(ANTARA News) - Scope adalah wajah lain pendidikan Indonesia. Pada festival yang digelar di salah satu sudut ruang Jakarta Convention Center (JCC) ini takkan didapati wajah tiris guru Indonesia, gedung sekolah rombeng nan mengenaskan, atau potret murid berambut kusam yang pergi sekolah tanpa alas kaki.
Scope adalah sebenar-benarnya surga pendidikan Indonesia, gedung sekolah nan megah yang halamannya berhias taman-taman asri, diasuh oleh guru-guru berdasi dan berparfum wangi, siswa-siswinya berkulit bersih dan senantiasa tersenyum ceria karena selalu optimis akan masa depan yang gilang-gemilang.
Simaklah, nama-nama sekolah itu juga teramat keren, seperti sekolah-sekolah di luar negeri; High/Scope Indonesia, Beacon Academy, Modern Montessori International, Sinarmas World Academy, Sekolah Cita Buana, Madania Progressive Indonesian School, Singapore Productivity and Standards Board (PSB Singapore) School, Sekolah Global Jaya, Sekolah Bina Nusantara, Kinderfields, Ipeka International Christian School, Tiara Bangsa School, Ichtus International School, Victory Plus School atau Mentari School.
Kata "International" yang terselip pada nama sekolah-sekolah itu seolah dirancang untuk meneguhkan kesan bahwa sekolah itu memang sekolah bertaraf internasional. Setidaknya sekolah-sekolah itu telah mengadopsi kurikulum internasional seperti "International Baccalaureate" (IB), Global Assesment Certification (GAC), International Primary Curriculum (IPC), ataupun kurikulum Western Association of Schools an Collage (WASC). Seolah itu juga tergabung dalam Asosiasi Sekolah Nasional Plus - Bertaraf Internasional (ANPS-BI).
Sekolah-sekolah itu juga menawarkan fasilitas-fasilitas pendidikan paling prima; ruang kelas berpenyejuk udara, kolam renang berstandar "olympic", "wifi zone", laboratorium "Information Communication Tecnology" (ICT) yang terhubung dengan koneksi internet terjaga, "assembly hall", dan pendekatan pengajaran berstandar internasional yang dijamin mengasyikkan dan tak membosankan siswa-siswinya.
"Di sekolah kami setiap siswa akan mendapatkan satu 'laptop'. Karena kami yakin di masa datang siswa-siswi ini akan menghadapi derap teknologi yang makin cepat. Mereka adalah 'native ICT, beda dengan kita yang 'migran'," kata salah seorang penjaga stan Sinarmas World Academy, sekolah milik taipan grup Sinar Mas, yang turut ambil bagian dalam pameran "School Plus Expo (Scope) Indonesia 2008" itu.
Promosi yang dilakukan sekolah yang terletak di kawasan kota mandiri Bumi Serpong Damai itu terlihat sangat provokatif. Stan Sinarmas World Academy dipenuhi komputer dan laptop Apple Macintosh generasi terbaru lengkap dengan simulasi dan aplikasi program yang dijanjikan bakal diperoleh siswa jika mendaftar di sekolah itu.
Sang penjaga stan juga tak kalah agresif. Dengan cekatan ia memberikan penjelasan tentang fasilitas yang bakal didapat jika orang tua sudi menyekolahkan di Sinar Mas. "Sekolah kami menerapkan kurikulum IB (International Baccalaureate), yang telah dipakai banyak sekolah bertaraf internasional di Indonesia dan dunia," katanya.
Ruang Merak Jakarta Convention Center memang menjadi hiruk pikuk, karena sekolah-sekolah bertaraf internasional saling berlomba memancing simpati pengunjung pameran pendidikan yang diikuti lebih dari 40 sekolah itu.
Stan sekolah lain tak kalah agresif. Dengan mengacu pada kurikulum "Singapore's Ministry of Education (MoE) dalam mata pelajaran pokok seperti Bahasa Inggris, matematika, dan "science", PSB Singapore School menjanjikan siswa-siswinya akan mendapatkan pembelajaran berstandar kelas dunia.
"Seluruh siswa kelam enam PSB akan mengikuti test ujian tahap akhir Sekolah Dasar Internasional Singapura (iPSLE) dan pada akhir tingkat 'secondary four' siswa akan menjalani tes Sertifikat Umum Pendidikan Menegah Umum Internasional Cambridge (IGCSE). Cambridge IGCSE adalah ujian yang diakui oleh universitas dan perusahaan terkemuka dunia," kata Arman Jovian dari Secondary 1, Singapore PSB Schools Jakarta.
Demi meneguhkan kelasnya sebagai sekolah internasional, sejumlah sekolah seperti Global Jaya, Tiara Bangsa, dan Beacon Academy merasa perlu mengundang guru ekspatriat untuk mengajar dan bahkan memimpin sekolah itu.
Beacon Academy harus mengundang Steven Herrod, sebagai principal eksekutif sekolah yang terletak di kawasan Sunter itu. Global Jaya, sekolah milik taipan properti Ciputra merasa perlu mengundang Richard F Henry sebagai "executive principal", sekolah yang terletak di Bintaro itu. Dayl Forde dari Australia dipercaya untuk memimpin Sekolah Tiara Bangsa, dan Sinarmas Academy menyerahkan pengelolaan sekolahnya pada Kathryn Young, pendidik berkebangsaan Australia yang telah delapan tahun mengajar di Indonesia.
Steven Herrod datang ke Beacon Academy Indonesia memang dengan bekal memadai. "Di Beacon kami memperkenalkan International Primary Curriculum (IPC). Kami adalah sekolah nasional pertama yang melaksanakan IPC. Kurikulum ini telah diterapkan di 330 sekolah di 44 negara," katanya.
Kehadiran para pendidik dari mancanegara, kata Nurcahyani (33), salah seorang pengunjung Scope, menjadi daya tarik untuk memilih sekolah bagi anaknya. "Pengajar ekspatriat setidaknya memiliki pengalaman pendidikan yang lebih mendukung. Mereka dibesarkan dalam iklim pendidikan yang lebih maju, diharapkan budaya belajar mereka dapat diikuti oleh anak-anak kita," katanya.
Namun diakui, orangtua harus merogoh kantong yang lebih dalam untuk menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah bertaraf internasional yang mempekerjakan pendidik asing.
Harga fantastik Berapa harga yang harus dibayar, agar anak-anak Indonesia bisa belajar di sekolah-sekolah bertaraf Internasional itu? Sekolah Global Jaya, dalam lembar informasi pendaftaran, mencantumkan development fee (biaya pengembangan/uang pangkal) sebesar Rp73 juta untuk enam tahun. Sedangkan tuition fee atau SPP-nya dipatok Rp43,45 per tahun untuk taman kanak-kanak dan Rp52,8 juta per tahun. Biaya itu belum termasuk biaya ekstrakulikuler yang mendatangkan guru atau instruktur dari luar sekolah.
Sinarmas World Academy tak kalah mahal. Total biaya pendidikan untuk kelas 1-4 yang dipungut sekolah per tahun mencapai Rp80 juta, kelas 5-6 sebesar Rp82 juta per tahun dan kelas 7-10 (SMP) 89 juta per tahun.
"Tapi jika anak Anda masuk pada tahun ini, kami akan memberi diskon Rp11,2 juta di setiap level. Jadi jika anak Anda masuk kelas 5, pada tahun pertama Anda 'hanya' perlu membayar Rp69,9 juta dan pada tahun kedua Rp69,9 juta juga," kata seorang marketing Sinarmas.
PSB Singapore School bahkan tak menerima rupiah. Sekolah yang memiliki kampus di kawasan Kelapa Gading dan Kebon Jeruk itu menetapkan biaya dalam notifikasi dolar AS. Pada 2008, PSB menetapkan uang pendaftaran 300 dolar AS (sekitar Rp3 juta), "upfront payment" (uang muka) sebesar 2.000 dolar AS (Rp20 juta) dan instalment plan (uang pangkal) sebesar 3.000 dolar AS (Rp30 juta).
PSB juga menetapkan SPP yang berbeda si setiap level. Untuk kelas kelompok bermain hingga TK, PSB mengutip biaya antara 1.200 - 3.000 (sekitar Rp12 juta hingga Rp30 juta per tahun), kelas 1-6 SD, SPP yang dipungut antara 3.800 - 4.100 dolar AS. Sedangkan pada jenjang SMP, PSB mengutip biaya 4.800 - 5.600 dolar AS (sekitar Rp48 juta - Rp56 juta). Di luar itu PSB juga masih mengutip biaya kegiatan sebesar 250 - 300 dolar AS.
Untuk ukuran sekolah bertaraf internasional, Sekolah Bina Nusantara (Binus) dan Madania Progressive Indonesian School mengutip biaya pendidikan sedikit lebih rendah. Level Primary Binus Serpong misalnya "hanya" mengutip uang pangkal Rp22 juta dan SPP Rp1,5 juta per bulan. Sekolah Madania mengutip uang pangkal sebesar Rp40 juta dan SPP Rp1,5 juta untuk level SD.
Dengan mengutip biaya yang fantastik itu, Sekolah Global Jaya memberikan janji pembelajaran yang tidak "biasa". "Alumni sekolah Global Jaya terbukti telah meraih sukses dalam berbagai profesi yang dipilihnya di seluruh dunia. Itu adalah bukti dari realisasi keluaran pendidikan kami.
Guru kami yang berdedikasi tinggi ditraining dengan baik akan mengimplementasikan pembelajaran bersatandar internasional bagi anak-anak dari TK hingga SMA," kata Executive Principal Sekolah Global Jaya, Richard F. Henry.
Beacon Academy menjanjikan pengembangan akademis dan pribadi bagi siswanya. "Lingkungan kami yang hangat dan penuh kepedulian, ukuran kelas yang kecil dan pendidik yang berpengalaman dan penuh perhatian, akan memastikan siswa kami dapat mencapai standar akademis yang tinggi," kata Direktur Beacon Education Indonesia, Ricard Sidharta.
ELITIS Dengan harga pendidikan yang sefantastik itu, sekolah bertaraf internasional seperti Global Jaya, PSB Singapore School, ataupun Sekolah Tiara Bangsa, memang hanya dapat dijangkau kalangan berkantong tebal.
"Sekolah semacam itu hanya ada diangan-angan saya saja. Karena tak mungkin saya menyekolahkan anak saya ke sekolah-sekolah itu, kecuali jika pendapatan kami puluhan juta per bulan," ujar Dedy Aryanto, salah seorang pengunjung pameran.
Dedy, yang merupakan karyawan sebuah bank di kawasan SCBD, Jakarta, mengaku telah mengalokasikan sekitar 15-20 persen untuk kebutuhan sekolah anaknya, tapi ia hanya bisa menjangkau sekolah swasta papan tengah, dengan tarif SPP di bawah Rp1 juta dan uang pangkal sekitar 10 juta.
Di Indonesia, yang 60 persen penduduknya memiliki kondisi lebih buruk dari Dedy, tentu makin sulit menggapai pendidikan bermutu itu.
Laporan UNESCO dalam "2009 EFA Global Monitoring Report", yang dikeluarkan akhir 2008, masih menempatkan posisi Indonesia pada nomor 71 dari 129 negara dalam pencapaian Education For All (EFA).
Posisi EFA Developmnt Index (EDI) Indonesia berada jauh di bawah Brunai Darussalam yang berada di urutan 36 dan Malasyia di urutan 45. Penilaian tersebut sealur dengan laporan "2008 An Asia-Pacific Citizens- Report Card Rating Governments Efforts to Achieve Education for All", diterbitkan ASPBAE dan Global Campaign for Education, yang memberi skor C- (skala penilaian antara A+ sampai F) pada pemerintah RI.
Gambaran yang sama diungkap Human Development Report 2007/2008, dimana Indonesia ditempatkan pada ranking 107 dalam Indeks Pembangunan Manusia yang dibuat UNDP PBB. Posisinya satu tingkat lebih baik dari tahun sebelumnya, namun masih tertinggal dari negara ASEAN lainnya, seperti Vietnam (peringkat 105), Singapura (peringkat 25), Brunei Darusalam (peringkat 30), Malaysia (peringkat 78), Thailand (peringkat 78) dan Filippina (peringkat 90).
Menurut badan itu, kurang dari 10 persen anak Indonesia yang mendapatkan pendidikan bermutu dan bersekolah di sekolah berstandar Internasional. Selebihnya, anak-anak Indonesia hanya dapat Melihat dari balik pagar.(*) (Teguh Priyanto)
Sumber : Antara edisi tanggal 23 Desember 2008 |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar