Rabu, 23 Maret 2005

BIAYA PENDIDIKAN : KENAPA HARUS GRATIS

Jika kita masih mempertanyakan mengapa biaya pendidikan harus gratis maka sebaiknya kita kembali ke tahun 1945 ketika kita memproklamirkan diri sebagai bangsa Indonesia yang merdeka yang bercita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya. Coba pikir, bagaimana mungkin kita akan dapat mencerdaskan bangsa ini jika untuk mendapatkan pendidikan dasar saja warganegaranya kesulitan karena pendidikan yang dikelola oleh pemerintah bukan hanya rendah kualitasnya tapi juga mahal harganya? Apa gunanya kita merdeka jika ternyata pendidikan dasar dengan kualitas burukpun harus kita peroleh dengan biaya mahal? Mana berkah kemerdekaan yang kita cita-citakan sejak setengah abad yang lalu tersebut? Apakah kita harus menunggu hingga satu abad baru cita-cita kemerdekaan tersebut bisa kita peroleh?
Cobalah tengok negara-negara maju atau negara-negara tetangga. Tanpa gembar-gembor :”Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.” “Prioritas utama pemerintahan kita adalah peningkatan kualitas SDM!”, “Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”, “Menuntut Ilmu adalah kewajiban sejak dalam buaian sampai liang kubur”, “Hanya dengan SDM yang berkualitas kita dapat membangun negeri ini,” dan berbagai jargon-jargon politik lain, mereka secara otomatis sejak semula sudah menggratiskan biaya pendidikan bagi warga negaranya. Di Sabah tetangga dekat kita saja sejak bayi lahir disana, entah Anda waraganegara atau bukan, sudah berhak untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan gratis. Apalagi di negara-negara maju macam Jerman, Inggris, Belanda, Australia, dll. Bahkan warganegara asingpun jika tinggal disana juga berhak mendapatkan pendidikan gratis. Bukan hanya pendidikan dasar tapi bahkan sampai perguruan tinggi. Nah! Apakah kita masih mau mengelak lagi dari kewajiban kita memberikan pendidikan dasar bagi warganegara kita sendiri?

“Tidak adil jika pendidikan gratis. Pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat” (Kaltim Post, 12 Januari 2005)

Jika pendidikan gratis itu tidak adil maka itu berarti kita mengatakan bahwa kebijakan yang dilakukan oleh negara-negara lain yang menggratiskan pendidikannya adalah TIDAK ADIL dan justru kita yang ADIL selama ini. Berarti konsep pendidikan gratis yang dianut oleh negara-negara lain selama ini adalah prinsip yang bertentangan dengan prinsip keadilan yang kita anut. Negara-negara tersebut telah melakukan KETIDAKADILAN terhadap warganegaranya. Kitalah justru pelopor keadilan karena kita tidak menggratiskan pendidikan dasar bagi warga kita. Sayang sekali bahwa pendapat itu tidak benar.
Dimanapun didunia ini pendidikan adalah tanggungjawab pemerintah dan masyarakat, termasuk biaya pendidikannya ditanggung bersama. Diluar biaya yang ditanggung pemerintah dengan menggratiskannya orang tua masih harus menanggung biaya pendidikan seperti : buku dan alat tulis sekolah, pakaian dan perlengkapan sekolah, akomodasi, transportasi, konsumsi, kesehatan, karyawisata, uang saku, kursus, dan iuran sekolah macam-macam. Jadi meski gratispun masyarakat (dalam hal ini orang tua) masih tetap harus mengemban tanggung jawabnya dalam pendidikan anaknya. Jadi ini tidak berarti kalau sekolah gratis lantas masyarakat lepas tanggung jawab terhadap pendidikan anaknya.

“Tapi bukankah struktur ekonomi penduduk kita berbentuk piramida terbalik dimana penduduk miskinnya hanya 5 % sedangkan sisanya termasuk mampu membayar biaya pendidikan? Nggak fair dong jika punya mobil Mercy tapi minta biaya pendidikannya disubsidi! “ (Kaltim Post, 11 Januari 2005)

Jika itu alasan yang dipakai maka jelas kita akan semakin jauh dari tujuan kemerdekaan kita semula. Pemerintah telah berubah menjadi perusahaan swasta dimana semua jasanya tidak lagi berorientasi kepada pelayanan tapi kepada pembayaran. Lantas apa gunanya pemerintahan yang dibiayai dari pajak dan kekayaan negara jika ternyata rakyat masih juga harus membayar untuk pendidikan dasarnya? Hak untuk memperoleh pendidikan bermutu tidak sama dengan BBM dimana semua orang harus membeli dan yang miskin masih harus disubsidi oleh pemerintah. Pendidikan adalah hak dasar yang dimiliki setiap rakyat yang mesti dipenuhi oleh pemerintahnya.
Apa artinya ‘piramida terbalik’ tersebut jika masyarakat di Kariangau, Tritip, dan Manggar masih harus membayar untuk pendidikan dasar dengan kualitas memprihatinkan? Bahkan di negara-negara maju dimana penduduknya sudah 100% kaya sekolah juga gratis. Kaya mana sih Balikpapan dengan Sabah dan Sarawak? Toh mereka menggratiskan pendidikan mereka bagi warganegara mereka. Di negara manapun yang namanya ‘public school’ atau sekolah negeri selamanya gratis. Meskipun ada anak konglomerat yang memiliki harta bertrilyun-trilyun bersekolah di sekolah publik maka ia berhak untuk memperoleh pendidikan gratis dan tak seorangpun akan berkata, “Wah! Nggak fair dong! Orang kaya kok disubsidi!” Itu pernyataan yang ‘aneh’ karena memang setiap anak berhak untuk memperoleh pendidikan gratis, siapapun itu tanpa diskriminasi. Ini adalah masalah hak dan bukan privilege. Bahkan di Sabah dan Sarawak, tetangga terdekat kita, sekolah swastapun gratis, bukan hanya sekolah pemerintah, karena disubsidi oleh pemerintah. Jadi tidak ada lagi anak usia sekolah yang tidak bersekolah karena faktor biaya karena orang tua bisa dihukum jika tidak menyeklahkan anaknya. Itulah konsep dasar dari Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar dikdas) yang kita masukkan dalam UU Sisdiknas.
Bukankah pejabat-pejabat pemerintahan kita selama ini berbondong-bondong ‘studi banding’ ke Sabah dan Sarawak ketika penerbangan MAS masih buka? Lantas apa hasil ‘studi banding’ tersebut jika ternyata kita tidak belajar hal-hal yang bermanfaat semacam ini bagi rakyat?

“Tapi kan ada subsidi untuk pendidikan dan kesehatan melalui berbagai skema macam program KELUARGA MISKIN,untuk memperoleh beasiswa pendidikan dan kesehatan sehingga mereka yang tidak mampu akan tetap memperoleh pendidikan dan kesehatan gratis” (Program GAKIN adalah program kota Balikpapan bagi keluarga miskin untuk memperoleh subsidi pendidikan dan kesehatan)

Terus terang, program subsidi sekolah bagi keluarga miskin itu sangat mengusik hati kecil kita. Lha wong untuk memperoleh pendidikan dasar dan kesehatan yang memang sudah semestinya menjadi haknya kok ya warganegara mesti ditempeli ‘cap’ KELUARGA MISKIN toh! Tidakkah itu suatu bentuk diskriminasi yang justru tidak berkeadilan dan harus kita hilangkan karena bertentangan dengan undang-undang Sisdiknas. Tidakkah istilah ‘warga miskin’ itu mengusik harga diri warganegara kita sendiri? Pernahkah kita meneliti apa dampak negatif dari ‘stempel’ warga miskin pada siswa-siswa kita. Mereka menjadi anak-anak yang terstigmatisasi dan memiliki self esteem yang rendah. Tak usah tanya mengenai prestasi akademis kalau sudah begitu. Citra diri yang rendah akan membuat orang kurang bertanggungjawab dan tidak mampu berprestasi dalam bentuk apapun. Prinsip “You can if you think you can.” Dan juga sebaliknya :”You cannot when you think you cannot.” Benar-benar berlaku disini. Karena sudah distempel termasuk golongan “CANNOT” maka mereka jelas tidak akan bisa melakukan prestasi apapun. Kita sudah meracuni pikiran mereka dengan stempel ‘WARGA MISKIN” tersebut!
Saya pernah tersentak mendengar cerita dari seorang teman saya yang keluarganya termasuk miskin tapi karena suatu kesalahan pencatatan dianggap keluarga mampu dan dimintai sumbangan perbaikan kampung setara dengan keluarga mampu. Teman saya tentu saja marah dan hendak protes kepada pejabat kampung. Tapi oleh bapaknya dicegah mati-matian karena ia ingin dan senang dianggap setara dengan keluarga-keluarga lain yang mampu, meskipun untuk itu ia harus mencari pinjaman kesana kemari untuk menutupinya. Ini menunjukkan bahwa harga diri dinilai lebih tinggi ketimbang kemudahan yang diperoleh dengan mengorbankan harga diri. Tak ada orang yang ingin disebut warga miskin jika bukan karena begitu terdesaknya mereka secara ekonomi.
Disamping masalah harga diri banyak warga miskin yang tidak melapor dan meminta kartu GAKIN karena tidak mau repot-repot mengurus sehingga mereka kehilangan hak mereka untuk mendapatkan subsidi pendidikan dasar. Statistik yang menyatakan warga miskin Balikpapan hanya 5 % sungguh perlu dipertanyakan kalau standarnya adalah kartu GAKIN tersebut.

“Sekolah gratis akan menghambat mutu pendidikan. Kalau begini kan tidak adil. Lagipula saya yakin, mereka yang kaya itu akan malu jika sekolah gratis.” (Kaltim Post, Sabtu 15 Januari 2005)

Ini adalah argumen yang menggelikan. Jika sekolah gratis itu akan menghambat mutu pendidikan maka semua negara maju tentunya tidak akan menerapkan kebijakan tersebut. Faktanya adalah : Semua negara maju, bahkan negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, dan Brunai kualitas pendidikannya jauh di atas kualitas pendidikan di negara kita padahal sekolahnya gratis, bahkan sampai perguruan tingginya. Indonesia, atau lebih spesifik Balikpapan, biaya pendidikannya tidak gratis dan bahkan mahal justru kualitas pendidikannya sangat terpuruk dibandingkan negara-negara tetangga sekalipun.
Pendidikan memang tidak murah. apalagi pendidikan yang berkualitas. Dibutuhkan biaya yang besar untuk menghasilkan kualitas pendidikan yang tinggi. Tapi biaya yang besar itu harus dibebankan pada pemerintah, dan bukan pada orang tua atau masyarakat, karena begitulah amanat undang-undang. Bukankah kita memberikan amanat kepada pemerintah untuk mengelola semua kekayaan negara? Bukankah kita telah membayar berbagai macam pajak, retribusi dan pungutan kepada permerintah agar dapat dikelolalnya untuk memenuhi amanat undang-undang tersebut melalui APBN dan APBD?
Samasekali tidak ada alasan untuk malu di sekolah gratis. Kita justru malu jika sekolahnya berkualitas buruk. Kalau tidak percaya tanyai semua anak-anak orang kaya apakah mereka malu atau tidak jika biaya sekolah mereka dibebaskan. Saya yakin jawabannya pasti :” Tidak!”.

“Pemerintah tidak mampu memberikan pendidikan gratis karena besarnya dana yang harus disediakan dan lagipula banyak hal lain yang juga memerlukan pendanaan secara mendesak juga.” (Kaltim Post, Selasa, 11 Januari 2005)

Setiap kali mendengar argumen ini saya tidak tahan untuk tidak menangis dalam hati. Ini artinya kita masih belum beranjak dari sikap tidak bertanggungjawab terhadap peran dan tugas kita kepada masyarakat. Jelas-jelas itu merupakan amanah yang harus kita emban kok ya kita dengan entengnya mengelak dari tugas dan kewajiban kita. Siapapun tahu bahwa itu pekerjaan yang maha berat, terutama bagi kota dan kabupaten yang miskin, tapi itu tidak berarti kita bisa mengelak dari tanggungjawab kita. Kita harus bekerja keras untuk mencapai itu sedikit demi sedikit, selangkah demi selangkah, tapi tetap dengan tekad untuk memenuhi amanat tersebut. Dan itu yang tidak kita lihat selama ini. “Karena sekarang tidak bisa kita capai ya sudah! Kita tidak usah repot-repot untuk mencapainya lha wong itu pekerjaan maha berat yang hanya Superman yang bisa kerjakan.” Itu sikap yang muncul pada kita. Barangkali ini ‘karma’ dari stempel GAKIN yang kita capkan pada warga kita sehingga kita ketularan menjadi golongan “CANNOT” dan tidak berusaha untuk “CAN”.
Kalau mau, akan ada banyak jalan untuk mencapai apapun yang kita inginkan. “Dimana ada kemauan, disitu ada jalan”, begitu kata anak saya yang baru belajar tentang pribahasa. Kalau tidak bisa sekaligus, ya lakukan secara bertahaplah. Yang penting ada usaha untuk menuju kesana dan tidak menutup pintu. Jika mau, bukankah kita bisa belajar pada mereka yang telah sukses memberikan pendidikan gratis pada warganya? Tak perlu jauh-jauh, Sabah dan Sarawak masih satu pulau dengan kita. Tapi kalau Sabah dan Sarawak terlalu tinggi mungkin kita cukup belajar ke Singaraja di Bali, Cilacap di Jawa Tengah, Bontang dan Kutai Kertanegara di Kalimantan Timur atau Sinjai di Sulsel. Disana mereka sudah menggratiskan biaya pendidikan bagi warganya. Padahal APBD mereka jauh lebih kecil daripada kita. Kita bisa belajar dari mereka bagaimana caranya mereka dapat menggratiskan pendidikan dengan APBD yang jauh lebih kecil daripada kita.
Nah! Alasan apalagi yang akan kita ajukan?

Balikpapan, 13 Januari 2005
Satria Dharma
Ketua Dewan Pendidikan Kota Balikpapan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar