Kamis, 05 Maret 2009

Tentang Kurikulum Antikorupsi

18/12/2007

Oleh Faisal Djabbar
Fungsional Direktorat Pendidikan & Pelayanan Masyarakat
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
No Telp.: (021) 3522546 ext. 165

Memerangi korupsi bukan cuma menangkapi koruptor. Sejarah mencatat, dari sejumlah kejadian terdahulu, sudah banyak usaha menangkapi dan menjebloskan koruptor ke penjara. Era orde baru, yang berlalu, kerap membentuk lembaga pemberangus korupsi. Mulai Tim Pemberantasan Korupsi di tahun 1967, Komisi Empat pada tahun 1970, Komisi Anti Korupsi pada 1970, Opstib di tahun 1977, hingga Tim Pemberantas Korupsi. Nyatanya, penangkapan para koruptor tidak membuat jera yang lain. Koruptor junior terus bermunculan. Mati satu tumbuh seribu, kata pepatah.

Salah satu kekeliruan upaya pemberantasan korupsi selama ini adalah terlalu fokus pada upaya menindak para koruptor. Sedikit sekali perhatian pada upaya pencegahan korupsi. Salah satunya lewat upaya pendidikan antikorupsi. Terakhir, era reformasi melahirkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang selain diserahi tugas penindakan, juga tugas pencegahan tindak pidana korupsi, seperti pendidikan antikorupsi kepada masyarakat.

Menyadari hal ini, tersembul gagasan memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum pendidikan tingkat SD hingga SMU, sebagai bentuk nyata pendidikan antikorupsi. Tujuan pendidikan antikorupsi adalah menanamkan pemahaman dan perilaku antikorupsi.

Ide memasukkan materi antikorupsi dalam kurikulum mendapat respons positif masyarakat. Hasil jajak pendapat harian Seputar Indonesia terhadap 400 responden (27/5), sebanyak 87% menyatakan perlunya memasukkan pendidikan antikorupsi dalam kurikulum. Keyakinan masyarakat juga relatif besar. Hampir 200 responden menyatakan keyakinannya bahwa pendidikan antikorupsi bisa berjalan efektif membendung perilaku korupsi di Indonesia.

Jajak pendapat itu menjaring pula pendapat masyarakat seputar pentingnya pendidikan antikorupsi. Masyarakat berharap pendidikan antikorupsi memberikan pengetahuan seputar korupsi dan bahayanya, mencetak daya manusia yang berkesadaran tinggi terhadap hukum, serta memutus mata rantai korupsi.

Lebih dari itu, masyarakat berkeinginan agar upaya pendidikan antikorupsi berjalan paralel dengan upaya lainnya, yakni maksimalisasi penegakan hukum, fungsi pengawasan yang ketat, sosialiasi dan kampanye gerakan antikorupsi secara berkala dan berkesinambungan, dan menghilangkan praktik korupsi dalam birokrasi.

Pokok Bahasan dalam Mata Ajaran

Pertanyaan muncul, haruskah pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran tersendiri? Mestinya tidak, sebab hal ini malah akan menyusahkan anak didik. Saat ini peserta didik sudah demikian sesak dengan melimpahnya mata pelajaran yang harus dipelajari dan diujikan. Dikhawatirkan anak didik akan terjebak dalam kewajiban mempelajari materi kurikulum antikorupsi. Bisa jadi yang akan muncul adalah kebencian dan antipati pada mata pelajaran antikorupsi. Bukannya pemahaman dan kesadaran antikorupsi.

Pakar pendidikan Arief Rachman menyatakan tidak tepat bila pendidikan antikorupsi menjadi satu mata pelajaran khusus. Alasannya, karena siswa sekolah mulai SD, SMP, hingga SMU sudah terbebani sekian banyak mata pelajaran. Dari segi pemerintah, menurut Arief Rachman, akan berbuntut pada kesulitan-kesulitan, seperti pengadaan buku-buku antikorupsi dan repotnya mencari guru antikorupsi.

Menyikapi kesulitan tadi, pendidikan antikorupsi, menurut Arief Rachman, lebih tepat dijadikan pokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu. Sebuah usulan yang mesti dicermati. Materi pendidikan antikorupsi nantinya bisa saja diselipkan dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN), Matematika, Bimbingan Karir, Bahasa. Pokok bahasan mencakup kejujuran, kedisiplinan, kesederhanaan, dan daya juang. Selain itu, juga nilai-nilai yang mengajarkan kebersamaan, menjunjung tinggi norma yang ada, dan kesadaran hukum yang tinggi.

Pendidikan Nilai

Pendidikan antikorupsi bagi siswa SD, SMP, dan SMU akhirnya memang mengarah pada pendidikan nilai. Pendidikan antikorupsi yang mendukung nilai-nilai kebaikan. Pendidikan yang mendukung orientasi nilai, mengutip Franz Magnis Suseno, adalah pendidikan yang membuat orang merasa malu apabila tergoda untuk melakukan korupsi, dan marah bila ia menyaksikannya.

Menurut Franz Magnis Suseno, ada tiga sikap moral fundamental yang akan membikin orang menjadi kebal terhadap godaan korupsi: kejujuran, rasa keadilan, dan rasa tanggung jawab.

Jujur berarti berani menyatakan keyakinan pribadi. Menunjukkan siapa dirinya. Kejujuran adalah modal dasar dalam kehidupan bersama. Ketidakjujuran jelas akan menghancurkan komunitas bersama. Siswa perlu belajar bahwa berlaku tidak jujur adalah sesuatu yang amat buruk.

Adil berarti memenuhi hak orang lain dan mematuhi segala kewajiban yang mengikat diri sendiri. Magnis mengatakan, bersikap baik tetapi melanggar keadilan, tidak pernah baik. Keadilan adalah tiket menuju kebaikan.

Tanggung jawab berarti teguh hingga terlaksananya tugas. Tekun melaksanakan kewajiban sampai tuntas. Misalnya, siswa diberi tanggung jawab mengelola dana kegiatan olahraga di sekolahnya. Rasa tanggung jawab siswa terlihat ketika dana dipakai seoptimal mungkin menyukseskan kegiatan olahraga. Menurut Magnis, pengembangan rasa tanggung jawab adalah bagian terpenting dalam pendidikan anak menuju kedewasaan. Menjadi orang yang bermutu sebagai manusia.

Warung Kejujuran

Materi antikorupsi memang bisa kita selipkan sebagai pokok bahasan dalam mata pelajaran tertentu. Tetapi, pertanyaan lain muncul: apakah pendidikan antikorupsi hanya sekadar pemberian wawasan di ranah kognitif? Pendidikan antikorupsi jelas bukan cuma berkutat pada pemberian wawasan dan pemahaman. Tidak sekadar menghapal. Pendidikan antikorupsi tidak berhenti pada penanaman nilai-nilai. Lebih dari itu, pendidikan antikorupsi menyentuh pula ranah afektif dan psikomotorik. Membentuk sikap dan perilaku antikorupsi pada siswa. Menuju penghayatan dan pengamalan nilai-nilai antikorupsi.

Mencermati hal tersebut, KPK gencar mempromosikan dibentuknya warung kejujuran di setiap sekolah. Warung kejujuran adalah warung yang menjual makanan kecil dan minuman. Warung kejujuran tidak memiliki penjual. Warung yang tidak dijaga. Makanan atau minuman dipajang dalam warung. Dalam warung tersedia kotak uang, yang berguna menampung pembayaran dari siswa yang membeli makanan atau minuman. Bila ada kembalian, siswa mengambil dan menghitung sendiri uang kembalian dari dalam kotak tersebut.

Melalui warung kejujuran siswa belajar berperilaku jujur. Siswa belajar bersikap taat dan patuh, ketika tidak ada orang yang mengawasi. Belajar jujur pada diri sendiri. Intinya, inilah sebuah pendidikan antikorupsi yang langsung menyentuh domain afektif dan psikomotorik.

Kemudian, dalam konteks pendidikan antikorupsi, tatacara pengajaran tradisional mestinya dihilangkan. Siswa bukan obyek. Siswa bukan kertas putih yang bisa ditulis apa saja. Siswa bukan botol kosong, di mana siswa diisi dengan segala macam informasi dan nasihat, dan setelah itu dituntut mengeluarkannya kembali.

Bukan pendekatan seperti itu yang dibutuhkan. Pendekatannya berwujud penghargaan atas pendapat siswa guna merangsang kemampuan intelektual anak: keingintahuan, sikap kritis, berani berpendapat. Karena itu, pola pendidikan antikorupsi seyogianya bersifat terbuka, dialogis, dan diskursif.

sumber:www.pendidikan.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar