Jumat, 22 Januari 2010

RUANG LINGKUP MANAJEMEN DALAM POSITIVISME, TEORI KRITIS, PROVETIK, DAN POST MODERNISME

A. Positivisme dan Manajemen Pendidikan
Pertama-tama penulis akan mengulas wacana positivisme. Setelah itu, menjelaskan teori kritis dengan masalah bagaimana teori kritis dapat dipahami dalam kerangka praksis, dan seterusnya. Positivisme membebaskan pikiran dari ketentuan-ketentuan yang sifatnya dogmatik. Bersamaan dengan hal tersebut, keyakinan yang optimis untuk memecahkan masalah apa saja. Kelemahan dari positivisme adalah klaim bahwa ia merupakan satu-satunya jalan kesuksesan. Padahal, sejatinya positivistik terbuka pada semua pengetahuan bukan membatasi. Selain itu, ia bebas nilai, dan tidak menyinggung benar salah. Pandangan seperti ini bertolak dari ruh manajemen pendidikan yang tidak terlepas dari aturan dogmatik dan tetap bersandar pada sesuatu yang sifatnya dapat dibenarkan (benar) atau justru tergolong salah.
Dalam sejarah keilmuan, wacana positivisme klasik sempat menjadi primadona paradigma dalam ilmu-ilmu sosial. Wacana positivisme yang dipelopori oleh para pemikir empirik radikal–pertama kali dicetuskan oleh Saint Simon pada tahun 1825–menjadi landasan epistemologi dalam menentukan kebenaran dalam ilmu sosial. Auguste Comte misalnya, dengan Sosiologi Positif menjadi paradigma pokok ilmu sosial yang berbasis pendekatan empirik sosial. Gugus ilmu sosial yang berkembang pada waktu itu menjadikan positivisme sebagai dominator rasionalitas dalam ilmu pengetahuan. Ini tentu saja dilandasi dengan pemikiran yang sudah berkembang pada waktu Renaissance dibuka sebagai swift epistemology dari epistemologi deduktif Platonik menjadi epistemologi induktif empirik Aristotelian yang semakin diradikalkan oleh Francis Bacon dalam induktivisme rasional.
Pada dasarnya, positivisme adalah jawaban alternatif dan tegas atas kegagalan filsafat spekulatif yang diradikalkan oleh filsafat Idealisme Jerman Immanuel Kant dan Filsafat Sejarah Hegel. Reaksi epistemologi ini lahir dari penolakan klaim kebenaran yang bersifat spekulatif dan jauh dari maksud sebenarnya dari pencarian kebenaran itu sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya, positivisme mengalami modifikasi metodologis dan epistemologis yang sebenarnya juga menjauhi pendekatan positif yang ditawarkan sebagai suatu sistem kebenaran. Korelasinya dengan manajemen pendidikan, tentu positivistik memiliki cara pandang positif. Bahwa segala sesuatu harus berdasar fakta-fakta yang dapat diteropong oleh panca indra. Tiap sesuatunya harus nyata. Namun demikian, manajemen pendidikan tidak bebas nilai sebagaimana ajaran positivistik. Karena itulah manajemen pendidikan menempati posisi yang cukup strategis dalam merespons perkembangan ilmu-ilmu sosial.

B. Positivisme dan Perkembangannya
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan (seperti yang diusung oleh kaum idealisme khususnya idealisme Jerman Klasik).
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
Pertama, Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte, dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer. Kedua, Munculnya tahap kedua dalam positivisme–empirio-positivisme–berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
Ketiga, Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis, serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain.

C. Mengenal Positivisme Logis
Dalam perkembangannya, positivisme mengalami perombakan dibeberapa sisi, hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina. Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan akhir dari pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengkaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu diterjemahkan ke dalam bahasa observasional dengan kaidah-kaidah.

D. Teori Kritis dan Pembawa Ajarannya
Filsafat dan ilmu sosial abad XX diwarnai oleh empat pemikiran besar yaitu, fenomenologi-eksistensialisme, Neo-Thomisme, Filsafat Analitis dan aliran Neo Marxis–yang sering mengklaim dirinya sebagai pewaris tradisi Marxisme yang disesuaikan dengan keadaan zaman. Teori kritis, secara klasifikatif, dapat digolongkan pada kelompok yang terakhir. Meski dalam perdebatan filosofis, ada yang menganggap bahwa teori kritis adalah teori yang bukan marxis lagi.
Neo Marxisme adalah aliran pemikiran Marx yang menolak penyempitan dan reduksi ajaran Karl Marx oleh Engels. Ajaran Marx yang dicoba diinterpretasikan oleh Engels ini adalah versi inferpretasi yang nantinya sebagai “Marxisme” resmi. Marxisme Engels ini adalah versi interpretasi yang dipakai oleh Lenin. Interpretasi Lenin nanti pada akhirnya berkembang menjadi Marxisme-Leninisme (atau yang lebih dikenal dengan Komunisme). Beberapa tokoh neomarxisme sebetulnya pada akhirnya menolak marxisme-leninisme. Mereka menolak interpretasi Engels dan Lenin karena interpretasi tersebut adalah interpretasi ajaran Marx yang menghilangkan dimensi dialektika ala Karl Marx yang dipercaya sebagai salah satu bagian inti dari pemikiran Karl Marx. Tokoh neomarxisme adalah Georg Lukacs dan Karl Korsch, Ernst Bloch, Leszek Kolakowski dan Adam Schaff.
Salah satu aliran pemikiran Kiri Baru yang cukup ternama adalah pemikiran Sekolah Frankfurt. Institut penelitian sosial di Frankfurt (Institut für Sozialforschung) didirikan pada tahun 1923 oleh seorang kapitalis yang bernama Herman Weil, seorang pedagang grosir gandum, yang pada akhir hayat “mencoba untuk cuci dosa” mau melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan di dunia (termasuk dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme).
Teori kritis adalah anak cabang pemikiran marxis dan sekaligus cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx (Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut ciri teori kritik masyarakat. Teori ini mau mencoba memperbaharui dan merekonstruksi teori yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern. Ciri khas dari teori kritik masyarakat adalah bahwa teori tersebut bertitik tolak dari inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, tapi juga sekaligus melampaui bangunan ideologis marxisme bahkan meninggalkan beberapa tema pokok Marx dan menghadapi masalah masyarakat industri maju secara baru dan kreatif.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Horkheimer, Theodor Wiesengrund Adorno, seorang musikus, ahli sastra, psikolog dan filsuf, Friedrich Pollock, seoraang ekonom, Erich Fromm, seorang ahli Psikoanalisa Freud, Karl Wittfogel, seorang Sinolog, Leo Lowenthal, seorang Sosiolog, Walter Benjamin, seorang kritikus sastra, Herbert Marcuse, murid Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme, yang juga selanjutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di Amerika.
Teori Kritis menjadi disputasi publik di kalangan filsafat sosial dan sosiologi pada tahun 1961. Konfrontasi intelektual yang cukup terkenal adalah perdebatan epistemologi sosial antara Adorno (kubu Sekolah Frankfurt-paradigma kritis) dengan Karl Popper (kubu Sekolah Wina-paradigma neo positivisme/neo kantian). Konfrontasi berlanjut antara Hans Albert (kubu Popper) dengan Jürgen Habermas (kubu Adorno). Perdebatan ini memacu debat positivisme dalam sosiologi Jerman. Habermas adalah tokoh yang berhasil mengintegrasikan metode analitis ke dalam pemikiran dialektis Teori Kritis.
Pada awalnya, yang membedakan Teori Kritis dengan filsafat Heidegger atau filsafat analitika Ludwig Wittgenstein adalah Teori Kritis menjadi inspirasi dari gerakan sosial kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori oleh kaum muda–yang pada waktu itu secara historis telah tidak ingat lagi dengan masa kelaparan dan kedinginan pasca perang dunia II. Generasi muda tahun 1960-an telah merasa muak dengan kebudayaan yang menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah generasi yang secara mendalam meragukan atau menyangsikan kekenyangan kapitalisme dan disorientasi nilai modern.
Yang merupakan ciri khas Teori Kritis adalah bahwa teori ini berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan Teori Kritis tidak bersifat kontemplatif atau spekulatif murni. Teori Kritis pada titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah. Pada dasarnya, Teori Kritis mau menjadi praktis.
Teori Kritis tidak mau mengekor Karl Marx. Kelemahan marxisme pada umumnya adalah mereka menjiplak analisa Marx dan menerapkannya mentah-mentah pada masyarakat modern. Oleh sebab itu, biasanya marxisme justru lebih terkesan dogmatis daripada ilmiah. Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai “masyarakat kapitalis lanjut”. Yang direkonseptualisasi dalam pemikiran Teori Kritis adalah maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan.
Pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan berangkat dari konsep kritik. Konsep kritik sendiri yang diambil oleh Teori Kritis berangkat dari 4 (empat sumber) kritik yang dikonseptualisasikan oleh Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx dan Sigmund Freud. Kritik dalam pengertian pemikiran Kantian adalah kritik sebagai kegiatan menguji kesahihan klaim pengetahuan tanpa prasangka. Kritik dalam pengertian Hegel didefinisikan sebagai refleksi diri atas tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri-rasio dalam sejarah manusia. Kritik dalam pengertian Marxian berarti usaha untuk mengemansipasi diri dari alienasi atau keterasingan yang dihasilkan oeh hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Kritik dalam pengertian Freudian adalah refleksi atas konflik psikis yang menghasilkan represi dan memanipulasi kesadaran. Adopsi Teori Kritis atas pemikiran Freudian yang sangat psikologistik dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ortodoksi marxisme klasik.

E. Pengaruh Teori Kritis Terhadap Ilmu Manajemen
Pertemuan pertama Teori Kritis dengan ilmu manajemen sebenarnya terjadi ketika Teori Kritis berimigrasi ke Amerika Serikat. Perkembangan ilmu manajemen di Amerika sudah mengalami perkembangan yang pesat. Premis awal Ilmu manajemen di Amerika merupakan pernik awal perkembangan teknologi pendidikan. Perkembangan ilmu manajemen di Amerika banyak ditandai dengan perkembangan ruang lingkup manajemen di negara tersebut. Sementara itu, paradigma dominan ilmu manajemen dipenuhi dengan paradigma positivistik.
Teori Kritis yang dibawa oleh para sarjana Jerman akhirnya berpindah di beberapa universitas di Amerika pada tahun 1933. Tentu saja, pertemuan dua tradisi intelektual tersebut menghasilkan kontroversi. Paradigma kritis yang sangat kritis idealistik bertemu dengan tradisi keilmuan yang pragmatis. Dalam sejarah perkembangannya, penelitian komunikasi di Amerika dipengaruhi oleh kondisi sejarah sosial, politik dan budaya yang terjadi. Komunikasi pada titik tertentu, di Amerika, berada dalam titik pragmatik yang sangat komersial dan memunculkan diskursus klasik terhadap perubahan sosial, terutama yang berkaitan dengan arus kesejahteraan yang bersifat kapitalistik.
Ide pragmatisme sangat mewarnai penelitian komunikasi di Universitas Chicago yang kajiannya sangat empirik. Paul Lazarfeld, Kurt Lewin, Harold Laswell dan Carl Hovland. Studi yang dikembangkan oleh Wilbur Schramm adalah studi kuantitatif dalam konteks anthropologi komunikasi.
Kontribusi kritisisme Teori Kritis dikembangkan oleh Adorno yang mengkritik pendekatan Paul Lazarfeld yang sangat dipengaruhi oelh pendekatan struktural fungsionalistik ala Talcott Parsons. Horkheimer dan Adorno melihat cacat epistemologi dalam ilmu komunikasi yang berwatak totaliter dan ideologis. Teori Kritis melihat bahwa ada kecenderungan di kalangan ilmuwan komunikasi menjadi ilmu ini untuk dipaksakan dalam wujud ilmu yang sangat mekanistik. Model pemikiran administratif yang dikembangkan oleh pemikir Universitas Chicago dikritisi oleh model pemikiran kritis.
Beberapa ciri model pemikiran kritis, antara lain: ciri pertama adalah ciri pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Dalam pandangan paradigma kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).
Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik menyolok dari tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi dan penguatan sosial. Dengan demikian tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia yang tidak seimbang. Dengan demikian, seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos, menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Newman, 2000:75-87; Denzin, 2000:163-186).
Ciri ketiga adalah ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi sosial. Dari proses tersebut, dapat dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari analisis penelitian yang dibuat.
Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri paradigma kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis dalam hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini berarti ada proses dialogal dalam seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang telah, sedang dan akan terjadi.
Dengan demikian, karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial peneliti untuk melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini manajemen dan ruang lingkupnya. Maka, dalam paradigma kritis, penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti, dan hal ini bisa membuat perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya (Newman, 2000:63-87). Dalam konteks karakteristik yang keempat ini, penelitian paradigma kritis mengutamakan juga analisis yang menyeluruh, kontekstual dan multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical situatedness dalam seluruh kejadian sosial yang ada (Denzin, 2000:170).
Perkembangan teori kritis semakin jelas ketika Sekolah Frankfurt menjadi motor penggerak teori tersebut. Selain bahwa Sekolah Frankfurt bersentuhan dengan perkembangan ilmu sosial kritis pada waktu itu, Sekolah tersebut juga merefleksikan peran pendidikan pada masyarakat waktu itu. Tentu saja, konteks Jerman pada waktu itu juga sangat dipengaruhi oleh sejarah Jerman pada waktu pemerintahan Hitler (Nazi).
Dalam perkembangan selanjutnya, Sekolah Frankfurt juga menyatakan bahwa ternyata media bisa menjadi alat pemerintah untuk mengontrol publik, dalam arti tertentu media bisa menjadi bagian dari ideological state apparatus (Littlejohn, 2002:213). Dalam hal tertentu, media bukan adalah realitas yang netral dan bebas kepentingan, tapi media massa justru menjadi realitas yang rentan dikuasai oleh kelompok yang lebih dominan dan berkuasa (Rogers, 1994:102-125).
Asumsi dasar dalam paradigma kritis berkaitan dengan keterangan di atas adalah keyakinan bahwa ada kekuatan laten dalam masyarakat yang begitu berkuasa mengontrol proses komunikasi masyarakat. Ini berarti paradigma kritis melihat adanya “realitas” di balik kontrol komunikasi masyarakat. Masalahnya siapa yang mempunyai kekuatan kontrol tersebut? Mengapa mengontrol? Ada kepentingan apa? Dengan beberapa kalimat pertanyaan itu, terlihat bahwa teori kritis melihat adanya proses dominasi dan marginalisasi kelompok tertentu dalam seluruh proses pendidikan masyarakat.

F. Meretas Jalan Sosiologi: Marxisme Baru Dan Teori Kritis
Max Weber (1864-1920), pemikir sosial Jerman, mungkin adalah orang yang di zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx yang memandang segala sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx, Weber dalam karya-karyanya menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik, dan sejarah teori sosial. Weber menggabungkan berbagai spektrum daerah penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa sebab-akibat dalam sejarah tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka.
Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di barat lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas penguasaan modal sekelompok orang yang lebih kaya.
Kegelisahan teoretis yang sama, bahwa marxisme klasik terlalu naif dengan mendasarkan segala motif tindakan atas kelas-kelas ekonomi memiliki dampak besar yang melahirkan teori kritis dan marxisme baru. Aliran ini dikenal sebagai Mazhab Frankfurt, sebuah kumpulan teori sosial yang dikembangkan di Institute for Social Research, yang didirikan di Frankfurt, Jerman pada tahun 1923. Mazhab ini terinspirasi dari pandangan-pandangan Marx, namun tidak lagi menjelaskan dominasi atas dasar perbedaan kelas ekonomi semata, melainkan atas otoritas penguasa yang menghalangi kebebasan manusia.
Jika fokus marxisme klasik adalah struktur ekonomi politik, maka marxisme baru bersandar pada budaya dan ideologi. Kritisismenya terasa pada kritik-kritik yang dilontarkan atas ideologi-ideologi yang bersandar pada pendekatan psikolog klasik Austria, psikoanalisisme Sigmund Freud (1856-1939); tentang kesadaran, cara berfikir, penjajahan budaya, dan keinginan untuk membebaskan masyarakat dari kebohongan publik atas produk-produk budaya.
Sosiolog Mazhab Frankfurt Max Horkheimer (1895–1973) dan Theodor Adorno (1903-1969) membuat landasan instrumental agenda-agenda teoretis mazhab ini. Analisisnya berkenaan dengan pembedaan antara peradaban barat dan timur, dan bagaimana peradaban barat telah menyimpang dengan konsep rasionalitas yang bertujuan untuk menaklukkan dan mengatur alam semesta. Studi-studi yang mereka lakukan berlandaskan pada hal ini, diikuti oleh sosiolog Jerman-Amerika, Herbert Marcuse (1898-1979). Dalam perkembangannya, sosiolog Frankfurt termuda, Juergen Habermas, mengubah agenda Mazhab Frankfurt menjadi upaya emanisipatoris atas rasionalisme pencerahan.
Belakangan, pemikiran Mazhab Frankfurt ini telah mempengaruhi banyak sekali teoretisi sosial yang memfokuskan kritik pada obyek budaya seperti hiburan, musik, mode, dan sebagainya yang dinyatakan sebagai industri budaya. Dalam teori kritis atau neo-marxisme ini, sudah tidak ada lagi determinisme ekonomi dan tak lagi meyakini bahwa kaum miskin (proletar) akan menjadi agen perubahan sosial, namun bergerak ke kelompok sosial lain, seperti kaum radikal di kampus-kampus, dan sebagainya. Ini menjadi keyakinan mereka merupakan agen-agen untuk melakukan transformasi sosial di kemudian hari.
Hingga saat ini, neo-marxisme masih terus berkembang namun tidak banyak menuai perkembangan teoretis. Tradisinya hidup di studi-studi budaya, namun masih memiliki motif yang sama yaitu upaya pembukaan tabir dan motif-motif kapitalisme di tengah-tengah masyarakat.

G. Ilmu Sosial Profetik: Teori Kritis dan Teologi Pembebasan
Diskursus mengenai ilmu sosial profetis hampir tenggelam. Patut disayangkan apabila gagasan yang digulirkan kembali oleh penggagasnya, yakni DR. Kuntowijoyo, secara berturut-turut pada 13 tahun lalu, tanggal 7-9 Agustus 1997 ini dilewatkan tanpa responsi yang memuaskan. Kita mesti menempatkan ilmu sosial profetis dalam perspektif keilmuan yang lebih luas. Pertama-tama akan dilihat kerangka historis beserta ethos intelektual ilmu sosial profetis yang pada derajat tertentu menyematkan interpretasi atasnya. Kemudian menghadapkan interpretasi tersebut dengan bentuk pengetahuan lain sebagai jalan untuk mengelaborasi potensi praktisnya, sehingga ilmu sosial profetis lepas dari sekedar kegairahan yang simbolis belaka.
Ilmu sosial profetis diperkenalkan oleh DR. Kuntowijoyo pertama-tama dimaksudkan sebagai ‘alternatif’ terhadap gagasan yang dilontarkan oleh Moeslim Abdurrahman, yakni mengenai pentingnya merumuskan teologi baru yang disebutnya sebagai Teologi Transformatif. Perkembangan istilah dari ‘Teologi Transformatif” menjadi “Ilmu Sosial Profetis” sebetulnya melewati apa yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai “Ilmu Sosial Transformatif”. Oleh karenanya perkembangan tersebut mengandung dua penggantian yang sangat menentukan nantinya bagi gagasan definitif ilmu sosial profetis, yakni penggantian istilah “teologi” menjadi “ilmu sosial”, serta penggantian istilah “transformatif” menjadi “profetik”.
Pada penggantian istilah “Teologi” menjadi “Ilmu Sosial”, Kuntowijoyo menghendaki adanya penerimaan secara luas pengembangan gagasan Teologi Transformatif. Dipandang olehnya bahwa konsep teologi dalam masyarakat kita masih dipersepsi secara berbeda-beda, yang menyebabkan pembaharuan atasnya relatif belum dapat diterima. Hal ini terutama karena adanya pengartian baginya sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu pengetahuan keislaman yang membahas doktrin ketuhanan (tauhid). Pembaharuan teologi bisa berarti mengubah doktrin sentral Islam mengenai keesaan Tuhan. Padahal menurut kalangan ini masalah teologis merupakan masalah yang dianggap sudah selesai di dalam Islam. Sedangkan istilah ilmu sosial dianggapnya lebih netral dan terhindar dari pretensi doktrinal, karena kebanyakan dari masyarakat mengakui sifatnya yang nisbi.
Tujuan selanjutnya dari penggantian istilah ini adalah penekanan pencarian ilmu sosial profetis yang menurutnya lebih terfokus pada aspek yang bersifat empiris, historis, dan temporal. Tidak seperti teologi, ruang lingkup ilmu sosial tidak ditekankan pada aspek normatif yang bersifat permanen. Sehingga pada akhirnya, dengan pemakaian istilah ilmu sosial kita akan dengan bebasnya mengutak-atik avonturisme intelektual kita di segala ruang waktu. Karenanya terbuka kemungkinan adanya review, revisi dan rekonstruksi yang boleh hadir kapan saja dan terus menerus.
Dalam penggantian istilah “Transformatif” menjadi “Profetis”, sebetulnya Kuntowijoyo sedang melancarkan kritik atas ide yang diupayakan Pencerahan Barat mengenai ilmu yang mesti bebas nilai. Berlawanan dengan itu ia malah menghendaki bahwa kita harus secara sadar memilih arah, sebab dan subyek dari ilmu sosial yang kita bangun. Sehingga ilmu sosial tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, melainkan juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi dilakukan, untuk apa, dan oleh siapa. Ilmu sosial profetis dengan demikian tidak hanya menggairahkan transformasi demi perubahan itu sendiri, namun mendasarkan transformasinya atas dasar cita-cita etik dan profetik tertentu.
Sebagai contoh, Kuntowijoyo sendiri menetapkan bahwa bagi masyarakat Islam, transformasi sosial dilaksanakan berdasarkan cita-cita etik dan profetik yang diderivasi dari misi historis Islam sebagaimana terkandung dalam Al-Qur’an Surat Ali-Imran ayat 110, yakni menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran dan beriman kepada Allah SWT, yang kemudian dibumbuinya dengan istilah bercita rasa Barat, yakni humanisasi, liberasi dan transendensi.
Beranjak dari sifat keilmuan dan transformasinya yang sarat nilai profetis (transenden) seperti disebutkan di atas, penulis ingin menghadapkan gagasan ilmu sosial profetis ini dengan bentuk-bentuk pengetahuan lain yang hampir serupa. Penghadapan ini penting untuk menindaklanjuti pendekatan terhadap proyek ilmu sosial profetis, terutama yang menyangkut pertanyaan: bagaimanakah kita menerjemahkan ilmu sosial profetis tersebut secara lebih praktis?
Satu hal penting yang perlu dikemukakan untuk memulai menjawab pertanyaan di atas adalah bahwa Kuntowijoyo sendiri merekomendasi perlunya sikap inklusif bagi pencerahan proyek ilmu sosial profetis. Karena sikap eksklusif baginya merupakan sikap yang a-historis dan tidak realistis. Semua peradaban, bahkan agama menurutnya mengalami proses meminjam dan memberi satu sama lain dalam interaksinya. Sehingga ilmu sosial profetis sendiri dalam elaborasi praktisnya tidak perlu ditutup dari kemungkinan meminjam bentuk pengetahuan atau praxis lain yang telah ada. Namun pertanyaannya kemudian adalah: bentuk pengetahuan mana atau yang bagaimanakah yang akan dipilih?
Dengan menengok kembali ethos yang ingin dikembangkan ilmu sosial profetis, maka penulis memandang cocok memilih Teori Kritis Jurgen Habermas untuk memulai memberi tanggapan atas pertanyaan tersebut. Hal ini karena adanya kesetaraan atau kesamaan bentuk pengetahuan dan emansipasi di antara keduanya. Salah satu pilar penting yang ingin dibangun Jurgen Habermas dalam Teori Kritisnya adalah bahwa bentuk pengetahuan yang diciptakan haruslah bersifat ‘tidak berfungsi’. Di satu sisi bentuk pengetahuan itu berfungsi seperti filsafat, yang mendorong refleksi-diri dan memberi aspek normatif dalam realitas sosial.
Namun di lain sisi seperti ilmu pengetahuan, yang memiliki kekakuan metodis untuk mengetahui aspek empiris realitas sosial. Dan karena pengetahuan tersebut kemudian harus diabdikan dalam usaha-usaha emansipatoris, baik dalam struktur pengetahuan maupun struktur sosial, maka bentuk pengetahuan tersebut bukanlah bentuk kontemplatif murni atau netral, melainkan senantiasa terkait dengan praxis. Namun di antara keduanya pun terdapat perbedaan yang bisa jadi penting berhubungan dengan aspek normatif yang ditetapkan bagi masing-masing pencerahan dan praxisnya. Yakni bahwa Jurgen Habermas tidak secara tegas menetapkan aspek normatifnya berupa nilai-nilai profetis sebagaimana ilmu sosial profetis. Walaupun terbuka kemungkinan Teori Kritis meminjam nilai-nilai profetis, namun secara definitif, transendensi bukan merupakan rukun yang wajib ada. Namun hal ini pun tidak perlu menjadi soal bilamana ilmu sosial profetis sendiri meminjam Teori Kritis, dengan maksud kemudian mentransendensikannya. Dengan kata lain ilmu sosial profetis merupakan bentuk transendental dari Teori Kritis.
Ilmu sosial profetis dengan demikian terbatas hanya bisa meminjam metode teoritis dan sifat transformasi Teori Kritis. Sedangkan berhubungan dengan nilai-nilai profetis dimana transformasi hendak diterangi, ilmu sosial profetis lebih bisa berdialektika dengan bentuk pengetahuan lain. Yakni Teologi Pembebasan dalam sifat heteropraxisnya. Dalam dialektika tersebut, sejauh berhubungan dengan sifat normatif Al-Qur’an, ilmu sosial profetis mesti dicita-citakan tidak semata bersifat memantapkan ajaran (orthodoxy) atau hanya menuntut dijalankannya ajaran dalam tindak keseharian (orthopraxis). Melainkan ia bersifat orthodox sejauh bersumber pada orthopraxis (heteropraxis). Di dalam praxis ini ilmu sosial profetis dituntut sebagai sebuah rumusan ajaran (iman) sejauh berpangkal dari pengalaman konkrit dan kembali secara baru pada tindakan yang dituntut oleh rumusan ajaran tersebut.
Untuk mengetes sifat heteropraxisnya ini, kita dapat meminjam metode “Lingkaran Hermeneutika” yang dikembangkan seorang pemikir Teologi Pembebasan, yakni JL Segundo. Di dalam lingkaran hermeneutika ini terdapat dua kesangsian, yakni kesangsian ideologis dan kesangsian eksegetis, yang dihadapkan pada dua obyek pokok, yakni realitas dan interpretasi Kitab Suci.
Dari dua kesangsian dan dua obyek pokok tersebut, kemudian ditetapkan empat langkah Lingkaran Hermeneutika. Di dalam tesisnya yang berjudul Teologi Pembebasan, F Wahono Nitiprawira mengutip empat langkah tersebut. Yakni pertama, cara mengalami realitas yang terumuskan mendorong pada posisi kesangsian ideologis. Kedua, kesangsian ideologis tersebut diterapkan atas superstruktur, yang didalamnya terdapat teologi yang sudah beku. Ketiga, mendapatkan cara baru mengalami realitas teologis yang mendorong pada posisi kesangsian eksegetis, terutama mulai menyangsikan bahwa interpretasi Kitab Suci yang ada tidak mengikutsertakan data yang penting dan relevan. Keempat, mempunyai cara baru yang kaya dan mendalam dalam menginterpretasi Kitab Suci, yang kemudian meneruskannya dengan mengalami kembali realitas secara baru.
Secara hipotetis ilmu sosial profetis yang menempatkan diri sebagai elaborasi ilmiah dari transendensi tentu bersifat heteropraxis. Namun sayang kita tidak dapat menguji benar-benar sifat heteropraxisnya kini, karena ilmu sosial profetis sendiri belum sampai kepada taraf yang lebih terinci untuk diuji hasil pencerahannya. Oleh karena itu bilamana ilmu sosial profetis dianggap sebagai suatu gagasan penting bagi pengkayaan kehidupan kita, upaya pengembangannya mesti menjadi hal yang mendesak. Jangan sampai ia menjadi kepompong sutra yang tidak ada kehidupan di dalamnya.

H. Menelusuri Makna Postmodernisme
Apabila kita berbicara mengenai pengertian postmodernisme, maka akan beragam definisi yang bisa ditemukan. Beberapa di antaranya definisi postmodernisme menurut Kvale (2006) bahwa istilah postmodernisme, yang berasal dari istilah posmodern, dapat sangat luas, kontroversial, dan ambigu. Hal ini terlihat dari pembagian pengertian yang Kvale (2006) lakukan untuk membedakan istilah postmodern, yaitu: Postmodernitas yang berkaitan dengan era postmodern, Posmodernism yang berkaitan dengan ekspresi kultural era postmodern, Pemikiran posmodern, atau wacana, yang berkaitan dengan refleksi filosofis dari era dan budaya postmodern.
Dalam situs Posmo.doc dijelaskan pula bahwa postmodernisme adalah sebuah istilah yang rumit. Suatu hal yang sulit, bila tidak bisa dikatakan mustahil, untuk menjelaskan postmodernisme. Tidak hanya postmodernisme bisa ditemukan dalam berbagai hal (seperti dalam seni, arsitekur, studi literatur, dan ilmu sosial), namun juga dalam berbagai hal tersebut postmodernisme dimengerti dan dijelaskan dengan berbagai cara yang berbeda.
Dalam bukunya Mengenal Posmodernisme, Garrat, Sardar, dan Curry (1998) mengatakan bahwa pemakaian pertama istilah ”postmodernisme” adalah sebelum tahun 1926. Pada 1870-an istilah tersebut pertama kali digunakan oleh seniman Inggris, John Watkins, dan pada 1917 oleh Rudolf Panwitz. Di dalam buku tersebut dijelaskan bahwa postmodernisme menyiratkan pengingkaran, bahwa ia bukan modern lagi. Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme Postmodernisme adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar, yaitu: Ia melawan dan mengaburkan pengertian postmodernisme, dan ia menyiratkan pengetahuan yang lengkap tentang modernisme yang telah dilampaui oleh zaman baru
Sebuah zaman, zaman apapun, dicirikan lewat bukti perubahan sejarah dalam cara kita melihat, berpikir, dan berbuat. Kita dapat mengenali perubahan ini pada lingkup seni, teori, dan sejarah ekonomi. Definisi praktis postmodernisme dapat diperoleh dengan menyelidikinya.
Dalam situs decon.doc disebutkan perbedaan mendasar mengenai modernisme dan postmodernisme. Situs tersebut menyebutkan bahwa modernisme adalah kata lain dari penerangan humanis. Pemikir evalengical, Thomas Oden, berkata bahwa periode ini dimulai dari runtuhnya Bastille pada tahun 1789 (Revolusi Perancis) dan berakhir dengan kolapsnya komunisme dan runtuhnya tembok berlin pada tahun 1989. Modernisme adalah suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian dan kemungkinan mengetahui kebenaran dengan hanya menggunakan penalaran manusia.
Oleh karena itu, dalam arti simbolik penalaran menggantikan posisi Tuhan, naturalisme menggantikan posisi supernatural. Modernisme sebagai pengganti dinyatakan sebagai penemuan ilmiah, otonomim manusia, kemajuan linier, kebenaran mutlak (atau kemungkinan untuk mengetahui), dan rencana rasional dari social order Modernisme dimulai dengan rasa optimis yang tinggi. Sedangkan postmodernisme adalah sebuah reaksi melawan modernisme yang muncul sejak akhir abad 19. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan oleh keinginan, penalaran digantikan oleh emosi, dan moralitas digantikan oleh relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruk sosial; kebenaran sama dengan kekuatan atau kekuasaan.
Identitas diri muncul dari kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteritik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan. Postmodernisme adalah pandangan dunia yang menyangkal semua pandangan dunia. Singkatnya, postmodernisme mengatakan bahwa tidak ada kebenaran universal yang valid untuk setiap orang. Individu terkunci dalam persepktif terbatas oleh ras, gender, dan grup etnis masing-masing. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain. Hal tersebut jelas mempunyai implikasi dalam bagaimana kita melihat diri dan mengkonstruk identitas diri.
Pada situs perspektifpsikologisosial.doc disebutkan bahwa teori postmodernisme atau dikenal dengan singkatan “posmo” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori postmodernisme menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991). Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan.. Pada situs tersebut juga disebutkan bahwa berdasarkan pandangan postmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal.
Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan–nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya
Pengertian lain mengenai postmodernisme penulis ambil dari situs wikipedia Postmodernism. Situs tersebut menyebutkan bahwa postmodernisme adalah sebuah istilah yang abstrak dan teoritis yang dibedakan dengan istilah postmodernity, yang mendeskripsikan mengenai iklim sosiologi atau budaya. Istilah postmodernisme dibuat pada akhir tahun 1940 oleh sejarawan Inggris, Arnold Toynbee. Akan tetapi istilah tersebut baru digunakan pada pertengahan 1970 oleh kritikus seni dan teori asal Amerika, Charles Jencks, untuk menjelaskan gerakan antimodernisme seperti Pop Art, Concept Art, dan Postminimalisme. Jean-Francois Lyotard, dalam bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1979), adalah salah satu pemikir pertama yang menulis secara lengkap mengenai postmodernisme sebagai fenomena budaya yang lebih luas. Ia memandang postmodernisme muncul sebelum dan setelah modernisme, dan merupakan sisi yang berlawanan dari modernisme.
Hal ini diperkuat oleh pendapat Flaskas (2002) yang mengatakan bahwa postmodernisme adalah oposisi dari premis modernisme. Beberapa di antaranya adalah gerakan perpindahan dari fondasionalisme menuju anti-fondasionalisme, dari teori besar (grand theory) menuju teori yang spesifik, dari sesuatu yang universal menuju ke sesuatu yang sebagian dan lokal, dari kebenaran yang tunggal menuju ke kebenaran yang beragam. Semua gerakan tersebut mencerminkan tantangan postmodernist kepada modernist.
Sedangkan Adian (2006) menangkap adanya gejala “nihilisme” kebudayaan barat modern. Sikap kritis yang bercikal bakal pada filsuf semacam Nietzsche, Rousseau, Schopenhauer yang menanggapi modernisme dengan penuh kecurigaan. Sikap-sikap kritis terhadap modernisme tersebut nantinya akan berkembang menjadi satu mainstream yang dinamakan postmodernisme. Postmodernisme sendiri memecah dirinya dalam tiga jalur wacana:
pertama, wacana kritis terhadap estetika modern, kedua, wacana kritis terhadap arsitektur modern, ketiga, wacana kritis terhadap filsafat modern.
Postmodernisme sebagai wacana pemikiran harus dibedakan dengan postmodernitas sebagai sebuah kenyataan sosial. Postmodernitas adalah kondisi dimana masyarakat tidak lagi diatur oleh prinsip produksi barang, melainkan produksi dan reproduksi informasi dimana sektor jasa menjadi faktor yang paling menentukan. Masyarakat adalah masyarakat konsumen yang tidak lagi bekerja demi memenuhi kebutuhan, melainkan demi memenuhi gaya hidup. Sedangkan postmodernisme adalah wacana pemikiran baru sebagai alternatif terhadap modernisme. Modernisme sendiri digambarkan sebagai wacana pemikiran yang meyakini adanya kebenaran mutlak sebagai objek representasi bagi subjek yang sadar, rasional, dan otonom.
Sebagai realitas pemikiran baru, postmodernisme meluluhlantakkan konsep-konsep modernisme, seperti adanya subjek yang sadar-diri dan otonom, adanya representasi istimewa tentang dunia, dan sejarah linier. Istilah “pos”, menurut kubu postmodernisme, adalah kematian modernisme yang mengusung klaim kesatuan representasi, humanisme-antroposentrisme, dan linieritas sejarah guna memberi jalan bagi pluralisme representasi, antihumanisme, dan diskontuinitas.

I. Islam dan Postmodernisme
Menurut Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., mengatakan bahwa terdapat perbedaan aksentuasi makna dan semangat ketika postmodernisme difahami sebagai periode kesejarahan dan mode pemikiran, meskipun keduanya memiliki keterkaitan yang amat erat: yang pertama mengajak kita untuk memusatkan pada kajian sosiologis terhadap kehidupan masyarakat postmodern, sedang yang kedua pada analisa konseptual-filosofis.
Ketika postmodernisme dikaitkan dengan Islam, kita juga bisa meniliknya dari dua arah tersebut. Tapi di sini kita sulit mencari sosok pemikir yang secara spesifik dan intens terlibat dalam wacana postmodernisme sebagai sebuah agenda filosofis-intelektual. Barangkali hanya dua nama yang mudah disebutkan, yakni Mohamed Arkoun dan Hassan Hanafi. Yang pertama seorang intelektual muslim kelahiran Aljazair yang tinggal di Perancis, dan yang kedua berasal dari Mesir yang juga banyak mengenyam pendidikan di Perancis. Keduanya memiliki keterlibatan intelektual secara langsung dengan isu dan gerakan postmodernisme di Eropa. Dari keduanya itu kelihatannya Arkoun lebih terlibat jauh. Berbagai karyanya, yang sebagian besar masih dalam edisi Perancis, memang secara eksplisit memperkenalkan konsep "dekonstruksi" dari Derrida dalam memahami Al-Qur'an, meskipun dalam segi yang amat fundamental Arkoun berbeda dari Derrida dan pemikir postmodernis yang lain.
Dalam analisa sosiologis-historis, kaitan antara postmodernisme dan Islam sampai sejauh ini sedikit sekali mendapat perhatian. Di antara yang sedikit itu adalah karya Akbar S. Ahmed, Postmodernism and Islam (1992) dan Ernest Gellner, Postmodernism, Reason and Religion (1992). Meskipun keduanya secara eksplisit menyebutkan postmodernism dalam judul bukunya, tetapi analisanya kurang masuk lebih dalam memasuki agenda diskusi yang dilakukan oleh kaum poststrukturalis.
Namun begitu kedua buah buku ini setidaknya memberikan pengantar bagi kita untuk memasuki arena diskusi mengenai kaitan Islam dengan persoalan modernitas dan postmodernitas. Ahmed memulai analisanya dengan terlebih dahulu mencirikan karakter sosiologis postmodernisme. Di sana terdapat delapan yang menonjol, yaitu: Pertama, timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden (meta-narasi); dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran.
Kedua, meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistim indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media masa telah menjelma bagaikan "agama" atau "tuhan" sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi. Ketiga, munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi, sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.
Keempat, munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan romantisisme dengan masa lalu. Kelima, semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat roda, negara maju sebagai "titik pusat" yang menentukan gerak pada "lingkaran pinggir". Keenam, semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.
Ketujuh, era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif. Kedelapan, bahasa yang digunakan dalam wacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut "era postmodernisme" banyak mengandung paradoks.
Paradoks yang digaris bawahi Ahmed antara lain ialah: masyarakat mengajukan kritik pedas terhadap materialisme, tapi pada saat yang sama pola hidup konsumerisme semakin menguat; masyarakat bisa menikmati kebebasan individual yang begitu prima yang belum pernah terjadi dalam sejarah, namun pada saat yang sama peranan negara bertambah kokoh; dan masyarakat cenderung ragu terhadap agama, tetapi pada saat yang sama terdapat indikasi kelahiran metafisika dan agama.
Baik dari aspek kajian sosiologis maupun intelektual-filosofis, isu postmodernisme muncul sebagai agenda wacana masyarakat Barat. Sejak 6 abad terakhir praktis kepemimpinan dunia dipegang oleh Barat, setelah sebelumnya oleh dunia Islam. Dunia Islam jauh ketinggalan dalam menyumbangkan peradaban sains dan teknologi dan kreasi-kreasi lain. Islam sebagai paradigma syariat dan teologi memang kelihatan masih kokoh (untuk tidak mengatakan jumud atau beku), tetapi Islam sebagai paradigma peradaban berada di luar panggung permainan, dan cenderung sebagai penonton yang "cemburu".
Sejarah mencatat bahwa loncatan-loncatan kreasi dan inovasi intelektual dalam Islam terjadi justeru ketika terjadi kontak dan pergulatan dengan Barat. Hal ini terjadi begitu menyolok ketika Islam berjumpa dengan warisan intelektual Yunani. Karya-karya intelektual Islam terbaik dan amat monumental terbentuk pada abad-abad pertengahan di mana pergulatan berlangsung begitu intens antara filsafat Yunani dan pemikir-pemikir muslim Arab Persia khususnya. Kontak kedua yang juga amat menentukan dalam perkembangan Islam terjadi pada awal abad ke-20 ini. Gerakan pembaharuan dan modernisasi dalam Islam merebak setelah Islam berjumpa dengan Barat modern. Hampir semua tokoh modernis dalam Islam adalah mereka yang memiliki apresiasi kritis terhadap intelektualisme Barat.
Pada fase ini kontak dengan Barat memberikan pencerahan dalam pemikiran politik dan apresiasi teknologi. Pada penghujung abad 20 ini, setelah Perang Dunia I dan II kelihatannya pola hubungan Islam-Barat melahirkan nuansa-nuansa baru. Pada fase ketiga inilah postmodernisme masuk sebagai salah satu agenda, meskipun bagi mayoritas pemikir muslim, ia tetap merupakan bagian tak terpisahkan dari paradigma westernisme-modernisme. Dengan mengamati buku-buku mutakhir yang berkenaan dengan hubungan Barat dan Islam, terdapat indikasi yang kuat bahwa respons dunia Islam, terdapat Barat lebih diwarnai dengan semangat politis-ideologis. Karya John Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality? (1992), dengan bagus mencoba menjelaskan hubungan Barat dan Islam yang selalu ditandai konflik.
Menurut Hassan Hanafi, sebagaimana dikemukakan oleh Kazuo Shimogaki dalam Kiri Islam: Antara Modernisme dan Postmodernisme (1993), Barat sekarang ini secara sadar dan gencar melakukan imperialisme kultural atas dunia Islam sehingga proyek modernisme Barat yang dikenalkan pada dunia Islam tak lain dari sebuah penaklukkan dan dominasi. Penaklukkan ini, kata Esposito, telah memporakporandakan bangunan sejarah tata nilai dan kelembagaan yang telah beratus tahun tegak dalam komunitas muslim. Namun demikian, meskipun secara sosial dunia Islam mengalami kelumpuhan akibat kolonialisme Barat, monoteisme Islam yang begitu kuat yang telah berakar ratusan tahun dalam sejarah sanggup menjadi benteng pertahanan dan ruh bagi dunia islam untuk mencoba bangkit melawan Barat.
Sebagai akibat dari penjajahan itu, jika dalam agenda percaturan peradaban mondial umat Islam berada di luar panggung permainan, hal itu--di samping karena kelelahan intelektual yang menimpa dunia Islam--dikarenakan Barat memang tidak ingin ada kelompok lain yang tampil menyainginya. Kelelahan intelektual dan psikologis akibat penjajahan ini telah menyebabkan umat Islam merasa kurang bertanggungjawab atas krisis dunia dan kemanusiaan yang sebagian besar disebabkan oleh perilaku masyarakat Barat.
Secara psikologis, tidaklah mudah untuk menghapus begitu saja pengalaman pahit akibat penjajahan Barat atas dunia Islam. Dengan meminjam istilah Josiah Royce, jika konsep komunitas itu ditentukan oleh kenangan bersama tentang masa lalu serta nilai-nilai yang dihayati bersama yang kemudian diproyeksikan ke masa depan, maka kenangan anti Barat merupakan nilai dan memori yang berkembang secara turun temurun dari generasi ke generasi umat Islam. Perkembangan ini bahkan oleh Samuel Huntington dinilai semakin menguat, karena Barat sendiri melihat dunia Islam sebagai ancaman terutama setelah jatuhnya komunisme.
Penilaian Huntington ini, menurut hemat saya, bukan mengada-ada, karena dia sekedar membaca secara jeli terhadap denyut anatomi dan psikologi hubungan Barat-Islam. Implikasi sinyalemen Huntington ini bagaikan bahan bakar yang berfungsi mengawetkan api konflik atau "perang terbuka" antara Barat versus Islam. Dan oleh karenanya pihak diplomat dan beberapa intelektual Amerika lainnya dibuat sibuk berupaya "menutupi", "meralat" atau "membantah" deklarasi Huntington yang jujur dan bisa merugikan mereka sendiri.
Di dalam dunia Islam sendiri isu anti Barat ini kadangkala dijadikan semacam komoditi "legitimasi" untuk membangun popularitas dan keabsahan bagi munculnya "pahlawan pembela umat". Dengan cara melancarkan serangan terhadap Barat, meskipun secara retorik, seseorang akan mendapat applaus dari umatnya. Sebaliknya, seorang muslim yang dinilai begitu dekat dengan Barat akan diragukan ketokohan dan loyalitasnya pada kepentingan Islam. Di Indonesia, juga di beberapa negara di Timur Tengah, gejala ini tidaklah sulit untuk diamati.
Dari uraian di atas, satu hal yang ingin ditegaskan Rektor UIN Jakarta itu ialah, perasaan terancam dan luka historis dunia Islam akibat penjajahan cenderung menutupi bagi terciptanya wacana yang jujur antara Barat dan Islam untuk melihat proyek "modernitas" dan "postmodernitas". Hubungan antara keduanya lebih diwarnai dengan kepentingan politis-ekonomis, yaitu relasi kuasa untuk saling menaklukkan ketimbang dialog peradaban yang saling isi mengisi secara suka rela.
Di mata para pemikir postmodernisme, paradigma modernisme dan proyek modernisasi dinilai telah gagal atau--yang pasti--mempunyai cacat dan kelemahan mendasar sehingga dalam berbagai aspeknya harus didekonstruksi.Tatanan realitas yang dibangun oleh cara pandang modernisme harus dibongkar, mulai dari tataran epistemologinya. Mengapa? Karena dengan epistemologilah kita memandang dan mendefinisikan realitas, dan pada urutannya di atas definisi yang kita susun itulah kita bangun realitas kehidupan. Jika fondasinya sudah salah, maka fondasinya akan membahayakan kehidupan itu sendiri.
Demikianlah maka kalau kita membicarakan kaitan antara Islam dan postmodernisme, kita mau tak mau harus juga memeriksa kembali modus keberagamaan kita, pandangan kita tentang watak bahasa agama, dan bagaimana bahasa agama tersebut mesti kita sikapi.

H. Kesimpulan
Ruang lingkup manajemen, baik dalam positivisme, teori kritis, profetik dan postmodernisme, semuanya berorientasi pada satu titik akhir bahwa segala sesuatu, khususnya ilmu manajemen dan Islam sebagai suatu agama, harus berorientasi pada kenyataan sosial, fakta-fakta social, data-data empiris yang dapat ditangkap oleh pancaidera. Sebagai ilmu pendidikan, manajemen memerlukan kerjasama dan keterbukaan pada ilmu-ilmu sosial lainnya, seperti psikologi, sosiologi, dan lain sebagainya. Walaupun manajemen sejatinya berdasar pada data empiris, bukan berarti ia bebas nilai dan tak mengenal benar salah. Manajemen selalu menghiasi dirinya dengan nilai kebaikan dan menghindari nilai sebaliknya. Manajemen harus terus devaluasi dan dikembangkan sesuai perkembangan zaman. Manajemen tidak boleh statis, tapi berevolusi terus-menerus.
DAFTAR PUSTAKA

Ankersmit, F.R., Refleksi Tentang Sejarah : Pendapat-pendaat Modern tentang
Filsafat Sejarah, Cet.1, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1987
Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar
Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra, 2006.
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996
Hardiman, Budi Francisco. Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan. Yogyakarta:Kanisius, 1990
Johnson, Doyle Paul, Teori Sosilogi : Klasik dan Modern, Jil. 1Cet. 3, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Kvale, Steinar (ed.). Psikologi dan Posmodernisme. Pustaka Pelajar:
Yogyakarta, 2006
Laeyendecker, L. Tata, Perubahan dan Ketimpangan : Suatu Pengantar Sejarah
Sosiologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983
Magnis-Suseno, Franz. Filsafat sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta:Kanisius, 1992
Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah : Menurut Karl R. Popper,
PT. Gramedia, Jakarta, 1989
http://en.wikipedia.org/wiki/Postmodernism. Tanggal 23 desember 2008
http://www.itu.dk/courses/VV/E2000/Frank-PoMo.doc. Tanggal 2 Januari 2009
http://www.fni.com/cim/briefing/decon.doc. Tanggal 2 Januari 2009
http://home.unpar.ac.id/~hasan/perspektif%20dalam%20psikologi%20
sosial.doc. Tanggal 2 Januari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar