Selasa, 08 Februari 2011

TEORI BELAJAR

Oleh, MAHURI
MAHASISWA PASCASARJANA (S2) Teknologi pendidikan UNIB

Sebelum merancang pembelajaran, seorang guru harus menguasai sejumlah teori atau filsafat tentang belajar, termasuk beberapa pendekatan dalam pembelajaran. Teori belajar tersebutsebagian sudah dikenal dalam pelaksanaan Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, dan Kurikulum 2004. Sebagian bahkan sudah dikenal dalam mata kuliah tentang pendidikan dan pengajaran. Penguasaan teori itu dimaksudkan agar guru mampu mempertanggungjawabkan secara ilmiah perilaku mengajarnya di depan kelas.
a. Behaviorisme.
Teori ini di dalam linguistik diikuti antara lain oleh L.Bloomfield dan B.F.Skinner. Dalam hal belajar, termasuk belajar bahasa, teori ini lebih mementingkan faktor eksternal ketimbang faktor internal dari individu, sehingga terkesan siswa hanya pasif saja menunggu stimulus dari luar (guru). Belajar apa saja dan oleh siapa saja (manusia atau binatang) sama saja, yakni melalui mekanisme stimulus – respons. Guru memberikan stimulus, siswa merespons, seperti tampak pada latihan tubian (drill) dalam pelajaran bahasa Inggris. Pelajaran yang mementingkan kaidah tatabahasa, struktur bahasa (fonem, morfem, kata, frasa, kalimat) dan bentuk-bentuk kebahasaan merupakan penerapan behaviorisme, karena behaviorisme lebih mementingkan bentuk dan struktur bahasa ketimbang makna dan maksud.
b. Gestalt.
Berbeda dengan behaviorisme yang bersifat fragmentaris (mementingkan bagian demi bagian, sedikit demi sedikit), teori belajar ini melihat pentingnya belajar secara keseluruhan. Jika Anda mempelajari sebuah buku, bacalah dari awal sampai akhir dulu, baru kemudian bab demi bab. Dalam linguistik dan pengajaran bahasa, aliran ini melihat bahasa sebagai keseluruhan utuh, melihat bahasa secara holistik, bukan bagian demi bagian. Belajar bahasa tidak dilakukan setapak demi setapak,dari fonem, lalu morfem dan kata, frasa, klausa sampai dengan kalimat dan wacana. Bahasa adalah sesuatu yang mempunyai staruktur dan sistem, dalam arti bahasa terdiri atas bagian-bagian yang saling berpengaruhdan saling bergantung.
c. Kognitivisme.
Dalam belajar, kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya. Kognisi adalah suatu perabot dalam benak kita yang merupakan “pusat” penggerak berbagai kegiatan kita: mengenali lingkungan, melihat berbagai masalah, menganalisis berbagai masalah, mencari informasi baru, menarik simpulan dan sebagainya. Pakar kognitivisme yang besar pengaruhnya ialah Jean Piaget, yang pernah mengemukakan pendapatnya tentang perkembangan kognitif anak yang terdiri atas beberapa tahap. Dalam hal pemerolehan bahasa ibu (B1) Piaget mengatakan bahwa (i) anak itu di samping meniru-niru juga aktif dan kreatif dalam menguasai bahasa ibunya; (ii) kemampuan untuk menguasai bahasa itu didasari oleh adanya kognisi; (iii) kognisi itu memiliki struktur dan fungsi. Fungsi itu bersifat genetif, dibawa sejak lahir, sedangkan struktur kognisi bisa berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu.
Di samping itu, teori ini pun mengenal konsep bahwa belajar ialah hasil interaksi yang terus-menerus antara individu dan lingkungan melalui proses asimilasi dan akomodasi. (Lihat strategi pembelajaran!).
d. Konstruktivisme.
Teori Piaget di atas melahirkan teori konstruktivisme dalam belajar. Piaget mengatakan bahwa struktur kognisi itu dapat berubah sesuai dengan kemampuan dan upaya individu sendiri. Menurut konstruktivisme, pebelajar (learner, orang yang sedang belajar) akan membangun pengetahuannya sendiri berdasarkan apa yang sudah diketahuinya. Karena itu belajar tentang dan mempelajari sesuatu itu tidak dapat diwakilkan dan tidak dapat “diborongkan” kepada orang lain. Siswa sendiri harus proaktif mencari dan menemukan pengetahuan itu, dan mengalami sendiri proses belajar dengan mencari dan menemukan itu. Di sini diperlukan pemahaman guru tentang “apa yang sudah diketahui pebelajar”, atau apa yang disebut pengetahuan awal (prior knowledge), sehingga guru bisa tepat menyajikan bahan pengajaran yang pas: Jangan memberikan bahan yang sudah diketahui siswa, jangan memberikan bahan yang terlalu jauh bisa dijangkau oleh siswa. Patut diingat bahwa sebelum belajar bahasa Indonesia siswa sudah mempunyai bahasa ibu (bahasa daerah) sebagai “pengetahuan awal” mereka. Pengetahuan, pengalaman, dan keterampilannya dalam bahasa daerahnya itu harus dimanfaatkan oleh guru untuk belajar berbahasa Indonesia dengan lebih baik.
e. CBSA.
Sebenarnya CBSA sudah kita kenal sejak 1981 yang menyertai Kurikulum 1984 juga. CBSA itu suatu pendekatan yang lahir untuk mengatasi keadaan kelas yang siswanya serba pasif. Adalah pandangan yang salah jika dikatakan CBSA itu mengaktifkan siswa dan “membuat guru diam” (tidak aktif). Juga salah jika CBSA itu mesti berdiskusi secara kelompok, mesti memindahkan bangku dan kursi. Yang penting sebenarnya ialah CBSA itu menuntut agar ada keterlibatan mental-psikologis pada siswa sepanjang proses belajar-mengajar. Hanya saja keterlibatan mental-psikologis itu kadang-kadang harus diwujudkan dalam perilaku fisik, misalnya bertanya, memberikan jawaban dan tanggapan, memberikan pendapat, dsb. Dalam hal pelajaran bahasa Indonesia, CBSA itu harus mewujud dalam kegiatan siswa untuk banyak berbicara dan menulis, pokoknya harus aktif-produktif ketimbang pasif-reseptif. Dalam hal-hal tertentu CBSA itu mengharuskan siswa banyak terlibat dalam proses belajar-mengajar, siswa mengalami belajarnya sendiri, mendalami materi, dsb. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia CBSA amat bisa sejalan dengan pendekatan komunikatif.
f. Keterampilan Proses.
Sebenarnya keterampila proses itu serupa dan senafas dengan CBSA karena roh dari kedua pendekatan itu sama yaitu bagaimana agar siswa itu terlibat aktif dalam proses belajar-mengajar di dalam kelas. Keterampilan proses ini lahir antara lain karena guru sering hanya memperhatikan hasil belajar dan kurang memperhatikan proses untuk mencapai hasil itu. Dengan kata lain, guru (dan murid) menghalalkan segala cara agar memperoleh hasil yang “baik” tanpa melihat cara (teknik, metode, pendekatan, teori) memperoleh hasil itu. Akibatnya, guru berlaku kurang jujur, misalnya dengan membuat soal-soal yang sangat-saangat mudah, membiarkan murid menyontek, dan sebagainya; murid pun berlaku tidak jujur, yakni sengaja menyiapkan sontekan, turunan, dan sebagainya. Sebenarnya, sejak kurikulum 1975 kita sudah mengenal TIK (Tujuan Instruksional Khusus) yang rumusannya mencantumkan cara-cara untuk mencapai hasil belajar yang bisa diamati dan diukur. Dalam rumusan yang kira-kira sama, KBK pun merumuskan “kompetensi” dengan deskriptor-deskriptor tertentu. Dalam bahasa Indonesia pendekatan ini dapat secara langsung digunakan untuk menilai perilaku berbhasa sehari-hari di dalam kelas secara terus-menerus.
g. Belajar secara Sosial.
Istilah Inggrisnya ialah social learning, dan sekarang dikenal dengan istilah belajar secara gotong royong. Pendekatan ini menekankan pentingnya belajar bersama, secara berkelompok atau berpasangan, mengingat di dalam kehidupan bermasyarakat pun orang
selalu bekerja sama untuk melakukan sesuatu. Dalam pelajaran bahasa Indonesia pendekatan ini bisa diterapkan misalnya dalam menyusun karya tulis (membuat laporan, membuat sinopsis, meringkas bacaan, dan sebagainya), berdiskusi, berdialog, mendengarkan, dan sebagainya.
h. CTL.
Seiring dengan diperkenalkannya KBK, muncul gagasan tentang CTL, singkatan dari Contextual Teaching and Learning, atau mengajar dan belajar secara kontekstual. Pendekatan ini sebenarnya diilhami oleh filsafat konstruktivisme. Sebenarnya siswa itu bisa didorong untuk aktif melakukan tindak belajar jika apa yang dipelajari itu sesuai dengan konteks. Konteks ini tidak sekadar diartikan lingkungan belajar. Konteks itu bisa berupa konteks siswa (usia, kondisi sosial-ekonomi, potensi intelektual, keadaan emosi, dsb), konteks isi (materi pelajaran), konteks tujuan (tujuan belajarnya, kompetensi yang hendak dicapai), konteks sosial-budaya, konteks lingkungan, dsb. Ada beberapa unsur dalam CTL yang harus diterapkan di dalam proses belajar-mengajar, antara lain, pertanyaan, inkuiri, penemuan, pengalaman. Dalam pelajaran bahasa dan sastera Indonesia guru hendaknya memperhatikan kondisi kebahasaan siswa: apakah siswa Anda berasal dari pedesaan atau perkotaan, dari keluarga ekonomi lemah atau keluarga mampu, ada di SMP atau SMA. Guru hendaknya juga memperhatikan besar-kecilnya pengaruh bahasa daerah terhadap bahasa Indonesia dalam pemakaian bahasa Indonesia sehari-hari. Hal ini sering menyulitkan guru karena guru dan murid mempunyai latar belakang kebahsaan yang sama sehingga kedua pihak bisa melakukan “kesalahan” yang sama dalam berbahasa Indonesia. Guru yang berlatar belakang bahasa Bali tentu sulit mengidentifikasi kesalahan dalam berbahasa Indonesia yang dilakukan murid-muridnya yang juga berkatar belakang bahasa Bali, karena guru tidak menyadari kesalahannya sendiri. Minat siswa dalam sastra dan kesastraan juga bisa bergantung kepada latar belakang di atas.
i. Pendekatan Komunikatif.
Ini adalah pendekatan khas dalam belajar berbahasa. Intinya pendekatan ini menuntut agar (i) siswa diberi kebebasan berbicara tanpa beban (wajib berbahasa Indonesia yang baik dan benar); (ii) siswa mampu mengomunikasikan gagasannya kepada orang lain dan mampu menangkap dana memahami gagasan orang lain; (iii) siswa lebih banyak belajar berbahasa (empat keterampilan berbahasa) ketimbang belajar bahasa (teori, kaidah tatabahasa, struktur bahasa,dsb); (iv) guru tidak perlu banyak menyalahkan ujaran siswa, apalagi menginterupsi ketika siswa sedang berbicara, karena hal itu dapat mematikan motivasi siswa untuk berbicara. Bahasa harus kita pandang secara holistik (menyeluruh), bukan serpih-serpih (bagian demi bagian). Pendekatan komunikatif hakikatnya juga sejalan dengan prinsip-prinsip dalam pragmatik.
j. Pendekatan Tematik-Integratif.
Sebenarnya pendekatan ini sudah kita kenal pada kurikulum 1984. Intinya, tiap pelajaran harus berpijak pada tema atau subtema tertentu. Dan tiap bahan pelajaran tidaklah berdiri sendiri melainkan dipadukan (diintegrasikan) dengan bahan pelajaran yang lain. Dalam belajar berbahasa Indonesia, bahan pelajaran dapat dipadukan secara internal, misalnya keterampilan berbicara dengan tema pariwisata dengan keterampilan menulis, dengan aspek kebahasaan seperti kalimat dan frasa. Dapat pula secara eksternal dipadukan dengan sastra. Bahkan bahasa Indonesia dapat dipadukan dengan mata pelajaran yang lain. Misalnya, untuk pelajaran kalimat majemuk, guru dapat memadukan kalimat majemuk dengan keterampilan membaca, dan bacaan itu diambil dari buku teks Sejarah, Ekonomi, Biologi, IPA, IPS, dsb. Artinya, siswa dapat ditugasi untuk mencari dan menemukan contoh-contoh kalimat majemuk di dalam buku-buku teks itu.
2 Penerapan Teori Belajar.
Dalam hal penerapan teori belajar, guru hendaknya memperhatikan dulu kompetensi dasar yang hendak dicapai oleh siswa, indikator, deskriptor, dan bahan ajarnya. Misalnya, jika untuk kompetensi K, indikator I, dan deskriptor D, serta bahan ajar fakta dan kosep frasa, guru akan menggunakan pendekatan tematik-integratif, bagaimana wujudnya dalam Rencana Pembelajaran?
Untuk menjawab pertanyaan ini guru hendaknya menentukan dulu temanya, misalnya lalu-lintas. Jika kompetensi yang hendak dicapai ialah keterampilan membaca pemahaman, maka ditentukan bacaan bertema lalu-lintas yang dipastikan mengandung sekian banyak frasa. Jika Anda mengajar di SMP, bacaan seperti itu dapat dicari dalam buku teks IPS tentang transportasi. Di situ Anda sudah melakukan integrasi antardisiplin atau antarmata pelajaran. Di dalam bacaan itu siswa diperkenalkan dengan fakta tentang frasa dan bukan frasa. Lalu guru melakukan diskusi untuk mencapai pemahaman tentang konsep frasa. Siswa kemudian bisa diajak mengalami belajar dengan cara mencari dan menemukan frasa-frasa lain dalam novel atau cerpen. Lagi-lagi ini adalah pendekatan integratif. Siswa akhirnya diminta membuat laporan singkat secara tertulis. Artinya, Anda telah melakukan integrasi internal: aspek kebahasaan (yakni konsep frasa), keterampilan membaca, dan keterampilan menulis.
Cobalah buat Rancangan Pembelajaran, dengan kondisi seperti di atas tetapi dengan menggunakan teori konstruktivisme!
3 Beberapa Catatan.
a. Fakta: dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia bisa mengacu kepada fakta-fakta kebahasaan seperti bahasa terdiri atas bunyi-bunyi; sebuah kata terdiri atas fonem-fonem; kalimat terdiri atas beberapa kata, dsb.
b. Konsep: mengacu kepada batasan, definisi, atau deskripsi (perian) tentang fon, fonem, morf, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, dsb.
c. Prosedur: mengacu kepada langkah-langkah dalam mempelajari suatu pengetahuan atau keterampilan tertentu. Misalnya, bagaimana prosedur menulis surat resmi, membuka dan menutup diskusi, cara mengajukan pertanyaan dalam diskusi, dsb.
d. Prinsip: mengacu kepada teori, rumus, hukum, dsb.yang bersifat aksiomatis. Misalnya, dalam bahasa Indonesia ada hukum D-M, ada prinsip kerjasama dalam percakapan, ada kaidah tentang giliran berbicara, dsb.
Masing-masing itu merupakan bahan ajar yang sedikit banyak mempunyai ciri khas, sehingga teori dan pendekatannya pun bisa berbeda. Misalnya, agak sulit kita mengajarkan prinsip atau konsep jika kita harus menggunakan teori behaviorisme.
b. Indikator Esensial: Menentukan strategi pembelajaran Bahasa dan sastra Indonesia berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai, dan materi pelajaran.
Deskriptor:
1) Mendeskripsikan berbagai strategi pembelajaran.
2) Memilih strategi pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia yang sesuai dikaitkan dengan karakteristik peserta didik, dan materi ajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar