Tentang bagaimana membangkitkan kreatifitas anak, saya jadi ingat dengan salah seorang guru SD saya dulu. Beliau mengajar kami di kelas 5 dan kelas 6. Sekolah saya dibangun dengan program SD INPRES, yang sebentar-sebentar kembali rusak dan bahkan roboh karena kualitas bahan bangunannya menyedihkan. Tapi hebatnya, guru saya yang honorer ini tetap gembira mengajar dan menurut saya sangat kreatif. Belajar bersama beliau membuat kami tidak bosan di dalam kelas dan bahkan cenderung malas untuk pulang ke rumah.
Guru saya selalu punya media yang menarik untuk menjelaskan sebuah materi pelajaran. Beliau pancing rasa ingin tahu dan ketertarikan kami dengan media-media visual yang kami buat sendiri. Sering sekali beliau memberikan tugas-tugas praktis secara berkelompok ataupun perorangan untuk membuat sesuatu, yang kini saya baru sadar, ternyata dimaksudkan untuk mempermudah visualisasi sebuah materi pelajaran. Misalnya saja, beliau tugaskan kami untuk membuat poster dengan model kliping: Gambar-gambar dari potongan koran atau majalah bekas ditempelkan di atas selembar karton putih. Poster itu lalu dipasang di dinding. Setiap kelompok kebagian topik yang berbeda-beda. Ruangan kelas kami pun menjadi semarak. Minimalnya, ada sesuatu yang enak dipandang mata saat berada di dalam kelas.
Selain itu, beliau juga mengajak kami untuk melengkapi dan meperindah sekolah dengan membuat pagar bersama-sama dari bambu. Karena kami tinggal di desa, tentu tak sulit untuk mendapatkannya. Kami bawa batang-batang bambu yang sudah dipotong-potong dengan ukuran yang sama dan siap untuk disusun dan digabungkan dengan bambu-bambu yang dibawa oleh seluruh anggota kelompok. Di sekolah kami memaku bambu-bambu itu, dan jadilah pagar-pagar buatan kami sendiri. Sungguh membuat kami bangga, lho!
Saat musim hujan tiba, kami juga punya jadwal untuk berkebun. Karena halaman sekolah kami tidak bersemen alias tanah merah yang kosong, jadi kami bisa menanaminya dengan macam-macam sayuran. Setiap hari Jumat kami membawa peralatan berkebun dari rumah. Setiap kelompok diberi jatah lahan sama rata. Supaya kami termotivasi, guru kami yang inovatif ini memberikan tantangan agar kami berlomba dalam mengurus kebun sampai kebun kami menghasilkan tanaman yang bisa dipanen.
Satu hal lagi yang masih saya ingat adalah ketika kami berlomba membuat dan menghias tumpeng dari nasi uduk yang harus kami buat dengan cara diliwet. Di halaman belakang kelas, kami membuat tungku-tungku untuk memasak. Alatnya hanya panci kastrol dan wajan. Keterampilan memasak nasi liwet adalah pelajaran yang remeh tapi menurut saya menarik dan tentunya bermanfaat. Tragedi menimpa saya saat itu. Nasi liwet yang saya buat masih mentah, padahal waktu yang diberikan sudah habis(he he). Meskipun sudah banyak konsep hiasan yang saya siapkan dari rumah,tapi semuanya tidak berarti karena nasinya nggak bisa dimakan sama sekali. Duh, sedih sekali rasanya waktu itu!
Nah, kembali ke guru saya: Saya menyimpulkan bahwa apa yang beliau lakukan dulu tidaklah tercantum dalam silabus atau kurikulum pendidikan yang diperoleh dari diknas. Buktinya, guru-guru lain di sekolah saya tidak pernah melakukan hal itu pada kelas yang dipegangnya. Apa yang beliau lakukan adalah murni hasil inovasi beliau sendiri.
Jadi, yang akan membuat anak-anak kreatif, menurut saya juga dipengaruhi oleh semangat guru-gurunya. Buat para homeschooler, maka orang tua-lah guru utamanya, dan buat anak-anak di sekolah formal, maka guru-lah yang menjadi pembimbingnya.
Selamat berkreasi buat para guru di manapun berada. Jangan lupa untuk selalu belajar dan terus belajar tanpa henti, karena pintar dan kreatifnya anak didik kita juga tergantung dari peningkatan kualitas guru-gurunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar