Apakah Anda termasuk orang tua baru yang bingung menghadapi anak balitanya? Semua orang tua pasti menginginkan anak-anaknya mendapat pendidikan yang baik sejak dini. Namun menghadapi anak usia dini ternyata tak semudah memotong sayuran. Perlu pengetahuan khusus agar kita bisa memahami mereka, sehingga kita juga lebih santai menjalani keseharian kita bersama mereka.
Saat anak pertama saya lahir, kebingungan itu juga melanda saya. Setelah berhasil menyesuaikan diri dengan pola bayi dalam menyusui, buang air, mandi, dan tidur, tiba-tiba saya merasa ada yang kurang dalam keseharian kami.
Ya, sepertinya kasihan melihat bayi kecil itu tanpa kegiatan berarti. Saya akhirnya sibuk mencari mainan-mainan untuk bayi. Macam-macam mainan dicoba, dan hasilnya ternyata bayi saya cepat bosan atau kadang-kadang tak peduli dengan mainan yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya.
Wah, sedih juga waktu itu. Perasaan bersalah tiba-tiba timbul dalam diri saya. Saya merasa tidak becus mengasuh bayi. Saya ternyata nggak tahu apa-apa tentang bayi.
Akan tetapi, perasaan-perasaan itu lambat laun sirna. Saya menemukan banyak pencerahan setelah saya mulai membaca buku-buku parenting. Buku pertama yang banyak menginspirasi saya adalah buku Revolusi Cara Belajar terbitan Kaifa. Isinya memang tidak spesifik tentang parenting, tapi prinsip-prinsip yang diungkapkan para penulisnya mencakup juga dunia pendidikan anak secara umum.
Dari buku itulah akhirnya saya tahu bahwa bayi itu sebenarnya mampu menyerap segala informasi yang kita berikan meski mereka tidak memberikan respon langsung. Bayi ternyata mendengar dan menyerap kata-kata yang didengarnya dari orang-orang atau suara-suara di sekelilingnya, namun mereka belum bisa langsung mengucapkannya kembali hingga otot-otot bicara mereka siap untuk melakukannya.
Oleh karena itulah saya sering mengajak bayi saya ngobrol di sela-sela kegiatan ganti popok, menyusu, atau mandi. Orang yang tidak mengerti, mungkin akan bilang aneh ya. Tapi saya percaya bahwa hal itu akan bermanfaat buat bayi saya. Terbukti, kedua anak saya tidak memiliki masalah dengan berbicara dan relatif lebih cepat menguasai kemampuan tersebut dengan artikulasi yang jelas (tidak cadel) pada usia dua tahun.
Awalnya saya tidak menyadari berartinya kemampuan anak-anak saya dalam berbicara. Namun saya benar-benar mensyukuri hal itu setelah saya tahu bahwa ternyata ada anak-anak pada usia mencapai 4 tahun belum bisa berbicara dengan jelas. Akibatnya anak sering mengalami tantrum (ledakan emosi) karena tidak mampu mengungkapkan secara lisan keinginan dan perasaannya pada orang lain.
Adapun tentang mainan, saya pun lambat laun mengerti bahwa sesungguhnya bayi dan anak-anak sedang menjalani fase eksplorasi besar-besaran terhadap lingkungannya. Mereka akan terlihat cepat bosan dengan sesuatu karena sesungguhnya mereka sedang mencoba menjelajahi dunia. Semuanya menarik bagi mereka sampai mereka merasa cukup mengerti dan mereka pun mencari hal baru lainnya.
Jangan heran, kalau akhirnya kita lihat bayi lebih senang dengan sendok atau garpu yang mereka jatuhkan berulang-ulang ke lantai daripada mainan mahal dari toko. Hal itu terjadi karena semua benda bagi bayi adalah sama. Mereka akan tertarik pada benda apapun jika benda itu memiliki daya tarik tersendiri yang tentu saja hanya mereka yang tahu.
Hal-hal kecil tersebut memang nampak sepele. Namun ketika kita bisa memahaminya ternyata akan berdampak pada cara pandang kita terhadap setiap prilaku anak, termasuk juga dalam memandang cara belajar mereka.
Anak usia dini belajar dengan cara yang khas, berbeda dengan cara pandang orang dewasa. Kalau kita mampu memelihara antusiasme bayi dalam belajar maka keinginan belajar itu akan terus tumbuh hingga mereka besar. Tak perlu lagi kita harus berkoar-koar menyuruh anak belajar, tapi mereka sendirilah yang akan belajar dan meminta kita untuk membimbing mereka.
Tulisan selanjutnya: Menstimulasi Kemampuan Motorik
Salam Pendidikan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar