Kesulitan beberapa bahan pangan beberapa tahun terakhir ini cukup menimbulkan pertanyaan. Negeri kita begitu luas. Kalau kita lihat di peta, wilayah Indonesia terbentang ke kiri dan ke kanan jauh melampaui Singapura yang kecil di tengah-tengah. Tapi mengapa kita sering mengalami krisis pangan, bahkan amat parah? Dulu, saat saya masih sekolah, Indonesia dikenal dengan negara agraris, tapi buktinya kini, bahan pangan kita ternyata banyak berasal dari impor.
Tampaknya hal itu bukanlah terjadi dengan sendirinya. Keberlimpahan sumber daya alam di negeri kita ternyata menimbulkan dampak lain yaitu kemalasan. Karena keberlimpahan itu pula, muatan pendidikan bagi anak-anak berangsur-angsur meninggalkan akhlak pada alam dan tata nilai spiritual. Mungkin tanpa sadar para pendidik kita berpikir, TIDAK PENTING LAH MENGAJARKAN KECINTAAN PADA ALAM DAN PERNAK-PERNIKNYA. KARENA ALAM KITA BEGITU KAYA, TAK AKAN HABIS DIMAKAN OLEH BERABAD-ABAD GENERASI SEKALIPUN.
Tapi fakta hari ini menunjukkan hal yang berbeda. Kita sudah berada di ambang krisis pangan, karena kita memang sudah kurang peduli dengan alam. Beberapa petani kita bahkan menjadi lebih bangga menukar hijaunya lahan pertanian yang mereka miliki dengan TV plasma, mobil mewah, dan atribut kecanggihan zaman modern lainnya. Tanah-tanah penghasil pangan mereka jual pada para pemilik modal. Beberapa tempat yang dulunya penghasil sayur-sayuran misalnya, kini telah berubah menjadi kawasan rumah peristirahatan dan taman bunga. Bunga menjadi lebih menarik untuk ditanam, karena harganya jauh lebih tinggi daripada sawi atau kol. Sepetak tanah yang ditanami bunga bisa menghasilkan rupiah yang lebih banyak daripada satu hektar tanah yang ditanami kedelai atau wortel.
Dapat kita bayangkan, jika hari ini para petani saja sudah mulai menciut minatnya untuk bertani, bagaimana generasi anak-anak kita di masa yang akan datang. Bahkan sarjana pertanian pun enggan terjun ke lahan-lahan pertanian dan membantu petani menyelesaikan masalah-masalah pertanian, apalah lagi mereka yang bidangnya berjauhan dengan tanah dan tumbuhan.
Saya ingat sewaktu kecil dulu, di sekeliling rumah tumbuh banyak pohon buah-buahan. Untuk memenuhi kebutuhan vitamin C, kami tak butuh suplemen atau buah-buahan impor. Kami makan sirsak, jambu biji, kecapi, rambutan, dan lain-lain. Musim buah-buahan yang bergantian menjamin kami untuk tetap sehat dengan cara yang murah, bahkan tanpa resiko terkena racun dari lilin pelindung buah seperti halnya buah-buahan impor. Pekarangan rumah yang tak begitu luas pun bisa menghasilkan sayur-sayuran berselang-seling. Saya begitu menikmati indahnya menggemburkan tanah, menanam biji kacang panjang, kecipir, dan bayam; membantu membuat pagar bambu yang ditancapkan di tanah bersilang-silang. Saya rasakan kegembiraan saat mengusir ayam yang kadang nakal mematuki benih yang mulai tumbuh. Kebanggaan pun makin terasa ketika tanaman itu tumbuh dan mulai berbunga dan berbuah. Setiap hari kami punya pasokan sayur-sayuran. Dengan membawa bakul dari bambu anak-anak kecil memetik kacang panjang yang bisa satu meter panjangnya. Jika berlebih kami berbagi pada tetangga.
Kini, keadaan semacam itu pun menjadi langka, bahkan juga di pedesaan. Orang desa malah lebih tertarik menjadi kuli di kota, padahal ada tanah yang bisa menghidupi dia di desa. Seringkali saya merindukan suasana di desa dulu. Hijau, udara bersih, dan teduh.
Saya ingin anak-anak saya menikmati keindahan yang saya rasakan dulu. Saya juga ingin agar semua anak mengenal alam dan kemudian mencintainya. Tarikan zaman yang mengajak kita untuk meninggalkan alam kiat kuat. Tak ada yang akan menahannya kecuali kita mendidik anak-anak kita mencintai alam sejak sekarang.
Peliharalah tetumbuhan di halaman rumah dan biarkan anak-anak bersentuhan dengan tanah dan basahnya rerumputan di pagi hari. Kenalkan mereka pada berbagai jenis tumbuhan, entah sayur-sayuran, padi, jagung, kedelai, dan kacang hijau. Tanpa proses pengenalan, bahkan orang dewasa sekarang pun ada yang tak kenal bagaimana rupa pohon jagung atau wortel, dan bahkan rupa kacang kedelai.
Segala puji bagi Allah yang telah memberi begitu banyak ragam bahan pangan dan sumber penghidupan. Berawal dari orang tua, mari kita gugah kembali kecintaan pada alam, sehingga anak-anak kita pun mencintainya dan mau menjaganya.
Salam pendidikan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar