19/09/2008
Oleh: Sudirman Siahaan
Dari berbagai literatur dapatlah diketahui dan juga dikatakan bahwa negara-negara yang menerapkan model “Pembelajaran Rangkap Kelas (PRK)” tidak hanya terbatas di kalangan negara-negara yang sedang berkembang saja. Ternyata negara-negara maju juga ikut menerapkan model PRK karena memang menjadi kebutuhan. Beberapa di antara negara maju yang menerapkan model PRK adalah Amerika Serikat, Australia, Finlandia, Inggris, Jepang, Jerman, dan Kanada. Penerapan model PRK pada umumnya lebih banyak dilakukan pada satuan pendidikan Sekolah Dasar (SD). Jika demikian ini keadaannya, maka itu berarti bahwa banyak satuan pendidikan SD yang dikelola oleh jumlah guru yang sangat terbatas atau bahkan dikelola oleh hanya seorang guru (one-teacher school).
Ada beberapa model atau pola pembelajaran yang dapat dikembangkan dalam PRK tergantung pada situasi dan kondisi masing-masing daerah. Setidak-tidaknya, ada 5 model/pola PRK menurut Anwas M. Oos, yaitu: (1) seorang guru menghadapi siswa yang berada pada dua ruangan untuk dua tingkatan kelas yang berbeda, (2) seorang guru menghadapi siswa dalam tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam dua ruangan kelas, (3) seorang guru menghadapi dua tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan, (4) seorang guru menghadapi tiga tingkatan kelas yang berbeda pada dua ruangan kelas, dan (5) seorang guru menghadapi tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan kelas.
Di dalam proses belajar-mengajar model PRK yang dilaksanakan, para peserta didik dikondisikan sedemikian rupa agar mereka senantiasa aktif belajar dan khususnya belajar mandiri (independent learning), baik secara perseorangan maupun kelompok, tanpa harus sepenuhnya tergantung pada guru.
Salah satu pendekatan dalam PRK dan yang sekaligus juga merupakan karakteristik utama adalah adanya pemisahan atau segregasi. Guru membuat pemisahan yang jelas antara setiap tingkatan, setiap mata pelajaran, setiap kelompok anak yang berada di dalam kelas. Anak-anak yang termasuk ke dalam satu tingkatan diorganisasikan untuk berada dalam satu kelompok tersendiri. Sebagai contoh: anak-anak dari tingkatan/kelas 1 dan 2 duduk bersama membentuk satu kelompok. Demikian juga dengan anak-anak kelas 3 dan 4. Kemudian, guru akan mencoba menjelaskan satu mata pelajaran kepada masing-masing kelompok secara bergantian. Artinya, akan ada pelajaran matematika untuk kelas 4 dan pelajaran matematika untuk kelas 5 dan demikian selanjutnya.
Konsep PRK mengandung beberapa kriteria, yaitu: (a) adanya penggabungan siswa yang berasal dari 2 atau lebih tingkatan, (b) seorang guru ditugaskan untuk membelajarkan para siswa gabungan yang terdiri dari beberapa tingkatan, (c) seorang guru melaksanakan tugas-tugas mengajarnya kepada para siswa gabungan secara serempak, dan (d) siswa secara individual maupun di dalam kelompok (tingkatan) tetap dikondisikan oleh guru untuk tetap aktif belajar sekalipun guru sedang memberikan bimbingan kepada siswa tingkatan tertentu.
Prosentase jumlah SD yang menerapkan model PRK (terutama “Sekolah Satu Guru”) di beberapa negara adalah: (a) Peru (40%), (b) Northern Territory of Australia (40%), (c) Swedia (35%), (d) Zambia (26%), dan (e) Perancis (22%) (Little, 1995).
Pada sekolah yang menerapkan PRK, para guru mengajar 2 atau lebih tingkatan pada satu kelas. Pemerintah di beberapa negara mempromosikan sekolah-sekolah PRK untuk para peserta didik yang tinggal di daerah-daerah pedesaan dan terpencil dengan jumlah penduduknya yang jarang dan kurang beruntung (disadvantaged). Dengan menghadirkan/mendatangkan sekolah ke lingkungan anak-anak, maka Pemerintah mencoba mencari terobosan untuk (1) mengurangi kesenjangan pendidikan antara anak-anak di daerah perkotaan dan pedesaan serta (2) memberikan layanan pendidikan yang dapat diakses dengan mudah oleh anak-anak usia sekolah dalam rangka pelaksanaan Pendidikan Dasar Universal. Para guru yang akan ditempatkan pada sekolah-sekolah ragam kelas dibekali dengan pelatihan tentang cara-cara mengajarkan materi pelajaran yang berbeda kepada peserta didik yang berbeda namun berada pada satu kelas.
Model Sekolah Dasar yang menerapkan PRK di Jepang hanya diperkenankan untuk menggabungkan 2 tingkatan ke dalam satu kelas. Penggabungan 2 tingkatan ini dinilai masih relatif lebih mudah untuk dikelola oleh seorang guru. Kondisinya akan jauh lebih sulit lagi apabila Sekolah Dasar hanya dikelola oleh satu orang guru atau disebut dengan istilah “Sekolah Satu Guru” (one-teacher schools). Artinya, guru yang ada melaksanakan berbagai tugas, tidak hanya yang bersifat akademik atau pembelajaran tetapi juga yang sifatnya administratif.
Sehubungan dengan kebijakan pemerintah Jepang yang hanya memperkenankan penggabungan 2 tingkatan ke dalam satu kelas, maka untuk kepentingan kegiatan pembelajaran, dikemukakan oleh Takako Suzuki bahwa pemerintah mengembangkan kurikulum khusus yang siklusnya 2 tahunan yang didasarkan pada kebijakan kurikulum nasional yang bersifat umum. Pengembangan kurikulum yang akan digunakan oleh guru yang mengajar di kelas-kelas ragam tingkatan ini disesuaikan juga dengan kondisi lokal.
Sekalipun telah dibekali dengan kurikulum khusus yang dikembangkan untuk kepentingan pembelajaran siswa pada kelas gabungan, namun dikemukakan oleh Takaku Suzuki bahwa para guru masih belum mengubah strategi kegiatan belajar-mengajarnya. Mereka masih menerapkan strategi belajar-mengajar untuk kelas yang hanya satu tingkat (Suzuki, 2004).
Sedangkan di Vietnam, ukuran kelas pada SD yang menerapkan PRK hanya dapat menampung sekitar 20 anak. Seorang guru memberikan pelajaran yang berbeda pada waktu yang sama kepada peserta didik yang terdiri atas beberapa tingkatan yang berbeda. Sebagai contoh, ada satu kelas yang ditempati oleh 13 anak (3 wanita dan 10 pria) yang berasal dari 2 tingkatan/kelas dan di antara siswa ini hanya seorang anak yang berbeda tingkat/kelasnya. Pekerjaan ekstra yang diemban oleh para guru yang mengajar di sekolah ragam kelas/tingkatan mendapat tambahan gaji 50% jika hanya menangani 2 tingkatan peserta didik dan tambahan 75% bagi para guru yang bertanggungjawab atas 3 atau lebih tingkatan peserta didik (Pridmore, 2004).
Banyak model pembelajaran ragam kelas/tingkatan di Vietnam. Seorang guru dapat saja bertanggungjawab untuk membina 2 sampai 5 kelas yang berbeda. Sejauh ini, sekolah-sekolah ragam kelas/tingkatan menyebar luas di daerah-daerah etnis minoritas. Tujuannya adalah untuk menyediakan pendidikan dasar kepada anak-anak yang kurang beruntung dengan cara menghadirkan sekolah mendekat kepada masyarakat di tempat anak-anak tinggal. Ada sekitar 2.162 SD yang menerapkan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan, atau sekitar 1,8% dari jumlah keseluruhan SD dengan jumlah peserta didik sekitar 143.693 anak atau sekitar 38% dari jumlah populasi usia sekolah (Vu, 2004).
Menurut Patricia Ames, Peru memiliki sekitar 21.500 SD yang menerapkan model PRK di mana sekitar 96% di antaranya terdapat di daerah-daerah pedesaan. Jumlah guru yang ditugaskan pada sekolah-sekolah ragam kelas/tingkatan ini sekitar 41.000 orang atau mewakili sekitar 69% dari total jumlah guru. Sebagian besar sekolah (89%) yang berada di pinggiran kota di Peru menerapkan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan. Khusus mengenai “Sekolah Satu Guru”, menurut Tovar yang dikutip Patricia Ames mengemukakan bahwa di Peru terdapat sekitar 39% dan tersebar di daerah-daerah pedesaan (Ames, 1989).
Karakteristik yang sangat penting untuk dikemukakan yang mempengaruhi situasi pendidikan di Peru menurut Patrcia Ames adalah (a) persebaran dan keterpencilan populasi (dispersion and isolation) di pedesaan; (b) kemiskinan desa (60% penduduk yang tinggal di pedesaan adalah miskin dan 37% hidup pada suatu situasi yang sangat miskin; (c) ekonomi keluarga yang menuntut anak-anak anggota keluarga untuk bekerja; (d) perbedaan ragam budaya dan bahasa yang digunakan; dan (e) anak-anak di daerah pedesaan terlambat mengikuti pendidikan sekolah, tingkat mengulang kelas (repetition rate) yang tinggi dan seringnya terjadi gangguan tidak bersekolah. Kesemuanya ini semakin mewarnai variasi kelas-kelas ragam tingkatan (Ames, 2004).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Bray mengenai Sekolah Dasar Kecil (Small Primary Schools) di Kalimantan Tengah dikemukakan bahwa terdapat 460 SD yang dikelola oleh 1 sampai dengan 3 orang guru (Bray, 1987). Bahan-bahan belajar yang digunakan oleh siswa dirancang secara khusus sehingga dapat dipelajari secara mandiri oleh siswa. Salah satu peluang yang terbuka dari ketersediaan bahan-bahan belajar yang bersifat mandiri adalah memungkinkan para sukarelawan orang dewasa untuk dapat membantu para siswa melakukan kegiatan pembelajarannya. Konsep Sekolah Dasar Kecil di berbagai literatur diidentikkan dengan sekolah dasar yang menerapkan model pembelajaran ragam kelas/ tingkatan.
Sedangkan berdasarkan data yang disajikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional tahun 1990 terdapat sekitar 12.000 SD yang dikelola oleh guru yang harus mengajar lebih dari satu kelas (BALITBANG DEPDIKNAS, 1990). Beberapa faktor yang menyebabkan Sekolah Dasar menerapkan Pembelajaran ragam kelas/tingkatan antara lain adalah: (1) kekurangan guru, (2) keterbatasan ruang kelas yang tersedia di SD, dan (3) kondisi geografis yang sulit transportasi (PUSTEKKOM, 2002).
Untuk membantu para guru yang mengajar di SD dengan model “pembelajaran ragam kelas/tingkatan”, maka Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (PUSTEKKOM) telah melakukan perintisan pemanfaatan program audio interaktif di 10 SD yang tersebar di 10 propinsi pada tahun 2001 (PUSTEKKOM, 2002). Program audio interaktif ini mencakup mata pelajaran: (1) bahasa Indonesia, (2) Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), (3) Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), (4) Matematika, dan (5) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Program ini dapat dimanfaatkan siswa tanpa harus sepenuhnya dibimbing oleh guru. Sekalipun demikian, guru dituntut untuk memberikan penjelasan dan petunjuk kepada para siswa sebelum program dimanfaatkan.
Selanjutnya, Paula Rogers mengemukakan beberapa keuntungan yang diperoleh siswa yang belajar pada sekolah yang menerapkan PRK, yaitu: (a) bantuan dari sesama para siswa tidak saja hanya menguntungkan para siswa dari kelas yang lebih rendah tetapi juga para siswa dari di kelas yang lebih tinggi (kerjasama yang saling menguntungkan), (b) para siswa terkondisi untuk belajar secara independen karena para gurunya mendidik mereka untuk mengembangkan sikap independen dan efisien dalam belajar, (c) berkembangnya perasaan bangga di dalam diri para siswa karena mereka merasa lebih puas sekalipun sedikit mengalami friksi dalam kegiatan belajarnya dibandingkan para siswa sekelas yang hanya terdiri atas satu tingkatan (Rogers, 2002).
Sedangkan manfaat atau dampak PRK yang bersifat non-kognitif berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh UNESCO/APEID di 12 negara di kawasan Asia Pasifik sebagaimana yang dikutip oleh Angela Little adalah sebagai berikut:
a. Peserta didik mempunyai kecenderungan untuk mengembangkan (a) kebiasaan bekerja secara independen dan (b) keterampilan belajar sendiri.
b. Kerjasama kelompok di antara para siswa yang berbeda usia dan tingkatan mempunyai kecenderungan berkembangnya etika, kepedulian dan tanggungjawab kelompok.
c. Peserta didik mengembangkan sikap positif tentang saling membantu satu sama lain.
d. Kegiatan-kegiatan belajar remedial dan pengayaan dapat ditata menjadi lebih produktif dibandingkan di kelas-kelas normal yang biasa (Little, 1995).
Berdasarkan hasil studi yang dilakukan pada sekolah-sekolah yang menerapkan PRK, dikemukakan oleh para guru yang menjadi responden bahwa dibutuhkan beberapa sikap dan kualitas yang penting dimilki oleh para guru yang akan berperanserta dalam pelaksanaan PRK, yaitu:
a. mempunyai dedikasi yang sangat tinggi, dan bersedia bekerja keras di luar jam-jam pelajaran sekolah;
b. mempunyai kepedulian yang tinggi demi kesejahteraan para siswanya;
c. mempunyai kesediaan untuk memberikan lebih banyak pilihan dan keleluasaan kepada para siswanya; dan
d. mempunyai kesediaan untuk melakukan eksperimen, mencoba berbagai gagasan baru, dan berani menghadapi berbagai resiko (Mulcahy, 1992).
Ada 4 bidang kritis tentang perubahan yang harus difokuskan agar upaya pengembangan sekolah-sekolah dasar yang menerapkan PRK dapat berhasil, yaitu:
a. guru perlu mengembangkan seperangkat bekal teknik-teknik mengajar dan praktek-praktek pengelolaan kelas;
b. guru membutuhkan berbagai masukan, baik yang bersifat materi maupun fisik, di antaranya yang sangat penting adalah bahan-bahan belajar terprogram (programmed learning materials) dan buku-buku teks (textbooks).
c. guru membutuhkan jaringan dukungan professional, baik yang bersifat lokal maupun yang lingkupnya lebih luas;
d. adanya kebijakan nasional yang berkaitan dengan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan misalnya: pelatihan para guru dan administrator, pengadaan guru dan pengembangannya, dan pengembangan bahan belajar yang di rancang dan di kembangkanuntuk pembelajaran ragam kelas/tingkatan.
Beberapa kesulitan/masalah yang dihadapi oleh sekolah-sekolah yang menerapkan PRK sebagaimana yang dikemukakan oleh Angela Little, antara lain adalah:
a. tidak adanya pelatihan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan/membekali para guru yang ditugaskan mengajar di sekolah-sekolah dasar yang menerapkan “pembelajaran pada kelas ragam kelas/tingkatan”. Dengan tidak adanya pelatihan pembekalan ini, maka para guru hanya mengandalkan pengalaman sebelumnya yang telah dimiliki untuk mengelola kegiatan pembelajaran di samping tentunya inisiatif atau prakarsa yang dikembangkan oleh para guru itu sendiri.
b. adanya sementara persepsi yang kurang pas mengenai sekolah-sekolah dasar yang menerapkan kegiatan pembelajaran ragam kelas/tingkatan. Persepsi yang kurang pas itu adalah bahwa “Sekolah Satu Guru” atau “Sekolah Dua Guru” yang berlokasi di daerah-daerah pedesaan dan yang terpencil sebagai sekolah-sekolah yang berprestise sangat rendah sehingga kebanyakan para guru yang ditempatkan adalah mereka yang berkualifikasi rendah atau yang tidak mempunyai kualifikasi mengajar.
c. keterbatasan berbagai sumber belajar untuk menunjang pelaksanaan kegiatan pembelajaran, terutama yang berupa buku-buku teks, bahan-bahan belajar lainnya, dan alat bantu mengajar. Kondisi guru yang kebanyakan berkualifikasi rendah, jumlah guru dan sumber belajar yang terbatas akan menjadi masalah yang serius bagi guru untuk membelajarkan para siswa (Little, 1995).
Berkaitan dengan keterbatasan sumber-sumber belajar, Pusat Teknologi Komunikasi dan Informasi Pendidikan (PUSTEKKOM) telah mengembangkan bahan-bahan belajar yang dapat digunakan untuk Sekolah PRK. Bahan-bahan belajar ini berupa program audio interaktif yang pengembangannya didasarkan pada kurikulum SD yang berlaku dan mencakup mata pelajaran bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Matematika, dan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN). Sejauh ini, perintisan pemanfaatan program audio interaktif telah dilakukan di 10 SD yang tersebar di 10 propinsi. Tujuannya adalah untuk membantu para guru membelajarkan para siswanya.
Pada umumnya, model SD dengan 1 orang guru atau antara 1 sampai dengan 3 orang guru, banyak ditemukan di daerah-daerah pedesaan (rural areas), baik di negara-negara yang sedang berkembang maupun di negara-negara maju. Ada beberapa alasan untuk menyelenggarakan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan, misalnya: keterbatasan jumlah anak-anak usia sekolah, keterbatasan jumlah guru yang ada, keterbatasan ruang kelas yang ada di sekolah, dan keadaan geografis yang sulit untuk mobilisasi penduduk. Beberapa di antara negara yang menerapkan “pembelajaran ragam kelas/tingkatan” adalah: Amerika Serikat, Australia, Cina, Finlandia, Indonesia, Inggris, Jepang, Jerman, Kanada, Nepal, Peru, Sri Lanka, Spanyol, Thailand, Turki, Vietnam, dan Yunani. Berkaitan dengan pembelajaran ragam kelas/tingkatan ini, ada beberapa istilah yang digunakan, misalnya: pembelajaran ragam usia (multiage teaching), kelas ragam usia (multiage classrooms), sekolah dasar kecil (small primary schools), dan kelas beda tingkatan (split-grade classrooms).
Pembelajaran ragam kelas/tingkatan diartikan sebagai kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru kepada sekelompok siswa yang terdiri atas beberapa kelas/tingkatan atau usia dalam waktu yang bersamaan. Di daerah-daerah pedesaan di negara-negara yang sedang berkembang, pada umumnya seorang guru diberi tugas atau tanggungjawab untuk membina 2 atau lebih kelompok siswa yang berbeda kelas/tingkatan. Ada beberapa model penerapan pembelajaran ragam kelas/tingkatan, misalnya: (a) seorang guru menghadapi siswa yang berada pada dua ruangan untuk dua tingkatan kelas yang berbeda, (b) seorang guru menghadapi siswa dalam tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam dua ruangan kelas, (c) seorang guru menghadapi dua tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan, dan (d) seorang guru menghadapi tiga tingkatan kelas yang berbeda dalam satu ruangan kelas.
Beberapa dasar pemikiran yang melatarbelakangi penyelenggaraan Sekolah Dasar dengan model pembelajaran ragam kelas/tingkatan di satu daerah/wilayah yaitu, antara lain dikarenakan sedikit atau terbatasnya: (a) jumlah siswa yang ada dan (b) jumlah guru yang terdapat di satu wilayah. Faktor lainnya adalah dikarenakan kondisi kesulitan geografis yang ada di satu daerah/wilayah sehingga membatasi mobilitas penduduk. Untuk dapat berhasil dalam mengelola Sekolah Dasar yang menerapkan pembelajaran ragam kelas/tingkatan, para guru hendaknya: (a) mempunyai dedikasi yang sangat tinggi dan bersedia bekerja keras setelah jam pelajaran sekolah berakhir, (b) mempunyai kepedulian yang tinggi demi kesejahteraan para siswanya, (c) memberikan lebih banyak pilihan dan keleluasaan kepada para siswanya dalam kegiatan belajar, dan (d) bersedia melakukan eksperimen, mencoba berbagai gagasan baru, dan berani menghadapi berbagai resiko.
Mengingat beban tugas dan tanggungjawab yang besar yang diemban oleh para guru yang mengajar di SD yang menerapkan kegiatan pembelajaran ragam kelas/tingkatan, maka dinilai sangat penting dan strategis untuk (a) membekali para guru yang akan ditugaskan mengajar di SD model pembelajaran ragam kelas/tingkatan melalui pelatihan, (b) melengkapi SD yang menerapkan kegiatan pembelajaran ragam kelas/tingkatan dengan berbagai sumber belajar yang dapat dipelajari siswa secara mandiri, dan (c) memberikan insentif kepada para guru yang bertugas mengajar di SD yang menerapkan pembelajaran ragam kelas/tingkatan, misalnya saja berupa: tambahan honorarium dan percepatan kenaikan pangkat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar