Suatu hari saya naik angkot dari Riung Bandung menuju Dago. Dalam perjalanan saya bersebelahan dengan dua orang remaja. Dari pembicaraan mereka, nampaknya mereka baru lulus SMU.
Perbincangan bergulir hingga cerita tentang ujian yang bikin deg-degan. Sebelum hari itu, saya sempat berpikir bahwa berita-berita di koran tentang kecurangan UN hanyalah berita yang bikin rame. Tapi dari pembicaraan kedua remaja yang berlainan sekolah itu, saya akhirnya percaya bahwa praktek-prakter tidak jujur dalam ujian memang terjadi dan bahkan seakan didukung oleh sekolah. Semua dilakukan karena mereka tidak mau gagal dalam ujian. Masa depan mereka tergantung sekali pada hasil UN.
Sekilas saya dengar, bahwa mereka melakukan beragam cara agar bisa lulus. Banyak strategi yang mereka buat, dari menyimpan jawaban soal di penyerut pensil sampai di sapu tangan.
Waah! apa memang begini yang namanya pendidikan?
Melihat fenomena itu, rasanya saya semakin yakin, bahwa sekolah formal tidak cocok untuk anak-anak saya.
Biarlah anak-anak saya belajar di mana saja, tanpa seragam, tanpa gedung khusus, tanpa penilaian.
Dari sekian kelebihan sekolah formal, saya melihat ada hal yang terlalu substansial untuk ditolerir yaitu lemahnya integritas.
Tanpa integritas, anak-anak akan lebih menghamba pada penilaian materialistik dan meninggalkan penilaian transenden.
Bukankah kecurangan, korupsi, dan manipulasi yang merajalela di negeri ini juga diakibatkan oleh lemahnya integritas?
Oleh karena itu, setidaknya hingga saat ini, biarlah anak-anak belajar tanpa sekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar