Kamis, 18 September 2008

Visi Sekolah Bertaraf Internasional

Sebuah harapan dan impian

Di edit dan ditambah oleh:

Bpk. Endang Jaenudin S.Pd., Bpk. Drs. Ahmad Sobana, Bpk. Drs. Nanang S.

(SMAN 1 Banjar, Jawa Barat. Indonesia)


Dan

Arip Nurahman

(Pendidikan Fisika, FPMIPA. Indonesia University of Education)

&

Follower Open Course Ware at MIT-Harvard University, Cambridge, M.A., U.S.A.




Visi Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu terwujudnya insan Indonesia cerdas, beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berjati diri Indonesia, dan kompetitif secara global. Merespon visi tersebut, Indonesia sebagai Negara yang sedang berkembang harus bekerja keras untuk meningkatkan mutu sumber daya manusianya yang masih jauh tertinggal apabila dibandingkan dengan negara lain, khususnya di kawasan Asia.


Upaya yang harus dilakukan dalam rangka memperbaki mutu sumber daya manusia adalah dengan meningkatan mutu pendidikan. Fokus utama yang harus perhatikan dalam peningkatan mutu pendidikan adalah peningkatan institusi sekolah sebagai basis utama pendidikan, baik aspek manajemen, sumber daya manusianya, maupun sarana dan prasarananya. Salah satu program yang dilaksanakan pemerintah agar perubahan dan perkembangan tersebut dapat direspon dengan cepat adalah dengan meningkatkan kualitas/mutu sekolah dengan mengembangkan sekolah bertaraf internasional.


Sekolah Bertaraf Internasional adalah sekolah nasional yang menyiapkan peserta didiknya berdasarkan standar nasional pendidikan (SNP) Indonesia dan tarafnya internasional sehingga lulusannya memiliki kemampuan daya saing internasional. Sekolah Bertaraf Internasional pada hakikatnya mengacu pada Standar Nasional Pendidikan meliputi 8 (delapan) standar, yaitu kompetensi lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pembiayaan, pengelolaan, dan penilaian yang diperkaya, dikembangkan, diperluas, diperdalam melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan yang dianggap reputasi mutunya diakui secara internasional.


Aspek-aspek yang dikembangkan pada Sekolah Bertaraf Internasional adalah standar kompetensi lulusan standar Internasional, kurikulum standar internasional, PBM standar internasional, SDM standar internasional, fasilitas standar internasional, manajemen standar internasional, pembiayaan standar internasional, penilaian standar internasional.



Standar kompetensi lulusan Sekolah Bertaraf Internasional adalah keberhasilan lulusan yang melanjutkan ke sekolah internasional dalam negeri maupun di luar negeri dengan tetap berkepribadian bangsa Indonesia, menguasai dan terampil menggunakan ICT, mampu debat dengan Bahasa Inggris, terdapat juara internasional dalam bidang:

1. Olahraga, kesenian, kesehatan, budaya, dll,


2. Mampu menyelesaikan, tugas–tugas dan mengumpulkan portofolio dengan baik,


3. Mampu meyampaikan/mendemonstrasikan tugas-tugas dari guru/sekolah,


4.Mampu melaksanakan eksprimen dalam pengembangan pe­ngetahuan dan keterampilan,


5. Mampu menemukan / mem­buktikan pengalaman bela­jarnya dengan berbagai karya,


6. Mampu menulis dan mengarang dengan bahasa asing atau dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar,


7. Memperoleh kejuaraan olimpiade internasional dalam bidang: matematika, fisika, biologi, kimia, stronomi, dan atau lainnya Iditunjukkan dengan sertifikat internasional),


8. NUAN rata-rata tinggi (> 7,5), memiliki kemampuan penguasaan teknologi dasar,


9. Melakukan kerjasama dengan berbagai pihak, baik secara individual, kelompok/kolektif (lokal, nasional, regional, dan global) dengan bukti ada piagam kerjasama atau MoU yang dilakukan oleh lulusan,


10. Memiliki dokumen lulusan tentang karya tulis, persuratan, administrasi sekolah, penelitian, dll dalam bahasa asing atau dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar,


11. Memiliki dokumen dan pelaksanaan, pengelolaan kegiatan belajar secara baik (ada perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengkoordinasian, dan evaluasi) dari lulusan,


12. Menguasai budaya bangsa lain, memiliki dokumen karya tulis, nilai, dll tentang pemahaman budaya bangsa lain dari lulusan,


13. Memiliki pemahaman terhadap kepedulian dengan lingkungan sekitar sekolah, baik lingkungan sosial, fisik maupun budaya,


14. Memiliki berbagai karya-karya lain dari lulusan yang bermanfaat bagi dirinya maupun orang lain, bangsa, dll, dan


15. Terdapat usaha-usaha dan atau karya yang mencerminkan jiwa kewirausahaan lulusan.


Sekolah Berstandar Internasional akan dicapai melalui sebuah proses peningkatan kualitas sekolah yang berkesinambungan. Salah satu tujuan pokoknya adalah lulusan sekolah yang kompetensinya diakui secara internasional. Proses peningkatan kualitas ini menyangkut semua komponen sekolah yang meliputi kegiatan belajar mengajar.


Berdasarkan hal tersebut, maka harus diadakan suatu kegiatan.


Kegiatan ini dilaksanakan bertujuan untuk:

(1) Meningkatkan Mutu Tenaga Kependidikan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI),


(2) Mengimplementasikan peran LPMP dalam program pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) pada sekolah-sekolah yang ditetapkan sebagai pilot project,


(3) Menyamakan persepsi di antara tenaga kependidikan tentang program pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI),


(4) Menyusun rencana dan strategi program pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) berdasarkan kompetensi lulusan, dan

(5) Meningkatkan Mutu Pendidik Sekolah Bertaraf Internasional (SBI).


PARA SISWA SBI Angkatan Pertama

SBI, Bahasa Inggris dan Infrastruktur

Penyusun konsep ini nampaknya juga tidak paham bahwa tidak semua orang (terutama guru PNS!) bisa ‘dijadikan’ fasih berbahasa Inggris (apalagi mengajar dengan menggunakan bahasa Inggris) meskipun orang tersebut diminta untuk tinggal dan hidup di negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari.

Sebagai ilustrasi, bahkan masih banyak guru kita di pelbagai daerah yang belum mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih dalam mengajar! Sebagian dari guru kita di tanah air ini masih menggunakan bahasa daerahnya dalam mengajar meski tinggal dan hidup di lingkungan yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Hal ini menunjukkan bahwa adalah tidak mungkin ‘menyulap’ para guru hard science agar dapat fasih berbahasa Inggris (apalagi memperoleh nilai TOEFL>500 seperti persyaratan dalam buku Panduan Penyelenggaran Rintisan SBI tersebut) meski mereka dikursuskan di sekolah bahasa Inggris terbaik.

Dengan penekanan pada penggunaan bahasa Inggris sebagai medium of instruction di kelas oleh guru-guru yang baik kemampuan penguasaan materi, pedagogi, apalagi masih "struggling in English" jelas akan membuat proses KBM menjadi kacau balau. Program ini jelas merupakan eksperimen yang berresiko tinggi yang belum pernah diteliti dan dikaji secara mendalam dampaknya tapi sudah dilakukan di ratusan sekolah yang sebetulnya merupakan sekolah-sekolah berstandar “A”.

Tidak perlu terlalu cerdas untuk melihat betapa beresikonya program ini. Ratusan sekolah-sekolah berstatus Mandiri yang diikutkan program ini berresiko besar untuk mengalami kekacauan dalam proses KBM-nya. Berharap target yang tinggi dari guru yang tidak kompeten (atau kompetensinya merosot karena harus menggunakan bahasa asing) adalah kesalahan yang sangat fatal. Resiko kegagalannya sangat besar untuk ditanggung. Program SBI ini bakal menghancurkan best practices dalam proses KBM yang selama ini telah dimiliki oleh sekolah-sekolah Mandiri yang dianggap telah mencapai standar SNP tersebut.

Kritik paling mendasar barangkali adalah kesalahan asumsi dari penggagas sekolah ini bahwa Sekolah BERTARAF internasional itu harus diajarkan dalam bhs asing (Inggris khususnya) dengan menggunakan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD . Padahal negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Finlandia, Jerman, Korea, Italia, dll. tidak perlu menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar jika ingin menjadikan sekolah mereka BERTARAF internasional.

Sekolah kita pun sebenarnya tidak perlu harus mengajarkan materi hard science dalam Bhs . Inggris supaya dapat dianggap bertaraf internasional.

Kurikulumnyalah yang harus bertaraf internasional atau dalam kata lain tidak dibawah kualitas kurikulum negara lain yang sudah maju. Jadi fokus kita adalah pada penguatan kurikulumnya.

Penguatan kemampuan berbahasa Inggris bertaraf internasional bisa dilakukan secara simultan dengan memberi pelatihan terus menerus kepada guru-guru bhs Inggris yang mempunyai beban untuk meingkatkan kompetensi siswa dalam berbahasa Inggris. Selama ini siswa-siswa kita yang melanjutkan pendidikannya di luar negeri tidak pernah diminta untuk mempunyai persyaratan berstandar Cambridge, umpamanya.

Jika mereka memiliki tingkat penguasaan yang tinggi dalam bidang studi dan mereka mampu memiliki kompetensi berbahasa Inggris yang baik maka mereka selalu bisa masuk ke perti di luar negeri. Bukankah selama ini mereka tidak pernah ditest masuk dengan menggunakan materi Matematika, Fisika, kimia, Biologi, dll dalam bhs Inggris?

Lantas mengapa mereka harus dilatih sejak awal untuk memahami materi bidang studi tersebut dalam bhs Inggris (oleh guru yang tidak memiliki kompetensi memadai untuk itu)? Cara yang lebih mudah sebenarnya adalah mengadopsi GCSE sebagai ujian bagi siswa-yang berkeinginan untuk melanjutkan pendidikannya ke luar negeri tanpa harus mengorbankan begitu banyak sistem yang telah berlaku.

Penekanan pada penggunaan piranti media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD juga menyesatkan seolah tanpa itu maka sebuah sekolah tidak bisa bertaraf internasional. Sebagian besar sekolah hebat di Amerika masih menggunakan kapur dan tidak mensyaratkan media pendidikan mutakhir dan canggih seperti laptop, LCD, dan VCD sebagai prasyarat kualitas pendidikan mereka. Program ini nampaknya lebih mementingkan alat ketimbang proses. Padahal pendidikan adalah lebih ke masalah proses ketimbang alat. (Bpk. Satria Dharma)



What Do We Believe In? Why Do We Function the Way WeDo?

Angus MacNeil, Valerie maclin.

In a successful school, the culture of the school focuses on establishing a climate where the alignment of values and beliefs are embedded. The idea of developing this type of community allows all involved to develop a sense of group purpose. A recurring theme throughout the literature on instructional leadership is that a leader must have a clear vision.

Stephen Covey reminds us that good leadership comes from shared vision and principles. Good leaders must have a sense of what he or she values, something to be committed to, a compass to guide their true north principles. Honesty and integrity, according to Covey, are examples of a leader's true north principle which are not taught, but are laws of the universe. (Covey, 1990) For the most part, a school's shared vision can be found in its mission statement.

The central goal of the mission statement is to improve student learning and achievement. Yet, there is an underlining goal as well, which is to align the beliefs and values of a school. McEwan (2003) states, a vision will incorporate the collective ideas of everyone and will be a consensus statement of where you want to go together. Mission statements are also important because they are a statement of the school's purpose.

It is vital to remember that the mission statement must be a collective generated statement and not a directive that is forced upon its staff. Therefore, the job of the supervisor is to continually explain, teach, share, demonstrate, and model those practices which can move teachers forward (McEwan, 2003).


To encourage a school culture and climate that promotes individuals who are bonded together by natural will, and who are together bound to a set of shared ideas, and ideals then principals must strengthen their efforts towards improving connections, coherence, capacity, commitment, and collaboration among their members (Sergiovanni, 2001).

The attributes of a supportive climate promoted in successful schools include:

* Continual sharing of ideas- Teachers share ideas daily
regarding vital issues of instruction, curriculum, testing, school
organization, and the value of specific knowledge.

* Collaboration-Teachers become involved in team teaching and
other collaborative efforts in program development, writing, and
research.

* Egalitarianism- Teachers dispense with formalities and anyone
who takes an interest in a department meeting can vote. The notion
that the quality of ideas is more important than the source.

* Practical application-Teachers ask themselves,
How does what we are doing help students,
teachers, and schools? What did we do this week to help?

Principals who desire to improve a school's culture, must foster an atmosphere that helps teachers, students, and parents know where they fit in and how they can work as a community to support teaching and learning. Creating a school culture requires instructional leaders to develop a shared vision that is clearly communicated to faculty and staff. Additionally, principals must create a climate that encourages shared authority and responsibility if they are to build a positive school culture.


References:

Barth, R. (1990). Improving schools from within. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.


Covey, S. (1990). Principle-centered leadership. New York: Simon & Schuster, Inc.

Goldhammer, R. (1980). Clinical supervision: Special methods for the supervision of teachers.New York: Holt.

Greenfield, Thomas B (1984). Leaders and schools: Willfulness and non-natural order, in Thomas Sergiovanni and John E. Corbally (Eds.), Leadership and Organizational Cultur. Urbana-Champaign: University of Illinois Press.

Hoy, W., & Forsyth, P. (1986). Effective supervision: theory into practice. New York: McGraw-Hill Company.

Karp, S. (2005). The trouble with takeover. Educational Leadership, 62, (5), 28-32.

Lashway, L. (2003, July). Role of the school leader. Retrieved Feb 12, 2004, from http://eric.uoregon.edu/trends_issues/rolelead/index.html#providing

Lambert, L. (1998). Building leadership capacity in schools. Alexandria, VA: ASCD.

McEwan, E. (2003). 7 steps to effective instructional leadership. 2nd ed. Thousand Oaks, CA: Corin Press.

McQuarrie, F., Wood, F. (1991, August). Designs on the job learning. Retrieved Feb 12, 2005, from http://www.nsdc.org/library/publications/jsd/wood203.pdf

Newmann, F., Wehlage T. (1996). Authentic achievement: Restructuring schools for intellectual quality. San Francisco, CA:

Jossey-Bass. Patterson, W. (2003). Breaking out of our boxes. Phi Delta Kappan, 84, (8), 569-577.

Sergiovanni, T. (2001). The Principalship: A reflective practice. 5th ed. San Antonio, TX: Trinity Press.

Ucapan Terima Kasih:

Kepada Orang Tua dan Guru-guru kami, Serta Teman, sahabat yang kusayangi!

Semoga Bermanfaat, Semangat dan Terima Kasih.


2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus