Kamis, 16 Agustus 2007

PAUD Berbasis Rumah



Pemerintah, lewat Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Departemen Pendidikan Nasional (Dediknas), sedang gencar mensosialisasikan pentingnya pendidikan untuk anak usia dini (PAUD). Hal itu tentu sangat positif, karena memeratakan PAUD adalah bagian yang tak terpisahkan dari upaya meningkatkan kualitas generasi penerus kita.

Mendidik anak usia dini ibarat meletakkan pondasi yang kokoh bagi kehidupan anak-anak secara pribadi dan kelangsungan generasi suatu bangsa secara kolektif. Hasilnya mungkin tidak bisa kita lihat dan rasakan dalam sekejap, namun setelah anak-anak tumbuh dewasa, pondasi yang dibentuk di masa kecil itu akan sangat terasa manfaatnya.

Sayangnya, PAUD yang populer di masyarakat lebih identik dengan Play Group dan Taman Kanak-Kanak (TK) dibandingkan pendidikan “rumahan”. Wajar pula kalau program pemerataan PAUD lebih diarahkan untuk memperbanyak jumlah Play Group dan TK atau bentuk-bentuk pendidikan klasikal lainnya daripada mengembangkan unit-unit pendidikan bagi orang tua. Padahal kita tahu bahwa pendidik terbaik untuk anak-anak balita atau anak prasekolah adalah orang tuanya.



Sekalipun ada institusi khusus yang menangani pengembangan kemampuan anak usia dini, seharusnya itu hanyalah pelengkap. Walau bagaimanapun waktu yang dihabiskan anak-anak di rumah jauh lebih banyak dibandingkan di sekolah. Berdasarkan fakta tersebut, tentu pengetahuan orang tua tentang kegiatan dan pembelajaran menarik di rumah justru sangat penting untuk dikembangkan.


Masalah yang biasanya dihadapi para ibu pemula adalah kurangnya informasi dan skill dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak balitanya. Hal itu bisa dimaklumi, karena sebagian besar orang tua tidak mempersiapkan dirinya untuk menjadi orang tua. Menjadi ayah atau ibu tampak begitu alamiah, sehingga nyaris semua orang tidak menganggap perlu untuk mencari tahu terlebih dahulu tentang ilmu-ilmu keayahbundaan sebelum mereka menikah. Tak heran jika para ibu-ayah pemula akhirnya dikejutkan oleh persoalan-persoalan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Setelah masalah timbul, barulah keduanya sibuk mencari tahu.

Mungkin itu pula salah satu alasan mengapa orang tua memasukkan anak-anak balitanya ke playgroup atau TK. Orang tua merasa khawatir, mereka tidak mampu mengembangkan kemampuan anak-anak mereka secara maksimal.

Antusiasme untuk memperbanyak jumlah TK dan sejenisnya patut kita acungi jempol. Hal itu merupakan salah satu solusi agar semakin banyak anak-anak usia dini yang “terlayani” pendidikannya. Akan tetapi, bagi kelompok masyarakat ekonomi menengah ke bawah, selain belum meratanya pengetahuan tentang pentingnya PAUD, mereka juga memiliki masalah lain untuk memasukkan anak-anak balitanya ke TK, yaitu faktor biaya.

Semurah-murahnya biaya pendidikan di tingkat Taman Kanak-Kanak saat ini tetap cukup berat jika satu keluarga memiliki beberapa anak usia sekolah. Mereka lebih memprioritaskan pembiayaan anak-anak yang sudah masuk SD atau jenjang di atasnya, daripada menyekolahkan anaknya yang masih balita. Adakalanya beberapa orang tua yang mungkin sudah memiliki kesadaran akan pentingnya PAUD, harus bersikap rasional ketika berhadapan dengan masalah tersebut.

Mengembangkan Skill Orang Tua
Ketika orang tua memutuskan untuk tidak memasukkan anak balitanya ke kelas-kelas prasekolah, timbul dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, banyak anak-anak balita yang tidak punya kegiatan terarah, dan ujung-ujungnya malah menjadikan televisi sebagai teman bermain. Sementara itu, kita tentu sepakat bahwa tidak semua acara TV itu baik bagi perkembangan anak-anak. Dan kemungkinan kedua, ada orang tua yang kreatif menyediakan kegiatan pengganti sekolah yang tidak kalah bagusnya. Anak-anak tetap bisa belajar banyak hal meskipun hanya lewat kegiatan “rumahan” dan memanipulasi perabotan yang ada menjadi alat belajar.

Kemungkinan yang terakhir memang sangat kecil terjadi, karena patut kita akui, pengetahuan tentang cara mendidik anak usia dini belumlah begitu merata. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mengatasi masalah tersebut adalah menggalakan terbentuknya unit-unit belajar bagi orang tua.

Unit-unit belajar ini bukan hanya membantu anak-anak yang tidak bisa masuk playgroup atau TK, melainkan juga bisa meningkatkan kualitas pendidikan anak di keluarga-keluarga yang mampu menyekolahkan anaknya tapi masih lemah dalam pengetahuan keayahbundaan.

Informasi yang dituturkan Jeanette Vos dan Gordon Dryden dalam bukunya The Learning Revolutions: To Change The Way the World Learns, yang edisi terjemahannya sudah diterbitkan Penerbit Kaifa, menyebutkan bahwa di Malaysia telah diselenggarakan program pendidikan orang tua yang disebut Nury, berasal dari kata “nur”, yang berati cahaya. Program itu diselenggarakan di desa-desa oleh Dr. Noor Laily Dato’ Abu Bakar dan Mansor Haji Sukaimi. Dalam sepuluh tahun mereka telah melatih 20.000 orang tua di Malaysia dan 2.000 di Singapura.

Program Missouri Parents As Teachers (PAT) di Amerika Serikat, juga telah menjadi pemicu yang penting dari konsep orang tua sebagai guru. Ini dimulai pada 1981 sebagai program percontohan dengan nama Parents as First Teachers (Orang Tua sebagai Guru Pertama). Program tersebut ditujukan untuk mendidik para orang tua, sehingga mereka mampu mendidik anak-anaknya sendiri.
PAT sekarang telah menjadi layanan yang dibiayai pemerintah. Sekitar 60.000 keluarga dengan anak-anak berusia 0 – 3 tahun telah mengikuti program tersebut. Mereka dibimbing oleh sekitar 1.500 pendidik orang tua terlatih yang bekerja sebagai honorer.

Pada setiap kunjungan, pendidik orang tua itu membawa serta berbagai permainan dan buku yang sesuai dengan fase pertumbuhan anak, mendiskusikan apa yang diharapkan orang tua, dan memberikan selembar kertas berisi tip-tip menstimulasi minat anak pada tahap tersebut.

Selain dua negara di atas, siapa kira, program pendidikan orang tua berbasis rumah ternyata juga dikembangkan di Israel, dan diberi nama HIPPY (Home Instruction Program for Preschool Youngsters). Program tersebut bertujuan untuk memandu keluarga dalam mendidik anak-anak prasekolahnya. Program itu di mulai di Israel pada 1969 yang ditujukan bagi hampir 200.000 pengungsi yang datang ke Israel dari Afrika dan Asia. Mereka sangat miskin, dan anak-anak mereka kadang terabaikan karena orang tuanya bekerja keras mencari kesejahteraan di tempat yang baru. Seperti halnya PAT, HIPPY melakukan pelatihan langsung di rumah, tetapi ditujukan bagi orang tua dari anak-anak yang berusia empat dan lima tahun.

Melihat informasi tersebut, nampaknya tak heran jika ketiga negara itu memiliki keunggulan dari sisi sumber daya manusia jika dibandingkan negara kita. Kepedulian pemerintahnya dan orang-orang berpendidikan di negara-negara tersebut terhadap pendidikan bagi anak usia dini yang “berbasis rumah dan keluarga” telah membuahkan hasil yang cukup memuaskan.

Hari ini pemerintah juga nampaknya sudah memberikan ruang yang lebih lapang bagi terlaksanakan konsep tersebut dengan menjadikan pos yandu dan PKK sebagai pelaksana PAUD alternatif..

Akan tetapi, kelompok masyarakat yang sudah tercerahkan dengan berbagai informasi pendidikan anak usia dini, juga merupakan ujung tombak penyebaran ilmu keayahbundaan. Mungkin langkah pertama bisa dimulai dengan membuka kelompok-kelompok diskusi “parenting” yang terdiri atas beberapa orang tua, dan sesekali mengundang rekan-rekan yang kompeten di bidang ini. Bukan tidak mungkin hal ini akan berkembang pesat, dan akhirnya memicu peningkatan kualitas pengasuhan anak di rumah, yang dengan itu pula mampu memaksimalkan hasil yang selama ini sudah dicapai dari penyelenggaraan Playgroup dan Taman Kanak-Kanak.

Pendidikan memang cara paling tepat untuk mengubah suatu bangsa menjadi lebih baik, dan upaya ke arah itu sudah dibangun sejak lama lewat pendidikan yang diinstitusikan secara formal. Namun pada kenyataannya kita tidak bisa mengandalkan itu sebagai satu-satunya cara untuk membentuk anak-anak yang berkualitas dari berbagai segi. Kita tetap membutuhkan pendidikan rumah untuk mensinergikannya.

Walau bagaimanapun lingkungan yang positif terbentuk dari unit-unit masyarakat terkecil yang juga positif. Alih-alih ingin meningkatkan kualitas anak-anak kita, pendidikan yang tidak berimbang, antara sekolah dan rumah tak jarang malah menyebabkan kegagalan kolektif.

Salam pendidikan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar