Dan itu dibuktikan dengan hasil tes masuk mereka.
Ini juga sebuah mitos. Karena kalau boleh diketahui seberapa bermanfaatkah pengetahuan berbahasa Inggris mereka bagi pekerjaan mereka sebagai guru ? Apakah dengan pengetahuan mereka yang ‘baik’ tersebut membuat mereka mendengarkan berita-berita dalam bahasa Inggris, membaca buku-buku dalam bahasa Inggris, menulis dalam bahasa Inggris, dan berbicara dengan orang-orang yang menggunakan bahasa Inggris? Artinya, kemampuan berbahasa Inggris tersebut membuat mereka mampu mengembangkan diri mereka baik secara pribadi maupun dalam pekerjaan mereka sebagai guru. Saya meragukannya.
Jika ternyata kemampuan mereka berbahasa Inggris tidak membuat mereka mendengar, membaca, berbicara dan menulis dalam bahasa Inggris, terutama yang berhubungan dengan tugas mereka sebagai guru, tapi kita menganggap bahwa penguasaan bahasa Inggris bagi guru-guru adalah penting bagi pekerjaan mereka, maka saya menganggap bahwa kita masih memperlakukan bahasa Inggris sebagai mitos, sesuatu yang tidak benar tapi kita percayai sebagai suatu kebenaran.
Apa yang hendak saya katakan adalah bahwa kita harus terus melangkah dan tidak berhenti pada mitos belaka. Jika bahasa Inggris kita tetapkan sebagai persyaratan bagi guru-guru kita maka kita harus tahu untuk apa bahasa Inggris tersebut kita persyaratkan. Kita bisa melangkah lebih jauh dengan mewajibkan mereka untuk membaca buku-buku ataupun referensi dalam bahasa Inggris kemudian mereka diminta untuk menerapkannya dalam pengajaran sehari-hari. Jadi bahasa Inggris disini digunakan sebagai alat untuk membantu mereka dalam belajar mengembangkan diri, dan bukan sekedar untuk ‘keren-kerenan’ ataupun untuk kepentingan klaim bahwa kita mengembangkan bahasa Inggris di sekolah kita.
Apakah dengan ini lantas saya menganggap bahasa Inggris tidak penting bagi bangsa kita? Tentu saja tidak. Tapi itu masalah lain. Mungkin kita perlu waktu untuk mendiskusikan masalah ini lebih intens dalam topik yang lain.