Senin, 28 November 2011

Belajar Fokus

Begitu banyak bahan belajar bertebaran di internet, link-link bagus yang canggih-canggih menggoda untuk dicoba, tapi dari sekian banyak sumber yang kita kumpulkan nyatanya hanya beberapa persen saja yang benar-benar bisa kita tekuni dalam waktu bersamaan. Ketika kita paksakan diri mempelajari semuanya atau menggunakan semuanya, muncul kebiasaan belajar yang tidak tuntas, dan otomatis juga tidak mendalam.

Ketika anak-anak dianggap cukup siap untuk menekuni bidang pelajaran yang mereka minati secara terstruktur, saya pikir itulah saat yang tepat bagi saya untuk menyusun prioritas jadwal. Tidak menggarap semua hal dalam rentang waktu bersamaan, tapi saya mendorong anak menuntaskan pelajaran-pelajaran yang dianggap utama sampai pelajaran itu menginternal dalam diri mereka. Saya melihat hasil yang jauh lebih baik saat menerapakan model tersebut daripada mencekoki anak-anak terlalu banyak topik tapi hanya sekilas-sekilas.

Fokus, menjadi target utama saya menerapkan gaya ini. Saya, dengan background pekerjaan yang berbasis rumah, yang sebagian besar porsi supervisi adalah diri sendiri merasakan pentingnya sikap tersebut. Pekerjaan saya memang fleksibel, namun fleksibilitas juga bisa menjebak kita menjadi tidak biasa berdisiplin. Hal itu tentu saja bisa menggandakan potensi gagal menjadi lebih besar dalam menghasilkan sesuatu secara maksimal.

Tidak ada kebiasaan baik tanpa latihan. Semakin anak-anak beranjak besar saya yakin kebiasaan-kebiasaan yang nanti mereka butuhkan harus dilatih sedari sekarang. Oleh karena itu, saya pun berusaha lebih keras untuk mendisiplinkan diri dalam proses belajar ini. Saya berharap anak-anak menangkap spirit yang saya rasakan dan mengadaptasikannya secara alami ke dalam diri mereka. Insya Allah.


Selasa, 22 November 2011

Perjalanan di Bulan Ramadhan 4

Lelahnya perjalanan dari Bukittinggi-Singkil sedikit sirna ketika mengetahui bahwa sisa perjalanan tinggal 4 jam lagi. Dan, kami betul-betul harus melewati jalanan yang berbukit-bukit. Turunnya turun sekali, naiknya juga tak tanggung-tanggung mendaki. Hampir sama dengan medan di hutan Tapanuli, namun bedanya jalanan di Aceh mulus sekali, hampir tak kami temui jalan berlubang keculi di sedikit titik.

Anak-anak tertidur sampai kakek berseru, "Tuuh, laut sudah kelihatan!" Luqman terbangun dan mulai memandang ke depan. Biru samar-samar dari kejauhan. Makin lama makin jelas. Namun jalanan yang berkelok-kelok membuat sesekali pemandangan laut tertutup. Kami terus menuruni lembah hingga akhirnya kami benar-benar menyusuri jalanan di lereng bukit yang jaraknya hanya ratusan meter dari laut.

Anak-anak seperti kehilangan rasa lelahnya. Makin terus berjalan, kami pun berjumpa dengan semakin banyak pemandangan khas laut yang begitu memesona. Barisan pohon kelapa berjejer di tepi pantai, ikan-ikan yang dijemur, perkampungan nelayan, membuat Azkia memekik kecil, "Rasanya seperti mimpi!". Anak 'gunung' yang baru melihat laut, begitulah ^_^.

Jalan berkelok ke bawah makin mendekati tepi pantai. Saat itulah saya menyadari, mengapa papa mertua saya begitu bersikeras mengajak kami pergi ke kampung halamannya, "Setidaknya sekali seumur hidup", begitu beliau berkata. Ternyata, kampung tempat beliau menghabiskan separuh masa kecilnya memang luar biasa. Kami beruntung bisa berkunjung ke sana.

Tiba di rumah, di hadapan membentang barisan kelapa menjulang tinggi, dan ujung pandangan benar-benar hamparan laut. Tinggal menyeberang jalan raya, 50 meter setelahnya kami sudah bisa merendam kaki di pantai, mencari cangkang siput, kerang, dan tentu saja pasir putih dan pecahan batu karang yang terpahat secara alami.

Lima hari kami di Aceh, dan sungguh tak akan terlupakan. Azkia dan Luqman selalu ingin balik lagi ke sana suatu hari nanti. Berenang di laut, bermain ombak, membuat istana pasir, merasakan desau angin pantai, dan pengalaman melihat orang menangkap ikan

dengan bilah bambu, dan badai yang menjatuhkan buah-buah kelapa kering,tak akan bisa dilakukan di rumah kami yang ada di perbukitan. Jadi, meski kesan tentang Aceh selama ini lekat dengan tsunami dan getaran bumi, buat Azkia dan Luqman Aceh adalah tempat terindah yang pernah mereka datangi.

Senin, 21 November 2011

Perjalanan di Bulan Ramadhan 3

Memasuki wilayah Tapanuli, terlebih Tapanuli Utara, medan perjalanan mulai berat. Jalannya berlubang-lubang dan berundak-undak naik-turun. Turunannya curam, demikian juga tanjakannya 'patah' sekali. Pada beberapa ruas, malah terasa cukup mengkhawatirkan. Selain jalannya berlubang dalam, di kiri-kanan terbentang jurang dangkal yang dipadati pohon kelapa sawit dan rawa-rawa yang entah isinya apa. Yang jelas, di sepanjang jalanan di Tapanuli Utara babi hutan wara-wiri bebas bahkan di tengah-tengah manusia. Luar biasa!

Dan peristiwa yang mungkin sedikit sulit dilupakan adalah ketika ban mobil kami slip di tengah-tengah tanjakan yang benar-benar patah (kemiringan nyaris 30 derajat). Saat mobil kami melaju dengan sekuat tenaga untuk mencapai puncak jalan, serombongan mobil dari arah berlawanan juga sedang menuju jalanan yang sama. Jalan itu luas, namun yang masih tersisa aspal keras hanya bagian tengah. Para pengemudi menghindari bahu kiri ataupun kanan jalan karena di bagian itu aspal sudah tergerus air, dan yang tersisa tinggal tanah lempung yang becek di saat hujan. Mobil kami yang sedang berkonsentrasi naik akhirnya terpaksa mengambil jalur kiri supaya tidak beradu dengan mobil dari atas. Akibatnya, ban slip dan perjalanan terpaksa harus tertunda di situ. Kami semua turun. Ibu-ibu dan anak-anak berjalan ke atas sambil menunggu ban mobil berhasil keluar dari kubangan tanah liat itu. Kami berada di hutan Sumatera Utara.

Beruntung datang bantuan dari pemiliki kendaraan yang berpapasan, namun mobil tak juga berhasil diangkat apalagi di dorong. Para penolong pun menyerah dan mereka terpaksa melajutkan perjalanan karena dikejar waktu. Atas inisiatif kakek, ibu-ibu dan anak-anak akhirnya ikut mobil penolong yang kebetulan kosong karena akan menjemput penumpang di Meulaboh. Tak dinyana, ternyata kami telah jauh meninggalkan bapak-bapak, termasuk sopir di tengah tanjakan. Kami pun sudah meninggalkan perbatasan Sumatera Utara dan tiba di tanah rencong. Rasanya seperti mimpi ^_^.

Luqman nampak sangat kelelahan dan terpaksa harus turun dari mobil tumpangan itu. Kami berhenti di sebuah Mesjid sambil menunggu mobil kami datang menjemput. Nyaris merasa, kami tak akan pernah sampai di tujuan karena kelelahan. Tapi, dengan niat menyambungkan silaturahim dengan keluarga besar kakek di Aceh, kami menjaga semangat. Alhamdulillah semua bisa kami lewati.

Tak lama kemudian, mobil kami datang dengan belepotan tanah. Mobil berhasil dibebaskan dari kubangan dengan bantuan 6 orang pengangkut kayu yang kebetulan sedang lewat dengan bayaran cukup mahal (jika diukur dengan kebiasaan orang-orang di tanah Sunda), tapi mungkin tak seberapa jika dibandingkan dengan waktu dan keselamatan kami semua.

Alhamdulillah kami berkumpul lagi. Setelah istirahat sebentar di kota Singkil, kami menuju tahap terakhir perjalanan menuju tujuan. Menurut kakek, lamanya kurang leih 4 jam dari kota Singkil tersebut. Kami pun bersiap. Saat itulah kami disuguhi pemandangan yang cukup membuat nelangsa. Hutan Aceh itu dulu nampaknya luas sekali. Bentangannya seujung pandangan. Sayang, pemandangan yang kami lihat waktu itu, hutan alami ternyata sudah dirusak dengan 'kasar'. Sisa-sisa pohon yang batang bawahnya di bakar bergelimpangan tak menentu. Sebagian besar lahan di sepanjang tepian jalan sudah ditanami kelapa sawit. Dalam hati saya bergumam, "Apa mungkin, ini juga salah satu penyebab bumi di Aceh tak lagi seimbang? Alamnya memang telah dirusak dan akibatnya bumi mencari keseimbangannya sendiri dengan senantiasa bergerak dan berguncang. Wallahualam".

BERSAMBUNG


Minggu, 20 November 2011

Membangun Kota Berbudaya Literasi III

"Manuk hiber ku jangjangna jalma hirup ku akalna"
~Urang Sunda Proverbium~

(Gunakan akal dalam melangkah, buat apa Yang Maha Kuasa menciptakan akal kalau tidak digunakan sebagai mestinya).




Manajemen Simbol-Simbol Budaya Literat

Tampaklah bahwa modernisasi, khususnya pembangunan kota, memerlukan dukungan teks-teks yang ditata secara cerdas sebagai simbol literat pembangunan kota. Dengan demikian, perlu diciptakan manajemen profesional pembangunan kota yang memahami psikologis dan sosiologi teks-teks itu.

Moto-moto warisan Orde Baru seperti “Berhiber’ (Bersih, Hijau, Berbunga) ‘Berseka’ (Bersih, Sehat, Kayungyung), dan sebagainya mungkin diniati sebagai visi atau simbol literat pembangunan kota, walau teks-teks baru berfungsi sebagai janji gombal, bukannya amalan literat keseharian warga kota.

Moto-moto yang tertulis pada taksi tidak ada apa-apanya, manakala sopir taksi itu parkir sembarangan, melanggar aturan lalu-lintas, atau memperdaya penumpang. Bila ini terjadi, dan memang sering terjadi, inilah bukti kesenjangan pemahaman akan visi antara birokrat pemerintah daerah dan stakeholder lain. Ini bukti kegagalan komunikasi antara manajer pembangunan dan unsur-unsur marjinal: sopir taksi, pedagang kaki lima, petugas parkir, penyapu jalan dan lain sebagainya.

Visi memang harus alami, lentur, adaptif, komunikatif, dan diyakini Bersama, serta internalisasinya memerlukan waktu lama. Ini semua hanya mungkin terjadi bila semua stakeholder memiliki tingkat pendidikan yang memadai, yakni berbudaya literat untuk mengikuti alunan dan irama pembangunan kota.

Pembangunan literasi, dengan demikian harus mendahului pembangunan sektor-sektor lain.

Keberadaan lembaga-lembaga budaya literat seperti universitas, sekolah, Perpustakaan, museum, gelanggang remaja dan pusat-pusat kebudayaan adalah mutlak bagi pembangunan budaya literat demi pembangunan. Singkatnya, pembangunan budaya literat adalah peneratas jalan pembangunan manusia mulia yang berpendidikan, berperadaban, dan bernurani modernisasi.



Strategi Kota Banjar Menuju Kota Berbudaya Literasi

Bagaimana Kota Banjar Melahirkan Manusia-Manusia yang Paripurna

(Insan Kamil dan Rohmatan Lil alamin)

?

Berakhlakulkarimah

Menciptakan dan Mengembangkan Kota Berbudaya IPTEKS

?

Sumber:

Prof. H. Chaedar Alwasilah, M.A. Ph.D.

(Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia)

Sabtu, 19 November 2011

Tuhan Menciptakan Kejahatan ?

Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada? Apakah kejahatan itu ada? Apakah Tuhan menciptakan kejahatan? Seorang Profesor dari sebuah universitas terkenal menantang mahasiswa-mahasiswanya dengan pertanyaan ini, “Apakah Tuhan menciptakan segala yang ada?”. Seorang mahasiswa dengan berani menjawab, “Betul, Dia yang menciptakan semuanya”. “Tuhan menciptakan semuanya?” Tanya professor sekali lagi. “Ya, Pak, semuanya” kata mahasiswa tersebut. 
Profesor itu menjawab, “Jika Tuhan menciptakan segalanya, berarti Tuhan menciptakan Kejahatan. Karena kejahatan itu ada, dan menurut prinsip kita bahwa pekerjaan kita menjelaskan siapa kita, jadi kita bisa berasumsi bahwa Tuhan itu adalah kejahatan.” Mahasiswa itu terdiam dan tidak bisa menjawab hipotesis professor tersebut. Profesor itu merasa menang dan menyombongkan diri bahwa sekali lagi dia telah membuktikan kalau agama itu adalah sebuah mitos.
Mahasiswa lain mengangkat tangan dan berkata, “Profesor, boleh saya bertanya sesuatu?” “Tentu saja,” jawab si Profesor Mahasiswa itu berdiri dan bertanya, “Profesor, apakah dingin itu ada?” “Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja dingin itu ada. Kamu tidak pernah sakit flu?” Tanya si professor diiringi tawa mahasiswa lainnya. 
Mahasiswa itu menjawab, “Kenyataannya, Pak, dingin itu tidak ada. Menurut hukum fisika, yang kita anggap dingin itu adalah ketiadaan panas. Suhu -460F adalah ketiadaan panas sama sekali. Dan semua partikel menjadi diam dan tidak bisa bereaksi pada suhu tersebut. Kita menciptakan kata dingin untuk mendeskripsikan ketiadaan panas. 
Mahasiswa itu melanjutkan, “Profesor, apakah gelap itu ada?” Profesor itu menjawab, “Tentu saja itu ada.” Mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi anda salah, Pak. Gelap itu juga tidak ada. Gelap adalah keadaan dimana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. 
Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya.” Akhirnya mahasiswa itu bertanya, “Profesor, apakah kejahatan itu ada?” Dengan bimbang professor itu menjawab, “Tentu saja, seperti yang telah kukatakan sebelumnya. Kita melihat setiap hari di Koran dan TV. Banyak perkara kriminal dan kekerasan di antara manusia. Perkara-perkara tersebut adalah manifestasi dari kejahatan.” 
Terhadap pernyataan ini mahasiswa itu menjawab, “Sekali lagi Anda salah, Pak. Kajahatan itu tidak ada. Kejahatan adalah ketiadaan Tuhan. Seperti dingin atau gelap, kajahatan adalah kata yang dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan Tuhan. Tuhan tidak menciptakan kajahatan. Kajahatan adalah hasil dari tidak adanya kasih Tuhan dihati manusia. Seperti dingin yang timbul dari ketiadaan panas dan gelap yang timbul dari ketiadaan cahaya.” Profesor itu terdiam. 
Tahukah anda siapa nama mahasiswa itu ? Mahasiswa itu adalah Albert Einstein.
Prof. Albert Einstein

Jumat, 11 November 2011

Membangun Kota Berbudaya Literasi II






"There is creative reading as well as creative writing."
~Ralph Waldo Emerson~

Indikator Budaya Literat

Demokratisasi politik hanya dapat direalisasikan jika semua warga masyarakat memiliki budaya literat dengan tiga indikator berikut.

Pertama, seseorang disebut literat apabila ia memiliki pengetahuan dan keterampilan pokok untuk melibati segala kegiatan di lingkungan literatnya. Ia mesti tahu alamat dan nomor telepon kantor RT, RW, kantor polisi terdekat, tempat-tempat pengaduan masyarakat seperti layanan air minum, dan sebagainya. Iapun mesti mengetahui perkembangan mutakhir ihwal nama jalan, arah lalu lintas, dan agenda kegiatan kota.


Kedua, pengetahuan dan keterampilan literat itu diperlukan untuk berperan secara efektif dalam kelompok dan masyarakatnya. Seorang literat memiliki dua jenis ilmu pengetahuan dan keterampilan yaitu pengetahuan dan keterampilan literat umum (generic) seperti disebut di atas.

Sedang pengetahuan dan keterampilan literat khusus untuk berfungsi efektif demi karier dan profesi, seperti pengacara, pebisnis, pengajar, teknokrat, dokter dan sebagainya. Keterampilan profesional ini adalah bendera spesialisasi, dan spesialisasi adalah tulang punggung modernisasi. Dalam membangun bangsa , segala jenis pekerjaan seyogyanya ditangani mereka yang ahli dan disiapkan untuk pekerjaan itu. Tanpa dua keterampilan ini, tidaklah mungkin bagi seseorang untuk berpartisipasi secara penuh dalam pembangunan.

Ketiga, seorang literat memiliki kemampuan membaca, menulis dan aritmetika untuk memfasilitasi pembangunan diri dan masyarakatnya. Frase kunci di sini adalah memfasilitasi pembangunan, yakni apa yang ditulis dan dibaca (teks) itu mendukung pembangunan. Sebuah teks sebagai simbol literasi akan memfasilitasi pembangunan jika memenuhi empat syarat, fungsional, mudah terbaca, dipahami, dan tidak menyesatkan.

Agar berfungsi, secara fisik teks harus tetap dipertahankan. Misalnya, rambu-rambu lalu lintas, nama gedung, dan sebagainya adalah rambu-rambu budaya literat, karen itu harus diposisikan dalam konteks manajemen pembangunan kota. Agar mudah terbaca, teks ditampilkan dengan jenis dan ukuran huruf dan desain yang menarik dan komunikatif untuk memudahkan pejalan kaki maupun pengendara kendaraan bermotor.


Kemenarikan juga dapat dicapai dengan menampilkan sesuatu yang unik atau kekhasan lokal, misalnya di Yogyakarta dan Solo dengan menyertakan tulisan Jawa pada nama-nama jalan. Teks itu seyogyanya dimengerti anggota masyarakat sebagai pelibat pembangunan.

Iklan, pemberitahuan, atau pengumuman yang ditulis dalam bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, kurang mendukung pembangunan. Mereka tampil gaya tetapi tidak berdaya, dekoratif tetapi tidak komunikatif. Teks-teks demikian tampil pongah diskriminatif terhadap mayoritas anggota masyarakat literat sendiri.

Sementara ini kaum mayoritas (orang asing) yang dimanja sebagai tamu kota justru kurang suka dengan basa-basi ini. Kepongahan ini memperlihatkan lemahnya kepercayaan dan kebanggaan akan bahasa nasional. Sesungguhnya para turis asing harus ditantang untuk menguasai keterampilan literat fungsional sewaktu berinteraksi di Indonesia, dan tantangan literat ini justru merupakan satu pencerahan Intelektual dan bagian yang inheren dari wisata itu sendiri.


Informasi yang salah atau kadaluarsa sesungguhnya menghambat pembangunan. Peta kota, leaflet, brosur, buletin, dan barang cetakan sejenisnya yang kadaluarsa, misalnya, bukan hanya membodohi dan menyesatkan tapi juga memutuskan silaturahmi kebudayaan, dan me-nohok transaksi pembangunan kota. Teks-teks kadaluarsa seperti halnya makanan dan minuman kadaluarsa, seyogyanya segera dimusnahkan atau dimuseumkan.

Lalu bagaimana Kota Banjar akan mengembangkan budaya literasi ini?

To Be Continued

Sumber:

Prof. H. Chaedar Alwasilah, M.A. Ph.D.

(Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia)

Minggu, 06 November 2011

Membangun Kota Berbudaya Literasi


Daniella Jaladara adalah nama pena Heni, seorang penulis yang sedang naik daun dari kalangan Buruh Migran Indonesia Hong Kong.

Lahir di Ciamis, 2 Mei 1987, merupakan pendiri sekaligus direktur Abatasa Library and Learning Centre, Hong Kong. Menyelesaikan pendidikan formalnya di SMKN 1 Banjar, St. Mary’s University (Cum Laude, Salah Satu Lulusan Terbaik, dan Tercepat Menyelesaikan S1; 2,5 Tahun) dan Universitas 17-08-1945.

Ia telah menerbitkan buku kumpulan cerpen: Un Dans L’Éternité dan Senja di Pesisir Tsing Ma adalah kumpulan cerpen kedua. Karyanya juga tergabung dalam beberapa antologi di antaranya: Surat Berdarah Untuk Presiden dan Bicaralah Perempuan. Karya-karyanya sebagian besar bercerita tentang realitas kehidupan kaum pekerja migran. Tulisan lainnya tersebar di beberapa surat kabar dan majalah berbahasa Indonesia di Hongkong. Penghargaan yang pernah diperolehnya adalah:

Juara 1 se-Asia lomba menulis surat untuk presiden dan anugerah BISA
(Be Indonesian Smart and Active) Award.


Penulis bisa dihubungi di:

jaladara10@yahoo.com.hk.

Sejak kecil mengaku sudah belajar menulis.

“Aku belajar menulis sejak SD. Saat itu aku sangat suka membaca buku-bukunya N.H. Dini, Sutan Takdir Alisjahbana, Chairil Anwar, dan lain lain.”

“Dari membaca tulisan mereka, meskipun saat itu aku tak mengerti keseluruhan tentang tulisan mereka, tapi buku-buku itu berhasil menginspirasiku untuk menulis dan membaca lebih banyak.” Kata Beliau

Sekarang Beliau tinggal di Pataruman Banjar.

Inilah Web Pribadi Beliau

a Little Journey .. a Big World



Bambang Achdiyat, S.Pd. adalah Guru, Motivator dan Penulis Belajar Menuju Ihsan. Lahir di Ciamis, lulusan Universitas Pendidikan Indonesia.


Mari Kita Membangun Kota Berbudaya Literasi

Pada tahun 1987 di Amerika Serikat terbit Cultural Literacy: What Every American Needs to Know karya ED Hirsch Jr dan The Closing of The American Mind karya Allan Bloom. Kedua buku best sellers ini secara kritis menunjukkan menurunnya tingkat literasi generasi muda Amerika dan perlunya tindakan korektif melalui pembenahan kurikulum language art dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi.

Webster’s New Collegiate Dictionary menurunkan batasan literate sebagai orang yang berpendidikan, berbudaya mampu membaca dan menulis (1981:666). Ini satu kesaksian bahwa dalam tradisi Eropa, ciri orang yang berbudaya itu adalah keseimbangan antara kemampuan membaca dan menulis.

Dalam tradisi Indonesia, yang lebih berbudaya ucap-dengar ketimbang berbudaya baca-tulis, batasan literasi cenderung mengabaikan komponen menulis. Tidaklah aneh bahwasanya mayoritas ulama dan dosen di Indonesia tidak mampu menulis buku ajar.

Literacy, diindonesiakan sebagai melek huruf, kemampuan berbaca tulis, kemelekwacaan, atau literasi. Literasi mencakup kemampuan membaca petunjuk meminum obat, mengisi formulir lamaran kerja, sampai menganalisis sebuah artikel atau berita koran. Literasi sebagai sebuah pendidikan adalah kunci untuk mendapatkan akses politik dan fasilitas-fasilitas sosial.

Kecilnya anggaran pendidikan memberi kesan adanya kesengajaan untuk membodohkan sebagian rakyat demi kepentingan politik sang penguasa. Alasannya, orang pandai cenderung kritis, dan kritikan adalah kerikil tajam bagi penguasas otoriter. Sementara itu, rakyat bodoh adalah kerbau setia untuk dipasak hidung.

(To Be Continued)


Ucapan Terima Kasih:

Bapak Drs. Nanang Sudiana, M.Pd. Guru semasa SMA atas motivasinya untuk terus menulis. Great Teacher, selalu rindu atas pengajarannya yang asik banget.

Ibu Hj. Siti S.Pd. & Ibu Nani. S.Pd. Guru semasa SMP yang senantiasa memberikan akses membaca di perpustakaan, merekalah yang memberikan dorongan untuk melahap semua isi perpustakaan kala itu, terima kasih bunda-bunda ku.

Ibu Endang Mudji, yang senantiasa bersemangat mengajarkan pentingnya berbahasa.



Sumber:

Prof. H. Chaedar Alwasilah, M.A. Ph.D.

(Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia)

Selasa, 01 November 2011

Sekolah Alam Kota Banjar

"Bekerja Sesuai Kemampuan, Upah Sesuai Pekerjaan"
(Karsan, My Lovely Grandfather)

Kata kuncinya adalah KEMAMPUAN yang berarti penguasaan terhadap Keterampilan untuk menyelesaikan suatu masalah:

Kemampuan ini akan mencakup hal-hal di bawah ini

K = Knowledge
A = Attitude & Aptitude
S = Skill
E = Eksperience
T = Technique

Kemampuan tersebut dilengkapi dengan kemauan yang kuat dengan dasar tulus ikhlas.