Satu bulan terakhir saya tak membeli beras, karena di rumah masih ada persediaan. Alangkah kagetnya hari ini, saat saya membeli beras lagi, ternyata harganya sudah jauh melambung. Berita di koran lokal - Bandung, topik pembicaraan lebih terarah pada naiknya harga kedelai. Masyarakat yang diwawancarai pun adalah pembuat tahu-tempe dan tukang gorengan. Saya tak mengira bahwa kenaikan harga justru juga melanda beras, yang jelas lebih signifikan pengaruhnya terhadap masyarakat. Apakah kenaikan harga kedelai adalah pengalihan isu?
Entah kenapa, sepulang dari warung hati saya seperti dilecut oleh sesuatu yang amat keras. Ya Tuhan, bagaimana dengan para tukang becak dan orang-orang lain yang penghasilannya pas-pasan? Belum lagi biaya sekolah, biaya berobat, biaya ini dan itu pun ternyata tidaklah murah.Banyak di antara kita memiliki penghasilan cukup, tapi menghamburkannya untuk sesuatu yang kurang perlu. Banyak di antara kita yang memiliki perbendaharaan ilmu, tapi menahannya kecuali dibayar dengan harga tinggi.
Setiap hari, di banyak tempat, kita selalu disuguhi macam-macam hal yang mengenaskan. Tukang gorengan mati karena stress dengan naiknya harga minyak dan kedelai, seorang anak bunuh diri karena nggak bisa bayar SPP, anak jalanan ditemukan terpotong-potong tanpa makna, pedagang kaki lima histeris karena dagangannya digusur, diobrak-abrik Satpol PP. Andai kita menganggap setiap tempat dan waktu adalah lahan untuk memberikan cinta, mungkin kita akan lebih banyak bersedekah dan membantu biaya pendidikan orang-orang papa daripada berwisata atau berkali-kali haji dan umrah; kita akan lebih menahan diri untuk berbelanja hal-hal yang mubazir; kita akan lebih banyak berbagi ilmu daripada berhitung untung-rugi; kita akan menanggalkan ego-ego kita ketimbang memuaskannya.
Ya, Allah. Saya benar-benar diingatkan dengan naiknya harga beras dan kedelai. Semua harus dimulai dari diri sendiri. Semoga hari ini adalah awal yang baik untuk saya dan keluarga berbenah diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar