Rabu, 04 Maret 2009

SMK Tidak Butuhkan UN


Oleh arif
Senin, 16 Februari 2009 05:23:55





SMK Tidak Butuhkan UN
Ujian Tidak Relevan Pengaruhi Masa Depan Anak

Persiapan menghadapi ujian nasional di sekolah menengah kejuruan telah dimulai memasuki semester genap ini. Sekalipun mempersiapkan diri, ujian nasional sendiri dinilai tidak relevan dan sebetulnya tidak dibutuhkan oleh peserta didik di sekolah menengah kejuruan.

Bahkan, ketidaklulusan ujian itu malah menghambat para peserta didik untuk memasuki dunia kerja yang sebetulnya menjadi salah satu motivasi mereka memilih masuk ke sekolah kejuruan.

Wakil Kepala Kurikulum SMKN 15 Bandung sekaligus Ketua DPC Bandung Federasi Guru Independen Indonesia Asep Papip mengatakan, Minggu (15/2), para murid kelas III telah dipersiapkan menghadapi ujian nasional (UN) sejak masuk ke semester genap melalui pendalaman materi.

”Materi kejuruan telah selesai di kelas II. Begitu memasuki kelas III di semester ganjil, murid praktik kerja lapangan selama enam bulan penuh dan berlanjut dengan persiapan ujian nasional. Tidak ada jam pelajaran kejuruan atau lainnya yang terpakai,” ujar guru yang bergelar doktor bidang kebijakan pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia itu.

Supriyono, guru di SMKN 42 Jakarta sekaligus Ketua Serikat Guru Jakarta, juga mengatakan hal senada. Di sekolah dilaksanakan pendalaman materi mata pelajaran yang diujikan di UN dengan simulasi dan tes kendali mutu. ”Selama enam bulan benar-benar dipersiapkan untuk ujian,” ujarnya.

Tidak relevan

Mereka mempersiapkan murid sebaik-baiknya karena ketidaklulusan dari UN, terutama berupa mata pelajaran umum, Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia itu, akan sangat memengaruhi masa depan anak.

Namun, ujian itu sendiri dinilai tidak relevan dan dapat menghambat peserta didik untuk mendapat pekerjaan.

Asep mencontohkan, seorang peserta didiknya dua tahun lalu telah mendapatkan pekerjaan di sebuah hotel besar karena praktik kerja lapangannya dianggap sangat baik oleh pihak hotel.

”Hotel itu mengizinkan persyaratan administratif dilampirkan setelah ujian. Pahitnya, dia tidak lulus di Matematika. Padahal, nilai lainnya, seperti Bahasa Indonesia dan Inggris, di atas tujuh. Anak itu batal bekerja. Perusahaan butuh ijazah formal untuk penggajian,” ujarnya.

Asep menambahkan, tahun ini telah ada seorang anak yang diterima bekerja di perusahaan otomotif besar. Dia berharap pengalaman itu tidak terulang.

Paket C, menurut dia, tidak menyelesaikan masalah, tidak terkait dengan belajar keterampilan kejuruan. ”Paket C itu kan setara SMA,” ujar Asep.

Pembelajaran dan ujian murid SMK juga seharusnya kontekstual, terutama dengan kebutuhan peserta didik yang sebagian besar ingin terjun ke pasar kerja. Bahasa Inggris SMK, misalnya, bukan untuk meluluskan SMK, melainkan memberikan bekal ke dunia kerja sesuai bidangnya.

Uji kompetensi yang diselenggarakan SMK dan diperhitungkan dalam rata-rata nilai dan sebetulnya sudah mengandung unsur mata pelajaran utama UN seperti Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika.

”Ketika anak membuat proposal kerja, sudah dipergunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar,” ujarnya. Pendapat serupa dilontarkan Supriyono. Pemerintah seharusnya dapat memahami SMK berbeda dengan SMA.

”Bagi peserta didik SMK yang terpenting agar mereka punya keterampilan dan diakui perusahaan. Bagi yang ingin kuliah biasanya sudah jauh-jauh hari mempersiapkan diri agar dapat memenuhi persyaratan,” ujar Supriyono.

Sumber: kompas.com/(INE)
Edisi: 16 Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar