Minggu, 05 Agustus 2007

Bersekolah di Gerbong Kereta


Totto-chan berhenti melangkah ketika melihat gerbang sekolah baru itu. Gerbang sekolahnya yang dulu terbuat dari pilar-pilar beton yang halus. Nama sekolah tertera di sana dengan huruf-huruf besar. Tapi gerbang sekolah baru ini hanya terdiri atas dua batang kayu yang tidak terlalu tinggi. Kedua batang itu masih ditumbuhi ranting dan daun. Ini tumbuh,” kata Totto-chan. “Mungkin akan terus tumbuh sampai lebih tinggi dari tiang telepon!”. Kedua “tiang gerbang” itu memang pohon hidup, lengkap dengan akar-akarnya. Ketika berjalan mendekati tiang-tiang tersebut, Totto-chan harus memiringkan kepalanya untuk membaca nama sekolah, karena papan namanya terpasang miring akibat tertiup angin. “To-mo-e Ga-ku-en”.

Penggalan cerita di atas adalah hasil goresan pena Tetsuko Kuroyanagi dalam bukunya berjudul Totto-chan, Gadis Cilik di Jendela. Sebuah buku yang mengangkat kisah nyata sang penulis semasa kecil, dengan kenangan-kenangan manis, lucu, sekaligus mengharukan selama ia bersekolah di gerbong kereta. Buku ini menorehkan sejarah baru dalam dunia penerbitan di Negeri Jepang karena mampu terjual hingga 4,5 juta eksemplar dalam setahun.

Buku setebal 271 halaman yang diterbitkan oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama ini sangat menarik untuk dikaji, mengingat kegiatan bersekolah yang kita temui hari ini ternyata sudah semakin jauh dari kata “menyenangkan”. Belajar di sekolah seringkali hanya menjadi sebuah beban, yang kebanyakan motifnya lebih karena dipaksakan.

Sosaku Kobayasi, sang kepala sekolah tempat Totto-chan belajar adalah figur dari seorang konseptor pendidikan yang maju. Ia mencoba memahami anak-anak sedemikian rupa, sehingga lahirlah gagasan-gagasan pembelajaran yang mampu menghidupkan naluri belajar setiap anak sampai pada taraf kecintaan pada belajar itu sendiri. Anak-anak selalu antusias belajar tanpa harus didorong oleh motivasi supaya mendapat nilai tinggi atau lulus dalam ujian.

Gerbong Kereta yang Penuh Kejutan

Totto-chan adalah murid baru di Tomoe. Sebelum bersekolah di Tomoe, Totto-chan dianggap sebagai anak nakal. Ia selalu nampak melamun di kelas, namun kadang-kadang asyik mengobrol dengan sepasang burung walet ketika gurunya sedang mengajar. Sering ia berdiri di depan jendela untuk memanggil para pemusik jalanan memainkan alat musiknya. Berkali-kali gurunya terpaksa menghentikan sementara kegiatan belajar sampai para pemusik jalanan itu selesai bermain, karena anak-anak lain di kelasnya juga berebut menuju jendela untuk melihat tontonan itu. Akibat perilaku-perilakunya yang dianggap mengacaukan kelas, Totto-chan akhirnya dikeluarkan dari sekolah pertamanya itu.

Hal yang berbeda justru terjadi di Tomoe. Sekolah yang dibuat dari gerbong kereta ini, telah membuat Totto-chan yang mulanya dianggap “bermasalah” justru bisa menjadi begitu manis. Gadis kecil itu selalu bersemangat untuk belajar setiap hari, bahkan ia selalu merasa waktu berputar terlalu lama di malam hari. Ia ingin hari segera pagi supaya bisa secepatnya pergi ke sekolah.

Mengapa Totto-chan senang dengan sekolah barunya? Rupanya hal itu bukanlah sebuah kebetulan. Setiap hari di Tomoe Gakuen, gadis itu selalu mendapatkan banyak kejutan. Anak-anak selalu menemukan pelajaran-pelajaran baru yang disajikan dengan cara yang mengasyikan dan merangsang rasa ingin tahu. Tak heran jika setiap murid Tomoe akhirnya memendam rasa penasaran ketika sekolah usai. Dalam hati mereka selalu bertanya, kejutan apa lagi yang akan mereka temui esok hari?


Berorientasi pada Praktek
“Inilah guru kalian hari ini. Dia akan mengajarkan banyak hal kepada kalian.” Dengan kata-kata itu, kepala sekolah memperkenalkan seorang guru baru. Totto-chan mengamati guru itu dengan seksama. Kesan pertamanya, guru itu tidak berpakaian seperti guru. Di luar kaus dalamnya ia mengenakan kemeja lengan pendek bermotif garis-garis. Dia tidak berdasi dan lehernya berkalung handuk. Celana panjangnya terbuat dari kain katun celup warna biru. Pipa celananya sempit dan penuh tambalan.. di kepalanya bertengger topi jerami yang sudah usang…”

Mr. Kobayashi sering mengabaikan hal-hal yang bersifat formal demi pembelajaran yang lebih bermakna bagi murid-muridnya. Itulah yang ia lakukan ketika ia hendak memberikan pelajaran tentang pertanian. Ia tak segan memilih seorang petani tulen yang mungkin tak pernah kenal bangku sekolah untuk menjadi guru bagi murid-murid di Tomoe dalam ilmu pertanian. Ia berpendapat bahwa akan lebih baik bagi anak-anak jika mereka belajar dengan langsung mempraktekkannya.

Sang guru pun segera mengajar di lapangan, di sebuah lahan berumput, agar anak-anak bisa melihat dan melakukan langsung tahapan-tahapan dalam bertani, dari mulai membersihkan rumput liar hingga menanam, menyiram, memupuk, dan memelihara tanaman yang tumbuh. Bagi anak-anak pengalaman itu sangat menakjubkan dan membuat mereka benar-benar bersemangat untuk mengamati setiap perubahan dan pertumbuhan dari tanaman yang telah ditanam. Satu hal lainnya yang terjadi karena kegiatan itu, anak-anak belajar menghargai siapapun yang memberikan ilmu kepada mereka sekalipun guru itu bukanlah seorang lulusan akademi yang berijazah.

Ketika pelajaran musik berlangsung, Mr. Kobayashi mempersilakan anak-anak untuk mempergunakan lantai kelas-gerbong mereka, yang dilapisi kayu, untuk dijadikan “kertas”. Dengan mempergunakan kapur, sambil tengkurap di lantai gerbong, anak-anak belajar menuliskan not yang dimainkan Mr. Kobayashi lewat piano. Jika ternyata masih salah, mereka dengan segera bisa menghapusnya. Sisa waktu yang mereka miliki sebelum jam pelajaran musik usai juga bisa dipergunakan untuk corat-coret bebas. Pelajaran ditutup dengan kegiatan bergotong royong menghapus semua coretan, mempergunakan kain pel yang sudah tersedia di sekolah.

Siapa sangka, kegiatan corat-coret itu ternyata berdampak sangat positif bagi anak-anak ketika mereka berada di luar sekolah. Secara berangsur-angsur, puasnya mereka melakukan corat-coret di sekolah membuat mereka tak lagi berminat untuk mencorat-coret sembarangan di dinding bangunan orang lain.

Melejitkan Rasa Percaya Diri
Bagaimana jadinya jika seorang anak ternyata terlahir cacat atau mengalami kecelakaan sehingga ia terpaksa menjadi anak cacat? Tidak banyak sekolah umum yang mampu melayani kekhususan mereka sehingga anak-anak itu tetap merasa berarti di tengah-tengah kawan-kawannya yang bertubuh normal.

Sosaku Kobayashi sangat peduli pada kondisi psikis anak-anak, terlebih pada anak-anak dengan keadaan khusus. Ia menciptakan situasi sekolah yang secara tidak langsung telah menumbuhkan rasa percaya diri pada murid-muridnya. Ia menunjukkan kepada semua anak, termasuk anak-anak cacat, bahwa mereka itu sama. Bentuk fisik anak-anak yang beraneka macam bukanlah halangan untuk belajar, dan bukan pula ukuran untuk menilai seseorang. Ia menekankan pada murid-muridnya bahwa setiap anak memiliki keistimewaan.

Hal itu ditunjukkan pada sebuah festival yang diselenggarakan sekolah. Pada waktu itu dibuatlah berbagai lomba ketangkasan. Uniknya, pemenang pertama dari semua lomba itu selalu sama, yaitu seorang anak yang bertubuh paling kecil dan pendek. Ia mampu memenangkan perlombaan justru karena tubuhnya yang khusus. Ternyata Mr. Kobayashi sengaja membuat permainan-permainan yang memungkinan anak itu untuk menang, dengan harapan perasaan minder yang menghantuinya bisa memudar.

Sosaku Kobayashi bahkan pernah menegur dengan keras seorang guru di Tomoe karena sang guru mengucapkan kata-kata yang menyinggung ketidaknormalan seorang muridnya di depan murid-murid yang lain. Tidak ada yang mampu melakukan semua itu, melainkan orang yang sangat peduli dan sangat mencintai murid-muridnya.

Ruang untuk Rasa Ingin Tahu
Sekolah sering disebut-sebut sebagai tempat untuk menuntut ilmu pengetahuan. Sayangnya, tak banyak sekolah yang memberi ruang cukup bagi murid-muridnya untuk memuaskan rasa ingin tahu mereka.

Tentu saja akan begitu, karena waktu yang tersedia di sekolah jauh lebih sedikit dibandingkan target materi dan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin berhamburan di otak murid-muridnya yang berjumlah puluhan.

Uniknya, Tomoe mampu memberikan ruang itu bagi setiap muridnya. Anak-anak di Tomoe boleh memilih apa yang ingin dipelajarinya terlebih dahulu, sesuai dengan minat mereka.

Ketika pelajaran dimulai di pagi hari, guru menyiapkan daftar pertanyaan mengenai apa yang akan diajarkan pada hari itu. Guru akan mempersilakan anak-anak untuk memilih pelajaran apa yang akan mereka pelajari terlebih dahulu. Setiap anak boleh memilih pelajaran yang berbeda. Anak-anak yang ingin belajar fisika segera sibuk dengan tabung-tabung percobaan dan mencatat hasil temuan mereka.
Anak-anak yang suka mengarang, mereka sibuk menulis sesuatu. Sementara itu, anak-anak yang ingin belajar biologi, mereka asyik mengidentifikasi tumbuhan atau hewan.

Anak-anak itu begitu antusias dan jelas tidak khawatir kalau rasa penasaran mereka akan terjegal oleh pilihan topik yang ditetapkan guru, sebagaimana umumnya kita temui di sekolah biasa.
Setiap anak akhirnya belajar secara mandiri. Mereka sibuk dengan kegiatannya masing-masing tanpa harus saling mengganggu. Sebagian ada yang menggambar, dan yang lainnya mungkin membaca buku.

Guru akan mendatangi setiap anak jika diminta, dan menjelaskan segala hal yang diperlukan hingga anak itu benar-benar mengerti.

Inspirasi untuk Perubahan
Buku, yang edisi terjemahannya di Indonesia sudah mencapai cetakan kesebelas pada September 2006 ini, telah memberikan inspirasi bagi para pendidik di negeri Jepang untuk membuat perubahan-perubahan yang lebih baik dalam pembelajaran di sekolah. Buku ini bahkan dijadikan bacaan wajib bagi para guru, terutama pada pelajaran pertanian, musik, dan para guru di sekolah luar biasa.

Pada saat orang-orang Jepang merasa jemu dengan sistem pendidikan yang berlaku pada waktu itu, mereka seperti disegarkan oleh model sekolah ala Totto-chan yang dirancang Sosaku Kobayashi. Bagi siapa saja yang membutuhkan inspirasi untuk menciptakan model sekolah yang lebih dinamis, mutlak perlu membaca buku ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar