Filsafat Ilmu
fllsafat-ilmu.Klik disini
15 Tanggapan ke “Filsafat Ilmu”
1. yayah tarsiah Berkata:
Mei 4, 2007 pukul 4:13 am
faktor apa yang mempengaruhi penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang di kuasai orang-orang yahudi?klarena yang kita tahu berdasarkan sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi dulu di kuasai oleh orang-orang muslim,contoh ibnu sina ahki kedokteran,dll.tetapi sekarang bergeser/berpindah orang yahudi yang menguasai.apa sebabnya?…
Nama: yayah tarsiah
Kelas: 1-c /PE-AP
2. ryan Berkata:
Mei 8, 2007 pukul 3:28 am
selamat pagi pak, saya ryan mahasiswa dari fakultas ilmu komunikasi universitas sahid jakarta. saya mohon bantuan bapak tentang ontologi ilmu komunikasi. saya berharap bapak bisa membantu saya untuk mengerjakan tugas tentang ontologi ilmu komunikasi.
atas bantuannya, saya ucapkan banyak-banyak terima kasih.
3. UC KENCLENG/ DEDI.H 1C PEAP Berkata:
Mei 8, 2007 pukul 10:30 am
sesungguhnya ilmu itu banyak kelebihan kepala ilmu itu tawadhu, matanya adalah bebas dari dengki telinganya adalah faaham. lisannnya adalah kejujuran, hapalannya adalah pemeriksaan, hatinya adalah niat yan baik, akalnya adalah mengenal perkara-perkara yang wajib, tangannnya adalah kasih sayang dan sillaturahmim kakinya adalah mengunjungi ulama, tekadnya adalah kesehatan hikmahnya adalah wara atau hati-hati, tempatnya adalah selamat,penuntunya adalah kesejahteraan, kendaraannya adalah kesetiaan dan senjatanya adalah kelembutan bicara, pedangnya adalah keridhaan, busurnya adalah dialog, pasukannya adalah berdekatan dengan ulama hartanya adalah adab dan amal, tabungannya adalah menjauhi dosa, bekalnya adalah kebaikan, airnya adalah perpisahan, petunjuknya adalah hidayah, teman dekatnya adalah bersahabat dengan org shaleh yang menuntut ilmu
4. ANDRIANTO/MAN.KARYAWAN Berkata:
Mei 12, 2007 pukul 12:36 pm
ILMU MRP SUATU PENGETAHUAN YANG KEBENARANNYA SUDAH DIBUKTIKAN, JADI KITA SEBAGAI MANUSIA APABILA INGIN BAHAGIA DAN SEJAHTERA KITA HARUS BERPIKIR YAITU DENGAN DIDASARI ILMU DUNIA DAN AKHIRAT MAKA KITA TIDAK PERLU SUSAH UNTUK MEMPEROLEH HIDUP SUKSES, KARENA APABILA KITA SUDAH MENEMUKAN KUNCINYA (ILMU) MAKA KITA AKAN SELALU WASPADA DAN HATI-HATI DALAM BERBUAT.
5. ANDRIANTO/MAN.KARYAWAN Berkata:
Mei 12, 2007 pukul 12:47 pm
ILMU MRP SUATU PENGETAHUAN YANG KEBENARANNYA SUDAH DIBUKTIKAN, JADI KITA SEBAGAI MANUSIA APABILA INGIN BAHAGIA DAN SEJAHTERA KITA HARUS BERPIKIR YAITU DENGAN DIDASARI ILMU DUNIA DAN AKHIRAT MAKA KITA TIDAK PERLU SUSAH UNTUK MEMPEROLEH HIDUP SUKSES, KARENA APABILA KITA SUDAH MENEMUKAN KUNCINYA (ILMU) MAKA KITA AKAN SELALU WASPADA DAN HATI-HATI DALAM BERBUAT.
SEBAGAIMANA FIRMAN ALLAH SWT. DALAM SURAT FATHIR :28 “SESUNGGUHNYA YANG TAKUT KEPADA ALLAH DIANTARA HAMBA-HAMBANYA HANYALAH ULAMA (ORANG BERILMU)”
6. Asep Kuhro Berkata:
Juni 5, 2007 pukul 2:04 am
1.*manfaat mampelajari Filsafat Ilmu:
- Menambah Ilmu Pengetahuan
- Manusia selalu ingin berpihak bagaimana suatu hal itu bisa tercapai dengan baik
- menambah tingakat keimananyang kuat
- bisa berfikir suatu teratur dan logis
* manfaat mempelajari filsafatr ilmu
- bisa mengkaji ilmu lebih mudah
- bisa mengtahui bermacam-macam filsafat : Filsafat sosial, melahirkan ilmu sosial
- ilmu filsafat sangat penting bagi kehidupan kita sehari-hari
- dengan ilmu kita dapat mengetahui hal -hal baru, hal penting
2. Ada
berfikir bisa tanpa adanya unsur /saint filsafat
berfikir secara ilmiah berfikir berdasarkan pengetahuan
berfikir secara filsafat berdasarkan saint
3. karena untuk melalui tujuan secara banyak dan lebih mendalam
4. kalau berfikir secara normal berfikir biasa
kalau berfilsafat berfikir secara normal tapi didasarkan pada pengetahuan dan berfikir untuk mencapai suatu tujuan
5. berfikir cepat dan benar, karena kalau sesuatu atau tugas belum selesai hati dan perasaan saya tidak akan tenang, dan tugas ini ingin saya selesaikan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan saya
7. Eman/3/akun Berkata:
Juni 12, 2007 pukul 10:54 am
1. Dengan mempelajari filsafat dan filsafat ilmu, saya dapat mengetahui hal-hal (ilmu) baru yang bermanfaat bagi kehidupan yang sebelumnya tidak saya ketahui. Disamping itu juga saya bisa berfikir tentang sesuatu berdasarkan filsafat ilmu, dimana pemikiran kita secara logis dan rasional.
2. - Berfikir biasa merupakan proses berpikir/ pengembangan pikiran tanpa didasarkan unsur ilmu dan filsafat, dimana berfikir disini hanya sederhana saja.
- Berfikir ilmiah merupakan proses berfikir/ pengembangan pikiran yang tersusun secara sistematis yang berdasarkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah,yang sudah ada/
- Berfikir Filsafat merupakan proses berfikir/ pengembangan pikiran berdasarakan ilmu-ilmu pengetahuan yang lebih dalam lagi, sehingga menghasilkan suatu pemikiran yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
3. Ilmu harus didasari dengan asumsi filsafat karena dengan filsafat, ilmu dapat lebih berkembang dan mendalam lagi.
4. Dalam berfikir tidak berdasarkan ilmu/ filsafat, hanya berfikir biasa saja. Tetapi kalau berfilsafat itu didalamnya mencakup kegiatan berfikir yang berdasarkan ilmu pengetahuan.
5. Pada saat membaca soal, saya pikir sangat mudah sekali soal yang diberikan, tetapi yang saya rasakan saat saya harus menjawab soal tersebut, terus terang saya kebingungan,jawaban yang bagaimana yang harus saya berikan. Saya tahu mengenai “berfikir, ilmu dan berfilsafat”, tetapi sulit mengungkapkannya.
EMAN SULAEMAN
03203510131
Tk. 3/ AKUNTANSI (karyawan)
8. defi/3/akun Berkata:
Juni 12, 2007 pukul 11:16 am
1) Dengan mempelajari filsafat dan filsafat ilmu,maka kita sebagai manusia yang berfikir akan memperoleh pengetahuan yang lebih dikarenakan filsafat disini mengajak kita berfikir diatas berfikir, yaitu berfikir yang logis dan rasional dengan pembiktian-pembuktian yang ilmiah yang dapat diterima secara umum.
2) Ada
Berfikir biasa merupakan suatu proses pengembangan ide dan konsep yang tingkatannya masih terbatas atau sederhana karena prosesnya sanagtlah mudah dan hamp[ir semua orang dapat melakukannya.
berfikir ilmiah yaitu berfikir disini telah disusun secara sistematis mengenai sebuah objek tertentu yang menghasilkan pengetahuan ilmiah
Berfikir filsafat yaitu tahapan paling tinggi dari jenis berfikir, berfikir disini meliputi berfikir biasa, berfikir ilmiah dan berfilsafat.yaitu berfikir dengan logis dan rasional dengann segala pembuktian yang dapat di pertanggung jawabkan dan di terima oleh umum
3)karena jika ilmu tdk di asumsikan pada filsafat maka ilmu itu tidak akan berkembang dan menghasilkan pengetahuan yang baru,dan jika berfikir di asumsikan kepada filsafat maka ilmu itu akan terus berkembang
4) berfikir tidak mencakup berfilsafat, karena berfikir hanya sifatnya sederhana yang menghasilkan sesuatu yang biasa dan hampir semua orang bisa melakukannya,tetapi kalau filsafat mencakup kegiatan berfikir biasa, berfikir ilmiah, dan berfikir berfilsafat.dan tidak semua orang tidak bisa berfikir filsafat.
5) yang saya fikirkan pada saat membaca soal diatas adalah kita sebagai manusia harus bisa menggunakan akal kita untukberfikir, namun kita jangan mau hanya berfikir biasa karena hampir semua orang bisa melakukannya. jadi kita seharusnya harus mempunyai keinginan untuk berfikir sistematis/ tersusun dengan didasarkan pada pembuktian yang rasional/ berfilsafat. disamping itu juga kita harus mendasarkan pikiran kita kepada ilmu agama, karena dikhawatirkan kalau kita berfikir berfilsafat tanpa didasarkan pada ilmu agama maka akan mencelakakan diri kita sendiri.fungsi ilmu agama disini untuk mengajak kita berfikir sesuai dengan ajaran yang benar. jika kita berfikir berfilsafat, maka segala sesuatu didasarkan pada pembuktian-pembuktian yang ada, sedangkan hidup ini kita sebagai umat Islam ada sesuatu yang harus kita yakini yang tidak dapatdibuktikan atau didasarkan pada filsafat, tetapi kita harus percaya, contohnya peristiwa Isra Mi’raj.
Defi Gusfari
03203510125
Tk.3/ akuntansi (karyawan)
9. Dr. Singkop Boas Boangmanalu Berkata:
Juni 20, 2007 pukul 8:13 am
Jika anda tertarik dengan filsafat,saya mengundang anda sebagai rekan diskusi saya….(Dr. Boas Boangmanalu, Dosen Pascasajana Dept. Filsafat)
10. Asep Kuhro Berkata:
Juni 22, 2007 pukul 3:13 am
1. Pengalaman yang berkaitan dengan manfaat ilmu yang saya rasakan :
Misalkan dalam pekerjaan saya sangat berhubungan sekali dengan ilmu, dengan ilmu kita dapat mengerti apa yang harus dikerjakan, dengan ilmu kita mengerti permasalahan-permasalahan yang ada dalam pekerjaan kita, dengan ilmu kita akan mudah untuk memecahkan masalah-masalah dalam pekerjaan ataupun kehidupan sehari-hari.
2. Benar
karena filsafat merupakan pengetahuan yang kita ketahui juga filsafat bisa merupakan sesuatu hal keimanan kita, juga dengan filsafat kita bisa berfikir dengan benar dan terarah, juga menambah ilmu dan wawasan yang belum kita ketahui.
3.keprihatinan tersebut tidak lepas dari idividual itu sendiri mau tidak menggali kehidupan sekarang yang serba eksploitatif ini menggunakan ilmunya, dengan cara banyak belajar mengenai kehidupan sekarang.
4. - ilmu bebas nilai
ilmu yang tidak terbatas (konvensional)aturannya tidak tertulis.
-. ilmu tidak bebas nilai
ilmu yang dipelajari secara formal melalui pendidikan yang aksesnya dapat ditempuh dalam kehidupan sehari-hari.
5. yang saya fikirkan ilmu kehidupan sekarang cenderung berfikir instan cepat selesai dan mudah dengan hasil yang baik.
11. DADAN AHMAD GANDARA Berkata:
Agustus 30, 2007 pukul 7:29 am
Yth. Bapak Uhar Suharsaputra
Pak, saya Dadan Ahmad Gandara
Kelas Karyawan Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi
Mau menanyakan nilai saya untuk mata kuliah Filsafat Ilmu
nilai saya tidak ada di daftar nilai, saya ikut UAS susulan
dan soal-soal di web site Bapak sudah saya jawab.
Mohon kepada Bapak untuk dimaklumi.
Sekian dan terima kasih.
Dadan Ahmad Gandara
12. dani Berkata:
September 10, 2007 pukul 7:28 am
pak saya maba dari jurusan ilmu komunikasi , yang saya mau pertayakan adalah
1 apakah ciri-ciri ilmu pengtahuan?
2 apakah ciri-ciri ilmu sosial?
3 mengapa ilmu komunikasi dikatakan sebagai ilmu pengetahuan?
mohon segera dibalas untuk kelancaran tugas saya yang sudah mendekati deadline.sekiranya bapak sudi memaklumi.mohon maaf yang sebesar-besarnya.sekian dan terima kasih.
13. uhar Berkata:
September 12, 2007 pukul 6:58 am
nilai ada terlewat masuk nilainya A
14. indra Berkata:
Oktober 17, 2007 pukul 7:29 pm
Pak salam sejahtera
melalui kesempatan ini, saya ingin menanyakan tentang pengertian filsafat ilmu dan sejarah perkembangan ilmu filsafat
sebelum dan sesudahnya saya ucapkan banyak limpah terima kasih
BAB 1
ILMU, FILSAFAT DAN TEOLOGI
“Aku datang - entah dari mana,
aku ini - entah siapa,
aku pergi - entah kemana,
aku akan mati - entah kapan,
aku heran bahwa aku gembira”.
(Martinus dari Biberach,
tokoh abad pertengahan).
1. Manusia bertanya
Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama:
“Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap rahasia yang tersembunyi sekitar keadaan hidup manusia. Sama seperti dulu, sekarang pun rahasia tersebut menggelisahkan hati manusia secara mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu kebaikan apa itu dosa, apa asal mula dan apa tujuan derita, mana kiranya jalan untuk mencapai kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa pengadilan dan ganjaran sesudah maut, akhirnya apa itu misteri terakhir dan tak terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan kita, darinya kita berasal dan kepadanya kita menuju?” -- Zaman Kita (no.1), Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Sikap Gereja Katolik terhadap Agama-agama bukan Kristen, 1965.
Salah satu hasil renungan mengenai hal itu, yang berangkat dari sikap iman yang penuh taqwa kepada Allah, terdapat dalam Mazmur 8:
“Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulianya namaMu diseluruh bumi!
KeagunganMu yang mengatasi langit dinyanyikan.
Mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu berbicara bagiMu, membungkam musuh dan lawanMu.
Jika aku melihat langitMu, buatan jariMu, bulan dan bintang yang Kautempatkan;
apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Siapakah dia sehingga Engkau mengindahkannya? -- Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segalanya telah Kauletakkan dibawah kakinya:
kambing domba dan lembu sapi sekalian,
juga binatang-binatang di padang;
burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut,
dan apa yang melintasi arus lautan.
Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulia namaMu di seluruh bumi!”
2. Manusia berfilsafat
Tetapi sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).
Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan).
Al-Kindi (801 - 873 M) : "Kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia ... Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran".
Unsur "rasional" (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan "secara mendasar" pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat. Disebut "secara mendasar" karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab terdalam dari obyek yang dipelajari ("obyek material"), yaitu "manusia di dunia dalam mengembara menuju akhirat". Itulah scientia rerum per causas ultimas -- pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.
Karl Popper (1902-?) menulis "semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kuran gnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup". Mengingat berfilsafat adalah berfikir tentang hidup, dan "berfikir" = "to think" (Inggeris) = "denken" (Jerman), maka - menurut Heidegger (1889-1976 ), dalam "berfikir" sebenarnya kita "berterimakasih" = "to thank" (Inggeris) = "danken" (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.
Menarik juga untuk dicatat bahwa kata "hikmat" bahasa Inggerisnya adalah "wisdom", dengan akar kata "wise" atau "wissen" (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah "viten", yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta "vidya" yang diindonesiakan menjadi "widya". Kata itu dekat dengan kata "widi" dalam "Hyang Widi" = Tuhan. Kata "vidya" pun dekat dengan kata Yunani "idea", yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.
Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere = menjauhkan diri dari, mengambil dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat:
Aras abstraksi pertama - fisika. Kita mulai berfikir kalau kita mengamati. Dalam berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).
Aras abstraksi kedua - matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).
Aras abstraksi ketiga - teologi atau “filsafat pertama”. Kita dapat meng-"abstrahere" dari semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb. Aras fisika dan aras matematika jelas telah kita tinggalkan. Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau “filsafat pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.
Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.
3. Manusia berteologi
Teologi adalah: pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman. Secara sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber segala kehidupan di alam semesta ini. Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan (misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat juga.
Iman adalah sikap batin. Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatannya, terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya. Jika iman yang sama (apapun makna kata "sama" itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok orang, maka yang terjadi adalah proses pelembagaan. Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara bagaimana kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2) tatanilai dan aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan ajaran atau isi iman untuk dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan. Jika pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah wujud sosial dari iman.
Catatan.
(1) Proses yang disebut pelembagaan itu adalah usaha yang sifatnya metodis, sistematis dan koheren atas kenyataan yang berupa kesadaran akan kehadiran Sang Realitas yang mengatasi hidup. Dalam konteks inilah kiranya kata akal ("'aql") dan kata ilmu ("'ilm") telah digunakan dalam teks Al Qur'an. Kedekatan kata 'ilm dengan kata sifat 'alim kata ulama kiranya juga dapat dimengerti. Periksalah pula buku Yusuf Qardhawi, "Al-Qur'an berbicara tentang akal dan ilmu pengetahuan", Gema Insani Press, 1998. Namun sekaligus juga harus dikatakan, bahwa kata "ilmu" itu dalam pengertian umum dewasa ini meski serupa namun tetap tak sama dengan makna kata "ilmu" dalam teks dan konteks Al-Qur'an itu.
(2) Proses terbentuknya agama sebagaimana diungkapkan disini pantas disebut sebagai pendekatan "dari bawah". Inisiatif seakan-akan berasal dari manusia, yang ingin menemukan hakekat hidupnya di dunia ini dikaitkan dengan Sang sumber hidup dan kehidupan. Manusia meniti dan menata hidupnya sesuai dengan hasil penemuannya. Pendekatan "dari atas" nyata pada agama-agama samawi: Allah mengambil inisiatif mewahyukan kehendakNya kepada manusia, dan oleh karena itu iman adalah tanggapan manusia atas "sapaan" Allah itu.
Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan Allah dan manusia. Manusia berteologi karena ingin memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkannya: "aku tahu kepada siapa aku percaya" (2Tim 1:12). Teologi bukan agama dan tidak sama dengan Ajaran Agama. Dalam teologi, adanya unsur "intellectus quaerens fidem" (akal menyelidiki isi iman) diharapkan memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan iman, iptek dan imtaq, yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.
4. Obyek material dan obyek formal
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala "manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat". Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi - filsafat ketuhanan; kata "akhirat" dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. "Segala manusia ingin mengetahui", itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala "manusia tahu". Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali "kebenaran" (versus "kepalsuan"), "kepastian" (versus "ketidakpastian"), "obyektivitas" (versus "subyektivitas"), "abstraksi", "intuisi", dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
5. Cabang-cabang filsafat
5.1. Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas, filsafat selalu bersifat "filsafat tentang" sesuatu: tentang manusia, tentang alam, tentang akhirat, tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum, agama, sejarah, ... Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk:
1. filsafat tentang pengetahuan:
obyek material : pengetahuan ("episteme") dan kebenaran
epistemologi;
logika;
kritik ilmu-ilmu;
2. filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan:
obyek material : eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat)
metafisika umum (ontologi);
metafisika khusus:
antropologi (tentang manusia);
kosmologi (tentang alam semesta);
teodise (tentang tuhan);
3. filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan:
obyek material : kebaikan dan keindahan
etika;
estetika;
4. sejarah filsafat.
5.2. Beberapa penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang pengetahuan. Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan? Dari mana asalnya? Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau semua hanya hipotesis atau dugaan belaka?
Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika ("logikos") "berhubungan dengan pengetahuan", "berhubungan dengan bahasa". Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.
Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang satu berkait dengan ilmu lain. Disebut pohon karena dimengerti pastilah ada ibu (akar) dari semua ilmu. Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu, metode-metode dalam ilmu-ilmu, dasar kepastian dan jenis keterangan yang diberikan.
5.3. Menurut cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada banyak aliran filsafat: eksistensialisme, fenomenologi, nihilisme, materialisme, ... dan sebaginya.
5.4. Pastilah ada filsafat tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang gejala agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Kudus (Numen): adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku manusia. Yang Kudus itu dimengerti sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum; kepadaNya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku hidup yang penuh dengan sikap "takut-dan-taqwa", wedi-lan-asih ing Panjenengane.
Sebegitu, maka tidak ada filsafat agama X; yang ada adalah filsafat dalam agama X, yaitu pemikiran menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama X. Hubungan antara filsafat dengan agama X dapat diibaratkan sebagai hubungan antara jemaah haji dengan kendaraan yang ditumpangi untuk pergi haji ke Tanah Suci, dan bukan hubungan antara jemaah haji dengan iman yang ada dalam hati jemaah itu.
Catatan lain.
1. Iman dapat digambarkan mirip dengan gunung es di lautan. Yang tampak hanya sekitar sepersepuluh saja dari keseluruhannya. Karena iman adalah suasana hati, maka berlakulah peribahasa: "dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu". Tahukah saudara akan kadar keimanan saya?
2. Sekaligus juga patut ditanyakan "dimanakah letak hati yang dimaksudkan disini? Pastilah "hati" itu (misalnya dalam kata "sakit hati" jika seorang pemudi dibuat kecewa oleh sang pemuda yang menjadi pacarnya) bukan organ hati (dan kata "sakit hati" karena liver anda membengkak) yang diurus oleh para dokter di rumah sakit. Periksa pula apa yang tersirat dalam kata "batin", "kalbu", "berhati-hatilah", "jantung hati", "jatuh hati", "hati nurani", dan "suara hati".
3. Menurut Paul A Samuelson tirani kata merupakan gejala umum dalam masyarakat. Sering ada banyak kata dipakai untuk menyampaikan makna yang sama dan ada pula banyak makna terkait dalam satu kata. Manusia ditantang untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah ("clearly and distinctly"), sekurang-kurangnya untuk menghindarkan miskomunikasi dan menegakkan kebenaran. Itulah nasehat dari Rene Descrates. Bahkan kedewasaan seseorang dalam menghadapi persoalan (termasuk persoalan-persoalan dalam hidupnya) erat hubungannya dengan kemampuannya untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah tersebut.
6. Refleksi rasional dan refleksi imani
Ketika bangsa Yunani mulai membuat refleksi atas persoalan-persoalan yang sekarang menjadi obyek material dalam filsafat dan bahkan ketika hasil-hasil refleksi itu dibukukan dalam naskah-naskah yang sekarang menjadi klasik, bangsa Israel telah memiliki sejumlah naskah (yang sekarang dikenal sebagai bagian dari Alkitab yang disebut Perjanjian Lama). Naskah-naskah itu pada hakekatnya merupakan hasil refleksi juga, oleh para bapa bangsa itu tentang nasib dan keberuntungan bangsa Israel -- bagaimana dalam perjalanan sejarah sebagai "bangsa terpilih", mereka sungguh dituntun (bahkan sering pula dihardik dengan keras serta dihukum) oleh YHWH (dibaca: Yahwe), Allah mereka. Ikatan erat dengan tradisi dan ibadat telah menjadikan naskah-naskah itu Kitab Suci agama mereka (Agama Yahudi). Pada gilirannya, Kitab Suci itu pun memiliki posisi unik dalam Agama Kristiani.
Catatan.
Bangsa Israel (dan Israel dalam Alkitab) sebagaimana dimaksudkan diatas tidak harus dimengerti sama dengan bangsa Israel yang sekarang ada di wilayah geografis yang sekarang disebut "negara Israel".
Kedua refleksi itu berbeda dalam banyak hal. Refleksi tokoh-tokoh Yunani itu (misal Plato dan Aristoteles) mengandalkan akal dan merupakan cetusan penolakan mereka atas mitologi (faham yang menggambarkan dunia sebagai senantiasa dikuasai oleh para dewa dan dewi). Sebaliknya, refleksi para bapa bangsa Israel itu (misal: Musa yang umumnya diterima sebagai penulis 5 kitab pertama Perjanjian Lama) merupakan ditopang oleh kalbu karena merupakan cetusan penerimaan bangsa Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan nasib dan sejarah bangsa itu. Refleksi imani itu sungguh merupakan pernyataan universal pengakuan yang tulus, barangkali yang pertama dalam sejarah umat manusia, akan kemahakuasaan Allah dalam hidup dan sejarah manusia.
Sekarang ada yang berpendirian, bahwa hasil refleksi rasional para tokoh Yunani itu, berasimilasi dengan tradisi refleksi hidup keagamaan yang monoteistis, ternyata menjadi bibit bagi lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini. Oleh karena itu sering filsafat dikatakan mengatasi setiap ilmu.
Sementara itu, harus dicatat bahwa dalam lingkungan kebudayaan India dan Cina berkembang pula refleksi bernuansa lain: wajah Asia. Refleksi itu nyata dalam buah pengetahuan yang terkumpul (misalnya dalam wujud "ilmu kedokteran alternatif" tusuk jarum), dan dalam karya-karya sastra "kaliber dunia" dari anak benua India. Karya-karya sastra itu sering diperlakukan sebagai kitab suci, atau dihormati sebagai Kitab Suci, karena diterima sebagai kitab yang penuh dengan hal-hal yang bernilai suci untuk menjadi pedoman hidup sehari-hari.
Misalnya saja Bhagavadgita (abad 4 seb Masehi). Bhagawadgita (atau Gita) diangkat dari epik Mahabharata, dari posisi sekunder (bagian dari sebuah cerita) ke posisi primer (sumber segala inspirasi untuk hidup). Pada abad 8 Masehi, Sankara (seorang guru) menginterpretasi Gita bukan sebagai pedoman untuk aksi, tetapi sebagai pedoman untuk "mokhsa", pembebasan dari keterikatan kepada dunia ini. Ramanuja (abad 12 Masehi) melihatnya sebagai sumber devosi atas kerahiman Tuhan yang hanya bisa dihayati melalui cinta. Pada masa perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 40-an, Gita dilihat sebagai pedoman untuk ber-"dharma yuddha", perang penuh semangat menegakkan kebenaran terhadap penjajah yang tak adil. Bagi Tilak, Arjuna adalah "a man of action" ("karma yogin"), dan Gita mendorong seseorang untuk bertindak sedemikian sehingga ia menjadi "mokhsa" melalui "perjuangan" yang ditempuhnya. Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave, Radhakrishnan, dan tokoh-tokoh lain membuat komentar yang kurang lebih sama. Tanpa interpretasi Tilak, misalnya, pergolakan di India pada waktu itu mudah dinilai sebagai bersifat politis murni (atau kriminal murni?), yaitu tanpa landasan ideal, spiritual, teologis dan etis.
Sesungguhnya, berefleksi merupakan ciri khas manusia sebagai pribadi dan dalam kelompok. Refleksi merupakan sarana untuk mengembangkan spiritualitas dan aktualisasi menjadi manusia yang utuh, dewasa dan mandiri. Melalui refleksi pula, manusia dan kelompok-kelompok manusia (yaitu suku dan bangsa) menemukan jati dirinya, menyadari tempatnya dalam dimensi ruang dan waktu (dalam sejarah), serta melaksanakan panggilannya untuk membuat sejarah bagi masa depan.
Catatan.
Adakah refleksi tentang realitas yang khas Indonesia? Suatu kajian berdasar naskah-naskah sastra Jawa masa lalu terdapat dalam disertasi doktor P J Zoetmulter SJ: "Manunggaling Kawula Gusti" (1935), yang telah diterjemahkan oleh Dick Hartoko SJ dan diterbitkan oleh PT Gramedia.
GEORGE NOVACK
PENGANTAR LOGIKA MARXISME
Sumber : George Novack, An Introduction to The Logic of Marxism, bahan kuliah
Terjemahan Indonesia : Jurnal KIRI, Volume 3, Oktober 2000, Penerbit Neuron.
E-mail : Revolt83@hotmail.com
Versi Online : [Indomarxist.Net] [http://come.to/indomarxist]—November 2002
Keterangan : Ijin publikasi online ini adalah untuk tujuan non-komersil.
Daftar Isi
Bahan I : Logika Formal dan Logika Dialektik
Bahan II : Keterbatasan Logika Formal
Bahan III : Sekali Lagi, Tentang Keterbatasan-Keterbatasan Logika Formal
Bahan I: Logika Formal dan Logika Dialektik
Pelajaran di bawah ini adalah tentang pemikiran dialektika materialis, atau apa yang dikenal sebagai logika Marxisme.
Betapa mengejutkan, apakah pelajaran ini memang penting? Di sini berkumpul anggota dan simpatisan dari sebuah partai revolusioner yang, di tengah-tengah perang dunia ke II, sedang berada di bawah tekanan pemerintahan. Perang tersebut merupakan sebuah perang terbesar dalam sejarah dunia. Buruh-buruh industri, kaum revolusioner profesional, berkumpul bersama bukan untuk membicarakan dan memutuskan sebuah aksi bersama, tapi untuk mempelajari sebuah ilmu yang menjadi tuntunan—sama seperti matematika tingkat tinggi—bagi perjuangan politik sehari-hari sekarang ini.
Alangkah berbedanya dengan karikatur yang menyakitkan tentang gerakan marxis seperti yang di gambarkan oleh tangan-tangan kelas kapitalis! Kelas-kelas pemilik menggambarkan kaum sosialis yang revolusioner sebagai orang-orang gila yang culas dan sedang membohongi diri sendiri dan orang lain dengan pandangan-pandangan fantastisnya tentang dunia kelas buruh. Kita pun bisa membuat karikatur seperti itu: penguasa-penguasa kapitalis layaknya seperti anak-anak kecil yang yang sedang marah melihat gambaran sebuah dunia tanpa ada mereka atau tanpa peran sentral mereka.
Mereka mengaku bahwa mereka lebih logis dan masuk akal. Akhirnya, kini telah terbukti bahwa, dengan melihat bagaimana cara mereka memandang dunia, bisa dipisahkan siapa sebenarnya yang irasional dan siapa yang rasional dan masuk akal: kaum kapitalis kah atau musuhnya—kaum revolusioner. Susunan masyarakat pada saat ini sedang menuju ke arah kekacauaan dan berlaku seperti seorang maniak. Mereka menenggelamkan dunia ke dalam pembunuhan massal untuk kedua kalinya dalam seperempat sejarah manusia; mereka menyalakan obor peradaban; namun kemudian menghancurkannya tanpa sisa-sisa kemanusiaan. Dan juru bicara mereka selalu menyebutkan kita “gila”, dan perjuangan kita untuk sosialisme dilihat sebagai sebuah bukti yang “tidak realistis”.
Mereka yang salah! Dalam pertempuran melawan kekacauaan-gila kapitalisme, demi sebuah sistim sosialis yang bebas dari penghisapan dan penindasan kelas, bebas dari perang, bebas dari krisis, bebas dari perbudakan imperialisme dan bebas dari barbarisme—kita, kaum marxis, merupakan orang-orang yang paling beralasan dan masuk akal sepanjang hidup kita. Itu lah mengapa—tidak seperti kelompok-kelompok politik lainnya—kita harus mempelajari ilmu logika secara serius. Perjuangan kita melawan kapitalisme, demi sosialisme, tak bisa digagalkan dengan cara menghancurkan logika kita karena logika kita adalah sebuah alat yang tak dapat dihancurkan.
Logika atau cara pikir dialektika materialis, pasti lah berbeda dengan logika atau cara pikir borjuis yang ada sekarang ini. Metode kita, ide-ide kita—seperti yang ingin kita buktikan—lebih ilmiah, jauh lebih praktis dan jauh lebih “logis” ketimbang logika (cara pikir) lainnya. Kita menyusunnya dengan berbagai perbandingan dan jauh lebih lengkap karena diisi oleh prinsip-prinsip mendasar ilmu-pengetahuan yang bisa menemukan logika hakikat relasi-relasi semua realita—oleh karenanya, hukum-hukum berfikir bisa disebarkan luaskan pada yang lain (pada masyarakat di sekeliling kita yang terlihat tak berperasaan) dan dapat dipelajari. Itu lah metode kita—walaupun harus hidup di tengah-tengah kegilaan kelas kapitalis. Tugas kita adalah menemukan hukum-hukum yang paling umum dari logika terdalam alam, masyarakat dan jiwa manusia. Sementara borjuis kehilangan akal sehatnya, kita harus mencoba mengembangkan dan memperjelas logika kita.
1. Pengertian Awal Logika
Logika adalah sebuah ilmu. Setiap ilmu memperlajari suatu gerak khusus dalam hubungannya dengan corak gerak material lainnya, dan berusaha untuk menemukan hukum-hukum umum dan corak tertentu dari gerakan tersebut. Logika adalah ilmu tentang proses berfikir. Seorang akhli logika mempelajari kegiatan-kegiatan proses berfikir yang ada di kepala setiap manusia dan mencoba merumuskan hukum-hukum, bentuk-bentuk dan inter-relasi semua proses mentalnya.
Dua tipe penting logika pernah muncul dalam dua tahap perkembangan ilmu logika, yakni: logika formal dan logika dialektik. Keduanya merupakan bentuk-bentuk perkembangan tertinggi gerak mental. Keduanya memiliki kesesuaian fungsinya—pengertian sadar terhadap semua bentuk gerak.
Walaupun kita baru saja tertarik pada dialektika materialis, jangan lah kita langsung mempelajari dialektika materialis sebagai cara berfikir. Kita harus mendekati dialektika secara tidak langsung dengan pertama kali menguji ide-ide mendasar dari jenis lain cara berfikir: cara berfikir logika formal. Sebagai metode berfikir, logika formal adalah lawan dari dialektika materialis.
Dalam ilmu logika, mengapa kita harus memulai pelajaran kita tentang motode dialektika dengan mempelajari lawannya?
2. Perkembangan Logika
Ada beberapa alasan mengapa cara tersebut kita ambil. Pertama, dalam sejarah perkembangan cara berfikir, dialektika merupakan perkembangan lebih lanjut dari logika formal. Logika formal adalah sebuah ilmu-pengetahuan besar tentang sistim proses berfikir. Logika formal merupakan hasil karya filasat zaman yunani kuno. Pemikir-pemikir Yunani kuno awal lah yang menemukan metode berfikir. Pemikir Yunani kuno, seperti Aristoteles, mengumpulkan, mengkelasifikasikan, mengkritik dan mensistimasikan hasil-hasil positif dari berbagai pemikiran dan membangun sebuah sistim berfikir yang disebut logika formal. Euklides melakukan hal yang sama untuk dasar-dasar geoemetri; Archimides untuk dasar-dasar mekanika; Ptolomeus dari Alexandria kemudian menemukan astronomi dan geografi; dan Galen untuk anatomi.
Logika aristoteles mempengaruhi cara berfikir umat manusia selama dua ribu tahun. Cara fikir tersebut tidak memiliki lawan sampai kemudian ditantang, dijatuhkan dan menjadi ketinggalan zaman oleh dan karena dialektika, sebuah sistim besar kedua dalam ilmu cara berfikir. Dialektika merupakan hasil dari gerakan ilmu-pengetahuan revolusioner selama seabad, yang dilakukan oleh pekerja-pekerja intelektual. Dialektiaka muncul sebagai cara fikir terbaru dari filsuf-filsuf besar dalam Revolusi Demokratik di Eropa Barat pada abad ke-6 dan abad ke-17. Hegel, seorang tokoh dari sekolah filsafat idealis (borjuis) di Jerman, adalah seorang guru besar yang pertama kali mentransformasikan ilmu logika, seperti di sebutkan oleh Marx: “bentuk-bentuk umum gerakan dialektika yang memiliki cara yang komprehensif dan sadar sepenuhnya.”
Marx dan Engels adalah murid Hegel di lapangan Logika. Dalam ilmu logika, mereka berdua lah yang kemudian melakukan revolusi pada revolusi Hegelian—dengan menyingkirkan elemen mistik dalam dialektikanya, dan menggantikan dialektika idealistik dengan sebuah landasan material yang konsisten.
Pada saat kita mendekati dialektika materialis dengan menggunakan logika formal, kita harus memundurkan langkah kita pada sejarah aktual kemajuan ilmu logika, yakni perkembangan dari logika formal menuju ke logika dialektik.
Adalah salah jika kita mengira bahwa sejarah perkembangan cara berfikir adalah seperti ini: bahwa para filsuf Yunani tidak mengetahui soal dialektika; atau mengira Hegel dan Marx menolak sepenuhnya logika formal. Seperti yang dituliskan oleh Engels: “filsuf yunani kuno sudah dialektik sejak kemunculannya dan Aristoteles, sebagai intelektual yang paling ensiklopedis di antara mereka, bahkan sudah menganalisa bentuk-bentuik paling esensial pemikiran dialektik.” Tak ketinggalan pula, dialektika muncul dalam bentuk cikal bakalnya dalam pemikiran filsuf Yunani. Namun filsuf Yunani belum dan tidak dapat mengembangkan serpihan-serpihan pemikiran dialektik dalam sebuah sistimatika berfikir yang ilmiah. Mereka menyumbangkan serpihan-serpihan pemikiran tersebut hingga menjadi bentuk akhir logika formal Aristoteles. Pada saat yang bersamaan, penelitian dialektika mereka, kritisisme pada cara fikir formal dan sebaliknya—dan semua persoalan yang dihadapinya—dilakukan dengan keterbatasan logika formal, yang diperjuangkan selama berabad-abad—yang, kemudian, dapat diselesaikan oleh dialektika hegelian dan, kini, oleh dialektika marxis.
Para akhli Dialektika modern tidak melihat logika formal sebagai sesuatu yang tak berguna. Sebaliknya, mereka menganggap bahwa logika formal tidak sekadar sesuatu yang penting dalam sejarah perkembangan metode berfikir tapi juga cukup penting pada saat ini agar berfikir benar. Tapi, dalam dirinya, logika formal jelas kurang lengkap. Unsur-unsur absyahnya menjadi bagian dalam dialektika. Hubungan antara logika formal dengan dialektika menjadi berkebalikan. Di dalam pemikiran Yunani klasik sisi formal logika menjadi dominan dan aspek dialektiknya menjadi tergeser. Dalam ajaran modern, dialektika berada di garda depan dan sisi formal logika menjadi sub-ordinat terhadapnya.
Karena kedua tipe yang bertentangan tersebut memiliki banyak kesamaan, dan logika formal masuk sebagai materi struktural dalam kerangka logika dialektik, maka berguna sekali bagi kita menguasai logika formal. Dalam mempelajari logika formal secara tak langsung kita sudah siap menuju logika dialektik. Dengan mengakui, atau setidaknya sedikit mengakui, logika formal, kita telah siap memisahkan logika formal dari logika dialektik. Hegel menunjukkan hal yang sama: ”Dalam kedekatannya yang terbatas (antara logika formal dan logika dialektik) terdapat suatu kotradiksi yang bisa menyumbangkan sesuatu ke belakang dirinya (logika dialektik).”
Akhirnya, lewat prosedur tersebut, kita mendapatkan pelajaran berharga dalam pemikiran dialektik. Hegel menjelaskan lagi: “Sesuatu tidak bisa dikenali secara menyeluruh sebelum mengenali lawannya.” Contohnya, kau tidak dapat benar-benar mengerti tentang seorang buruh-upahan sampai kau mengetahui bagaimana sebaliknya lawan sosial ekonominya, kelas kapitalis. Kau tidak dapat mengetahui Trotskyisme sampai kau mempelajari secara mendalam esensi antitesis politiknya, yakni Stalinisme. Jadi kau tak akan bisa mempelajari kedalaman dialektika tanpa pertama kali mempelajari secara mendalam sejarah pendahulunya dan antitesis teoritisnya, yakni logika formal.
3. Tiga Hukum Dasar Logika Formal
Ada tiga hukum dasar logika formal. Yang pertama dan terpenting adalah hukum identitas. Hukum tersebut dapat disebutkan dengan berbagai cara seperti: “sesuatu adalah selalu sama dengan atau identik dengan dirinya, dalam Aljabar: A sama dengan A.”
Rumusan khusus hukum tersebut tak terlalu penting. Pemikiran esensial dalam hukum tersebut adalah seperti berikut. Dengan mengatakan bahwa sesuatu itu sama dengan dirinya, maka dalam segala kondisi tertentu sesuatu itu tetap sama dan tak berubah. Keberadaannya absolut. Seperti yang dikatakan oleh akhli fisika: ” materi tidak dapat di buat dan dihancurkan.” Materi selalu tetap sebagai materi.
Jika sesuatu adalah selalu dan dalam semua kondisi sama atau identik dengan dirinya, maka ia tidak dapat tidak sama atau berbeda dari dirinya. Kesimpulan tersebut secara logis patuh pada hukum identitas: Jika A selalu sama dengan A, maka ia tidak pernah sama dengan bukan A (Non-A).
Kesimpulan tersebut dibuat secara eksplisit dalam hukum kedua logika formal: hukum kontradiksi. Hukum kontradiksi menyatakan bahwa A adalah bukan Non-A. Itu tidak lebih dari sebuah rumusan negatif dari pernyataan posistif, yang dituntun oleh hukum pertama logika formal. Jika A adalah A, maka menurut pemikiran formal, A tidak dapat menjadi Non-A. Jadi hukum kedua dari logika formal, yakni hukum kontradiksi, membentuk tambahan esensial pada hukum pertama. Beberapa contoh: manusia tidak dapat menjadi bukan manusia; demokrasi tidak dapat menjadi tidak demokratik; buruh-upahan tidak dapat menjadi bukan buruh-upahan.
Hukum kontradiksi menunjukkan pemisahan perbedaan antara esensi materi dengan fikiran. Jika A selalu sama dengan dirinya maka ia tidak mungkin berbeda dengan dirinya. Perbedaan dan persamaan menurut dua hukum di atas adalah benar-benar berbeda, sepenuhnya tak berhubungan, dan menunjukkan saling berbedanya antara karakter benda (things) dengan karakter fikiran (thought)
Kwalitas yang saling berbeda dan terpisah dari setiap benda ditunjukkan dalam hukum yang ketiga logika formal. Yakni: hukum tiada jalan tengah. (the law of excluded middle). Menurut hukum tersebut segala sesuatu hanya memiliki salah satu karakteristik tertentu. Jika A sama dengan A, maka ia tidak dapat sama dengan Non-A. A tidak dapat menjadi bagian dari dua kelas yang bertentangan pada waktu yang bersamaan. Dimana pun dua hal yang berlawanan tersebut akan saling bertentangan, keduanya tidak dapat dikatakan benar atau salah. A adalah bukan B; dan B adalah bukan A. Kebenaran dari sebuah pernyataan selalu menunjukkan kesalahan (berdasarkan lawan pertentangannya) dan sebaliknya.
Hukum yang ketiga tersebut adalah sebuah kombinasi dari dua hukum pertama dan berkembang secara logis.
Ketiga hukum tersebut mencakup sebagian dasar-dasar logika formal. Alasan-alasan formal berjalan menurut proposisinya. Selama 2.000 tahun aksioma-aksioma yang jelas dalam sistim berfikir Aristoteles telah menguasai cara berfikir manusia, layaknya hukum pertukaran dari nilai yang sama, yang telah membentuk fondasi bagi produksi komoditi masyarakat.
Lihatlah contoh dariku tentang sistim berfikir Aristoteles, sebagai berikut: dalam bukunya yang berjudul Posterior Analytics ( Buku I; Bagian 33), Aristoteles mengatakan bahwa seseorang tidak dapat secara terus menerus memahami bahwa manusia pada dasarnya adalah hewan, dengan demikian bisa juga dikatakan bahwa manusia adalah bukan hewan. Dengan demikian, manusia pada dasarnya adalah seorang manusia dan tidak dapat dianggap bukan manusia.
Hal tersebut seperti yang diungkapkan dalam hukum logika formal. Kita mengetahui bahwa hal itu berlawanan dengan kenyataan. Teori perkembangan alam mengajarkan bahwa tidak bisa lain—manusia pada dasarnya adalah binatang. Secara logika manusia adalah binatang. Tapi kita ketahui juga dari teori evolusi sosial, bahwa manusia adalah kelanjutan dari perkembangan evolusi binatang. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa secara esensial ia adalah manusia, yang spesiesnya cukup berbeda dengan binatang lainnya. Kita mengetahui bahwa hal tersebut merupakan dua hal: yang satu dengan yang lainnya berbeda pada saat yang bersamaan. Aristoteles dan hukum logika formal tidak dapat berlaku lagi.
4. Isi Material dan Realitas Obyektif Hukum-hukum Tersebut
Kita bisa melihat dari contoh tersebut betapa cepat dan spontannya karakter dialektik suatu materi, oleh karena itu, dengan segera, muncul lah pemikiran yang merupakan cermin kritis terhadap pikiran formal. Walaupun ada suatu intensitas yang mengetatkan logika formal, namun tetap saja kita akan tergiring dan terdorong untuk melangkah lebih ke depan, melewati batas logika formal, pada saat kita hendak mencari kebenaran sesuatu hal. Dan sekarang kita kembali kepada logika formal
Seperti yang aku katakan sebelumnnya, dialektika modern tidak menolak kebenaran yang dikandung oleh hukum-hukum logika formal. Sikap penolakan terhadap logika formal akan berlawanan dengan semangat dialektika, yang melihat beberapa kebenaran dalam kenyataan logika formal itu sendiri. Pada saat bersamaan, dialektika membuat kita bisa melihat batas-batas dan kesalahan dalam memformalkan pandangan tentang sesuatu.
Hukum-hukum logika formal berisikan unsur-unsur kebenaran yang sangat penting dan tak bisa ditolak. Semua hukum tersebut bukan lah merupakan jeneralisasi pikiran-pikiran yang random dan hasil khayalan yang tak berarti. Hukum-hukum tersebut keluar lewat sebuh proses dunia nyata yang, selama ribuan tahun, oleh Aristoteles dan para pengikutnya, digunakan oleh peradaban manusia. Jutaan orang yang belum pernah mendengar tentang Aristoteles dan pikiran-pikirannya, sampai sekarang, berpikir untuk mengabaikan hukum-hukum awal yang pertama kali dirumuskannya. Mereka, yang seperti itu, tak akan bisa sampai mengerti tentang hukum-hukum gerak Newton—walaupun mereka dapat melihat kerangka fisik setiap hasil pemikiran Newton, namun mereka gagal memahami teori Hukum Newton tersebut secara lengkap. Dalam dunia obyektif, mengapa orang berfikir dan melakukan pensejajaran antara hukum-hukum Newton dengan hukum-hukum Aristoteles. Karena, kenyatannya, hukum berpikir Aristotles memiliki isi yang material, sama halnya juga dalam dunia objektif, sama halnya juga dalam hukum gerak mekanika Newton. “…metode berpikir kita, apakah itu logika formal atau logika dialektik, bukan lah sebuah susunan serampangan akal sehat kita tapi lebih sebagai sebuah ekspresi interelasi-aktual dalam alam kita sendiri.”[1]
Karakter macam apa yang ada dalam realitas material yang hendak dicerminkan, dan secara konseptual dihasilkan kembali, oleh hukum-hukum berfikir formal?
Hukum identitas bertujuan merumuskan fakta material agar bisa mendefinisikan segala sesuatu dan memperlakukan segala hal dalam semua perubahan fenomenanya. Dimana pun kelanjutan (perubahan) esensial hadir dalam realitas, hukum identitas tetap bisa mendeteksinya.
Kita tak bisa berbuat atau berfikir secara sadar bila menolak hukum tersebut. Jika kita tidak bisa lagi mengenali diri kita sendiri karena amnesia atau karena sesuatu hal—karena kerusakan mental, misalnya—hingga menghilangkan kesadaran identitas pribadi kita, maka diri kita akan hilang. Tapi hukum identitas hanya lah absyah untuk melihat dunia secara universal ketimbang untuk melihat kesadaran manusia itu sendiri. Hukum tersebut muncul setiap hari dan dimana saja dalam kehidupan sosial. Jika kita tidak bisa mengenali bagian mental yang sama, lewat beberapa tindakan, maka kita tidak akan bisa melakukan produksi. Jika seorang petani tidak bisa mengerti perkembangan jagung yang ia tanam dari biji sampai menghasilkan jagung lagi, dan kemudian menjadi bahan makanan, maka tidak mungkin ada pertanian.
Anak-anak yang telah mengerti lebih jauh, bisa memahami alam dunianya saat pertama kali ia menemukan fakta bahwa ibu yang menyusuinya adalah orang yang sama yang, dengan berbagai cara, memberinya makan. Pengenalan kebenaran dengan cara seperti itu tak lain merupakan sebuah contoh khusus tentang pengenalan terhadap hukum identitas.
Jika kita tidak jernih melihat proses perkembangan dan perubahan-perubahan menuju negara kelas pekerja, maka kita tentu saja akan dengan mudah terjebak dalam kekacauan pemahaman saat berupaya untuk mengerti tentang perjungan kelas yang ada sekarang. Dalam kenyataannya, oposisi borjuis kecil menjawab dengan cara yang salah ketika merespon persoalan yang terjadi di Rusia, tidak hanya karena mereka menolak metode dialektik, tapi juga karena mereka tak bisa mengaplikasikan hukum identitas secara tepat. Dalam proses perkembangan Soviet Rusia, mereka tak bisa melihat—lepaskan dari Uni Sovyet yang di bangun selanjutnya oleh rejim Stalin—bahwa Uni Soviet bisa mempertahankan landasan–landasan sosial ekonomi negara kelas pekerja, yang didirikan oleh kelas buruh dan petani Rusia setelah revolusi oktober. Kelasifikasi secara benar, yang lepas dari perbandingan yang berbasiskan suka tidak suka, merupakan suatu basis yang sangat penting dan sebagai langkah awal dalam investigasi ilmiah. Kelasifikasi sangat penting untuk memilah penambahan terhadap kelas yang sama dan pengurangan terhadap kelas yang berbeda serta untuk menyatukan kelas-kelas yang berbeda—semua itu tak mungkin dilakukan tanpa menggunakan hukum identitas. Teori Darwin tentang revolusi pengorganisasian manusia berasal dan tergantung dari pengenalan terhadap identitas esensial berbagai makhluk yang berbeda di atas bumi ini. Hukum gerak mekanik Newton dapat disimpulkan berasal dari gerak massa, dari logika batu jatuh hingga planet-planet yang berputar dalam sistim matahari. Semua ilmu-pengetahuan lahir dan merupakan bagian dari hukum identitas.
Hukum identititas mengarahkan hingga bisa mengenali keragaman, perubahan permanen, kesamaan, pemisahan dan penampakan yang berbeda, guna mencakup keseluruhan semua itu, serta guna mendapatkan penghubung antar fase-fase berbeda dari fenomena tertentu. Oleh sebab itu, penemuan dan penggunaan hukum tersebut disimpulkan telah membuat sejarah dalam pemikiran ilmiah dan, oleh karenanya, kita memberikan penghargaan pada Aristoteles untuk semua yang telah dirumuskannya. Oleh karena itu pula, manusia berbuat dan berpikir sesuai dengan hukum dasar logika fiormal tersebut.
Mungkin akan muncul pertanyaan: “bagaimana hukum tersebut berlaku secara gampangannya? Jawabnya: fakta bahwa sesuatu adalah sesuatu.
Amat lah penting kehadiran hukum dasar tersebut dalam sejarah. Merupakan sebuah kemajuan yang besar sekali dalam sistim pengetahunan tentang dunia ketika manusia menemukan bahwa awan, uap, hujan dan es semuanya berasal dari air. Atau bawah surga dan bumi adalah dua hal yang bertentangan namun juga sama (surga di bumi). Ilmu Biologi mengalami revolusi dengan penemuan bahwa kehidupan organisme bersel satu dan manusia terdiri dari substansi yang sama. Ilmu fisika mengalami revolusi dengan bisa ditunjukkannya bahwa semua bentuk gerak material dapat saling bertukar dan secara esensial sama.
Tidak kah merupakan sebuah langkah yang menakjubkan dalam pengetahuan sosial dan politik ketika kelas pekerja menemukan pengetahuan, di satu sisi, bahwa upah kerja adalah upah kerja dan, di sisi lain, kapitalis adalah kapitalis. Pengetahuan bahwa buruh di mana saja memiliki kepentingan yang sama, menembus batas wilayah, nasional dan ras. Sehingga pengakuan terhadap kebenaran yang berasal dari hukum identitas adalah sebuah syarat untuk menjadi seorang sosialis yang revolusioner.
Satu hal, bagaimanapun kita memperhatikan dan menggunakan suatu hukum, adalah merupakan hal yang berbeda dengan mengerti dan memformulasikannya dalam sebuah cara yang ilmiah. Semua orang dapat bertindak sesuai dengan hukum namun sulit untuk mengetahui bagaimana hukum tersebut beroperasi. Sama dengan hukum logika itu sendiri. Setiap orang berpikir tapi tak seorang pun tahu hukum yang mana yang sedang berlangsung dalam pemikirannya.
Hukum kontradiksi merumuskan fakta-fakta material yang hadir secara bersamaan dengan yang lainnya, dan bisa dalam keadaan-keadaan yang berbeda-beda. Secara nyata aku tidak sama dengan anda—jelas kita berbeda. Atau aku hari ini berbeda dangan aku kemarin—jelas keberadaanku berbeda. Atau Uni Soviet berbeda dengan negeri lainnya, dan perkembangan Uni Soviet membedakan Uni Sovyet dahulu dengan Uni Sovyet sekarang—jelas perbedaan-perbedaannya.
Hukum formal kontradiksi, atau penajaman perbedaan-perbedaan adalah penting untuk memperoleh kelasifikasi yang tepat sesuai dengan hukum identitas. Tanpa keberadaan perbedaan-perbedaan tersebut, tak perlu ada kelasifikasi, tanpa identitas maka tak mungkin melakukan kelasifikasi.
Hukum tak ada jalan tengah (excluded middle) menunjukkan bahwa semua hal saling bertentangan dan saling mengisi dalam kenyataannya. Aku pasti lah aku atau orang lain; hari ini aku seharusnya sama atau berbeda dengan kemarin; Uni Soviet seharusnya sama atau berbeda dengan negeri lain; aku pasti lah manusia atau binatang; aku tidak dapat secara bersamaan merupakan dua identitas yang berbeda.
Oleh karenanya, hukum logika formal mengekspresikan masa depan yang merepresentasikan dunia nyata. Hukum-hukum tersebut berisi suatu materi dan suatu dasar objektif. Hukum-hukum tersebut secara bersamaan merupakan hukum berfikir, hukum masyarakat dan hukum alam. Ketiga akar Hukum tersebut memiliki karakter universal.
Ketiga hukum yang kita pelajari di atas bukan merupakan keseluruhan logika formal. Namun merupakan hukum-hukum dasar yang sederhana. Di atas dasar itu lah, dan di luar darinya lah, muncul sejumlah struktur ilmu logika yang kompleks, yang memiliki kerumitan rincian-rincian setiap elemennya, dan yang di dalamnya memiliki bentuk mekanisme berpikir. Tapi kita tak akan masuk ke diskusi tentang berbagai kategori, bentuk proposisi, sikap-sikap, silogisme dan yang lainnya, yang membentuk isi tubuh logika formal. Hal tersebut bisa dicari di buku tentang logika elementer lainnya. Secara prinsipil kita lebih peduli pada pemahaman ide-ide esensial logika formal, tapi bukan pada detail perkembangannya.
5. Logika Formal dan Akal Sehat
Dalam lingkaran intelektual borjuis, akal sehat dijadikan satu pola dan cara berfikir serta menjadi penuntun tindakan. Hanya ilmu-pengetahuan yang dilandasi akal sehat lah yang bisa berada pada hirarki nilai yang tinggi. Atas nama akal sehat dan ilmu-pengetahuan, misalnya, Max Eastman menuduh Marxis sebagai penjunjung dialektika metafisik dan mistik. Sialnya, ideolog-ideolog borjuis dan borjuis kecil jarang menginformasikan pada kita apa sisi logis akal sehat mereka dan bagaimana hubungan antara akal sehat dengan ilmu-pengetahuan? Kita akan menjawab mereka! Kenyataannya, mereka yang anti dialektika sebenarnya tidak hanya tidak tahu apa dialektika itu. Mereka bahkan tak tahu apa logika formal itu. Hal itu tidak mengejutkan. Apa kah kelas kapitalis tahu apa itu kapitalisme, bagaimana hukum-hukumnya beroperasi? Jika mereka tahu, mereka akan sadar akan krisis dan perang yang mereka buat, dan tak akan seyakin sekarang dengan sistim yang mereka nikmati itu. Stalinis tak tahu apa sebetulnya stalinisme itu dan akan ke mana arah sistim tersebut. Jika mereka tahu mereka tidak akan lagi menjadi Stalinis, atau mereka akan menjadi sesuatu yang lain.
Sejauh ini, akal sehat masih secara sistimatis tersusun dan memiliki karakter logis, serta akal sehat menyatu dengan logika formal. Akal sehat bisa diurai menjadi bentuk yang tidak sistimatis dan setengah sadar dalam hubungannya dengan ilmu-pengetahuan logika formal. Ide-ide dan metode logika formal yang digunakan sekarang, sebenarnya, telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu, memiliki saling hubungan dengan proses berfikir kita, masuk dalam pabrik peradaban kita, dan nampak bagi kebanyakan orang sebagai sesuatu yang normal, ekslusif, serta bercorak pikir wajar. Konsepsi dan mekanisme logika formal, seperti silogisme, merupakan alat berfikir yang seakrab dan seuniversal layaknya pisau tajam.
Seperti kita ketahui, borjuis percaya bahwa masyarakat kapitalis akan abadi karena, menurut mereka, merupakan hal yang ilmiah dan tak dapat diubah. Sosialisme, kata mereka, adalah tidak mungkin dan tidak masuk akal sehat karena manusia akan selalu terbagi ke dalam dua kelas yang saling bertentangan. yakni yang kaya dan yang miskin, yang kuat dan yang lemah, pemerintah dan yang diperintah, yang bermilik dan yang tak bermilik, dan setiap kelas akan berjuang sampai mati demi hidup yang lebih baik. Sebuah bentuk organisasi sosial yang tanpa kelas, yang terencana sehingga tidak anarki, yang melindungi si lemah melawan si kuat, terlihat absur, tak masuk akal, bagi mereka. Mereka melihat ide sosialis sebagai fantasi, harapan-harapan kosong.
Sampai kita tahu sosialisme bukan lah sebuah mimpi tapi sebuah keniscayaan sejarah. Sebagai sebuah tahapan evolusi sosial selanjutnya. Kita tahu kapitalisme tidak lah abadi tapi suatu bentuk sejarah tertentu cerminan produksi material, yang terbentuk karena perkembangan produksi sosial, dan takdirnya: akan digantikan oleh bentuk yang lebih superior, produksi sosialis.
Mari kita lihat ilmu berpikir dari satu titik yang sama, yakni dengan melihat pada ilmu sosial. Pemikir-pemikir Borjuis dan borjuis kecil percaya bahwa pemikiran formal adalah bentuk akhir yang sudah final dan pas. Mereka menolak dilalektika materialis sebagai bentuk tertinggi pemikiran.
Kau ingat, ketika seseorang bertanya tentang kapitalisme permanen atau berargumentasi tentang pentingnya sosialisme, kau akan jatuh dalam keraguan pada ide-ide revolusioner yang baru. Kenapa? Karena dirimu telah diperbudak oleh ide penguasa zaman kita yang, seperti di katakan Marx, sebagai ide-ide kelas penguasa. Ide-ide kelas penguasa dalam ilmu logika sekarang ini adalah ide-ide logika formal yang lebih rendah, lebih hina, dari akal sehat. Semua bagian dan kritik dialektika sebenarnya berdiri di atas landasan logika formal—terserah mereka mau mengakuinya atau tidak.
Tak diragukan lagi, dalam masyarakat kita, ide-ide logika formal berisikan semua praduga teoritis yang paling kepala batu. Meski telah beberapa orang menanggalkan keyakinannya terhadap kapitalisme, dan telah menjadi sosialis yang revolusioner, bisa saja mereka belum secara keseluruhan bisa melepas kebiasaan logika formal mereka yang diperoleh dari kehidupan borjuis sebelumnya. Kesungguhan seorang akhli dialektika bisa mengalami kemunduran jika mereka tak berhati-hati dan sadar dalam cara berfikirnya.
Marxisme, selain menolak keabadian kapitalisme, ia juga menolak keabadian kelas kapitalis. Pemikiran manusia telah berubah dan berkembang sepanjang perkembangan umat manusia. Hukum berpikir tidak lah lebih abadi daripada hukum yang ada di masyarakat. Sama halnya dengan kapitalisme, yang hanya sekadar sebuah mata-rantai bentuk sejarah produksi sosial, demikian halnya dengan logika formal, yang hanya sekadar sebuah mata-rantai bentuk sejarah produksi intelektual. Seperti halnya kekuatan sosialisme, yang sedang berjuang untuk menggantikan bentuk produksi sosial kapitalisme dengan sebuah sistem yang lebih berkembang dan maju, demikian pula halnya pembela dialektika materialis, sebagai sebuah logika sosialisme ilmiah, sedang berjuang melawan logika formal yang telah ketinggalan zaman. Perjuangan teoritis dan praktek politik praktis merupakan bagian yang integral satu dengan yang lainnya, dan sama-sama berada dalam proses revolusioner.
Sebelum kemunculan astronomi modern, orang-orang percaya bahwa matahari dan planet lainnya mengitari bumi. Mereka secara tidak kritis percaya pada pembuktian akal sehat yang ditangkap oleh mata. Aristoteles mengajarkan bahwa bumi telah pas dan sempurna. Tahun ini adalah peringatan 400 tahun penerbitan buku Copernicus. Sebuah revolusi pemikiran tentang tata surya, yang menumbangkan pemikiran bahwa bumi adalah pusat kekuasaan.
Seabad kemudian Galileo membuktikan kebenaran teori Copernicus. Semua profesor yang bertentangan dengan Copernicus mencemohkannya, seperti yang dikeluhkan Galileo: ”Aku berharap bisa menunjukkan bahwa planet Yupiter, yang menjadi satelit bagi para profesor di Florence, bisa mereka lihat lewat mata mereka sendiri atau dengan teleskop.” Para profesor tersebut, atas nama teori Aristoteles, menyerukan perlawanan terhadap usaha Galileo tersebut, dan akhirnya menggunakan kekuasaan untuk memenjarakan Galileo. Pelayan-pelayan negara dan gereja tersebut berhasil menekan argumen Galileo, melarang pengedaran bukunya, menteror dan bahkan membunuh lawan-lawan ilmuwan lainnya karena ide-ide mereka sangat revolusioner. Mereka membudak pada dominasi kelas penguasa.
Sama halnya dengan dialektika, khususnya dialaektik materialis, ide dan metode nya bahkan lebih revolusioner ketimbang ide Copernicus tentang Astronomi. Pertama pemutarbalikan sorga yang selama ini diagungkan oleh abad tengah, kemudian penajaman terhadap kelas progresif dalam masyarakat yang akan memutarbalikan masyarakat kapitalis. Itu lah sebabnya ide-ide dialektika materialis sangat ditentang oleh para pembela logika formal dan akal sehat. Besok, dengan revolusi sosialis, dialektika akan menjadi akal sehat dan logika formal akan mengambil posisi sub-ordiansi, hanya dianggap sebagai penolong dalam cara berfikir ketimbang seperti yang berlaku sekarang ini—mendominasi pemikiran, menyesatkan fikiran dan menghambat semua kemajuan berfikir yang menjadi tuntutan zaman.
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar