Rabu, 23 Maret 2005

Dewan Pendidikan : The Mission Impossible

Kalau ada lembaga yang paling banyak dikecam dan dituntut tapi paling sedikit didukung barangkali Dewan Pendidikan akan menempati daftar teratas. Hal ini membuat Dewan Pendidikan seperti mengemban Mission Imposible.
Dewan ini mulanya terbentuk atas SK Mendiknas untuk membantu pemerintah dalam membenahi kualitas pendidikan kita yang semakin terpuruk dalam iklim birokratik dan sentralistik. Selain itu DPK dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Gerakan ini dimulai dengan adanya paradigma MBS Manajemen Berbasis Sekolah yang beranggapan bahwa peningkatan mutu dan relevansi pendidikan hanya dapat dicapai dengan demokratisasi, partisipasi, dan akuntabilitas pendidikan dimana masyarakat sebagai stake holder berperan penuh yang terwakili dalam bentuk lembaga yang bernama DP (Dewan Pendidikan) dan KS (Komite Sekolah).
Dengan kesadaran tersebut maka dibentuklah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah diseluruh Indonesia dengan berbekal SK dari walikota/bupati untuk DP dan SK kepala sekolah ditingkat sekolah. DP dan KS memiliki 4 fungsi yang hampir identik kecuali pada ruang lingkupnya yaitu sebagai Badan Pertimbangan, Badan Pendukung, Badan Pengontrol, dan Mediator di bidang pendidikan. Jika dijabarkan maka fungsi dan peran yang diberikan sangatlah luas dan besar. Dengan fungsi dan peran yang begitu besar tak salah jika kemudian masyarakat kemudian memiliki ekspektasi yang begitu besar pula terhadap lembaga ini. Selama ini masyarakat telah memendam kekecewaan yang besar dan mendalam terhadap kinerja Departemen dan Dinas Pendidikan dalam mengelola pendidikan yang dianggap gagal memenuhi tuntutan kebutuhan akan pendidikan yang berkualitas. Kualitas pendidikan kita yang semakin tahun semakin merosot dibandingkan negara-negara tetangga semakin membuktikan bahwa kinerja Departemen Pendidikan masih jauh dari harapan dan tuntutan masyarakat.
Jadi dengan berbekal SK tersebut berangkatlah para anggota DP dengan ‘gagah berani’ untuk melaksanakan tugasnya. Para anggota DP berpendapat bahwa lembaga mereka memang dikehendaki oleh pemerintah sehingga tentulah mereka akan dibantu dalam melaksanakan keempat fungsi dan perannya tersebut di masyarakat. But, alas, ternyata mereka dihadapkan dengan kenyataan bahwa SK tersebut ternyata hanya secarik kertas belaka dan tidak memiliki implikasi apa-apa terhadap pelaksanaan tugas mereka di lapangan. Dan yang lebih parah lagi adalah bahwa mereka tidak benar-benar diinginkan perannya.
Sebagai contoh, bagaimana mungkin lembaga ini bisa berfungsi jika kantor saja tidak disediakan oleh pemerintah kotanya? Jangankan lagi honorarium sedangkan dana operasional saja lembaga ini tidak diberi. Banyak DP yang beroperasi dengan menggunakan dana pribadi dari anggotanya lebih dahulu. Suatu hal yang mengherankan mengingat bahwa lembaga ini merupakan amanat dari undang-undang Sisdiknas dan diberi beban yang begitu besar. Syukurlah bahwa kemudian ada subsidi dari pemerintah pusat sebesar 60 juta pada akhir Desember lalu. Ini ibarat diberi tugas untuk menebang pohon tapi hanya diberi pisau dapur yang tumpul.
Bagaimana mungkin suatu lembaga baru dapat berfungsi jika para anggotanya bukanlah para ahli dibidangnya dan mereka tidak tidak pernah diberi otoritas untuk melaksanakan tugasnya ? Setelah dibentuk program ini dilepas begitu saja dan sampai saat ini belum ada rencana dari Depdiknas untuk menindaklanjuti fungsi dari lembaga ini. Padahal harapan masyarakat terhadap lembaga ini sudah terlanjut berkembang. Akhirnya adalah lembaga ini menjadi bulan-bulanan kecaman masyarakat yang menganggapnya ‘banci’, ‘tak bergigi’, ‘tidak aspiratif’, ‘tidak membumi’ dan berbagai tuduhan lain. DPK Balikpapan bahkan pernah dituntut untuk bubar baru beberapa bulan setelah kelahirannya karena dianggap tidak aspiratif, tidak memperjuangkan nasib guru swasta, tidak jelas programnya dan lain-lain. Bisa dimaklumi karena masyarakat sudah terlanjur percaya bahwa lembaga ini bisa menjadi ‘superbody’ yang akan dapat memecahkan semua permasalahan yang berhubungan dengan pendidikan : mulai dari anggaran pendidikan, kinerja kepala sekolah dan guru-gurunya, berbagai macam iuran dan tarikan sekolah, nasib guru swasta, tunjangan bagi guru honor, SPMB, konflik antara sekolah dan orang-tua, hingga kepada muatan lokal. Apapun masalah dalam pendidikan dibebankan pada Dewan Pendidikan untuk mengatasinya. Tentu saja! Bukankah itu tujuan dari dibentuknya Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah?

Kesulitan terbesar dari DP dan KS sebenarnya adalah kurangnya komitmen dari pemerintah untuk memberdayakan lembaga ini. Lembaga ini dibentuk oleh pemerintah pusat dengan setengah hati dan melepaskan begitu saja lembaga ini di setiap daerah tanpa membekalinya dengan berbagai perangkat untuk memberdayakannya. Kesan bahwa lembaga ini dibentuk sekedar untuk proyek menjadi tak terhindarkan. Pemerintah tidak memiliki konsep dan program yang jelas untuk memberdayakan lembaga bentukannya ini. Bahkan usulan agar Depdiknas membentuk suatu Forum DP sebagai suatu wadah bagi semua anggota DP untuk berkomunikasi saja tidak mendapat respon. Paling tidak kalau DP se Indonesia memiliki suatu Forum bersama maka mereka bisa memberdayakan diri mereka sendiri melalui forum tersebut. Mereka bisa saling berkomunikasi dan saling berbagi informasi dalam forum tersebut.
Di daerah masalahnya juga sama. Pemerintah daerah juga sama setengah hatinya dengan yang di pusat. Tak terelakkan memang. Jangankan lagi menjadikan DP sebagai Badan Pertimbangan dalam menetapkan suatu kebijakan di bidang pendidikan, mengundang DP dalam acara-acara kependidikan saja sering tidak dilakukan. Eksistensi Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah memang masih dipertanyakan. Ada tapi tiada. Kalau ada bantuan dari pusat ia ada (karena tandatangan dan stempelnya dibutuhkan) tapi setelah itu ia tiada.
Kalau kondisi ini tidak cepat-cepat diperbaiki maka sekian ratus DP di seluruh kota dan kabupaten di seluruh Indonesia yang telah didanai pembentukannya cukup mahal akan benar-benar mati tanpa pernah berfungsi.
Permasalahan eksistensi memang cukup rumit. Ada beberapa pertanyaan yang patut mendapat jawaban yaitu : Apakah lembaga ini benar-benar diperlukan dalam sistem pendidikan nasional kita di masa depan? Kalau ya bagaimana konsep ideal dan program yang akan dilakukan untuk memberdayakannya? Siapa yang bertanggungjawab dalam memberdayakan lembaga ini dan dimana peran pusat dan daerah bermain? Jika hanya pusat yang menginginkan sedangkan daerah tidak maka tidak ada gunanya. Dalam beberapa kasus seringkali Pemerintah Daerah dan Dinas Pendidikan justru nampak tidak menghendaki adanya DP yang ‘powerful’. Beberapa kepala daerah bahkan mewanti-wanti DP agar tidak melakukan kegiatan operasional yang bisa tumpang-tindih dengan fungsi Dinas Pendidikan, bahkan sebelum DP melakukan kegiatan apapun! Beberapa Komite Sekolah bahkan dimusuhi oleh sekolah ataupun yayasan dimana ia berdiri. Mereka dianggap hanya akan merecoki tugas sekolah. Hampir semua sekolah swasta tidak merespon adanya keharusan untuk memiliki KS ini. Ataupun kalau ada KS tersebut hanyalah ’boneka’ dari sekolah dan yayasan.
Bagaimana mekanisme agar DP ini bisa berperan sesuai dengan fungsi yang diembannya? Dimana wilayah geraknya? DP tidak mungkin dapat memberikan pertimbangan, memberikan dukungan, melakukan kontrol dan mediasi di bidang pendidikan jika memang tidak diberi ruang gerak dan otoritas dalam mekanisme kerja di bidang pendidikan. Jika itu yang terjadi maka DP hanya akan jadi oposan yang hanya bisa berteriak dari luar jika melihat sesuatu yang kurang tepat di bidang pendidikan.
Masalah lain yang cukup klasik adalah masalah pendanaan. Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab untuk mendanai beroperasinya lembaga ini ? Pemerintah pusat ataukah daerah ? Berapa besar dana yang dibutuhkan oleh lembaga ini? Apa saja program dan kegiatan yang bisa didanai oleh lembaga ini? Perlukah memberi honor pada anggotanya? Jika tidak ada honor bagaimana mekanisme yang dibutuhkan agar anggotanya mau melaksanakan tugas-tugasnya secara sukarela? Perlu dipahami bahwa hampir semua anggota DP/KS adalah ‘volunteer’ yang ‘part-timer’. Hal ini dapat menyebabkan tidak berfungsinya lembaga ini karena kita tidak dapat menuntut seseorang untuk berfungsi dan berperan secara maksimal jika kita tidak memberinya imbalan. Secara bergurau seorang anggota DP berkomentar “Sedangkan anggota DPRD yang mendapat gaji dan fasilitas yang melimpah saja tidak pernah dipertanyakan kinerjanya, lha kok kita yang justru harus berkorban dituntut maksimal. Yang bener aja!”

Lantas bagaimana DP/KS bisa survive dengan kondisi begini? Memang hanya DP dan KS yang benar-benar gigihlah yang masih bisa.bertahan dalam suasana dan kondisi yang begini. Meskipun dengan kondisi tertatih-tatih dan penuh cemooh. Meski belum ada penelitian penulis berani bertaruh bahwa hanya ada segelintir DP dan KS yang masih dapat berfungsi dan berperan sampai saat ini. Lainnya sudah mati suri.
Lantas apa yang harus dilakukan untuk membedayakan DP dan KS? Peran pemerintah baik pusat maupun daerah sangatlah besar. Tanpa komitmen yang sungguh-sungguh dan kemauan politik dari mereka untuk memberdayakan DP dan KS lembaga ini tidak akan mungkin bisa berfungsi dan berperan. Bagaimana mungkin DP dapat memberikan pertimbangan, dukungan, kontrol, dan mediasi jika diakui saja tidak? Salah satu indikator kinerja KS yaitu memberikan masukan untuk penyusunan RAPBS, memberikan pertimbangan perubahan dan ikut mengesahkan RAPBS bersama kepala sekolah, umpamanya, tidak akan mungkin bisa dilakukan jika Dinas Pendidikan dan sekolah tidak menghendaki KS masuk ke dalam ’wilayah’ mereka. Beberapa teman pengamat pendidikan tertawa sinis melihat peran ini. Katanya,”Mana mungkin Dinas Pendidikan dan Sekolah mau dicampuri urusannya dalam masalah ini? Jangankan berbagi wewenang dengan sukarela, dipaksapun belum tentu mereka mau memberi. Kita hanya menunggu Godot.”. Suatu realita yang perlu dipertimbangkan.
Pemerintah hendaknya sadar bahwa Dewan Pendidikan bukanlah ‘bayi ajaib’ yang begitu dilahirkan bisa dilepas untuk hidup dan besar sendiri tanpa diberi apapun dan secara ajaib memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas yang maha berat yang oleh Departemen Pendidikan dan Dinas Pendidikan sendiripun sudah kesulitan mengembannya.
Melalui tulisan ini penulis berharap agar pemerintah benar-benar menunjukkan komitmennya yang kuat dalam memberdayakan lembaga DP dan KS ini agar harapan masyarakat yang telah terlanjur besar tersebut dapat memperoleh wadah yang efektif. Konsistensi pemerintah dalam melaksanakan program-programnya sangatlah diharapkan.

Balikpapan, 18 Februari 2004

Satria Dharma
Ketua Dewan Pendidikan Kota Balikpapan
satriadharma2002@yahoo.com
Jl. S. Parman 14 Balikpapan
Telp : 0542-391158
Fax : 0542-391156

Tidak ada komentar:

Posting Komentar