(dimuat di harian Pikiran Rakyat, 26 Maret 2006)
UJIAN kesetaraan paket A, B, dan C baru-baru ini sudah dilaksanakan secara serentak. Uniknya, ujian kesetaraan tahun ini tidak hanya diikuti oleh mereka yang mengikuti sekolah terbuka atau nonformal, melainkan juga siswa sekolah formal yang tahun ini tidak lulus ujian nasional.
Bagi anak-anak dari sekolah formal, ujian kesetaraan itu mungkin menyisakan sedikit rasa kecewa. Mereka jelas membayar jauh lebih mahal untuk seluruh kegiatan belajar yang sudah dilakukan jika dibandingkan teman-temannya dari sekolah terbuka; namun penentuan kelulusan sama-sama ditetapkan oleh ujian kesetaraan.
Fenomena tersebut mungkin tampak tidak adil bagi mereka yang memilih sekolah formal. Namun bagi para pelaku atau peminat pendidikan alternatif peristiwa itu memberikan semacam kekuatan untuk terus berkreasi dengan model-model baru pembelajaran.
Ketika awalnya sekolah terbuka atau sekolah nonformal hanya dipandang sebelah mata, namun ujian kesetaraan yang berlaku umum membuat model sekolah tanpa gedung ini patut dipertimbangkan sebagai sebuah pilihan. Tentu saja bukan lagi selalu biaya yang menjadi alasan untuk memilihnya, melainkan juga sudut pandang subjektif lainnya, seperti kualitas kurikulum, kualitas guru, atau kualitas metode pengajaran di sekolah yang dianggap kurang efektif.
Model pendidikan tertua
Pendidikan formal baru terselenggara selama kurang lebih 150 tahun. Itulah model pendidikan era revolusi industri yang secara berangsur-angsur menggantikan hampir seratus persen model pendidikan tradisional yang biasanya dilakukan oleh keluarga di rumah-rumah mereka. Meskipun terus menyisakan banyak persoalan, keberadaan pendidikan formal hingga kini masih dianggap sebagai solusi bagi mereka yang peduli terhadap pendidikan, namun memiliki keterbatasan waktu atau ilmu untuk mengajar anak-anaknya.
Sebelum jenis pekerjaan di sektor formal bermunculan, kebutuhan akan pendidikan formal belum terlalu besar. Kurikulum atau muatan pendidikan lebih dititikberatkan kepada life skills (keterampilan hidup) sebagai bekal untuk memenuhi keperluan hidup serta etika perilaku yang didasarkan atas nilai-nilai agama ataupun adat kebiasaan masyarakatnya masing-masing. Proses belajarnya sendiri dilakukan di rumah masing-masing oleh orang tua ataupun keluarga besar. Hanya ketika anak-anak dianggap perlu memiliki keterampilan tambahan, orang tua mengirimnya "berguru" kepada orang-orang yang memang ahli di bidangnya.
Film Minggu siang berjudul, Little House on the Prairie yang pernah ditayangkan TVRI sekitar tahun 80-an silam menggambarkan kehidupan orang Amerika pada tahun 1870-an. Keluarga Charles yang dijadikan tokoh dalam cerita film itu adalah model keluarga harmonis yang menyukai belajar. Hal-hal pokok pendidikan pada masa itu, seperti prinsip-prinsip moral, bertani, beternak, dan keterampilan menjahit untuk wanita, semua dilakukan di rumah, dengan ayah-ibu sebagai gurunya. Baru ketika anak-anak dianggap perlu untuk belajar membaca dan menulis, orang tua mengirimnya ke sekolah.
Kalau kita menelusuri biografi para tokoh berpengaruh di masa lalu, sesungguhnya mereka pun ditempa oleh pendidikan "rumah" terlebih dahulu sebelum akhirnya merantau untuk berguru ke berbagai pelosok tempat. Dasar-dasar pendidikan dikuatkan di dalam keluarga, sehingga ketika anak-anak itu sudah dewasa, mereka mampu terus membawa spirit belajar ke mana pun mereka pergi. Mereka bisa belajar kepada banyak guru dari beragam disiplin ilmu, tanpa harus melewati jalur birokrasi yang rumit.
Oleh karena itulah, kalau homeschooling kini dilirik kembali sebagai sebuah model pendidikan, sebenarnya hal itu sangat memungkinkan dan bukan hal yang aneh.
Karena model pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan setiap anak sesungguhnya hanya bisa dipenuhi oleh orang yang peduli dan sangat memahami anak-anak tersebut. Dan tidak ada orang yang paling peduli dan paham tentang anak-anak, kecuali orang-orang yang mengasuhnya; dan jika anak-anak itu diasuh oleh orang tuanya, tentu orang tualah yang paling mengerti mereka.
Kurikulum yang fleksibel
Secara substansi, materi pelajaran ala sekolah formal bisa diadaptasikan dengan mudah di mana pun, termasuk di rumah. Bahkan ada banyak kelebihan yang bisa diperoleh jika itu dilakukan di rumah, yaitu terlaksananya pembelajaran secara individual. Dengan pembelajaran individual, guru akan lebih mudah mengamati keterserapan materi pelajaran oleh siswa. Oleh karena itu pula, siswa dapat menguasai pelajaran apa pun secara mendalam, karena waktu yang tersedia untuk bertanya dan menemukan jawaban jauh lebih banyak dibandingkan mereka yang belajar di sekolah secara klasikal dengan murid yang mencapai puluhan orang.
Selain itu, pendidikan di rumah memungkinkan orang tua sebagai guru utama, bisa menetapkan muatan-muatan tambahan pada setiap pelajaran, dan bahkan bisa memperkaya kurikulum pembelajaran dengan tambahan pelajaran lain yang mungkin tidak bisa diperoleh di sekolah. Semua didasarkan kepada kebutuhan setiap anak, sesuai minat dan bakatnya.
Orang tua yang siap menjadi pembimbing dalam proses belajar anak-anaknya memang akan sedikit lebih sibuk dengan buku dan sumber-sumber pengetahuan lainnya. Karena anak-anak yang belajar di rumah biasanya memiliki rasa ingin tahu lebih banyak terhadap apa yang mereka temui. Satu hal yang menarik, seperti pengalaman ratusan pelaku homeschooling di Amerika yang dituturkan Linda Dobson dalam bukunya "Homeschooling: The Early Years", guru (dalam hal ini orang tua) lebih sering menempatkan dirinya bukan sebagai pemecah persoalan atau pemberi jawaban. Guru hanya memosisikan dirinya sebagai pemandu yang mungkin juga masih harus belajar lagi ketika data atau kesimpulan tidak bisa ditemukan. Guru tak segan untuk berkata "tidak tahu" dan selanjutnya mengajak anak-anak untuk bersama-sama mencari tahu.
"Fun", itulah kuncinya. Temuan Jeanette Vos dan Gordon Dryden tentang pembelajaran semakin menguatkan kelebihan pembelajaran individual yang paling mungkin dilakukan di rumah. Vos dan rekannya tersebut mengatakan, bahwa belajar akan efektif jika dilakukan dalam situasi yang menyenangkan. Kondisi itu hanya bisa terwujud jika guru dan muridnya berada dalam keadaan senang mengajar dan ingin belajar.
Jadwal belajar yang ketat seperti halnya di sekolah kurang mampu mengakomodasikan kepentingan ini. Bisa jadi, pada saat pelajaran berlangsung, siswa dan juga gurunya sedang malas untuk belajar. Efeknya tentu bisa kita tebak, proses belajar-mengajar menjadi tidak efektif. Esensi pelajarannya pun, mungkin terbang tanpa sempat "tertangkap" otak.
Berorientasi kepada anak
Pengelompokan anak-anak berdasarkan usia seperti halnya di sekolah formal hampir tidak pernah terjadi dalam pendidikan di rumah. Bahkan seringnya, anak-anak dibiarkan berkembang sesuai kemampuannya, bisa lebih cepat dari usia rata-rata anak pada umumnya, atau mungkin juga lebih lambat. Fokus orang tua adalah membantu anak-anaknya untuk terus berkembang sesuai dengan kemampuan mereka.
Bobot pelajaran ditingkatkan ketika anak-anak dianggap sudah siap untuk maju. Pelajaran diberikan ketika anak merasa siap untuk mempelajarinya. Anak usia 4 tahun yang belum ingin menulis, tak perlu dipaksa untuk menulis. Karena bisa jadi, motorik halusnya belum sempurna. Mereka bisa diarahkan untuk melakukan hal-hal yang berhubungan dengan persiapan menulis, seperti bermain lempung, meronce manik-manik, atau bermain air dan pasir. Semua dirancang sangat dinamis, dan dalam hal ini anak-anak dipandang sebagai subjek, dan bukan objek dalam belajar.
Payung hukum
Amerika merupakan salah satu negara yang sudah secara terbuka menerima konsep pendidikan di rumah, dengan menyediakan layanan ujian penyetaraan untuk setiap anak dari beragam usia. Di Indonesia sendiri, ujian persamaan paket A, B, dan C untuk sementara ini cukup membantu masyarakat pelaku homeschooling untuk mengurus legalisasi pendidikan anak-anak mereka, walaupun hal itu sebenarnya bukan target utama. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar