Judul: Mendiskusikan Konsep dan Praktek Pendidikan HAM di Sekolah Bahan ini cocok untuk Semua Sektor Pendidikan bagian PENDIDIKAN / EDUCATION. Nama & E-mail (Penulis): Dadan Ramdhan Saya Guru di MA Sukasari Topik: Pendidikan HAM Tanggal: 12 November 2008 Mendiskusikan Konsepsi dan Praktek Pendidikan HAM di Indonesia
Oleh Dadan Ramdan
"Model dan Formulasi pendidikan HAM di Indonesia yang lebih praktis tidak cukup dengan menggunakan instrumen kebijakan dan kelembagaan negara namun harus dikonstruksi melalui suatu diskursus kritis yang menyatukan antara konsepsi yang ada dengan kenyataan-kenyataan sosial masyarakat Indonesia"
Dari sisi sitem ketatanegaraan, upaya Indonesia untuk terlibat aktif dalam memajukan dan menegakkan HAM sudah dilakukan minimalnya dalam 2 instrumen kebijakan yaitu kebijakan tata hukum (konstitusional) dan instrumen kelembagaan (institusional) sebagai alat untuk menjalankan instrumen yang ada.
Dari sudut konstitusional, Negara Indonesia sudah mengakui dan meratifikasi berbagai peraturan internasinal tentang HAM ke dalam sistem hukum Indonesa. Aturan-aturan yang sudah dirumuskan termuat dalam beberapa aturan, diantaranya :
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan perubahannya Bab XA tentang "Hak Asasi Manusia"
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia
3. Undang-undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
4. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 40 tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia tahun 2004-2009.
Dari sudut intitusional,negara indonesia memiliki instrumen kelembagaan untuk menjalankan sistem /aturan yang ada.Instrumen yang dimaksud adalah:
1. Komite Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang dibentuk sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 yang kemudian dikukuhkan dengan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999.
2. Pembentukan Kantor Menteri Negara Hak Asasi Manusia pada tahun 1999 yang kemudian bergabung dengan Departemen Hukum dan Perundang-undangan yang kemudian berubah menjadi Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.
3. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sesuai dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 77 tahun 2003. Lembaga ini bersifat independen yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak.
4. Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) sesuai Surat Keputusan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Nomor 02/KPAI/IX/2004 tentang Pedoman Pembentukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID). embaga ini bersifat independen yang dibentuk untuk kepentingan anak di daerah provinsi dan/atau kabupaten /kota. Pembentukan KPAID bukan merupakan kewajiban atau keharusan tetapi merupakan kebutuhan daerah masing-masing..
5. Panitia Pelaksana Kegiatan Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia(RANHAM). Untuk melaksanakan RANHAM Indonesia telah dibentuk suatu Panitia Nasional yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Namun kenyataan di lapangan, praktek pelaksanaan penegakan atas hak-hak dasar manusia (HAM) di Indonesia belum sepenuhnya membuahkan perubahan progresif dan baik bagi penghargaan dan penghormatan, perlindungan terhadap otoritas kemanusiaan dan hak ekonomi, sosial dan budaya. Banyak ditemukan fenomena persoalan yang menunjukan implementasi HAM belum berjalan secara maksimal.
Persoalan-persolan yang bisa dipotret dan teridentifikasi dari berbagai pendekatan kasus-kasus di lapangan diantaranya adalah :
1. Penegakan hukum lemah yang kolutif, koruptif dan diskriminatif. Misalnya: Lemahnya sangsi hukum bagi pelanggar hukum yang berat.
2. Masih banyaknya kasus pelanggaran hukum/HAM yang dilakukan oleh pelaku pelanggar baik oleh aparatur negara maupun masyarakat yang belum terselasaikan, misalnya berlarut-larutnya penanganan kasus Munir, pelanggaran hak asasi manusia yang berat seperti Timor Timur,Tanjung Priok, Trisakti, Abepura dan pelanggaran HAM lainnya.
3. Munculnya kasus-kasus pelanggaran baru yang dilakukan, yang oleh sebagian pihak bukan dikatagorikan sebagai pelanggaran HAM. Contoh kasus banyak ditemukan diantaranya masih rendahnya akses dan jaminan dan pelindungan terhadap hak-hak anak dan masyarakat terhadap sektor pendidikan (akses dan pemerataan, pendidikan murah), sektor kesehatan (akses mendapat layanan kesehatan yang memadai, hak untuk memperoleh lingkungan yang sehat, penggusuran para pedagang dan anak jalanan di perkotaan, rendahnya akses msyarakat terhadap pekerjaan, diskriminasi terhadap buruh bahkan rendahnya akses masyarakat (petani) terhadap sumber daya alam yang ada.
Selain pendekatan kasus yang telah dikemukakan di atas, implementasi penegakan HAM pun mendapat kendala struktural dan kultural. Kendala struktural bisa kita identifikasi dari fenomena belum sepenuhnya instrumen kebijakan HAM bisa dijalankan secara maksimal oleh aparatur kelembagaan dan penegak hukum dan HAM.
Dari sisi kultural, terjadi pertentangaan-pertentangan nilai di berbagai negara dan masyarakat mengenai konsepsi HAM yang berlaku saat ini. Ada sejumlah negara, khususnya yang berada di kawasan Asia, menganggap HAM bukan sesuatu yang universal. Menurut mereka yang berpaham antiuniversalitas HAM itu, pengakuan universalitas HAM berarti mengingkari adanya relativisme kultural yang ada di bumi ini.
Sebagian pihak belum sepenuhnya mengakui HAM sebagai satu instrumen kebijakan negara yang harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan oleh warga/masyarakat di suatu negara.Berdasarkan alasan historis berbagai pihak menilai bahwa konsepsi /nilai-nilai HAM merupakan konsepsi negara-negara BARAT yang dipaksakan kepada negara-negara berkembang (TIMUR)untuk dijalankan.
Dalam konteks Indonesia, pelaksanaan HAM mendapat tantangan kultural berkaitan dengan universalitas, nilai dan Prinsip HAM saat ini. Perdebatan-perdebatan sosial dan budaya mengenai esensi dan eksistensi HAM pun terus tak terelakan. Kalangan agamawan fundamentalis dan entitas adat menolak penyeragaman HAM karena sebagian prinsip dan nilai HAM bertentanngan nilai-nilai yang diyakininya.
Selain persoalan diatas, fenomena atau masalah kultural yang muncul adalah model pendidikan HAM selama ini masih dominan dilakukan pada lembaga tertentu dan persekolahan semata. Bahkan ketika pendidikan HAM diberikan di sekolah tidak jarang mendapat kendala-kendala terutama bagaimana pemahaman HAM diterapkan dan bagaimana menyusun metodologi pembelajaran HAM yang lebih baik dan efektif dan tidak menimbulkan pertentangan-pertentangan sosial.
Jika kita amati, persoalan-persoalan struktural dan kultural yang muncul disebabkan berbagai asumsi-asumsi persoalan,yaitu :
1. Belum adanya konsepsi dan pendidikan HAM yang lebih adaptif yang disesuaikan dengan realitas sosial, budaya dan adat masyarakat Indonsia.
2. Penanganan pelanggaran HAM masih dilakukan pada pendekatan-pendekatan kasus hukum atau lebih menitikberatkan pada sisi sipil dan politiknya. Sementara, pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak sosial, ekonomi dan budaya belum menjadi perhatian negara.
3. Kapasitas aparatur negara (kelembagaan) dinilai masih lemah dalam menjalankan instrumen kebijakan HAM baik di tingkat nasional maupun daerah yang sudah terbentuk.
4. Lemahnya praktek pendidikan dan kampanye HAM untuk mendorong kesadaran berbagai pihak (negara-rakyat) untuk mengetahui, memahami, menerapkan konsepsi HAM yang lebih adapatif dan lokalistik.
Praktek pendidikan HAM di Indonesia memang sudah berjalan, namun masih terbatas pada kelompok dan kelembagaan tertentu.
Dalam sistem pendididikan kita, materi pembelajaran HAM memang sudah dimulai di tingkatan sekolah mulai SD sampai perguruan tinggi. Khusus, pendidikan dan pembelajaran HAM di sekolah dinilai masih memiliki banyak kekurangan, baik subtansi materi, kapasitas dan metodologi pendidikan/pembelajaran HAM. Materi HAM yang disajikan hanya menjadi salah satu pokok bahasan dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaran (PPKn) sekitar 2-4 jam perminggu. Selain itu, materi pembelajaran HAM masih memuat materi-materi yang bersifat hapalan dan pengetahuan saja.
Persoalan lain adalah kapasitas pendidik untuk memahami HAM dinilai masih lemah,terutama dalam memahami esensi HAM. Kemudian, persoalan belum adanya metodelogi pendidikan HAM di sekolah yang berdampak signifikan pada perilaku dan sikap masyarakat.
Khusus,untuk menjawab persoalan rendahnya praktek pendidikan dan kampanye HAM dalam sistem pendidikan kita, maka diperlukan usaha-usaha strategis yang susun dan direncanakan bersama oleh negara dan rakyat.Dalam kerangka praktek pendidikan HAM yang akan diterapkan maka upaya-upaya yang harus dilakukan adalah
1. Melakukan diskursus untuk menghasilkan konsepsi HAM yang lebih adaptif dan lokalistik dengan realitas sosial,ekonomi, budaya daerah yang ada dengan mempertimbangkan sudut pandang historis, philosofis, sosiologis. Diskurus ini harus melibatkan semua pemangku pendidikan di nasional dan daerah dengan melibatkan pelaku kelembagaan HAM lainnya.
2. Mendesain kebijakan model kurikulum pendidikan HAM yang akan diterapkan.
Penyusunan model kurikulum pendidikan HAM sangat penting untuk dilakukan. Selama ini materi pendidikan HAM masih terintgrasi pada materi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan selama 2 jam seminggu.
Penyusunan model kurikulum yang diterapkan harus mempertimbangkan aspek berikut :
1) Kondisi Khusus Kondisi khusus yang dimaksud kenyataan-kenyataan sosial mencakup kondisi geografis, bahasa, sosial, budaya, ekonomi,masalah/kasus)
2) Aspek Pendidikan HAM Aspek Pendidikan HAM harus memperimbangkan aspek :
Kognitif (pengetahuan dan pemahaman yang utuh tentang HAM)
Apektif (sikap dan kesadaran : solidaritas dan kolektifitas)
Psikomotorik (Pemecahan Masalah, mandiri, kerampilan resolusi konflik)
3) Materi /silabus Pendidikan HAM
Materi pendidikan HAM harus memiliki tujuan dan orientasi yang pada membangun kesadaran warga negara akan hak-hak sipol dan ekosob, menjunjung prinsip keadilan dan Kemanusiaan.
Materi pendidikan HAM harus memuat materi yang lebih mengakomodir hak-hak warga negara terhadap akses ekonomi, sosial dan budaya tidak hanya pada sisi hak-hak sipil dan politiknya
Materi HAM perlu dikontruksi dengan mempertimbangkan kondisi-kondisi khusus/lokalistik baik bahasa, geografis, sosilogis, budaya.
Modul pendidikan HAM tidak diperlu diseragamkan, menu pembelajaran bisa di sesuaikan kebutuhan penggunaan materi atau modul.
4) Subjek Pendidikan
Subjek/pelaku pendidikan HAM tidak hanya dilakukan di sekolah formal. Pendidikan HAM bisa dilakukan dengan mamanfaatkan kelembagaan pendidikan dan sosial yang ada di masyarakat misalnya organisasi kepemudaan, lembaga swadaya masyarakat,kelompok-kelompok Tani,Organisasi perempuan,kalangan akademisi kampus,kelompok Mahasiswa, dan kelompok sektoral lainnya. Selain itu, aparatur negara dan birokrasi negara perlu dibekali pemahaman tentang HAM.
5) Metodelogi Pendidikan HAM
Metode pendidikan harus lebih praktis,dialogis/dialektif, lokalistik, pelibatan aktif, kritis, berbasis pendekatan kasus yang ada dan penyeselesaian masalah, bukan hapalan saja.
6) Pengelolaan Kelembagaan
Lembaga yang terlibat dalam pendidikan HAM harus melibatkan berbagai pemangku kepentingan yang relevan dalam pendidikan. Lembaga yang bisa diperankan adalah Dinas Pendidikan baik nasional dan daerah, KOMNASHAM, DEPKUMHAM, dan lembaga-lembaga operasional lainnya yang berada di daerah serta organisasi non pemerintah.
3. Peningkatan kapasitas aparatur penegak HAM dan tenaga-tenaga fasilitator HAM.
4. Kampanye yang lebih luas mengenai prinsip-prinsip HAM baik hak-hak Sipil dan hak ekonomi, sosial dan budaya yang lebih luas kepada semua pihak dengan menggunakan berbagai media sosialisasi dan komunikasi yang ada.
Upaya yang dikemukan diatas hanya merupakan sebagian kecil dari cara yang harus dilakukan dalam memajukan pendidikan HAM di Indonesia. Memiliki model pendidikan HAM yang lebih praktis memang harus berangkat dari kenyataan sosial yang ada. Di bangun dari kesadaran kritis semua pihak tentang esensi HAM bukan dipaksakan dan rakyat harus menelan secara bulat-bulat. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar