Diskusi Terfokus NGO : Review Kebijakan Pembiayaan Pendidikan di Indonesia |
Ditulis oleh Administrator | ||||
Jumat, 24 April 2009 03:24 | ||||
There are no translations available. Dorongan masyarakat agar pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sesuai mandat konstitusi, sebesar minimal 20%, membuat pemerintah berkomitmen untuk mengalokasikan sekitar Rp. 224 trilyun untuk belanja pendidikan pada RAPBN 2009. Disatu sisi hal tersebut adalah keberhasilan kerja-kerja advokasi masyarakat sipil khususnya, Akan tetapi disisi lain muncul agenda berikutnya yang jauh lebih penting, yaitu bagaimana memperbaiki pentargetan dalam mengalokasikan anggaran sebesar itu (prioritasi anggaran), dan memperbaiki akuntabilitas sistem belanja. Dalam kerangka advokasi, PATTIRO menyelenggarakan rangkaian serial diskusi terbatas bagi jaringan masyarakat sipil dan LSM yang melakukan kerja-kerja advokasi terkait pembiayaan pendidikan di tingkat nasional. Tujuan besar dari rangkaian kegiatan ini adalah melakukan review bersama-sama mengenai perkembangan kondisi terkini, baik terkait kebijakan pembiayaan pendidikan maupun permasalahan di lapangan, dan merumuskan bersama-sama isu strategis terkait kerja-kerja advokasi di tingkat nasional. Diskusi Terfokus pertama telah dilaksanakan pada jumat, 05 September 2008. Diskusi yang berlangsung di Cafe Bakul Koffie ini domoderatori oleh Maryati (Peneliti PATTIRO) dengan menghadirkan 4 narasumber sebagai pemantik diskusi, yakni : Abbas Ghozali (ketua tim ahli standar pembiayaan pendidikan BSNP), Utomo Dananjaya (Direktur Institute for Education Reform), Ade Irawan (Koordinator Divisi Monitoring Pelayanan Publik, Indonesia Corruption Watch), dan Chitra Hariyadi (Peneliti Kebijakan Publik PATTIRO). Acara yang digelar serangkaian dengan buka puasa ini dihadiri oleh jaringan masyarakat sipil dan NGO yang konsern pada advokasi pendidikan khususnya terkait pembiayaan pendidikan, antara lain : Education Network for Justice (M. Firdaus), Forum Peduli Pendidikan Nasional (Cornelis Lamonggi), ISCO Foundation (Ramida H.F Siringoringo), GAPRI (Ghofur) disamping Institute for Education Reform (IER) dan PATTIRO. Abbas Ghozali dalam Diskusi terfokus ini banyak mereview tentang kebijakan pembiayaan pendidikan di Indonesia. Menurut Abbas, mekanisme dan prosedur pendanaan pendidikan yang ada selama ini adalah rumit dan kurang efisien dan efektif. Menurutnya, dana pendidikan yang diperuntukkan bagi sasaran pendidikan berasal dari berbagai sumber, yaitu dari tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dimana Penyaluran dana dari masing-masing tingkat dilakukan melalui banyak proyek. Sementara, antar tingkat pemerintahan dan antar proyek memiliki kebijakan sendiri-sendiri dalam hal sasaran yang ditargetkan dan komponen yang dibiayai sehingga terlihat kurangnya koordinasi. Utomo Dananjaya (IER) mengungkapkan bahwa konstitusi tertinggi negara yakni UUD 1945 merupakan kesepakata umum yang dasar dan tinggi sebagai sistem penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk aturan tentang pendidikan dimana anggaran 20% sudah diatur di dalamnya. Artinya, UUD sebagai payung hukum, sumber hukum dan dasar hukum tertinggi, sehingga melanggarnya adalah bentuk kejahatan. Mengutif Abbas, ada sebelas komponen biaya yang bisa jadi pungutan di sekolah, yakni mulai dari Buku dan ATS, Pakaian dan perlengkapan sekolah, Akomodasi, Transportasi, Konsumsi, kesehatan, Karyawisata, Uang saku, kursus, Iuran sekolah, dan Foregone earning. Utomo juga menyampaikan fakta di Negara lain seperti Malaysia yang berhasil menerapkan pendidikan gratis semenjak merdeka. Prioritas di bidang pendidikan menurut utomo adalah Melahirkan generasi guru baru, membebaskan pungutan, meningkatkan gaji guru, dan penguatan infrastruktur pendidikan. Sehingga, kenaikan anggaran pendidikan di harapkan mampu menutup beban orang tua untuk sekolah dan bukan untuk biaya mengurus anak. Menurut Ade Irawan (ICW) dari tahun ke tahun anggaran terus naik, sehingga ketika SBY menyatakan akan memenuhi anggaran 20% atau sekitar Rp. 224 Triliun, jumlah tersebut tidak sedikit. Harapannya jangan sampai terjadi euphoria, seolah2 pendikan tiba-tiba akan menjadi baik. Menurut ade, kita harus melihatnya secara kritis : Bagaimana Porsi untuk biaya pendidikan sebenarnya? Bagaimana proses pengalokasiannya? Pembenahannya bagaimana? dan Bagaimana harmonisasi antara anggaran Perguruan Tinggi dan Pendidikan dasar?. Berkaitan dengan porsi, menurut ade, ada ketidaksesuaian antara rumusan yang dibuat oleh komisi 10 dengan Depdiknas. Dimana gaji pendidik termasuk dalam anggaran 20 persen, sehingga anggaran rutin akan bertambah dan anggaran pelayanan akan berkurang komposisinya, sehingga terjadilah perebutan antara keduanya. Bahkan anggaran kedinasan pun dimasukkan dalam anggaran pendidikan. artinya bahwa 224 Triliun tidak sesuai lagi dengan hal yang di definisikan oleh Komisi 10 dan Depdiknas. Ade menambahkan bahwa perlu proses yang transparan dalam pengalokasiannya. Chitra Hariyadi (Peneliti PATTIRO) mengungkapkan tentang hasil Penelitian PATTIRO menggunakan metoda PETS (Public Expenditure Tracking Survey), di kota Serang dan Gresik, dari penelitian sekitar 137 sekolah dari 7 skema yang diteliti yakni DAK, Block Grant, BOS, BOS Buku, BOS Pendamping, Rehab APBD serta dana Dekon. Memperlihatkan bahwa skema2 pusat lebih efektif, yakni dana BOS serta DAK. Sementara dana-dana yang berasal dari daerah mengalami banyak kebocoran. Beberapa hal yang ditemui di lapangan dari penelusuran tersebut ditemukan beberapa persoalan terkait pola belanja, dimana mandat yang diterima sekolah tidak sesuai dengan kebutuhan utama, terjadi keterlambatan pencairan, potongan yang tidak wajar, penyimpangan cara penyaluran dibanding aturan, belanja yang tidak sesuai dengan peruntukan, serta terjadi pengurangan hasil/kualitas yang dibanding dengan harga dan rencana semula. Rekomendasi berkisar di pemerintah pusat agar menyederhanakan jenis skema anggaran ke sekolah yang bertumpu pada rutin serta operasional dan memastikan keberlanjutannya melalui aturan yang kuat. Perbaikan mekanisme dan kepastian waktu penyaluran serta Pembuatan aturan dari pusat untuk mekanisme laporan standar. Sementara untuk pemerintah daerah adalah mendorong partisipasi multistakeholder, legislatf, komite sekolah untuk mengawasi, juga mendorong pemberdayaan manajemen keuangan sekolah dan pelaporan yang baik. Serta yang utama adalah membuat aturan yang memungkinkan dana didesakkan sesuai kebutuhan masyarakat dan sesuai tujuan utama alokasi dana tersebut. Diskusi menghangat pada efektifitas belanja pendidikan serta PP 48/2008 yang masih membolehkan sekolah memungut dana siswa, juga mengenai pembagian kewenangan pusat, propinsi dan daerah yang sering tumpang tindih dalam hal pembiayaan pendidikan (Writen by Dini Mentari, Maryati). | ||||
LAST_UPDATED2 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar