Idul Adha bulan Desember 2007 lalu adalah momentum bersejarah buat saya. Untuk pertama kalinya saya berani membawa kedua anak saya berboncengan naik sepeda. Dua hari sebelumnya saya baru berani bawa si kecil Luqman (3 tahun). Itu pun diawali dengan perasaan ngeri. Bahkan saya tak mau membayangkannya.
Karena kasihan melihat mereka, yang beberapa hari di minggu itu tak bersentuhan dengan hal-hal menarik, sedikit keberanian mengalahkan sejuta ketakutan. Dengan basmalah, saya mengumpulkan energi untuk melakukan hal baru. Hebatnya, anak-anak justru begitu percaya pada saya yang sebenarnya sangat ragu bisa menjalankan sepeda dengan mulus.
Awalnya sedikit terseok-seok, tapi dengan tatapan lurus ke depan dan berpikir hanya selamat, akhirnya sepeda melaju dengan aman. Anak-anak tertawa gembira, apalagi saat sepeda melaju lebih kencang. Sebuah pengalaman yang luar biasa buat mereka. Celoteh mereka tak henti-henti selama dalam perjalanan. Mereka tak tahu, kalau saya justru sedang berjuang melawan rasa was-was.
Setibanya kembali ke rumah, hati rasanya begitu lapang. Suami saya bahkan mungkin tak tahu suasana batin saya saat itu, kecuali ia membaca tulisan ini. Pengalaman hari itu memang menjadi awal keberanian untuk hari-hari berikutnya.
Satu kesimpulan yang terpikir kemudian adalah, bahwa dalam banyak hal, kita orang tua pasti akan dihadapkan pada situasi-situasi semisal itu dalam menempuh kehidupan. Jika kita memberikan aura keberanian dan optimisme dalam menghadapi apapun, sikap mental itu akan menular pada anak-anak kita. Sebuah modal berharga bagi mereka untuk survive, kelak setelah dewasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar