Oleh arif
Jumat, 02 Januari 2009 05:09:41 Klik: 293 Cetak: 25 Kirim-kirim Print version download versi msword
Klik untuk melihat foto lainnya...
ANALISIS :
Pendidikan Gratis
Oleh : Prof Suyanto PhD
”PEMERINTAH dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” (UU Sisdiknas Pasal 34, ayat (2). Inilah dasar hukum mengapa pendidikan dasar harus gratis, meskipun dalam UU Sisdiknas sendiri terminologi ‘gratis’ tidak dikenal.
Karena politisi dan para calon bupati/walikota dan bahkan calon gubernur kebanyakan telanjur menggunakan istilah pendidikan gratis ketika berkampanye untuk menduduki posisinya masing-masing, pendidikan gratislah yang paling menjadi terkenal beberapa tahun terakhir ini. Dan tiga tahun terakhir ini pendidikan gratis banyak dikumandangkan untuk berkampanye para politisi, bupati/walikota dan bahkan gubernur dalam rangka merebut simpati para pemilihnya.
Tak satu pun para pejabat publik yang harus dipilih oleh rakyat secara langsung yang tidak memanfaatkan tema pendidikan murah dan bahkan pendidikan gratis sekali pun.
Namanya juga janji. Ada yang ketika mereka benar-benar menjadi pejabat publik, kemudian langsung memenuhinya dan juga ada yang tidak peduli sama sekali. Mereka yang memenuhi kemudian memang memiliki political will dan dengan demikian mengalokasikan dana dari APBD mereka untuk menggratiskan wajib belajar (wajar) pendidikan dasar di daerah kekuasaannya. Pada konteks seperti ini, pendidikan gratis bisa berjalan dengan wajar sehingga sekolah masih memiliki cukup sumber daya untuk berkembang dan melakukan inovasi yang memerlukan biaya. Dalam konteks seperti ini sekolah tidak dipasung dengan utopia pendidikan gratis. Dengan demikian ketika pemda sanggup menambahi dana untuk membiayai operasional sekolah maka sekolah masih memiliki ruang untuk melakukan peningkatan kualitas pendidikan di sekolahnya masing-masing.
Sebaliknya, bagi para bupati/walikota atau gubernur yang tidak menepati janji kampanyenya, isu pendidikan gratis justru hanya membelenggu sekolah sebagai akibat minimnya pendanaan operasional di sekolah pada jenjang pendidikan dasar yang menjadi sasaran wajib belajar. Mereka, para bupati/walikota dan gubernur yang masuk golongan ini hanya mengandalkan besarnya subsidi dari pemerintah pusat yang sebenarnya sejak awal didesain hanya untuk membantu pemerintah daerah.
Sekali lagi dana dari pemerintah pusat itu hanyalah bantuan. Karena hanya bantuan, maka namanya pun juga menjadi: Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Besaran BOS sebenarnya selama ini hanya cukup untuk menutup biaya operasional sekolah sebesar sepertiga saja. Kecuali, di sekolah dasar di desa-desa, memang BOS sudah bisa menutup semua biaya operasional sekolah. Namun, untuk sekolah yang berada di kota tidak cukup BOS untuk menutup semua biaya operasional sekolah.
Kelompok pemda yang hanya mengandalkan BOS dari pemerintah pusat untuk menepati janji akan melaksanakan pendidikan dasar gratis inilah yang menjadi persoalan. Sekolah sudah telanjur tidak boleh memungut sumbangan dari masyarakat, sedang pemda sendiri tidak mengalokasikan sejumlah dana untuk membiayai biaya operasional sekolah berdampingan dengan BOS dari pemerintah pusat. Akibatnya kualitaslah yang menjadi korban di sekolah-sekolah yang diklaim pemda harus gratis itu.
Tahun 2009 akan lain skema pendidikan gratisnya. Pemerintah pusat menaikkan jumlah BOS secara signifikan. Tahun 2008 BOS untuk SD hanya Rp 254.000 per siswa per tahun. Tahun 2009 BOS dinaikkan menjadi Rp 397.000 per siswa per tahun untuk SD di kabupaten. Untuk SD di perkotaan BOS tahun 2009 besarnya Rp 400.000. Untuk SMP, BOS tahun 2008 hanya sebesar Rp 354.000 tahun 2009 BOS SMP akan naik menjadi Rp 570.000 per siswa per tahun untuk daerah kabupaten dan Rp 575.000 per siswa per tahun untuk daerah perkotaan. Jumlah kenaikan itu sudah termasuk untuk beli buku murah yang hak ciptanya sudah dibeli oleh Depdiknas.
Dengan jumlah BOS yang naik itu pemerintah telah menganggarkan Rp 16 triliun untuk membiayai biaya operasional pendidikan dasar. Karena itu tahun 2009 semua pendidikan dasar yang belum berada pada tingkatan mutu layanan berbentuk rintisan sekolah berstandar internasional atau sekolah berstandar internasional wajib menggratiskan para siswa dari pungutan untuk biaya operasional. Jika saja BOS dari pemerintah pusat belum mencukupi, maka pemerintah daerah wajib mengompensasi kekurangannya itu.
Di sinilah letak komitmen para kepala daerah apakah mereka taat asas pada janji kampanyenya dulu. Semestinya pemerintah daerah bersedia menyediakan alokasi anggaran tambahan untuk menggratiskan siswa dari pungutan biaya operasional paling tidak separuhnya dari besaran BOS yang digelontorkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hendaknya tidak hanya berpegang pada persentase alokasi APBD di sektor pendidikan di daerahnya setelah Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas mengalami perubahan rumusan alokasi yang memasukkan faktor gaji guru, sesuai dengan uji materi UU Sisdiknas oleh Mahkamah Konstitusi. Setelah gaji guru dihitung sebagai pembiayaan pendidikan maka saat ini hampir semua pemda tanpa berbuat apa-apa pun telah memiliki alokasi lebih dari 20% dari APBD-nya untuk sektor pendidikan. Padahal dari persentase itu sebagian besar memang untuk gaji. Alhasil biaya untuk operasional sekolah masih di bawah 20% dari APBD.
Kalau pemerintah pusat sudah menggelontorkan uang paling tidak Rp 16 triliun, maka komitmen yang sama juga harus muncul dari pemda di seluruh tanah air. Tanpa ada komitmen yang jelas dari pemda untuk menggratiskan pendidikan dasar, mustahil pendidikan gratis akan disertai dengan peningkatan kualitas. Karena itu pemda memang perlu untuk mengalokasikan APBD-nya secara signifikan untuk mewujudkan pendidikan gratis yang berkualitas. Tanpa begitu akan lahir pendidikan gratis tanpa kualitas. Semoga.
(Penulis adalah Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, Dirjen Manajemen Dikdasmen Depdiknas).-z
Sumber: Harian Kedaulatan Rakyat Yogyakarta
Edisi: Rabu, 31 Desember 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar