Jumat, 28 Maret 2008

"Upaya Membebaskan Masyarakat dari Belenggu Pendidikan Mahal dan Tidak Berkualitas"


"Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Pendidikan Mahal"

Disusun dan diedit ulang oleh:

Arip Nurahman

Pendidikan Fisika, FPMIPA Universitas Pendidikan Indonesia
&
Follower Open Course Ware at MIT-Harvard University, U.S.A.

"Matahari terbit Fajar tiba

Dan aku melihat 8 juta kanak-kanak tanpa pendidikan

Aku bertanya tetapi pertanyaanku membenturi meja-meja kekuasaan yang macet

Dan papan tulis- papan tulis para pendidik yang terlepas dari persolan kehidupan

Delapan juta kanak-kanak menghadapai satu jalan panjang

Tanpa plihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada bayangan ujungnya "

~W.S. Rendra~

"Tujuan pendidikan tidak sekedar mencetak sarjana yang berkualitas untuk kemudian mengabdi pada pasar, akan tetapi pendidikan harus mencetak sarjana yang memiliki kepedulian terhadap masalah-masalah masayarakat. Pendidikan harus memberi tanggungjawab pada outputnya untuk memajukan taraf hidup masyarakat, memenuhi kebutuhan masyarakat, serta memberikan semangat bangsaisme dalam rangka mewujudkan Indonesia yang mandiri, bebas dari segala bentuk penjajahan dan penindasan."

~Jafar Fakhrurozi, Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia~

Abstract

Poverty is deprivation of those things that determine the quality of life, including food, clothing, shelter and safe drinking water, but also such "intangibles" as the opportunity to learn, to engage in meaningful employment, and to enjoy the respect of fellow citizens. Ongoing debates over causes, effects and best ways to measure poverty, directly influence the design and implementation of poverty-reduction programs and are therefore relevant to the fields of international development and public administration.

Although poverty is generally considered to be undesirable due to the pain and suffering it may cause, in certain spiritual contexts "voluntary poverty," involving the renunciation of material goods, is seen by some as virtuous.

Poverty may affect individuals or groups, and is not confined to the developing nations. Poverty in developed countries is manifest in a set of social problems including homelessness and the persistence of "ghetto" housing clusters.


Poverity and Education

Education Reduces poverty in reach and poor country

"Better educated people hav a greater probability of being employed, are economically more productive, and therefore earn higher incomes."

Throughout the world it has been found that the probability of finding employment rises with higher levels of education, and that earnings are higher for people with higher levels of education. A better educated household is less likely to be poor.

The impact of education on earnings and thus on poverty works largely through the labour market, though education can also contribute to productivity in other areas, such as peasant farming (Orazem, Glewwe & Patrinos, 2007: 5). In the labour market, higher wages for more educated people may result from higher productivity, but also perhaps from the fact that education may act as a signal of ability to employers, enabling the better educated to obtain more lucrative jobs.

Middle-income countries – which frequently have well developed markets for more educated labour – are particularly likely to see the benefits of education translated into better jobs and higher wages. In Chile, for instance, between one quarter and one third of household income differences can be explained by the level of education of household heads (Ferreira & Litchfield, 1998, p. 32).

It was previously thought that the returns to education (the quantified benefits of investing in education) were highest at primary levels. This belief provided a strong case for expanding investment in primary rather than higher levels of education (Psacharopoulos & Patrinos 2004). However, new evidence seems more mixed. While some studies continue to show higher returns for primary education, there is now also much evidence that investment in education at secondary or even tertiary levels may bring even higher returns in some countries.

This could indicate that returns to education vary with factors such as the level of development, the supply of educated workers, and shifts in the demand for such workers in the development process. It is well known that the demand for more educated labour rises as a country develops (Murphy & Welch, 1994). This increase in demand for highly skilled workers requires educational output to adjust accordingly, raising the relative returns to higher levels of education (Goldin & Katz, 1999).

Nevertheless, the absolutely poor in developing countries usually have low education levels. Some may still not even have access to primary education or may not complete their primary education. Universal primary education is therefore crucially important to reduce poverty. However, there are also examples of countries where the rapid expansion of education has resulted in lowering education quality, suggesting that countries face a trade-off between quantity and quality in the short to medium term. In such cases, the impact of education on poverty reduction may be small, and a lot of effort must go into protecting and enhancing the quality of education.

In developed countries there are sometimes groups of students who are excluded from the social mainstream. Some of the factors associated with this include poverty (especially relative poverty), language, ethnic minority status, or immigrant status (Schnepf, 2004). Although these factors may all separately contribute to social disadvantage and social exclusion, they often interact.

Thus social exclusion is a common feature of many educationally ‘at risk’ students, both poor and non-poor. Social mobility varies across countries in the developed world. Generally, education improves job prospects for poor groups, although upward social mobility is more difficult for groups that are also otherwise socially marginalized, such as immigrant communities or ethnic minorities. Even among such groups though, education lowers poverty, but the returns to education may be smaller than for non-minority members due to discrimination.


Upaya Tanpa Henti

Belum lama energi bangsa ini terkuras oleh persoalan pro-kontra RUU Sisdiknas menjadi UU Sisdiknas, kembali dunia pendidikan menarik perhatian kita. Pro dan kontra kembali terjadi, meskipun persoalan Aceh, "Sukhoigate", dan isu sebagian anggota MPR berfoya-foya di luar negeri juga turut mengemuka.


Persoalan pendidikan kali ini mengenai mahalnya biaya pendaftaran masuk sekolah dan Perguruan Tinggi. Persoalan ini memang persoalan klasik yang selalu hadir dari tahun ke tahun saat tahun baru ajaran akan dimulai. Tapi persoalan besarnya biaya pendidikan yang timbul tidak bisa dianggap persoalan yang remeh, karena hal ini menyangkut keadilan dan hak bagi seluruh anggota masyarakat untuk bersama-sama mendapat pendidikan yang bermutu dan berkualitas.

Adalah sejak tahun 2000 pemerintah memberikan status Badan Hukum Milik Negara (BHMN) kepada beberapa Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada di Indonesia. PTN yang mendapat status BHMN yang dimaksud adalah Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Keempat PTN ini termasuk PT yang paling diminati oleh calon mahasiswa di antara PT yang ada di Indonesia. Maka tidak heran jika kemudian keempat PTN ini selalu menjadi incaran bagi calon mahasiswa baru. Dan, menjadi PT yang bestatus BHMN nampaknya kini menjadi suatu hal yang bergengsi dan membanggakan dalam dunia perguruan tinggi kita.

Sejak berstatus BHMN keempat PTN ini makin mandiri saja mencari dana. Sebab pemberian status BHMN itu juga berarti tidak mendapat subsidi lagi dari pemerintah. Dengan kata lain, PTN yang bersangkutan memiliki kebebasan sendiri untuk mencari dana operasional pendidikannya masing-masing. Dari sinilah pro-kontra dan perang opini mengenai besarnya biaya pendidikan itu mencuat. Mengapa? Bagi pihak PTN yang berstatus BHMN tentu saja hal ini menguntungkan dengan alasan bahwa, untuk menciptakan pendidikan yang bermutu perlu biaya besar dan mahal. Dengan demikian, tentu saja tunjangan isensif para dosen dan karyawan akan ditingkatkan. Maka persoalan mutu pendidikan sebenarnya dapat terbaca. Bukan terletak pada biaya pendidikan harus mahal, tapi gaji guru dan dosen harus tinggi. Dan saya kira, ini tugasnya pemerintah dan berkaitan erat dengan kebijakan yang dibuat dalam memajukan dunia pendidikan ke depan.

Namun bagi kalangan masyarakat tertentu, yang prihatin dengan nasib masyarakat yang kehidupan ekonominya rendah, tentu saja PTN yang memiliki status BHMN itu menjadi momok yang menakutkan. Betapa tidak, mahalnya biaya pendaftaran dan biaya kuliah, telah memformalkan diskriminasi untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Kalaulah alasannya pendidikan bermutu itu harus mahal, alasan ini hanya berlaku di negara yang mengaku Sumber Daya Alamnya sangat banyak ini. Karena di Jerman, Perancis, Belanda, dan di negara berkembang lainnya, menurut para ahli pendidikan, juga banyak memiliki PT yang bermutu tapi biaya pendidikannya sangat rendah. Bahkan di beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan bagi masyarakatnya. Tapi mengapa di Indonesia tidak? Maka, formula yang mengatakan biaya pendidikan harus mahal itu hanya berlaku di Indonesia saja. Ini dalam artian sebenarnya. Maksudnya, pendidikan saja yang mahal, tapi masih jauh dari mutu. Maka tidak terlalu salah jika kemudian timbul istilah "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan" di dunia pendidikan kita saat ini.

Setuju atau tidak istilah itu timbul, namun kenyataannya tidak jauh berbeda dengan makna istilah yang dimaksud. Lihat saja giatnya keempat PTN yang berstatus BHMN itu dalam mencari dana. Masing-masing mereka berkompetisi dalam penerimaan calon mahasiswa baru dengan cara membuka "jalur khusus" dengan tarif Rp. 15 juta sampai Rp. 150 juta (gila!).

Di samping itu, IPB mencari dana operasional pendidikannya ke depan dengan cara membangun mal. ITB dengan cara menjaring calon mahasiswa baru melalui penelusuran minat, bakat, dan potensi (PMBP) dengan berkewajiban membayar uang masuk atau pendaftaran sebanyak Rp. 45 Juta. UGM mencari dana dengan cara menerima pendaftaran dan mengadakan tes mahasiswa baru lebih awal dari PT lainnya, dan sebagainya.

Sofian Efendi (rektor UGM), menulis di Kompas (24/6/2003), bahwa ada dua permasalahan mendasar yang dihadapi oleh PT di Indonesia. Pertama, krisis mutu. Kedua, krisis pembiayaan. Untuk menghadapi globalisasi pendidikan yang sudah mulai merambah ke Indonesia, dunia PT harus melakukan tugas pokok. Pertama, meningkatkan kualitas. Kedua, menjaga pemerataan akses tetap terjaga. Untuk mencapai kedua tujuan ini menurut Sofian diperlukan biaya besar. Inilah mungkin penyebab universitas yang dipimpinnya menerapkan kebijakan yang kontroversial itu.

Namun pertanyaan yang timbul adalah: Mengapa harus mengorbankan keadilan untuk mendapat pendidikan bermutu bagi masyarakat? Kalaulah harus demikian, apa bedanya PT negeri dengan PT swasta? Kalaulah kebijakannya seperti yang berlaku saat ini, maka dunia pendidikan kita telah menjalankan program


"Yang kaya sekolah dan kuliah, Yang miskin dan ekonominya rendah, pengangguran saja".


Bukankah ini suatu kejahatan? Terakhir, di mana tanggung jawab pemerintah?

Sungguh ironis memang, para akademisi yang disebut-sebut sebagai ilmuwan, intelektual, yang selalu bergelut dengan ilmu pengetahuan, ternyata berhadapan dengan uang sikap kritis hilang. Betapa tidak, karena rata-rata pihak PTN yang berstatus BHMN itu memperjuangkan cara mereka dalam menggulirkan roda pendidikan mahal itu.

Masyarakat telah dibelenggu dengan pendidikan yang berbiaya tinggi. Padahal sikap yang diharapkan timbul dari kalangan ilmuwan kampus (baca: dosen) dalam menyikapi persoalan ini sebaliknya. Yaitu, mereka seharusnya mampu mengontrol dan menjadi representatif dalam pencegahan terjadinya "Industrialisasi dan komersialisasi pendidikan". Mengapa? Karena salah satu isi tri dharma perguruan tinggi adalah pengabdian pada masyarakat.

Berangkat dari persoalan ini semua, maka pemerintah juga yang akan disalahkan. Kesalahan pemerintah itu, menurut Ali Khomsan (dosen IPB) dalam tulisannya "Brain Drain" Dosen PTN yang dimuat di salah satu koran nasional terbitan Jakarta, terletak pada sedikitnya pemberian isensif bagi guru dan dosen. Untuk mengantisipasi itu, dan mengantisipasi terjadinya brain drain dalam pendidikan, maka pemerintah harus meningkatkan penghargaan atas jerih payah dosen dengan cara memberikan gaji yang memadai. Bukankah sangat disayangkan, kata Ali, setelah dosen dikuliahkan lebih tinggi di luar negeri, namun negara lain yang memperolah manfaat ilmunya.

Pemerintah memang telah menganggarkan dana pendidikan sebanyak 20 persen dari APBN, tapi ketika dunia pendidikan saat ini mulai memasuki era neoliberal pendidikan, dana sebanyak itu menurut sebagian kalangan masih terasa kurang. Kita memang patut sadar, bahwa masih banyak sektor-sektor publik lain yang harus diperhatikan oleh negara ketika membuat kebijakan-kebijakan liberalisasi. Meskipun demikian, kebijakan yang dapat mendorong majunya dunia pendidikan harus diperioritaskan oleh pemerintah. Bila tidak, maka dunia pendidikan kita akan terus berada dalam krisis mutu dan krisis kalah saing dari negara-negara berkembang lainnya.

Negara Jerman, Perancis, dan Belanda adalah negara berkembang yang juga menghadapi persoalan yang sama dengan negara Indonesia dalam menyikapi liberalisasi dalam sektor-sektor publik. Namun, di bidang pendidikan mereka tetap memberi subsidi yang memadai. Malaysia misalnya contoh terdekat. Dahulu negara jiran ini yang belajar tentang pendidikan kepada Indonesia, dan para tenaga pendidik kita selalu diminta untuk mengajar di sana. Tapi kini realitasnya sungguh terbalik, saat ini kitalah yang menjadikan Malaysia sebagai referensi kemajuan dalam hal pendidikan. Ini disebabkan karena pihak pemerintahan Malaysia memberikan perhatian yang cukup baik bagi kemajuan pendidikannya.

Dengan memberikan hak otonomi dan status BHMN kepada beberapa PTN, menurut pandangan saya, secara tidak langsung pemerintah Indonesia ingin lepas tangan dari tanggung jawab pendidikan, khususnya pada persoalan dana. Akibatnya, timbullah pendidikan mahal dan komersialisasi pendidikan di negara ini. Siapa yang bertanggung jawab? Alih-alih membicarakan persoalan pendidikan mahal, maka siapapun akan menyalahkan pemerintah di negeri ini. Oleh sebab itu, untuk membebaskan masyarakat dari belenggu pendidikan mahal saat ini merupakan tanggung jawab pemerintah!.

Dalam konteks ini, masyarakat kota Batam patut berbangga. Karena pemerintah daerah (Pemda)-nya akan menggratiskan uang pendaftaran masuk ke sekolah negeri,

Kota Banjar segera menyusul

"I We Can Dream It Yes We Can Do It"
-H2O-

sumber:

1. Lidus Yardi S.Pd.I (lidusyardi@yahoo.com) adalah Alumnus IAIN Susqa Pekanbaru,
Instruktur Organisasi PII Riau.
Alamat : Jl. Tiung No 50 D Kampung Melayu Sukajadi
Pekanbaru 28124, Riau.

2. Servaas van der Berg (South Africa)
is Professor of Economics at the University of Stellenbosch, South Africa and holds the National Research Foundation’s Research Chair in the Economics of Social Policy. His research and publications are mainly on income distribution and poverty, the economics of education, the economic role of social grants, and benefit incidence analysis.

dari berbagai sumber yang terpercaya

Problemantika dan Permasalahan Guru, Kapan Usainya?



Problemantika Guru, Kapan Usai?


Disusun dan Diedit oleh:

Arip Nurahman
Departmen Pendidikan Fisika, FPMIPA, Indonesia University of Education
&
Follower Open Course Ware at MIT-Harvard University, U.S.A.


"Teaching is the profession that teaches all the other professions"
~Author Unknown~


"The teacher who is indeed wise does not bid you to enter the house of his wisdom but rather leads you to the threshold of your mind"
~Kahlil Gibran~


Dalam istilah Sunda, guru merupakan sosok yang 'digugu' dan 'ditiru', dihormati dan dicontoh. Guru juga dijuluki sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Namun realitanya, tak demikian yang ditemui di lapangan. Guru yang sejatinya berfungsi sebagai pentransfer ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada anak didik, dan menjadi panutan bagi mereka, tampaknya belum mampu menjalankan tugasnya secara optimal. Mengapa demikian?


Permasalahan-permasalahan yang hadapi guru tiap hari bermunculan ke permukaan. Problem tersebut di antaranya adalah rendahnya mutu pengajaran yang disebabkan karena beratnya beban yang diemban guru, minimnya fasilitas pembelajaran di sekolah, dan rendahnya kesejahteraan guru (Kompas, 11/11/2004). Selain itu, minimnya jumlah guru yang tersedia serta manajemen pendidikan yang ala kadarnya dapat mengakibatkan kegiatan belajar mengajar (KBM) kurang maksimal. Contohnya, kadang-kadang seorang guru di suatu sekolah -pada umumnya di daerah terpencil-- mengajarkan mata pelajaran yang bukan bidangnya, hanya karena tidak adanya guru tersedia untuk mengajar mata pelajaran tersebut. Akibat manajemen yang tak teratur itulah, maka mutu pengajaran kian hari kian merosot.

Secara garis besar, problem rendahnya mutu pengajaran karena dua hal yakni, pertama, faktor internal, guru yang sejatinya sebagai tenaga profesional yang terdidik dan terlatih belum mampu menunjukkan kompetensi-kompetensi tersebut. Hal itu menjadikan proses belajar mengajar pun akan terganggu. Sebab, tugas guru tak hanya mengajar, tetapi juga mendidik serta seorang manajer di suatu kelas. Dalam proses mendidik inilah nilai-nilai moral semestinya diterapkan pada jiwa peserta didik. Nah, jika hal yang demikian tentunya dimulai dari para pendidik dan tenaga kependidikan.

Kedua, faktor eksternal. Profesi guru, seperti diketahui, adalah suatu pekerjaan yang mulia. Saking mulianya, guru, seringkali, benar-benar mengabdikan dirinya untuk satu sekolah tertentu meskipun honor yang didapatkan sangat minim sekali bahkan lebih kecil dari seorang buruh pada umumnya. Awalnya barangkali atas nama pengabdian, namun tak dapat dipungkiri bahwa guru juga harus memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Oleh karena gaji yang diterima tidak mencukupi kebutuhan fisiologisnya, maka tak sedikit guru yang 'nyambi' dengan pekerjaan lainnya. Dengan begitu, konsentrasi guru menjadi menurun karena terdesak pemenuhan ekonominya. Pendek kata, kesejahteraan guru kurang memadai sehingga berakibat merosotnya mutu pengajaran. Lha, bagaimana seorang guru bisa melakukan tugasnya dengan tenang jika masih pusing-pusing memikirkan cara untuk memenuhi kebutuhan pokoknya?

Selain itu, anggapan bahwa para orang tua anak didik adalah orang yang telah membayar upah para guru sehingga mereka berhak menuntut macam-macam pada pihak sekolah jika terjadi sesuatu yang tidak beres pada diri anak-anaknya. Padahal, fakta menunjukkan bahwa sumbangan pendidikan yang diberikan tak layak untuk menggaji guru yang telah berkorban jiwa dan raga. Sementara orang tua murid hanya menyerahkan sepenuhnya tanpa mengontrol perkembangan anak-anaknya. Perlu diketahui juga, bahwa Tuhan memperingatkan manusia untuk memelihara diri sendiri dan keluarganya, (QS. 66: 6) yang berarti bahwa orang tua juga ikut bertanggung jawab atas segala sesuatu yang bersangkutan dengan anak-anaknya terutama dalam hal pendidikan.

"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan."(QS. 66:6)

Di lain pihak, guru dituntut untuk memberikan yang terbaik bagi peserta didiknya. Untuk mencapai tujuan pendidikan adalah tak semudah yang seperti dibayangkan, akan tetap diperlukan proses yang cukup panjang dan rumit. Dengan meminjam istilah Mohammad Uzer Usman (2002), bahwa guru yang profesional adalah orang yang memiliki kemampuan dan keahlian khusus dalam bidang keguruan sehingga ia mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai guru dengan kemampuan yang maksimal. Jelasnya, untuk menjadi guru yang profesional dapat dikatakan gampang-gampang susah. Karena ia mesti memiliki sekian kemampuan yang spesifik, baik menyangkut materi maupun nonmateri. Ada yang berpendapat bahwa metode lebih penting daripada materi itu sendiri. Susah memang jika guru tidak menguasai strategi atau teknik mengajar yang baik, tapi penguasaan bahan ajar pun juga tidak boleh diabaikan.

Dari itu, sedikitnya ada lima kriteria yang harus dimikili dan dilakukan oleh guru profesional, yaitu menguasai materi kurikulum, mengaplikasikan materi dalam kehidupan sehari-hari, menguasai metodologi pengajaran dan evaluasi, serta bersikap displin, giat, dan loyal pada tugasnya sebagai guru. Dengan demikian, diharapkan guru mampu mengembangkan segala potensi dalam dirinya dengan baik sesuai dengan strategi belajar mengajar yang telah ada.

Dalam proses pencapaian menuju mutu pengajaran yang lebih meningkat maka langkah-langkah positif yang efektif dan efesien perlu dipersiapkan dan diterapkan oleh guru. Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya (1997) menjelaskan empat masalah pokok yang sangat penting yang dapat menjadikan pedoman dalam keberhasilan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar. Yaitu, pertama, menentukan sasaran dari kegiatan belajar mengajar. Kedua, memilih cara pendekatan belajar mengajar yang dianggap paling efektif untuk mencapai sasaran. Ketiga, memilih dan menetapkan prosedur, metode dan teknik belajar mengajar yang dianggap tepat. Keempat, menetapkan norma-norma atau kriteria keberhasilan sehingga guru mempunyai pegangan yang dapat dijadikan ukuran untuk menilai sampai sejauhmana keberhasilan tugas-tugas yang dilakukannya.

Keberhasilan dalam mutu pengajaran sulit terwujud jika guru tidak mendapat support dari berbagai pihak. Guru dan orang tua peserta didik seyogyanya berrsama-sama membina interaksi yang harmonis guna tercapai keberhasilan belajar-mengajar. Tak ketinggalan juga pihak pemerintah baik pusat maupun daerah seharusnya memonitoring pelaksanaan pendidikan yang ada di tiap-tiap daerah. Adalah tidak fair jika pemerintah mengeluarkan dan menetapkan kurikulum di sekolah, namum pihaknya tidak meninjau dan mengevaluasi pelaksanaan kurikulum tersebut, apakah sudah memenuhi harapan atau belum sama sekali.

Berbicara mengenai konsep kurikulum yang sering berganti-ganti, agaknya patut dipertanyakan leibh lanjut. Jika yang masalahnya adalah mutu pengajaran masih rendah, mengapa mesti kurikulum yang diubah? Padahal, proses untuk mencapai kualitas pengajaran agar lebih meningkat, perlu memandang berbagai faktor pendukung pendidikan. Perubahan kurikulum (baca: materi) saja tak cukup untuk menggapai tujuan pendidikan, jika faktor-faktor lainnya tidak diubah. Misalnya, guru mengajar salah pelajran bahasa Inggris dengan metode ceramah dalam kelas, sehingga terjadi monolog yang membosankan dari sang guru. Kemudian, setelah diadakan ujian pelajaran tersebut, banyak siswa yang tidak lulus alias mendapat nilai yang mengecewakan. Nah, apakah hal ini berarti bahwa materi atau pelajaran tersebut sudah tidak layak lagi, terbukti para siswa gagal memperoleh nilai yang bagus dalam mata pelajaran tersebut? Tentunya perlu ditinjau dahulu dari faktor guru dan metode pengajarannya, apakah sudah memenuhi kriteria atau belum. Baru kemudian dilihat ulang bagaimana sebenarnya kurikulum yang telah ditetapkan itu, masih up to date atau sudah usang untuk menjawab problemantika kekinian.

Maka dari itu, guru mau tidak mau harus siap-siap menggaapai segala tantangan dan proemtantika yang terus muncul. Yang penting adalah bukan bagaiaman cara menghindari masalah, tapi bagaiamana memecahkan masalah dengan kepala dingin dan tenang tanpa dihinggapi sausananya yang memanas. Sebab, disadari atau tidak, guru itu selayaknya patut dijadikan suri tauladan bagi tak hanya anak-anak didiknya tapi juga masyarakat dimana ia berada. Dan, hal tersebut membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Guru, meski secara jujur diakui, kadang-kadang hidup di dalam suasana keprihatinan, namun alangkah tidak bijaksananya jika hal semacam itu menyurutkan semangatnya untuk mencerdaskan bangsa.

Melihat fenomena yang terjadi di atas, tampaknya julukan yang disandang oleh guru yaitu pahlwan tanpa tanda jasa, menurut hemat penulis sudah tidak relevan dengan keadaan sekarang ini. Kalau boleh usul, 'embel-embel' itu diganti dengan, guru adalah sang pahlawan sejati yang patut dihormati dan diteladani serta senantiasa berjasa seumur hidup. Dengan demikian profesi guru, meski bukan tergolong profesi yang diminati banyak orang, setidaknya masyarakat menghormati dan menghargai serta menjunjung tinggi segala ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh para guru dan juga para tenaga kependidikan.

Permasalahan-permasalahan Seputar Guru:

Saat ini setidak-tidaknya ada empat hal yang berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi guru di Indonesia, yaitu : pertama, masalah kualitas/mutu guru, kedua, jumlah guru yang dirasakan masih kurang, ketiga, masalah distribusi guru dan masalah kesejahteraan guru.


1. Masalah Kualitas Guru


Kualitas guru Indonesia, saat ini disinyalir sangat memprihatinkan. Berdasarkan data tahun 2002/2003, dari 1,2 juta guru SD saat ini, hanya 8,3%nya yang berijasah sarjana. Realitas semacam ini, pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas anak didik yang dihasilkan. Belum lagi masalah, dimana seorang guru (khususnya SD), sering mengajar lebih dari satu mata pelajaran (guru kelas) yang tidak jarang, bukan merupakan inti dari pengetahuan yang dimilikinya, hal seperti ini tentu saja dapat mengakibatkan proses belajar mengajar menjadi tidak maksimal.


2. Jumlah Guru yang Masih Kurang

Jumlah guru di Indonesia saat ini masih dirasakan kurang, apabila dikaitkan dengan jumlah anak didik yang ada. Oleh sebab itu, jumlah murid per kelas dengan jumlah guru yag tersedia saat ini, dirasakan masih kurang proporsional, sehingga tidak jarang satu raung kelas sering di isi lebih dari 30 anak didik. Sebuah angka yang jauh dari ideal untuk sebuah proses belajar dan mengajar yang di anggap efektif. Idealnya, setiap kelas diisi tidak lebih dari 15-20 anak didik untuk menjamin kualitas proses belajar mengajar yang maksimal.

3. Masalah Distribusi Guru

Masalah distribusi guru yang kurang merata, merupakan masalah tersendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Di daerah-daerah terpencil, masing sering kita dengar adanya kekurangan guru dalam suatu wilayah, baik karena alasan keamanan maupun faktor-faktor lain, seperti masalah fasilitas dan kesejahteraan guru yang dianggap masih jauh yang diharapkan.

4. Masalah Kesejahteraan Guru

Sudah bukan menjadi rahasia umum, bahwa tingkat kesejahteraan guru-guru kita sangat memprihatinkan. Penghasilan para guru, dipandang masih jauh dari mencukupi, apalagi bagi mereka yang masih berstatus sebagai guru bantu atau guru honorer. Kondisi seperti ini, telah merangsang sebagian para guru untuk mencari penghasilan tambahan, diluar dari tugas pokok mereka sebagai pengajar, termasuk berbisnis di lingkungan sekolah dimana mereka mengajar.


Peningkatan kesejahteaan guru yang wajar, dapat meningkatkan profesinalisme guru, termasuk dapat mencegah para guru melakukan praktek bisnis di sekolah.


Kedudukan, Fungsi, Tugas, dan Tujuan Seorang Guru

Bab II Pasal 2 Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, menyebutkan bahwa: (1) Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.


(2) Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud.

Maksud dari ayat di atas menyebutkan bahwa guru adalah orang yang mendalami profesi sebagai pengajar dan pendidik, mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk memberikan kontribusi. Umumnya guru merujuk pada pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi hasil belajar siswa peserta didiknya. Tugas guru yang diemban timbul dari rasa percaya masyarakat terdiri dari mentransfer kebudayaan dalam arti yang luas, ketrampilan menjalani kehidupan (Life skills), terlibat dalam kegiatan-kegiatan menjelaskan, mendefinisikan, membuktikan dan mengklasifikasikan, selain harus menunjukkan sebagai orang yang berpengetahuan luas, trampil dan sikap yang bisa dijadikan panutan. Maka dari itu, guru harus memiliki kompetensi dalam membimbing siswa untuk siap menghadapi kehidupan yang sebenarnya (The real life) dan bahkan mampu memberikan keteladanan yang baik.

Undang-Undang No 14 tahun 2005, pasal 4 mengisyaratkan bahwa Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran yang berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Pasal 6 menyebutkan bahwa Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Di samping itu guru mempunyai tugas utama sebagai berikut:

a) Menyusun perencanaan pembelajaran;


b) Menyampaikan perencanaan;


c) Melakukan hubungan baik dengan sesama teman seprofesi, maupun dengan masyarakat;


d) Mengelola kelas yang disesuaikan dengan karakterstik peserta didik;

e) Melakukan penelitian dan inovasi dalam pendidikan, dan memanfaatkan hasilnya untuk kemajuan pendidikan;

f) Mendidik siswa sehingga mereka menjadi manusia yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika, bangsa, masyarakat, dan agama;

g) Melaksanakan program bimbingan konseling, dan administrasi pendidikan;

h) Mengembangkan diri dalam wawasan, sikap, dan ketrampilan profesi; dan

i) Memanfaatkan teknologi, lingkungan, budaya, dan sosial, serta lingkungan alam dalam proses belajar.




Lagi mikir ya bu he.,.he.,.^_^? Semangat!

Upaya Pencarian Solusi:

1. Peningkatan dan Pengembangan Kulitas Guru yang Berkelanjutan dan Terarah

2. Pelatihan dan Pengkaderisasian Guru yang terus menerus.
(Sebuah Teladan)

3. Membuat sebuah Jaringan Pendidikan Nasional.

(Perlu Sosialisasi dan Pengoptimalan secara terus menerus)

4. Adanya "Reward and Punishment" yang Jelas dari Pemerintah.


"Kesadaran adalah Matahari
Kesabaran adalah Bumi
Keberanian adalah Cakrawala
Perjuangan adalah Pelaksanaan Tulisan"
~W.S. Rendra~

Sumber:
1. Bpk. Khaerul Khakim: mahasiswa aktif jurusan Tarbiyah STAIN Pekalongan
www.pendidikan.net

2. www.upi.edu
Universitas Pelopor dan Unggul

(Pak De Sofa)

4. Ayahanda Wawan Nurwana, Seorang Guru SD, yang tidak pernah lelah berharap dan berjuang untuk keluarganya dan para anak didiknya untuk mendapatkan pendidikan terbaik yang optimal.

"Titip Rindu buat Ayah dari Ananda. Dalam hening sepi kurindu"


Ucapan Terima Kasih:

Kepada orang tua kami yang senantiasa memberikan dorongan Do'a dan materil, Guru-guru dan dosen atas bimbingan serta ilmu yang telah engkau berikan.
Sahabat, teman dan saudara-saudara yang selalu saya Kasihi dan teruntuk orang-orang yang Kusayangi!
Terus Berjuang, dan Bersemangat!
Semoga Bermanfaat!, Mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan ini, Terima Kasih

Wasalam wr.wb.


Perbaikan:
Ke-1: 13-10-2009

Arip Nurahman

Guru dan Dosen Profesional

PENYETARAAN GURU DAN PENDIDIKANNYA



PENYETARAAN GURU

Diedit dan ditambah oleh:

Arip Nurahman

Departemen Pendidikan Fisika, PMIPA. Universitas Pendidikan Indonesia

&

Follower Open Course Ware at MIT-Harvard University, U.S.A.



Teacher education refers to the policies and procedures designed to equip teachers with the knowledge, attitudes, behaviors and skills they require to perform their tasks effectively in the school and classroom.

Teacher education is often divided into:

  • initial teacher training / education (a pre-service course before entering the classroom as a fully responsible teacher);
  • induction (the process of providing training and support during the first few years of teaching or the first year in a particular school);
  • teacher development or continuing professional development (CPD) (an in-service process for practicing teachers).

The process of mentoring is also relevant.

More about it.


Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan

Sistem pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan masih belum memberikan jaminan dihasilkannya guru yang berkewenangan dan bermutu disamping belum terkait dengan sistem lainnya. Pola pendidikan guru hingga saat ini masih terlalu menekankan pada sisi akademik dan kurang memperhatikan pengembangan kepribadian disamping kurangnya keterkaitan dengan tuntutan perkembangan lingkungan.

Pendidikan guru yang ada sekarang ini masih bertopang pada paradigma guru sebagai penyampai pengetahuan sehingga diasumsikan bahwa guru yang baik adalah yang menguasai pengetahuan dan cakap menyampaikannya. Hal ini mengabaikan azas guru sebagai fasilitator dalam pembelajaran dan sumber keteladanan dalam pengembangan kepribadian peserta didik. Pada hakekatnya pendidikan guru itu adalah pembentukan kepribadian disamping penguasaan materi ajar.

Disamping itu pola-pola pendidikan guru yang ada dewasa ini masih terisolasi dengan sub-sistem manajemen lainnya seperti rekrutmen, penempatan, mutasi, promosi, penggajian, dan pembinaan profesi. Sebagai akibat dari hal itu semua, guru-guru yang dihasilkan oleh LPTK tidak terkait dengan kondisi kebutuhan lapangan baik kuantitas, kualitas, maupun kesepadannya dengan kebutuhan nyata.

Setiap aspek dunia pendidikan termasuk masalah kualitas guru saat ini menghadapi tantangan baik global, nasional, maupun lokal. Pada tatanan global seluruh umat manusia di dunia dihadapkan pada tantangan yang bersumber dari perkembangan global sebagai akibat pesatnya perkembangan ilmu perngetahuan dan teknologi.

Robert B Tucker (2001) mengidentifikasi adanya sepuluh tantangan di abad 21 yaitu:

(1) kecepatan (speed),

(2) kenyamanan (convinience),

(3) gelombang generasi (age wave),

(4) pilihan (choice),

(5) ragam gaya hidup (life style),

(6) kompetisi harga (discounting),

(7) pertambahan nilai (value added),

(8) pelayananan pelanggan (costumer service),

(9) teknologi sebagai andalan (techno age),

(10) jaminan mutu (quality control.

Menurut Robert B Tucker kesepuluh tantangan itu menuntut inovasi dikembangkannya paradigma baru dalam pendidikan seperti: accelerated learning, learning revolution, megabrain, quantum learning, value clarification, learning than teaching, transformation of knowledge, quantum quotation (IQ, EQ, SQ, dll.), process approach, Forfolio evaluation, school/community based management, school based quality improvement, life skills, competency based corriculum.

Pada tatanan nasional, dunia pendidikan ditantang dengan berbagai upaya pembaharuan dan pembangunan nasional yang lebih berorientasi pada pengembangan sumber daya manusia. Lahirnya Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan berrbagai produk ketentuan hukum lainnya merupakan satu tantangan yang harus dihadapi oleh LPTK yang mempunyai tanggung jawab dalam menghasilkan guru yang berkualitas. Pada tatanan lokal dengan penerapan otonomi daerah, setiap daerah mempunyai peluang untuk menata pengembangan tenaga guru yang lebih berkualitas dan sesuai dengantuntutan kebutuhan daerah.


Berkaitan dengan masalah dan kendala guru sebagaimana dikemukakan di atas, cukup banyak kritikan tajam yang ditujukan kepada LPTK khususnya yang berkenaan dengan ketiak mampuan LPTK menghasilkan guruyang berkualitas. Menurut Linda Darling Hammond dan Joan Baratz Snouwden (2007) dalam tulisannya yang berjuudul: ”Good Teacher in Every Classroom: Preparing the High Qualified Teachers Our Children Deserve”.,

Ada beberapa alasan mengapa hal itu terjadi, yaitu

1. Pemerintah dan masyarakat belum menunjukkan keseriusannya dalam menangani hak-hak anak terutama dari kelompok miskin,

2. Penyempitan makna konvensional yang menyatakan bahwa pengajaran semata-mata sebagai proses penyampaian materi sebagaimana digariskan dalam kurikulum;

3. Banyak pihak yang tidak memahami hakekat mengajar yang sebenarnya,

4. Hampir semua meyakini bahwa yang penting adalah pengajaran dan bukan pembelajaran dari peserta didik,

5. Masih longgarnya tuntutan persyaratan untuk menjadi guru yang berkualitas,

6. Para peneliti dan pendidik guru baru sampai pada kesepakatan mengenai pengetahuan dasar yang diperlukan oleh guru untuk memasuki kelas.

Pendidikan guru di masa lalu dan hingga sekarang sering dikritik terlalu sempit yang dibatasi dengan mempersiapkan pengetahuan yang akan diajarkan di kelas. Sementara kurang memperhatikan hal-hal yang terkait dengan pemahaman mengernai peserta didik, pengembangan profesi, pembentukan kepribadian, dan landasan pedagogis. Sebagai akibatnya ialah guru hanya mampu tampil sebagai penyampai pengetahuan dan tidak tampil sebagai guru profesional sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Guru dan Dosen.

Sehubungan dengan kritikan dan tantangan tersebut maka LPTK harus mau dan mampu melakukan reformasi pola-pola pendidikan guru. Pola-pola lama harus dikembangkan sehingga mampu menghasilkan guru yang berkualitas sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu perlu dilakukan berbagai penataan sistem secara utuh dengan menempatkan proses pengajaran dan pembelajaran sebagai inti dari sistem pendidikan guru.

Wayne K. Hoy dan Cecil G. Miskel menyebutnya proses interaksi antara pengajaran dan pembelajaran sebagai ”technical core” dalam pendidikan guru. Mereka menyarankan agar pendidikan guru baik pra-jabatan maupun dalam jabatan dibangun dalam satu sistem yang utuh dengan memperhatikan aspek input, proses, dan output dan terjadi keterpaduan berbagai unsur sub-sistem secara utuh.

(Prof. Dr. H. Mohamad Surya, M.Pd. Ketua Umum PB PGRI)



Penyetaraan Guru

Oleh: Bpk. Isjoni
Dekan di FKIP UNRI


Pemerintah daerah melalui program tugas dan izin belajar kepada para guru patut untuk terus ditumbuhkembangkan. Pemerintah Propinsi Riau salah satu pilar menyebutkan peningkatan sumber daya manusia, sebagai wujud dari pilar tersebut, pemerintah daerah memberikan perhatian khusus kepada para pendidik maupun birokrat untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, katakanlah dari program S1 ke jenjang S2 maupun S3. Sebagai konsekuensi dari upaya peningkatan sumber daya manusia adalah tersedianya dana atau anggaran pendidikan.

Program tugas dan izin belajar hendaknya secara kontinuitas dilaksanakan, karena program ini akan berdampak terhadap peningkatan kualitas guru. Kualitas guru perlu diperhatikan pemerintah, guru yang berkualitas, maka akan menghasilkan sumber daya manusia bermutu, demikian pula sebaliknya bilamana guru tidak bermutu, maka akan menghasilkan anak didik tidak bermutu.

Salah satu upaya untuk meningkatkan mutu guru, itu tadi, yakni memberi kesempatan kepada guru untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Dahulunya pendidikan guru mayoritas lulusan SPG, KPG, dan sebagainya, mereka diberikan wewenang untuk mengajar pada tingkat Sekolah Dasar, sedangkan untuk tingkat SLTP adalah lulusan Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama (PGSLTP), demikian pula untuk tingkat SLTA adalah guru yang memiliki ijazah akademis setingkat Bachelor of Arts (BA).

Akan tetapi sejak tahun 1980, mulailah di kenal dengan Pendidikan Diploma I, II, III, dan Sarjana S1. Bagi lulusan Diploma D-I-D II diberikan wewenang untuk mengajar di tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan bagi Diploma 3 dan Sarjana S1 diberikan kesempatan untuk mengajar tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Adanya kebijakan pemerintah, bahwa bagi guru-guru yang mengajar pada tingkat Sekolah Dasar dipersyaratkan untuk memperoleh ijazah D-II. Demikian pula untuk tingkat Sekolah Lanjutan Pertama setiap guru dipersyaratkan memiliki ijazah Diploma-III, dan bagi guru ditingkat SLTA dipersyaratkan memiliki ijazah akademis S1. Program inilah yang disebut dengan Penyetaraan Guru.

Otonomi Daerah telah memberikan kesempatan kepada daerah kabupaten dan kota untuk dapat menata rumahtangganya sendiri, termasuk di dalamnya sektor pendidikan. Dengan adanya kebijakan masing-masing daerah kabupaten dan kota untuk memberikan kesempatan kepada para guru untuk melanjutkan pendidikan, baik untuk tingkat Diploma II, diploma III dan S1 perlu disambut positif dan tentunya kita berharap agar program ini secara terus menerus dilakukan. Setiap tahunnya pemerintah daerah agar memprogram dan sudah menjadi agenda setiap tahunnya.

Kami melihat, bahwa motivasi kabupaten dan kota mengirimkan tenaga guru untuk dididik setiap tahunnya terus bertambah, baik untuk guru bidang studi umum maupun guru bidang studi pendidikan agama. Ini menunjukan bahwa pemerintah daerah sudah mulai memperhatikan sektor pendidikan, dan tentunya pemerintah daerah menyadari bahwa kualitas suatu daerah ditentukan sejauhmana tingkat kualitas pendidikan masyarakatnya, bila kualitas masyarakatnya tinggi, maka menunjukan perhatian pemerintah daerah terhadap sektor pendidikan menjadi prioritas.

Oleh sebab itulah, pemeritah daerah perlu menyiapkan anggaran khusus kepada para guru yang memiliki motivasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pemerintah tidak akan rugi, bila guru-guru sudah memiliki ijazah akademis sesuai dengan yang dipersyaratkan, maka kita tetap optimis, mutu pendidikan akan meningkat.

Perlu diingat oleh para guru, bahwa pemerintah sudah mengeluarkan biaya, demikian pula bagi mereka yang sudah berkeluarga, rela meninggalkan sanak keluarga, demi pendidikan, dan tentunya dana yang diberikan pemerintah daerah mungkin tidak sebanding dengan pengeluaran selama ini. Itu adalah pengorbanan, oleh karena itu, para guru harus menyadari bahwa pendidikan itu mahal, dan tentu memerlukan pengorbanan baik moril maupun materil.

Bilamana para guru yang sudah menyelesaikan program pendidikan melalui tugas dan izin belajar, kiranya dapat memberikan nilai tambah bagi dirinya, sekolah, masyarakat dan pemerintah daerah. Para guru sudah memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan, barangkali sudah waktunya untuk melakukan pembenahan proses pembelajaran. Selama ini, mungkin kurang efektif, sehingga hasil belajar anak didiknya belum optimal, akan tetapi setelah menyelesaikan pendidikan diharapkan akan banyak perubahan baik penguasaan materi, keterampilan dalam metodologi pembelajaran, demikian pula keterampilan mengajar, dan lain sebagainya, sehingga hasil belajar anak didik lebih optimal.

Pemerintah berharap banyak kiranya para lulusan tugas dan izin belajar kembali ke daerah masing-masing, dan tentunya pemerintah daerah juga memberi kesempatan kepada para lulusan yang memperoleh nilai baik untuk dapat terus melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi lulusan S1 agar dapat melanjutkan ke jenjang S2, baik di Riau maupun di luar Riau, dan tentunya pemerintah daerah tidak melakukan diskriminatif terhadap pemberian bantuan pendidikan.

Selanjutnya, bagi lulusan tugas dan izin belajar, kembali mengajar dan tentu lebih profesional, dan memiliki tanggungjawab moral untuk meningkatkan mutu baik terhadap proses pembelajarannya maupun output satuan pendidikannya. Perlu diingat, bahwa lulusan tugas dan izin belajar bila kembali ke daerah jangan terkesan minta fasilitas atau jabatan-jabatan tertentu. Karena hal ini bertentangan dengan hakiki dari tugas dan izin belajar guru itu sendiri. Layak kiranya kita bersyukur dan berterima kasih karena kita diberi kesempatan untuk mengembangkan diri dan memperoleh wawasan luas dan sekaligus mendapatkan sertifikat akademis sebagai salah satu bentuk prestise dalam berkarir. Semoga.

4. Dan Sumber Lainnya yang Terpercaya.

Ucapan Terima Kasih:

Kepada Orang Tua yang senantiasa memberikan dorongan moril dan materil, Guru-guru terkasih yang senantiasa memberikan ilmu dan pengalamannya untuk masa depan kami yang lebih baik, kawan-kawan semuanya!

Terus Bersemangat dan pantang menyerah!



Arip Nurahman

Guru dan Dosen Profesional