Suatu pagi saya bercerita pada suami saya bahwa saya baru saja meminta batang pohon kenanga dari tetangga, untuk di tanam dengan cara stek. Mendengar hal itu suami saya langsung bertanya, "Stek itu apa?"Kontan saja saya tertawa, "Nggak tahu stek? Itu, kan pelajaran biologi SMP!"
Suami saya menggeleng, juga sambil ketawa geli, "Yah! Biologi sih memang nggak terlalu suka dari dulu. Jadi, maklum aja kalau nggak inget."
Kalau dipikir-pikir, mungkin benar juga ya... Hanya pelajaran yang kita sukai atau gurunya kita sukai biasanya akan membuat kita enjoy, sebaliknya jika pelajaran itu tidak atau belum kita minati, apalagi gurunya mengajar dengan cara yang kaku dan membosankan, dipaksa-paksa juga, paling-paling kita hafalkan demi ujian saja.
Selain itu, pelajaran yang kita praktekkan, biasanya itulah yang kita ingat: Tak hanya ketika ujian, tapi juga sepanjang hidup kita. Coba saja perhatikan di dunia kerja. Para editor penerbitan misalnya, meski bukan dari Fakultas Sastra, karena saking intensifnya dengan dunia penyuntingan kata, EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) jadi "nempel" di kepala tanpa harus buka buku lagi. Padahal ketika kuliah, mungkin banyak mahasiswa dipusingkan dengan materi EYD, meskipun bukunya sangat tipis jika dibandingkan buku Laskar Pelangi.
Lantas bagaimana relevansinya dengan Ujian Nasional yang sudah mulai hangat diobrolkan meski baru memasuki tahun ajaran baru? Anak-anak dari tingkat SD terlebih di tingkat SMU sepertinya sangat awas dan was-was menghadapi momentum penting ini. Saya tak melihat ada alasan untuk merasa demikian, kecuali bahwa mereka takut tak bisa memperoleh tanda lulus alias ijazah, sehingga mereka tak bisa melanjutkan pendidikan formal ke jenjang selanjutnya.
Belajar di sekolah formal tak boleh salah. Tak peduli bagaimana caranya anak-anak menghafal, semua harus benar, atau setidaknya prosentase benarnya harus lebih banyak dari prosentase salahnya. Jika tidak begitu, seorang murid akan dicap sebagai anak yang gagal. Memang wajar kalau kemudian anak-anak sekolah menjadi sangat tegang menghadapi ujian. Bayang-bayang kegagalan menghantui mereka. Standar lulus yang semakin naik menjadi ancaman. Sekian tahun menempuh pendidikan bisa jadi kandas di tahap akhir, yaitu ujian nasional.
Namun demikian, ujian nasional hanyalah sebuah kebijakan. Seiring waktu, dengan pergantian pemimpin, kabinet, dan sebagainya, masih selalu ada peluang agar UN ditinjau ulang fungsi dan mekanismenya. Setidaknya sejauh yang saya lihat, sampai saat ini UN tak berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kualitas lulusan sekolah.
Selama jumlah belajar praktek di sekolah tetap minim dibandingkan teori, nampaknya sekian tahun ke depan lulusan sekolah memang masih tetap harus sangat awas melihat peluang kerja, karena nyatanya hanya sedikit lapangan pekerjaan yang tidak membutuhkan skill.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar