Kamis, 23 Agustus 2007

Membuat Anak Cinta Belajar

"Mama, ajarin Kakak corel draw, ya!" pinta Azkia (5 tahun), anak pertama saya, suatu hari. Saya bilang, "ya,". Walaupun saya tidak begitu mahir, tapi lumayanlah kalau cuma bikin desain sederhana.

Permintaan itu diulang hingga tiga hari berikutnya karena saya selalu lupa. Ketika tadi pagi saya ingat, meskipun sambil masak saya sempatkan jadi tutor sebentar. Buka programnya sih tak perlu lagi diajarkan, dia sudah bisa sendiri.

Nah, beberapa langkah saya ajarkan, dari membuat kotak dan lingkaran lalu diwarnai dengan efek warna bervariasi. Ya, langsung deh dia jalan sendiri. Ajaibnya, efek warna yang saya ajarkan malah tidak dia pakai. Dia melompat dengan mempergunakan efek warna yang lain, dan saya sendiri belum pernah mencobanya.Dalam hati sih geli juga. Kok bisa ya?

Begitu alami minat belajar anak-anak hingga kadang-kadang orang dewasa pun bisa terkagum-kagum. Akan tetapi, hal itu ternyata bukanlah hadiah gratis tanpa usaha. Kecintaan terhadap belajar lahir dari banyaknya kesempatan untuk mencoba.

Dulu saya baru belajar komputer ketika lulus SMA, itu pun baru program wordstar, lotus, dan Dbase. Kenal mouse dan program windows justru ketika mepet karena harus menyelesaikan skripsi. Waah, telat sekali ya. Nah, anak-anak sekarang, hanya dengan melihat dan mencoba, tanpa teori, tanpa modul dan papan tulis, mereka bisa mengoperasikan program MS.Office dan sebagainya dengan cepat.

Apa yang membedakan saya dengan anak-anak saya atau orang-orang yang pintar dengan orang-orang yang tidak pintar? Saya bisa mengatakan dengan yakin, "KESEMPATAN!". Bukankah setiap anak itu sesungguhnya terlahir dengan potensi cerdas. Seperti apa cetak biru anak setelah dewasa justru diproses pada masa kecil.

Semakin banyak kesempatan yang dimiliki anak untuk mencoba berbagai hal, maka ia makin tertarik untuk tahu lebih banyak. Makin sedikit kesempatan yang disediakan orang tua untuk mencoba, makin terkikis pula rasa ingin tahu anak terhadap banyak hal. Jelas sekali, ketika rasa ingin tahu itu hilang, maka anak-anak tak punya modal untuk menyukai belajar.

Pada beberapa keterampilan, saya melihat kemajuan anak-anak memang bergerak sesuai kemampuan dan kemauannya. Kita tidak bisa memaksa mereka, karena hal itu hanya akan membuat mereka berontak. Hal yang perlu kita lakukan adalah tak bosan menyediakan bahan walaupun pada awalnya mungkin tak pernah mereka pedulikan.

Ketika saya mulai memperkenalkan keterampilan mewarnai gambar pada Azkia saat ia berusia 3 tahun, saya lihat ia hanya membubuhkan satu coretan kecil di gambarnya. Sedikit heran juga melihat hal itu. Akan tetapi, saya mencoba untuk tidak bosan memberinya gambar dan kertas, sehingga ia terus berlatih sendiri; tak pernah dinilai atau dicela meski warnanya selalu belum penuh dan masih keluar garis.

Waktu berlalu, kini setelah usianya menjelang 5 tahun ternyata ia tak hanya bisa mewarnai gambar dengan indah, tapi juga mampu membuat gambar dan mewarnainya sendiri.

Oleh karena itu, ketika hal yang sama berulang pada adiknya, saya tak lagi heran. Saya tetap rela menghamburkan kertas ketika ia ingin print gambar-gambar di komputer untuk diwarnai atau corat-coret walaupun tak jelas bentuknya. Saya yakin, suatu saat ia akan berminat dan bisa melakukannya dengan baik meskipun saya tidak tahu kapan persisnya.

Pendidikan rumah memang memungkinkan orang tua untuk menerapkan sikap fleksibel itu dalam segala hal. Anak-anak belajar sesuatu karena mereka memang menginginkannya dan bukan karena guru menyuruhnya. Hasilnya? Jelas akan berbeda. Sesuatu yang dilakukan dengan rasa suka dan sepenuh jiwa biasanya juga menebarkan karya yang lebih berwarna dan menjadi inspirasi bagi orang lain. Bukan kita yang meminta anak-anak untuk belajar, tapi anak-anaklah yang meminta kita untuk mengajari mereka.

Salam pendidikan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar