Anak-anak memang tak terhentikan. Gejolak untuk mencoba apa yang mereka pikir asyik untuk dicoba ternyata memang luar biasa besar, walaupun yang mereka coba mungkin membuat orang tuanya sedikit 'gusar'. Saya tak yakin bisa menghentikan mereka saat rasa ingin mencoba itu datang. Larangan hanya didengar beberapa detik lalu menguap ditiup angin. Dan sesungguhnya, tanpa alasan yang kuat saya malah mati kata untuk melarang.
Pagi ini pun mereka sedang mencuri kesempatan bermain di antara pasir sisa bahan bangunan. Saya memilih untuk tidak melarang mereka, karena jikapun mereka berhenti bergumul dengan pasir, mereka akan pindah bermain "tepung" tanah yang melimpah di tepian kebun. Dan itu jauh lebih buruk, karena debu-debu tanah itu akan menghambur terisap atau menerpa wajah dan rambut mereka.
Permainan mereka berdua di atas pasir biasanya tak lepas dari percakapan pura-pura yang sebenarnya menarik untuk disimak. Mereka sedang membuat jalan kereta api, membuat gunung, dan Luqman bilang bahwa rumahnya adalah matrial. Ya, anak lelaki saya itu memang begitu takjub saat pertama kali dibawa papanya pergi berbelanja bahan bangunan. Matanya langsung "scanning" melihat semua yang ada di toko bangunan (matrial) dan mulai bertanya ini dan itu.
Lalu, di tempat yang berbeda, di lapangan rumput dekat rumah kami beberapa anak sekolah main layangan. Dan apa yang saya dengar dari mereka? Berhamburan kata-kata kotor bersahut-sahutan. Nama-nama binatang bergantian disematkan pada lawan bicaranya.
Dari manakah anak-anak itu mendapatkan kosa kata yang sungguh tak nyaman untuk didengar? Di sekolah kah ataukah di rumahnya? Yang jelas, menurut saya kosa kata adalah produk pendidikan. Pendidikan bisa dilakukan di mana saja, di sekolah atau di rumah tidaklah ada bedanya. Namun salahkah jika kami memilih mendidik sendiri anak-anak kami di rumah dan memilihkan teman yang baik untuk mereka karena kami ingin mereka punya kosa kata yang baik, cara berpikir yang baik, dan teman bergaul yang baik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar