BAGIAN I
LATAR BELAKANG SEJARAH ILMU ANALISIS KEBIJAKAN
Perkembangan ilmu kebijakan banyak dipengaruhi oleh perubahan dan perkembangan ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Dalam perkembangannya ilmu analisis kebijakan itu mengalami metamorfosa dalam istilah seiring perkembangan pemahaman manusia terhadap kebutuhan hidup bersosial dan bagaimana mengatur kehidupan bersosial itu. Dengan demikian analisis kebijakan merupakan salah satu disiplin ilmu sosial terapan, yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan informasi yag relevan dengan kebijakan.
Secara singkat, apa yang kita kenal dengan sebutan analisa kebijakan (policy analysis) pada hakikatnya baru muncul pada dasawarsa 1970-an. Pada masa dasa warsa 1960-an, disiplin yang berorientasi pada masalah-masalah kebijakan ini masih dalam proses mencari bentuk dan para ahlinya belum mendapatkan tempatnya yang tepat, misalnya, pada dekade Lerner dan Lasswell (1951), ilmu ini masih menggunakan istilah ’ilmu kebijakan’ (policy science). (Wahab, 1999:1)
Lasswell (1970), memperkenalkan ide tentang pengetahuan proses dan dia menyatakan bahwa pandangan ilmu kebijakan mengandung ciri khas, yakni berorientasi pada persoalan (problem oriented). Fokus pada problem berarti kajiannya harus multidisipliner dan melibatkan sintesis dari berbagai ide dan tehnik penelitian. Hal ini berarti, seorang ilmuwan kebijakan harus mampu menerapkan ”manajemen kreatif” dan memperluas peta konseptual yang mendefinisikan persoalan sebagaimana yang dilihat oleh spesialis. Seorang ilmuwan kebijakan kontemporer memandang dirinya sebagai integrator (pemersatu) dari pengetahuan dan tindakan, oleh karena itu, ia melihat dirinya sebagai ahli dalam mempengaruhi semua bidang rasionalitas yang dikuasai oleh individu dan kelompok pada kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, Lasswell menyimpulkan bahwa ilmu kebijakan itu adalah kontekstual, multi-metode, dan berorientasi pada masalah. Konsep ini, kini mulai banyak diakui orang, dan semakin banyak orang pula ikut mengakui bahwa peran seorang integrator sangat penting sebagai mediator atau pengantara. Lasswell menggunakan dua pendekatan dalam mengkaji kebijakan, yaitu pertama, ”knowledge of the policy process” (pengetahuan tentang analisis proses kebijakan) -- berkaitan dengan pengetahuan tentang formasi dan implementasi kebijakan publik, dan yang kedua, ”knowledge in the policy process” (pengetahuan tentang kebijakan) -- berkaitan dengan pengetahuan dalam, dan untuk proses kebijakan. Berdasarkan gagasan ini, kita dapat menyimpulkan bahwa ”analisis kebijakan” adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. (Dunn, 2005:1). Secara lebih sederhana kita dapat menjelaskan bahwa dalam menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan, analisis kebijakan meneliti sebab, akibat, dan kinerja kebijakan dalam program publik. Pengetahuan tersebut betapapun tetap tidak dapat lengkap kecuali jika hal tersebut disediakan bagi para pengambil kebijakan dan publik terhadap siapa para analis berkewajiban melayaninya. Hanya jika pengetahuan tentang kebijakan dikaitkan dengan pengetahuan dalam proses kebijakan, anggota-anggota badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif bersama dengan warga negara yang memiliki peranan dalam keputusan-keputusan publik, dapat menggunakan hasil-hasil analisis kebijakan untuk memperbaiki proses pembuatan kebijakan dan kinerjanya. Karena efektivitas pembuatan kebijakan tergantung pada akses terhadap stok pengetahuan yang tersedia, maka komunikasi dan penggunaan analisis kebijakan menjadi penting sekali dalam praktik dan teori pembuatan kebijakan publik. (Dunn, 2005:2).
Pada tahap perkembangan selanjutnya (1960 – 1970) ada sejumlah ahli yang menggunakan istilah untuk ilmu ini sebagai ”studi-studi kebijakan” (policy studies). Akan tetapi dalam berbagai literatur (buku-buku teks dan jurnal ilmiah) terlebih lagi yang terbit dalam dasa warsa 1970-an, istilah analisis kebijakan lebih banyak digunakan dan menjadi semakin populer. (Wahab, 1999:1).
BAGIAN II
SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP KEBIJAKAN
KONSEP KEBIJAKAN
Menurut Wayne Parson (2205), kebijakan adalah istilah yang dalam penggunaannya secara umum, dianggap berlaku untuk sesuatu yang ’lebih besar’ ketimbang keputusan tertentu, tetapi ’lebih kecil’ ketimbang gerakan sosial. Jadi, kebijakan, dari sudut pandang tingkat analisis, adalah sebuah konsep yang kurang lebih berada di tengah-tengah. Sebuah kebijakan mungkin saja merupakan sesuatu yang tidak sengaja, tetapi ia tetap dilaksanakan dalam implementasi atau praktek administrasi.
Dror (1989) di dalam Wayne (2005) mengatakan bahwa gagasan ’pembuatan kebijakan’ adalah sebagai ’kesadaran memilih’ di antara dua alternatif untuk mengatur masyarakat. Makna modern dari gagasan ’kebijakan’ (policy) dalam Bahasa Inggris adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik – yang berbeda dengan makna ’administration’ (administrasi).
Makna ’kebijakan’ juga harus dipahami dalam konteks yang berubah-ubah. Pasalnya, sebagaimana konsep ’publik’, makna ’kebijakan’ yang senantiasa berubah, ini juga menunjukkan kepada kita perubahan-perubahannya dalam praktik kebijakan. Akan tetapi jika direnungkan secara seksama, perubahan terminologi itu sebenarnya membawa akibat yang cukup mendasar bagi proses pendewasaan diri analisis kebijakan itu sendiri. Sebab, perubahan itu ternyata bukan sekadar pada kemasannya, tetapi juga pada substansinya. (Wahab, 1999:1). Konkritnya, perubahan substansial itu menyentuh persoalan restrukturisasi konsep dan dimaksudkan untuk memperjelas karakteristik, serta tujuan dari analisis yang dilakukan terhadap masalah-masalah kebijakan. Selain itu juga, dimaksudkan untuk dapat memilah-milah secara sistematik bidang-bidang kajian, serta profesi yang digeluti para ahli.
Konteks yang berubah-ubah ini dapat kita temukan dalam beberapa contoh. Yang pertama, dalam karya Shakespeare, kita menjumpai empat makna ”kebijakan” (policy) yang berbeda, yakni: kehati-hatian, sebentuk pemerintahan, tugas, dan administrasi serta sebagai ”Machiavellianisme”. Kebijakan mencakup seni ilusi politik dan duplikasi. Penonjolan, penampakan luar dan tipuan (ilusi) adalah beberapa unsur yang membentuk kekuasaan (power). Kekuasaan tidak dapat dipertahankan hanya dengan kekuatan paksa (force).
Contoh yang kedua, kekuasaan memerlukan kebijakan (policy) dalam pengertian Machiavellianisme, dan policy menunggangi kesadaran, demikian dikatakan sang penyair dalam Timon of Athens.
Contoh ketiga, policy bermakna sebagai kecerdikan (craftiness). Kita dapat melihat salah satu ilustrasi yang paling menarik mengenai penggunaan gagasan policy Machiavellian dalam karya dramawan besar Marlowe yang hidup sezaman dengan Shakespeare. Dalam drama The Few of Malta gagasan tentang policy menempati peran sentral; kata ini muncul berkali-kali dalam teksnya. Misalnya, seorang ksatria menyebut ’simple policy’ yang kemudian, oleh seorang tokoh Barabas ditambahkan, ’Ah policy’, itulah profesi mereka. Dan itu tidak sederhana. Kata policy di sini mengandung dua makna, sederhana dan perencanaan cerdik (Scheming). Policy di sini dapat berarti menciptakan atau merekayasa sebuah cerita masuk akal dalam rangka mengamankan tujuan-tujuan si perekayasa; salah satu makna policy di sini adalah bertindak, dan seperti yang dikatakan Ithamore, ”maksud mengandung makna”. Dengan menggunakan policy-nya, Barabas mendapatkan tempat yang setara dengan Gubernur Malta. Dia mengadu domba bangsa Turki dengan kaum Kristiani, dan karena itu dia mendapatkan ’keuntungan’ dari policy-nya. (Wayne Parson, 2005:16).
Francis Bacon, tokoh sezaman Shakespeare, juga mendefinisikan kebijakan (policy) dari segi kecerdikan rasional. Tetapi gagasan kebijakan sebagai politik, dan gagasan politik sebagai kebijakan, nantinya akan diganti oleh gagasan kebijakan sebagai politik yang menjalankan atau mengimplementasikan kebijakan, sebagai administrasi atau birokrasi. Dengan berkembangnya industri dan administratifnya di beberapa negara, maka birokrasi, seperti yang ditunjukkan oleh Weber, menjadi ekspresi dari komponen nasional dalam negara, yang berfungsi untuk menjalankan kehendak penguasa politik yang terpilih.
Istilah kebijakan menjadi ekspresi nasionalitas politik karena birokrasi memperoleh legitimasinya dari klaimnya sebagai badan nonpolitis, sedangkan politisi mengklaim otoritasnya berdasarkan penerimaan kebijakan-kebijakan atau ”platform” mereka oleh elektorat.
Mempunyai kebijakan berarti memiliki alasan atau argumen yang mengandung klaim bahwa pemilik kebijakan memahami persoalan beserta solusinya. Kebijakan mengemukakan apa yang sedang terjadi dan apa yang seharusnya dilakukan. Sebuah kebijakan memberikan semacam teori yang mendasari klaim legitimasi.
Menurut Lasswell (1951b:5), kata ”kebijakan” umumnya dipakai untuk menunjukkan pilihan terpenting yang diambil baik dalam kehidupan organisasi atau privat... ”Kebijakan” bebas dari konotasi yang dicakup dalam kata politis (political) yang sering kali diyakini mengandung makna ”keberpihakan” dan ”korupsi”. (Wayne Parson, 2005:17)
BAGIAN III
SEJARAH PERKEMBANGAN KONSEP ANALISIS KEBIJAKAN
Menurut Dunn (dalam Riant ND,2007:12), analisis kebijakan awal mulanya dilakukan ketika politik praktis harus dilengkapi dengan pengetahuan agar dapat memecahkan maslah publik. Asal muasal tradisi ini berawal dari India, ketika Kautilya (seorang penasihat Kerajaan Mauyan di India Utara) menulis Arthashastra pada tahun 300 SM, yang antara lain berisi tuntutan pembuatan kebijakan. Di Eropa para penasehat Kerajaan seperti Plato (427 – 327 SM) di Sisilia, Aristoteles (384 – 322 SM) yang mendampingi Alexander Agung hingga Nichollo Machiavelli (1469 – 1527) yang menjadi konsultan pribadi bagi para bangsawan di Italia pada masa itu.
Revolusi Industri di Inggris dan Revolusi Sosial di Perancis semakin meningkatkan kebutuhan akan pengetahuan tentang teknis kebijakan untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul. Perkembangan selanjutnya adalah dengan munculnya Statistik, sehingga advis-advis dapat dikuantifikasi. Di Inggris muncul The Statistic Society, yang berkembang dan mempunyai pengaruh yang luas di Eropa dan Amerika. Pada tahun 1910, A. Lawrence Lowell, Ketua Asosiasi Ilmu Politik Amerika, mengemukakan perlunya pendekatan empiris dalam studi ilmu politik. Program New Deal dari Presiden Roosevelt pada tahun 1930-an banyak mendorong perkembangan ilmu kebijakan, termasuk didalamnya analisis kebijakan. (Riant ND, 2007:13).
Pada perkembangannya analisis kebijakan harus diletakkan dalam konteks rasionalisasi negara dan politik sebagai aktivitas ”pembuatan kebijakan”. Kemunculan metode ilmu alam menyediakan kerangka esensial yang menjadi lahan berkembangnya studi masyarakat dan ”administrasi” publik di abad ke 19, seperti yang dikatakan oleh Trudi Miller dalam Wayne Parson (2005:18).
Ilmu alam mempresentasikan pendekatan administrasi publik dan ilmu politik yang semakin berkembang di abad ke dua puluh . . . asumsi tersirat dari pendekatan ilmu alam ini adalah:
(1) Ada hukum yang mengatur perilaku manusia yang bebas dari kontrol manusia, dan
(2) Unit-unit analisa dalam sistem sosial sama di semua kurun waktu dan tempat. Metode ilmu sosial kualitatif lama merefleksikan asumsi empiris ini. (Miller, 1984:253)
Analisa kebijakan juga berkembang pada saat periode perang, terutama sejak munculnya OR (operation research) dan tehnik analisis ekonomi. Karenanya, analisis kebijakan pada awalnya lebih dikenal dengan istilah analisis kebijakan ekonomi dan pertahanan. Akan tetapi, pada 1960, pemerintah Amerika Serikat dan beberapa negara lainnya, membutuhkan semakin banyak informasi dan analisis pendidikan, transportasi, perencanaan tata kota, kesehatan dan sebagainya, sehingga konsep analisis kebijakan berkembang seiring perkembangan kebutuhan untuk itu. Menjelang 1960-an semakin banyak negara yang masuk ke dalam ”sistem” pembuatan kebijakan, sehingga kemahiran dan kecerdasan dalam mengolah sistem ini sangat diperlukan. Kondisi ini mendorong banyak orang untuk membuat kajian dan mempelajari lebih dalam dan luas tentang ”bagaimana membuat kebijakan” dengan baik.
Jenis analisis lainnya – yang berkembang bersamaan dengan fokus problem pada 1960-an adalah analisis proses kebijakan sebagai alternatif untuk mempelajari konstitusi, legislatif, kelompok berkepentingan, dan administrasi publik.
Wayne Parson, (2005:20-26), mengemukakan bahwa ada empat tokoh utama yang banyak memberikan kontribusi dalam perkembangan studi kebijakan. Mereka adalah Harold Laswell, Herbert Simon, Charles Lindblom, dan David Easton. Lasswell barangkali adalah tokoh yang paling menonjol di balik perkembangan studi kebijakan. Tulisan-tulisannya tentang kebijakan publik muncul sejak 1930-an, ketika dia diilhami oleh pemikiran Aliran Chicago dalam mendekati persoalan-persoalan dengan menggunakan pendekatan multidisipliner.
Kontribusi Herbert Simon untuk perkembangan studi kebijakan jelas lebih besar ketimbang ahli teori manapun. Karena sifat kebijakan publik yang multidisipliner, maka karya Simon berdampak luas terhadap ilmu-ilmu sosial manapun, termasuk ilmu pendidikan. Perhatiannya terhadap proses pengambilan keputusan manusia dipusatkan pada ide rasionalitas sebagai sesuatu yang ”terkekang” namun mampu membuat perbaikan. Tema ini dikaji Simon secara teoritis dan eksperimental. Ide Simon tentang pengkajian pembuatan keputusan dari sudut tahapan rasional, yakni intelligensi, desain, dan pilihan, telah menjadi unsur utama dalam analisis kebijakan.
Tokoh kunci yang ketiga dalam perkembangan analisis kebijakan yang mengkaji proses pembuatan kebijakan adalah Charles Lindblom. Dia terkenal karena mendukung pendekatan rasional yang sedikit berbeda dengan Simon. Lindblom mendukung pendekatan ”incrementalism” (bertingkat menaik). Artikelnya tentang ”ilmu untuk mengatasi” yang terbit pada tahun 1959 menjadi teks klasik dalam literatur studi kebijakan. Teks ini mungkin masih merupakan satu-satunya kontribusi terpenting dalam pembentukan teori proses pembuatan kebijakan.
Tokoh yang terakhir adalah David Easton. Walau karyanya (1953, 1965) tidak dianggap sebagai karya utama ’kebijakan publik’, namun itu telah memberikan kontribusi penting bagi pembentukan pendekatan kebijakan seperti halnya karya tiga tokoh lainnya. karya Easton menyediakan model ”sistem politik” yang sangat mempengaruhi ”cara studi kebijakan (output) pada 1960-an.
Analisa kebijakan bermula dari rasa ketidakpuasan karena ”banyaknya kebijakan yang tidak memuaskan”, (E.S. Quade, 1982 dalam Dedi M), sehingga analisa kebijakan dapat diartikan sebagai ”tindakan yang diperlukan untuk dibuatnya sebuah kebijakan yang baru sama sekali, maupun kebijakan yang baru sebagai konsekuensi dari kebijakan yang ada (Carl W dkk, 1993 dalam Dedi M).
Peran analisa kebijakan adalah guna memastikan bahwa kebijakan yang akan diambil benar-benar dilandaskan atas manfaat optimal yang akan diterima oleh publik, bukan hanya akan menguntungkan pengambil kebijakan.
Dari sejarahnya tujuan analisa kebijakan adalah untuk menyediakan informasi-informasi yang dapat digunakan untuk memikirkan kemungkinan pemecahan masalah-masalah kebijakan bagi para pengambil kebijakan. Jadi analisis kebijakan pada dasarnya memiliki orientasi praktis, oleh karenanya identik dengan ilmu sosial terapan
BAGIAN IV
PERKEMBANGAN AWAL AKADEMIK
Menurut Wayne Parson (2005:28-30) pertumbuhan kebijakan sebagai bidang akademik merupakan implementasi lapangan dari hasil dua pertemuan yang diselenggarakan oleh American School Research Council. Hal itu mungkin terjadi pada akhir 1960-an. Pertemuan itu merupakan dua konference (perundingan) yang menghasilkan dua koleksi kertas kerja (paper) yang diedit oleh Austin Ranney (Ranney, 1965). Tokoh-tokoh yang memiliki kontribusi berharga dalam perkembangan ini antara lain Lasswell (1951, 1959, 1970, 1971), Simon Herbert (1947), David Easton (1965), Lindblom (1968), Almond Powell (1966), Deutsch (1963), Vickers (1965).
Pada periode 1960-an dua karya awal yang mengekspresikan sudut pandang yang berbeda mengenai rasionalitas pembuatan kebijakan adalah Lindblom (1968) dan Dror (1968). Teks-teks lainnya juga dipublikasikan pada 1968 antara lain Bauer dan Gergen (eds) dan Ranney (ed).
Pada periode 1970-an pendekatan kebijakan muncul dalam bentuk buku-buku ajar (text books). Beberapa buku menjadi teks kunci untuk memahami berbagai studi kebijakan baru. Diantaranya, Jones (1970), Dye (1972), Anderson (1975), dan Jenkins (1978) yang menempati posisi istimewa adalah studi krisis misil Kuba oleh Graham Allison (1971) yang meskipun merupakan studi kebijakan negara asng, segera diadopsi sebagai teks utama dalam kuliah-kuliah pembuatan keputusan dalam konteks ”kebijakan publik”. Pada periode ini juga muncul serial buku yang diterbitkan oleh Policy Studies Organization. Buku-buku itu bertujuan mempromosikan ”penerapan ilmu politik pada problem kebijakan yang penting”. Dua diantaranya penting bagi mahasiswa karena menyediakan survey yang bagus mengenai State of the Art di pertengahan 1970-an. (Nagel (ed), 1975a dan b). Pada pertengahan 1970-an ini juga terbit teks-teks studi perbandingan kebijakan publik, dan ang paling menonjol adalah Heldenmeir (et.al., 1975) dan Hayward dan Watson (1975). Pada 1979 muncul sumbangan penting, yaitu karya Wildavsky, yaitu Speaking The Truth, buku ini terbit di luar Amerika dengan judul The Art and Craft of Policy Analysis (Wildavsky, 1980).
Periode 1980-an adalah dekade dimana buku-buku ajar pendekatan kebijakan berkembang dengan pesat. Buku-buku tersebut terlalu banyak untuk disebutkan, tetapi diantara buku-buku itu, yang paling banyak digunakan adalah buku dari Burch dan Wood (1983); Peters (1982), dan Richardson dan Jordan (1979 / 1985).
Periode 1970-an dan 1980-an menjadi saksi munculnya lembaga-lembaga pemikiran dan riset dimana mereka mulai menggunakan pedekatan interdisipliner untuk mengkaji kebijakan. Insentif kajian akademik masih lebih banyak berhubungan dengan agenda masing-masing disiplin ketimbang pada pada ”agenda kebijakan”. Di lain pihak, ”lembaga-lembaga pemikiran” (think-tanks) telah menyediakan pendekatan yang berfokus pada problem dan kebijakan yang sangat kondusif bagi pembaharuan ”orientasi kebijakan” yang pertama kali dikemukakan oleh Lasswell.
Salah satu ciri utama dari bidang kebijakan publik pada periode 1980-an dan 1990-an adalah penyebarannya ke negara-negara bagian Amerika Serikat. Bahkan ada sejumlah pemikiran yang paling inovatif dan pendekatan baru muncul di benua Eropa. Ini adalah perkembangan yang penting,sebab sebahagian besar sejarah bidang ini cenderung di dominasi oleh gagasan dan materi dari Amerika Serikat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar