Kamis, 10 April 2008

Konsistensi: Cara Ideal untuk Belajar Mendalam

Seorang kerabat meminjam 2 buah VCD ilmu pengetahuan milik kami. Anak-anak sudah beberapa kali menonton VCD itu dan selalu antusias, bisa bertahan duduk sampai selesai. Namun sayangnya, hal itu tidak terjadi pada keponakan saya. Berdasarkan cerita ayahnya, keponakan saya yang berusia 3 tahunan itu hanya mau melihat sebentar dan kemudian berlalu seperti tanpa minat. Pertanyaannya, apakah itu berarti bahwa dia memang tidak suka, dan kemudian kita berhenti sampai di situ? Padahal kalau ia menonton acara TV, dia pun bisa antusias dan tahan duduk berlama-lama.

Saya kira, hal semacam ini kerap terjadi pada banyak anak usia dini di hampir semua keluarga. Berdasarkan pengalaman saya, kesimpulan bahwa anak-anak tidak suka, tidak mau, tidak tertarik, dan akhirnya kita menyerah mengikuti kecenderungan mereka adalah kesimpulan yang keliru. Seperti juga orang dewasa, anak-anak membutuhkan waktu untuk tertarik secara mendalam terhadap sesuatu hal. Tak cukup hanya sekali atau dua kali, namun butuh berkali-kali interaksi untuk membuat anak tertarik dan menikmati suatu kegiatan. Persoalannya, durasi waktu yang mereka butuhkan untuk men-scanning apapun yang dilihatnya seringkali hanyalah beberapa detik untuk setiap momentum.

Hal itulah yang nampaknya disadari oleh pakar cedera otak Glenn Doman. Teknik mengajar balita membaca ataupun matematika yang ia rekomendasikan, tak lebih dari 5 detik per kali belajar. Ya, karena konsentrasi anak-anak di bawah usia lima tahun memang hanya selama itu. Kunci keberhasilan proses belajar, apapun objeknya, justru terletak pada konsistensi. Meski hanya 5 detik per kali belajar, namun jika diulang tiga kali sehari, dan hal itu berlangsung tetap setiap hari, maka hasilnya akan mulai kelihatan.

Banyak hal dalam kehidupan kita pun membutuhkan konsistensi untuk berhasil, demikian pula dalam belajar. Pada umumnya, anak-anak akan nampak lebih tertarik pada acara TV, baik film kartun ataupun sinetron, dan terutama iklan. Mengapa? Karena sesungguhnya telah terjadi proses yang panjang yang telah mereka lewati untuk menyukai semua itu. Jika setiap hari televisi dinyalakan 10 jam saja dalam sehari, maka betapa seringnya pengulangan tayangan disaksikan oleh anak-anak. Kalau anak kita sudah bertemu dengan TV sejak ia berusia 0 tahun, maka hingga usia anak sekarang yang mungkin sudah 5 atau 8 tahun, selama itu pula anak kita melihat, mendengar, dan berinteraksi dengan televisi. Tentu sangat tidak mengherankan kalau akhirnya mereka begitu akrab dengan acara televisi dibandingkan film-film ilmu pengetahuan yang cenderung tutorial dan miskin dengan adegan-adegan atraksional.

Anak-anak kami mulai diperkenalkan dengan film-film ilmu pengetahuan sejak usia lebih dini: kakaknya mungkin sejak usia 2 tahunan, dan adiknya sudah sejak lebih dini lagi. Awalnya sama saja dengan pengalaman banyak orang tua lainnya. Anak-anak hanya sebentar mau menonton. Namun karena setiap hari selalu diputar walau sebentar, lama-lama mereka tertarik untuk memutarnya sendiri sampai selesai dan bahkan bisa berulang-ulang setiap hari. Hasilnya, anak-anak punya selera khusus tentang menarik atau tidaknya sebuah tayangan. Mereka bisa memilah sendiri tayangan yang tidak konstruktif di televisi.

Belajar Mendalam
Mengetahui banyak hal mungkin bagus sekali pada masa eksplorasi pengetahuan. Tetapi tentu saja, akan lebih baik jika kita dan juga anak-anak memiliki pengetahuan yang mendalam tentang satu atau beberapa hal. Kita harus punya pijakan untuk kita kuasai lebih detail. Hal itu berguna untuk membangun profesi atau skill kehidupan di masa depan. Justru hal itulah yang nampaknya luput dari sekolah formal. Semua dipelajari serba sepintas, tanpa tujuan spesifik.

Merujuk pada kebutuhan tersebut, konsistensi adalah kuncinya. Kalau kita ingin anak-anak memiliki skill di bidang komputer lebih dalam misalnya, maka sejak sekarang mereka harus diberi peluang untuk 'ngoprek' komputer walaupun hanya beberapa menit sehari, meski hanya untuk membuat lingkaran atau mengetik sembarangan. Kalau kita berharap anak-anak bisa menguasai keterampilan 'pertukangan' untuk kebutuhan pribadi mereka setelah besar, maka sejak sekarang mereka harus diakrabkan dengan benda-benda pertukangan, seperti tang, obeng, paku, palu, pipa air, gergaji, dll. Setidaknya mereka tahu nama-nama benda itu berikut fungsi-fungsinya. Bahkan untuk anak yang lebih besar, mereka bisa diberi kesempatan untuk membantu memutar obeng saat kita sedang memasang atau membuka mur.

Banyak objek yang bisa dipelajari anak-anak. Konsisten belajar setiap hari untuk objek-objek pelajaran yang memang dianggap penting adalah cara ideal untuk membuat proses belajar menjadi lebih mendalam.

Salam Pendidikan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar