A. Gambaran Umum PGMKSBM
1. Rasional PGMKSBM
Seperti dideskripsikan dalam Bab IV halaman 72, tampaknya alasan mendasar diselenggarakan PGMKSBM adalah karena tingginya jumlah guru SD/MI yang telah aktif mengajar tapi belum memenuhi kualifikasi D2. Sementara, penyelenggaraan program penataran penyetaraan guru yang diselenggarakan pemerintah baru mampu menyerap 331.000 orang guru, sekitar 600.000 orang guru lain masih belum memenuhi kualifikasi D2. Para guru yang telah aktif mengajar dan belum memenuhi kualifikasi ini tidak mungkin harus meninggalkan kelas untuk mengikuti program pendidikan peningkatan kjualifikasi secara konvensional. Oleh karena itu, perlu dicarikan inovasi pembelajaran lain dimana mereka dapat meningkatkan kualifikasi tanpa harus meninggalkan kelas. Alasan inilah yang melandasi diselenggarakannya inovasi PGMKSBM.
Penyelenggaraan inovasi PGMKSBM ini tampaknya tidak mendapatkan kesulitan karena didukung oleh adanya landasan hukum (konstitusional) yang memungkinkan diselenggarakannya program pembelajaran alternatif untuk meningkatkan kualifikasi guru. Landasan hukum tersebut antara lain adalah Garis-Garis Besar haluan Negara (GBHN) tahun 1993, pasal 31 Peraturan Pemerintah No. 38/1992 tentang Tenaga Kependidikan dan SK Mendikbud No. 0854/U/1989 tanggal 30 Desember 1989 yang mempersyaratkan guru SD berkualifikasi minimal D2. Sebagai tindak lanjut dari SK Mendikbud ini, pada tanggal 12 Juni 1996, Universitas Sebelas Maret dan pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis Bandung menandatangani naskah kesepahaman bersama (MoU) untuk melaksanakan pola alternatif penataran guru pendidikan dasar di lingkungan Depdikbud.
Secara konseptual, penyelenggaraan PGMKSBM juga didasarkan atas landasan konsep yang jelas. Seperti terlihat dalam Bab IV, terdapat empat pendekatan/paradigma yang digunakan sebagai landasan penyelenggaraan PGMKSBM, yaitu pendekatan reflektif, pendekatan kolaboratif, pendekatan konstruktif, dan pendekatan penelitian tindakan kelas.
Inti dari pendekatan reflektif adalah pembelajaran akan efektif apabila didasarkan pada pengalaman sebagai hasil dari perbuatan. Oleh karena itu, implikasi dari pendekatan ini adalah pengalaman mengajar sehari-hari sebagai perbuatan guru harus dapat diolah dengan menggunakan kerangka berpikir dan pengetahuan yang dimilikinya untuk membangun pengetahuan baru yang akan mendukung kemampuan mengajarnya. Pengetahuan atau pemahaman baru ini, melalui pengolahan dan refleksi dapat melahirkan tindakan yang lain sebagai perwujudan dari keingintahuannya. Dengan demikian, proses aktif ini akan terus berkelanjutan tiada henti sebagaimana layaknya bola salju. Pada akhirnya akan membentuk profesionalitas guru yang terus maju berkelanjutan tanpa henti (on-going formation). Oleh karenanya, dalam PGMKSBM guru dituntut untuk: 1) melakukan pemecahan masalah mengajar dengan cara menyusun rancangan pembelajaran; 2) rencana pembelajaran tersebut dievaluasi dan direview bersama dengan teman sejawat; 3) diimplementasikan dalam situasi nyata di kelas dimana guru tersebut mengajar; 4) hasil implementasi tersebut kembali di evaluasi dan direview bersama teman sejawat; 5) berdasarkan hasil review rancangan pembelajaran diperbaiki dan siklus ini terus berlanjut. Melalui proses refleksi seperti ini, kesadaran, pemahaman dan keterampilan guru akan meningkat.
Pendekatan kolaboratif adalah peningkatan pemahaman dan kesadaran melalui dimensi sosial atau proses saling interaksi. Implikasi dari paradigma kolaboratif ini adalah bahwa proses pembelajaran PGMKSBM harus melibatkan aktifitas kelompok untuk memecahkan masalah mengajar yang dihadapinya secara nyata. Dengan demikian, diharapan akan terjadi kolaborasi antara satu indivdu dan individu lain dalam kelompok yang saling berketergantungan dalam memecahkan masalah mengajarnya tersebut. Oleh karena itu, dalam PGMKSBM peserta dituntut agar secara kelompok melakukan pertemuan reguler untuk mendiskusikan baik hal yang terkait dengan tugas, maupun masalah pembelajaran yang dihadapi sehari-hari dan melaporkannya dalam bentuk laporan berkala (bulanan). Laporan ini juga menjadi salah satu dasar penilaian hasil belajar.
Pendekatan konstruktifistik menjelaskan bahwa pembelajaran akan efektif apabila proses pembentukkan pengetahuan/pemahaman dilakukan oleh pebelajar. Dalam konteks PGMKSBM, pembentukkan pengetahuan /pemahaman harus dilakukan dengan cara mengakomodasi pengalaman mengajar guru sehingga guru punya kemandirian untuk mengendalikan belajarnya sesuai dengan kebutuhan dan minatnya. Implikasi dari pendekatan konstruktifistik bagi proses pembelajaran PGMKSBM adalah: 1) penatar/pengajar yang semula berfungsi sebagai penyaji materi, bergeser menjadi proses belajar bersama dengan peserta PGMKSBM melalui partisipasi aktif sebagai fasilitator; 2) peserta PGMKSBM yang semula dijadikan sebagai obyek, bergeser menjadi peserta sebagai subyek; dan 3) peserta PGMKSBM yang semula mengumpulkan pengetahuan bergeser menjadi penemu dan pengembang pengetahuan.
Pendekatan penelitian tindakan kelas pada dasarnya merupakan konsekuensi dari penerapan pendekatan refletif. Artinya, untuk mengefektifkan terjadinya perubahan pada tingkat sekolah/kelas, maka guru (peserta PGMKSBM) diwajibkan untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya melalui praktek-praktek pembelajaran di kelas. Guru (peserta PGMKSBM) dengan mendasarkan pada masalah keseharian yang dihadapinya, dengan dibantu oleh rekan sejawatnya melakukan tindakan berupa rancangan pembelajaran, melaksanakan, mengobservasi dan memperbaikinya kembali secara terus menerus.
2. Sejarah singkat PGMKSBM
Seperti dideskripsikan dalam tabel 6 halaman 78, sebenarnya cikal bakal PGMKSBM telah muncul sejak tahun 1994. Pada bulan September 1994, Puslitbangjari UNS mengembangkan model penataran terakreditasi dengan sistem belajar mandiri untuk membantu meningkatkan profesionalitas guru dengan memanfaatkan forum PKG/KKG dan MGMP di Kecamatan Pasarkliwon. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualifikasi guru, bagi guru-guru yang sudah mengajar akan tetapi belum memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan. Pada tahap ini, belum terpikirkan kerjasama dengan pihak Departemen Pendidikan. Program ini dilakukan hanya sebagai bentuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang diberikan oleh Puslitbangjari UNS. Kanwil Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah pada saat itu hanya sebatas mengetahui.
Model tersebut menggunakan pendekatan collaborative action research (CAR) dengan sistem belajar mandiri. Yang dimaksud dengan collaborative action research adalah sebagai berikut: 1) setiap guru anggota gugus membuat rancangan pembelajaran; 2) rancangan pembelajaran tersebut diterapkan di kelas dan diamati oleh teman sejawat; 3) hasil pengamatan didiskusikan dengan teman sejawat dan nara sumber (dosen kunjung) pada setiap hari Sabtu siang setelah akhir jam belajar; 4) permasalahan yang tidak dapat dipecahkan dalam diskusi diangkat sebagai materi penataran; 5) materi penataran disajikan oleh nara sumber (dosen kunjung) dari UNS dengan metode diskusi; 6) berdasarkan hasil diskusi pada point 5, guru memperbaiki/menyempurnakan rancangan pembelajarannya; dan 7) rancangan pembelajaran diterapkan kembali di kelas dan diamati oleh teman sejawat. Begitu seterusnya, ketujuh tahapan ini menjadi siklus yang berulang-ulang.
Pada saat bersamaan, di akhir tahun 1995, ketika Puslitbangjari UNS menyelenggarakan penataran guru terakreditasi di Kecamatan Pasarkliwon, Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis Bandung, melalui Prof. Dr. Yusufhadi Miarso, menjajaki kemungkinan kerjasama dengan Puslitbangjari UNS dalam hal mencari model pembelajaran yang inovatif dengan berbasiskan sistem belajar mandiri. Model pembelajaran ini diharapkan mampu membantu menuntaskan program penyetaraan D2 bagi 600.000 guru yang belum berkualifikasi setara D2 di seluruh Indonesia. Program pendidikan yang ada baru berhasil menyerap 2000 guru dan akan memakan waktu 30 tahun untuk menuntaskan ke-600.000 guru tersebut jika tidak ditemukan alternatif model pembelajaran lain. Beberapa pertemuan dilakukan, (lihat tabel 6) sehingga pada bulan Juni 1996 dicapai suatu perjanjian kerjasama antara P3GT Bandung dengan UNS untuk menyelenggarakan suatu uji coba model pembelajaran yang dinamakan Penataran Guru Terakreditasi Model Kualifikasi dengan Sistem Belajar Mandiri (PGTMKSBM). Pada saat itu disepakati pembagian kewenangan, sebagai berikut: 1) P3GT Bandung sebagai penyandang dana uji coba; 2) Puslitbangjari UNS sebagai pengembang model; dan 3) FKIP UNS sebagai penanggung jawab akreditasi bidang akademik.
Bulan Februari sampai dengan akhir Juli 1997, dilakukan uji coba tahap I terhadap 100 orang peserta dari Jawa Tengah dan 100 orang peserta dari Jawa Barat. Hasil uji coba ini dijadikan sebagai bahan penyempurnaan model. Pada bulan September 1997 sampai dengan akhir Januari 1998, dilaksanakan uji coba tahap II. Uji coba tahap kedua ini melibatkan kurang lebih 1800 orang peserta yang tersebar di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Pada saat tahap uji coba 2 masih berlangsung, tanggal 3 Agustus 1997, Kanwil Depag Jawa Barat melakukan kajian tentang model Penataran Guru Terakreditasi Model Kualifikasi dengan Sistem Belajar Mandiri ke P3GT Bandung. Pengkajian dilaksanakan di Lembang Bandung. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan tersebut, Kanwil Depag Jawa Barat didampingi P3GT Bandung ng ke UNS untuk menjajaki kemungkinan kerjasama perluasan penataran di lingkungan Departemen Agama Jawa Barat. Akhirnya di sepakati kerjasama antara UNS dengan Kanwil Depag Jawa Barat untuk memperluas penyelenggaraan penataran ke wilayah Banten (sekarang Propinsi). Kerjasama dengan Depag ini bertujuan untuk meningkatkan kualifikasi guru Madrasah Ibtidaiyah (D2) dan Madrasah Tsanawiyah (D3) untuk guru mata pelajaran Matematika, Fisika, Biologi dan Bahasa Inggris.
Pada tahap ini, pelaksanaannya tidak lagi melalui tahapan penataran, sehingga tidak lagi melibatkan P3GT Bandung. Namanya berubah menjadi Pendidikan Guru Model Kualifikasi dengan Sistem Belajar Mandiri (PGMKSBM). Program D2 dimulai pada bulan September 1997 dan berakhir pada tahun 1999 melalui dua tahapan wisuda. Wisuda tahap I dilakukan pada 19 Juni 1999 dan wisuda tahap II dilakukan pada tanggal 13 Nopember 1999.
Pelaksanaan program D3 dimulai pada bulan Desember 1997 dan berakhir pada tanggal 14 April 2001. Sejak tahun 2001 sampai penelitian ini dilakukan, kerjasama antara UNS dengan P3GT Bandung, Kanwil Departemen Agama Jawa Barat dan atau instansi lain masih berlangsung. Namun, mengingat penelitian ini dibatasi hanya sampai pelaksanaan PGMKSBM di wilayah Banten, maka sejarah PGMKSBM pasca tahun 2001 tidak dapat dijelaskan dalam penelitian ini.
3. Pengertian PGMKSBM
Mengacu pada deskripsi temuan yang digambarkan dalam table 5 halaman 69 dan bagan 3 halaman 70, tampak jelas bahwa yang dimaksud dengan Pendidikan Guru Model Kualifikasi dengan Siste, Belajar Mandiri (PGMKSBM) adalah suatu inovasi pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kualifikasi guru, bagi guru yang sedang berstatus aktif mengajar tapi belum memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan dengan tanpa harus meninggalkan pekerjaanya. Dengan pengertian ini, maka PGMKSBM dapat dikatakan sebagai program dalam jabatan (in-service). Artinya, program ini tidak berlaku bagi guru dalam status yang tidak aktif mengajar. Seperti digambarkan dalam bab sebelumnya, jelas sekali ditunjukkan bahwa antecedant program PGMKSBM adala para guru yang sedang aktif mengajar. Guru yang sedang aktif mengajar ini mengikuti proses pembelajaran yang dinamakan PGMKSBM yang mengoptimalkan pengetahuan bawaaan, pengalaman, dan lingkungan. Tujuannya adalah meningkatnya kinerja guru dan hasil belajar.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ciri khas (karakteristik) dari PGMKSBM adalah bahwa 1) PGMKSBM bukan program prajabatan (pre-service training) tapi program dalam jabatan (in-service training); 2) PGMKSBM tidak menitikberatkan pada tatap muka, tapi pada belajar mandiri dalam bentuk tugas-tugas yang diintegrasikan dengan tugas keseharian mengajar di sekolah; 3) PGMKSBM menerapkan pendekatan ”collaborative action research” yaitu mensinergikan antara teori ke dalam praktek mengajar sehari-hari; 4) sumber penilaian diperoleh tidak hanya dari ujian tengah dan kahir semester, tapi juga dari portfolio dalam bentuk laporan mingguan dan bulanan; dan 5) teman sejawat dan kepala sekolah menjadi salah satu sumber dan mitra belajar.
B. Proses Difusi Inovasi PGMKSBM
Seperti dijelaskan dalam Bab II, proses difusi suatu inovasi dapat dilihat dari sisi saluran komunikasi, sistem social dimana difusi itu berlangsung, waktu dimana proses difusi terjadi serta tahapan keputusan adopsi inovasi terjadi. Demikian pula halnya dengan proses difusi inovasi PGMKSBM dapat digambarkan berdasarkan aspek-aspek tersebut.
1. Saluran Komunikasi, Sistem Sosial dan Waktu
Seperti terlihat dalam tabel 8 halaman 84, jenis saluran komunikasi yang paling banyak digunakan dalam mendifusikan inovasi PGMKSBM adalah saluran antar pribadi. Adapun bentuk komunikasinya meliputi kunjungan, rapat/pertemuan, loka karya, dan seminar. Seperti dibahas dalam Bab II, jelas bahwa komunikasi antar pribadi adalah cara yang efektif untuk tahap persuasi. Tampaknya pendekatan persuasif melalui saluran komunikasi antar pribadi inilah yang mendorong percepatan adopsi PGMKSBM oleh Kanwil Departemen Agama Jawa Barat.
Tabel 8 tersebut juga menunjukkan bahwa difusi inovasi PGMKSBM terjadi dalam tingkat organisasi. Organisasi yang terlibat dalam proses difusi inovasi tersebut antara lain adalah: 1) Universitas Negeri Sebelas Maret berikut jajaran didalamnya; 2) Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis Bandung; 3) Direktorat Guru dan Tenaga Teknis (Dikgutentis); 4) Kanwil Departemen Agama Jawa Barat; 5) Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah; 6) Balai Penataran Guru se-Indonesia; 7) Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan 8) Lembaga Pendidikan Tinggi dan Kejuruan (LPTK) se-Indonesia. Jadi, jika dilihat dari sisi sistem sosial maka faktor orgaisasi dan termasuk ”opinion leader” di dalamnya yang mempengaruhi kecepatan adopsi inovasi PGMKSBM. Hal ini membuktikan kebenaran teori yang diungkapkan oleh Rogers, seperti dijelaskan dalam Bab II, bahwa level organisasi apalagi yang bersifat ”top-down” berpengaruh terhadap kecepatan adopsi suatu inovasi.
Sementara itu, seperti terlihat dalam bagan 4 halaman 87, apabila dilihat dari sisi waktu maka perintisan PGMKSBM antara UNS dan P3GT Bandung terjadi selama 4 bulan. Pertemuan pertama antara Puslitbangjari UNS dengan P3GT Bandung terjadi pada bulan Maret 1996 dan penanda tanganan kerjasama terjadi pada bulan Juni 1996. Namun, demikian proses difusi inovasi PGMKSBM antara UNS dengan P3GT Bandung untuk melaksanakan kualifikasi guru setara D2 melalui PGMKSBM, sampai penelitian ini dilakukan masih terus berjalan.
Sementara itu difusi inovasi PGMKSBM oleh UNS dan P3GT Bandung terhadap Kanwil Depag Jawa Barat memakan waktu selama 18 bulan (1,5 tahun), yaitu dari bulan Maret 1996 – Agustus 1997. Pelaksanaan PGMKSBM kerjasama antara UNS, P3GT Bandung dan Kanwil Depag Jawa Barat untuk program D2 dan D3 di wilayah Banten berakhir pada bulam Pebruari 2001. Sejak tahun 2001, adopsi inovasi PGMKSBM untuk program D2 dan D3 bagi guru-guru MI dan MTs di wilayah Banten tidak berlanjut (discontinuance).
2. Tahapan Keputusan Difusi Inovasi PGMKSBM
Rogers, seperti telah dijelaskan dalam Bab II, menjelaskan bahwa tahapan keputusan adopsi inovasi terjadi dalam 5 tahap, yaitu: (1) tahap pencanangan; (2) tahap pencocokan; (3) tahap redefinisi/restrukturisasi; (4) tahap klarifikasi; dan (5) tahap rutinisasi. Seperti terlihat dalam bagan 4 halaman 87, terlihat jelas bahwa sebenarnya proses difusi inovasi terjadi pada dua organisasi, yaitu (1) antara Puslitbangjari UNS dengan P3GT Bandung; dan 2) antara Pusltibangjari UNS dengan Kanwil Departemen Agama Jawa Barat. Tahapan keputusan adopsi inovasi PGMKSBM dalam masing-masing isntitusi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Tahapan Keputusan Adopsi Inovasi PGMKSBM oleh P3GT Bandung
Tahap keputusan adopsi inovasi PGMKSBM oleh P3GT Bandung hanya terjadi sampai tahap klarifikasi. Adopsi PGMKSBM tidak terjadi sampai tahap rutinisasi. Secara lebih rinci keputusan adopsi inovasi PGMKSBM oleh P3GT Bandung dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tahap 1: Pencanangan Agenda (Agenda Setting). Pencanangan agenda oleh P3GT Bandung didorong oleh adanya kebutuhan bahwa P3GT Bandung membutuhkan inovasi pendidikan yang dapat membantu meningkatkan kualifikasi bagi 600.000 guru se-Indonesia yang sudah mengajar tapi belum memenuhi kualifikasi D2. Jika dilakukan dengan pola pendidikan konvensional akan memakan waktu kurang lebih 30 tahun lamanya. Prof. Yusufhadi Miarso, M.Sc. yang pada waktu itu berperan sebagai konsultan P3GT Bandung mengusulkan pihak P3GT untuk bertemu dengan pihak Puslitbangjari UNS. Puslitbangjari UNS adalah lembaga penelitian yang telah lama mengembangkan model pendidikan dengan sistem belajar mandiri. Pada saat bersamaan, Puslitbangjari UNS saat itu sedang merintis model Penataran Guru Terakreditasi dengan Sistem Belajar Mandiri di Kecamatan Pasarkliwon (lihat sejarah singkat PGMKSBM).
Tahap 2: Pencocokan (Matching). Upaya pencocokan kebutuhan akan model pendidikan alternatif yang inovatif ke Puslitbangjari UNS dilakukan dengan kunjungan. Seperti terlihat dalam tabel 6, pertemuan terjadi dua kali. Pertemuan pertama dilakukan pada tanggal 29 Maret 1996 untuk menjajaki kemungkinan dilakukannya kerjasama. Pertemuan kedua dilakukan pada tanggal 26 April 1996 yang berhasil menyusun kerangka operasional program penyetaraan D2 dengan sistem belajar mandiri. Selanjutnya keputusan untuk mengadopsi model penataran dengan sistem belajar mandiri terjadi dengan ditanganinya naskah perjanjian kerjasama antara P3GT Bandung dengan UNS pada bulan Juni 1996.
Tahap 3: Redefinisi/Restrukturisasi. Restrukturisasi / redefinisi dilakukan dengan cara melakukan lokakarya dan penyusunan paket ajar dan pengakreditasiannya. Lokakarya pertama dilakukan pada tanggal 18 sampai dengan 21 Nopember 1996. Lokakarya tersebut menghasilkan model penataran yang dinamakan dengan Penataran Guru Terakreditasi Model Kualifikasi dengan Sistem Belajar Mandiri (PGTMKSBM) beserta perangkatnya yang meliputi: deskripsi program D2, dan silabi/GBPP untuk semester I. Penyusunan paket pembelajaran dilakukan mulai bulan Oktober s/d Desember 1996 dan menghsilkan paket pembelajaran untuk mata tataran: kependidikan, Pendidikan IPA, Pendidikan Matematika 1, Pendidikan IPS 1, Olah Raga dan Kesehatan, PPkn 1 dan Bahasa Indonesia.
Tahap 4: Klarifikasi. Klarifikasi dilakukan dengan cara melaksanakan uji coba. Uji coba tahap 1 dilakukan mulai 1 Februari s/d 31 Juli 1997 di Jawa Barat dan Jawa Tengah dengan melibatkan masing-masing 100 orang peserta. Kemudian, hasil ujicoba tahap 1 diseminarkan untuk disempurnakan pada bulan April 1997. Sementara peserta uji coba tahap 1 memasuki semester 2, uji coba tahap 2 dilakukan mulai 1 September 1997 s/d 30 Januari 1998. Kali ini melibatkan peserta yang lebih banyak, 1800 orang peserta yang tersebar di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Setelah tahap ini belum masuk ke tahap rutinisasi.
b. Tahapan Keputusan Adopsi Inovasi PGMKSBM oleh Kanwil Depag Jawa Barat
Tahap keputusan adopsi inovasi PGMKSBM oleh Kanwil Depag Jawa Barat terjadi sampai tahap terakhir, yaitu tahap rutinisasi. Penjelasan lebih rinci dapat digambarkan sebagai berikut:
Tahap 1: Pencanangan Agenda (Agenda Setting). Pencanangan agenda adopsi PGMKSBM oleh Kanwil Depag Jawabarat terjadi pada tahun 1997 yang didorong oleh adanya kenyataan bahwa hampir sebagian besar guru-guru Madrasah Ibtidaiyah (MI) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) di lingkungan Departemen Agama Jawa Barat belum memenuhi kualifikasi D2. Kanwil Departemen Agama pada saat itu memandang perlu adanya suatu model pendidikan yang dapat memecahkan masalah tersebut secara efektif dan efisien.
Tahap 2: Pencocokan (Matching). Tahap pencocokan dilakukan melalui dua kegiatan. Pertama, Kanwil Depag Jawa Barat pada bulan Agustus 1997 menngi P3GT Bandung untuk melakukan pengkajian terhadap PGTMKSBM yang sedang diuji cobakan oleh P3GT Bandung dan UNS di Propinsi Jawa Tengah. Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan dimana pihak Kanwil Depag bersama dengan P3GT Bandung bersedia untuk berkunjung ke UNS dalam rangka menjajaki kemungkinan kerjasama melakukan perluasan penataran di lingkungan Kanwil Depag Jawa Barat. Selanjutnya, pada tanggal 29 Agustus 1997, Kanwil Depag Jawa Barat bersama-sama dengan P3GT Bandung berkunjung ke UNS untuk membahas kemungkinan kerjasama. Hasil dari pertemuan ini adalah kesediaan UNS untuk memperluas penataran di lingkungan Kanwil Depag Jawa Barat.
Tahap 3: Redefinisi/Restrukturisasi. Pada tahap ini terjadi dua bentuk redefinisi/strukturisasi. Pertama, restrukturisasi PGMKSBM untuk program D2 dilakukan dengan cara melakukan analisis kurikulum D2 Pendidikan Agama Islam dan penyusunan deskripsi program kualifikasi. Kegiatan ini terjadi pada bulan Agustus sampai dengan September 1997. Kedua, restrukturisasi PGMKSBM untuk program D3 mata pelajaran Biologi, Fisika, Matematika dan Bahasa Inggris. Inti dari restrukturisasi untuk program D3 ini adalah melakukan persiapan untuk program D3. Kegiatan yang dilakukan adalah: 1) melakukan rapat persiapan pertama antara Puslitbangjari dan fungsionaris FKIP UNS mengenai persiapan pelaksanaan program D3 (13 September 1997); 2) melakukan rapat persiapan kedua dalam rangka mempersiapkan loka karya penyusunan kurikulum untuk program D3 (20 September 2003); 3) melakukan pralokakarya pengembangan kurikulum dan identifikasi calon penulis paket pembelajaran (27 September 1997); dan 4) melaksanakan loka karya penyusunan GBPP/Silabi dan Paket Pembelajaran (29 – 30 September 1997).
Tahap 4: Klarifikasi. Pada tahap ini terjadi tiga tahap pelaksanaan PGMKSBM. Pertama, pelaksanaan uji coba tahap 1 untuk program D2 sebanyak 100 orang peserta dari Jawa Barat (Februari – Juli 1997). Kedua, sementara peserta uji coba tahap 1 memasuki semester II, uji coba tahap 2 untuk program D2 mulai memasuki semester I (September 1997 – Januari 1998). Terakhir, pelaksanaan semester I untuk program D3 (Desember 1997 – Juni 1998).
Tahap 5: Rutinisasi. Pada tahap ini, program D2 dan D3 terus dilanjutkan. Pada tahun 1999 kedua program tersebut untuk wilayah Banten berakhir. Namun demikian, kerjasama antara UNS dan Depag di wilayah lain di Indonesia berlanjut. Begitu pula halnya dengan kerjasama antara P3GT dengan UNS dan P3GT dengan LPTK lain di wilayah lain di Indonesia juga berlanjut.
C. Penyelenggraan PGMKSBM di Propinsi Banten
Penyelenggaraan PGMKSBM di Propinsi Banten dapat dijelaskan dengan pertama-tama membahas rasional penyelenggaraan sebelum seanjutnya membahas penyelenggaraannya itu sendiri.
1. Rasional Penyelenggaraan PGMKSBM di Propinsi Banten
Seperti dideskripsikan dalam Bab sebelumnya, terlihat jelas bahwa rasional penyelenggaraan PGMKSBM di Propinsi Banten didasarkan atas adanya kenyataan di lapangan bahwa: 1) masih banyaknya guru Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah yang belum memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan; 2) guru-guru tersebut dalam kondisi aktif mengajar sehingga tidak mungkin meninggalkan tugas mengajar; dan 3) guru-guru tersebut tersebar dibeberapa daerah yang jauh dari lembaga pendidikan tinggi. Tabel 9 halaman 95, menggambarkan dengan jelas bahwa di Kabupaten Pandeglang saja terdapat 1301 guru Madrasah Ibtidaiyah dan 1815 guru Madrasah Tsanawiyah. Guru-guru Madrasah Ibtidaiyah yang telah memenuhi kualifikasi D2 atau diatasnya baru mencapai 3%. Sisanya, 97%, belum memenuhi kualifikasi. Sementara itu, guru-guru Madrasah Tsanawiyah yang telah memenuhi kualifikasi D3 atau diatasnya, baru mencapai 8%, 92% lainnya belum memenuhi kualifikasi. Dengan demikian jumlah guru MI dan MTs yang telah memenuhi kualifikasi masih sangat sedikit, yaitu 11%. Jadi, sebelum mendapat program PGMKSBM, masih terdapat 89% guru MI dan MTs yang masih belum memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan. Situasi yang sama , seperti dungkapkan oleh Kepala Seksi Perguruan Agama Islam Kandepag Kabupaten Pandeglang (lihat halaman 95), juga terjadi di Kabupaten Lebak, dan Serang.
Di sisi lain, pada saat bersamaan Puslitbangjari UNS menawarkan program inovatif, yaitu PGMKSBM. PGMKSBM ini dianggap sebagai inovasi yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan dalam rangka meningkatkan kualifikasi guru MI dan MTS oleh Kanwil Departemen Agam Jawa Barat. Sehingga, PGMKSBM diadopsi untuk diselenggarakan di wilayah Banten. Lihat kembali Bagan 4, tahapan keputusan adopsi inovasi dihalaman 87.
2. Penyelenggaraan PGMKSBM di Propinsi Banten
Penyelenggaraan PGMKSBM dapat digambarkan dari dua sisi, yaitu: (1) sistem pembelajaran; dan (2) proses pembelajaran.
a. Sistem Pembelajaran
Seperti telah dideskripsikan pada Bab IV halaman 96 – 107, terlihat jelas bahwa sistem pembelajaran PGMKSBM Sistem pembelajaran dapat dijelaskan kedalam lima komponen, yaitu: 1) tujuan; 2) sasaran; 3) kurikulum dan garis besar struktur program; 4) bahan ajar; 5) sistem evaluasi; 6) tenaga pengajar; 7) mekanisme pengelolaan PGMKSBM; dan 8) perangkat pengelolaan PGMKSBM.
PGMKSBM di Propinsi Banten diselenggarakan dengan tujuan untuk membantu pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui peningkatan kualifikasi guru. Sementara sasaran PGMKSBM adalah bagi guru SD/MI yang belum memenuhi kualifikasi D2 dan guru SLTP/MTS yang belum memenuhi kualifikasi D3 dimana guru-guru tersebut sedang dalam status aktif mengajar sehingga tidak memungkinkan mengikuti pendidikan konvensional yang mengharuskan mereka meninggalkan tugas mengajarnya sehari-hari. Pernyataan ini menunjukkan bahwa PGMKSBM tidak berlaku untuk mereka yang dalam status tidak aktif mengajar atau belum mengajar (pre-service training).
PGMKSBM tidak mengembangkan kurikulum baru. Tapi, tetap menggunakan atau mengacu pada kurikulum D2 dan D3 reguler. Walaupun demikian, dengan mengacu pada kurikulum reguler, struktur program pendidikannya dirancang dan dikembangkan sedemikian rupa sesuai dengan karakteristik peserta dan sistem belajar mandiri.
Bahan ajar yang digunakan dalam PGMKSBM dinamakan paket pembelajaran. Paket pembelajaran untuk setiap mata kuliah terdiri atas dua buku, yaitu: 1) Buku Materi (BM); dan 2) Buku Tugas (BT). Buku Materi (BM) berisi tentang data dan atau konsep berkaitan dengan mata kuliah serta cara mengajarkannya kepada siswa. Buku Tugas (BT) berisikan tentang tugas-tugas mandiri baik individu maupun kelompok. Sebagai panduan belajar, peserta dibekali pula dengan satu buku pedoman umum pembelajaran (PUP). PUP disusun berdasarkan program studi dan berisikan tentang : 1) Daftar Tebaran Mata Kuliah; 2) Deskripsi Singkat setiap Mata Kuliah; dan 3) Pedoman Pelaksanaan Pembelajaran dan Peningkatan Kemampuan Mengajar.
Sistem penilaian PGMKSBM dapat diklasifikasikan kedalam enam kelompok: 1) penilaian terhadap hasil belajar mandiri secara individu dalam bentuk Laporan Hasil Pembelajaran Individu (LHP1); 2) penilaian terhadap hasil belajar mandiri secara kelompok dalam bentuk Laporan Hasil Pembelajaran Kelompok (LHP2); 3) penilaian terhadap hasil peningkatan kemampuan mengajar (PKM) untuk setiap mata pelajaran yang dibinanya dalam bentuk Laporan Evaluasi Kegiatan Mengajar Sehari-hari (EKMS) dan Laporan Evaluasi Kegiatan Mengajar Lengkap (EKML); 4) penilaian terhadap hasil Ujian Tengah Semester (UTS); 5) penilaian terhadap hasil Ujian Akhir Semester (UAS); dan 6) penilaian terhadap hasil karya ilmiah/tulis.
Dalam program PGMKSBM, tenaga pengajar diistilahkan dengan Dosen Kunjung. Dosen kunjung secara reguler, sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan memberikan kuliah tatap muka di satu lokasi yang telah ditentukan. Untuk mengelola kegiatan pembelajaran, dibentuk dua tim pengelola yang dinamakan kelompok kerja. Kedua kelompok kerja tersebut adalah: 1) Kelompok Kerja Konsorsium (K3) yang berpusat di Puslitbangjari UNS/FKIP UNS; dan 2) Kelompok Kerja Daerah (K2D). K2D terdapat di setiap Kabupaten/Kotamadya. Dengan demikian, di propinsi Banten terdapat tiga Kelompok Kerja Daerah, yaitu: 1) Kelompok Kerja Daerah Kabupaten Serang; 2) Kelompok Kerja Daerah Kabupaten Lebak; dan 3) Kelompok Kerja Daerah Kabupaten Pandeglang. Kedua kelompok kerja tersebut, baik K3 maupun K2D diangkat langsung oleh Rektor UNS melalui Surat Keputusan Rektor.
Perangkat pengelolaan PGMKSBM dapat dikelompokkan kedalam enam kelompok, yaitu: 1) kurikulum pendidikan program D2 dan D3; 2) pedoman penyusunan bahan ajar atau paket pembelajaran; 3) pedoman umum pembelajaran (PUP); 4) struktur organisasi K3 dan K2D serta tugas dan kewenangannya; 5) mekanisme kerja K3 dan K2D; dan 6) perangkat administrasi akademik dan pengajaran.
b. Proses Pembelajaran
Proses pembelajaran PGMKSBM dapat dikelompokkan kedalam tiga kegiatan: 1) belajar mandiri secara individu; 2) belajar mandiri secara kelompok; 3) kuliah tatap muka; dan 4) program peningkatan kemampuan mengajar dan praktek pengalaman lapangan (PKM/PPL) .
Dalam belajar mandiri secara individu, setelah mempelajari program pembelajaran satu semester dalam bentuk buku Pedoman Umum Pembelajaran (PUP), peserta membuat program kegiatan belajar individu. Setelah itu, sesuai dengan program kegiatan belajar individu yang telah dibuatnya, peserta mempelajari paket pembelajaran. Paket pembelajaran tersebut terdiri dari dua buku, yaitu: 1) Buku 1, merupakan Buku Materi (BM); dan 2) Buku 2, merupakan Buku Tugas (BT). Pertama-tama peserta mempelajari buku 1 (buku materi) beserta latihan-latihannya. Setelah itu peserta mengerjakan tugas-tugas individu yang ada dalam buku 2 (buku tugas). Peserta, kemudian membuat rekapitulasi hasil pengerjaan tugas-tugas belajar mandiri secara individu dengan menggunakan format Laporan Hasil Pembelajaran 1 (LHP1). Terakhir, peserta mengumpulkan LHP1 tersebut secara reguler sesuai jadwal. Hasil analisis data kuesioner, seperti ditunjukkan dalam tabel 10 halaman 103, terlihat jelas bahwa sebagian besar peserta (46,3%) melakukan belajar mandiri secara individu sebanyak satu kali dalam seminggu. Sebagian kecil lainnya (15,7%), ada yang melakukan belajar mandiri secara individu sebanyak dua kali dalam seminggu. Tapi, ada pula peserta (38%) yang dalam seminggu tidak melakukan belajar mandiri sekalipun. Kemungkinan mereka belajar hanya ketika diskusi kelompok atau kuliah tatap muka.
Dalam belajar mandiri secara kelompok, setelah mempelajari buku Panduan Umum Pembelajaran, peserta secara kelompok membuat program kegiatan belajar kelompok. Kemudian, sesuai dengan jadwal kegiatan belajar kelompok, peserta dalam kelompok masing-masing melakukan diskusi kelompok. Kemudian secara berkala, peserta membuat laporan kegiatan belajar kelompok tersebut dengan menggunakan format Laporan Hasil Pembelajaran 2 (LHP2). Berdasarkan data hasil analisis terhadap kuesioner seperti terlihat dalam tabel 11 halaman 104, terlihat jelas bahwa sebagian besar peserta (51,9%) melakukan diskusi kelompok sebanyak dua kali dalam sebulan, sisanya (48,1%) melakukannya satu kali dalam sebulan. Sementara itu, dari sisi tingkat kehadiran, sebagian besar peserta (39,8%) menyatakan bahwa tingkat kehadiran mereka dalam diskusi kelompok adalah 50% hadir. 33,3% menyatakan bahwa tingkat kehadirannya adalah 75%. 20,4% peserta lainnya menyatakan bahwa tingkat kehadirannya adalah dibawah 50%. Hanya 6,5% saja dari peserta yang menyakan tingkat kehadirannya dalam diskusi kelompok sebesar 100%. Dari sisi, partisipasi aktif peserta ketika melakukan diskusi kelompok, 48,15% dari peserta menyatakan 75% aktif. 38,89% menyatakan 50% aktif. Sebagian kecil yang lainnya (12,96%) menyatakan dibawah 50% aktif. Data ini menggambarkan bahwa motivasi peserta untuk belajar mandiri secara kelompok dapat dikatakan rendah. Di samping itu, seperti terlihat dalam tabel 12 halaman 105, peserta justeru lebih banyak mengerjakan tugas individu dan tugas kelompok dibandingkan dengan mendiskusikan masalah-masalah mengajar dan mencari solusinya (problem solving).
Kuliah tatap muka dilakukan dua kali dalam sebulan oleh dosen kunjung. Pada dasarnya kuliah tatap muka ditujukan untuk mendiskusikan (tanya jawab) tentang materi yang sulit. Namun, dalam pelaksanaannya, nampaknya kuliah tatap muka masih dijadikan sebagai tumpuan. Artinya, peserta menganggap belajar justeru terjadi pada saat kuliah tatap muka tersebut. Masalah kemandirian belajar seperti ini nampaknya yang masih menjadi sisi lemah atau faktor penghambat keberhasilan PGMKSBM.
Disamping itu, PGMKSBM juga menerapkan strategi lain untuk memastikan kualitas proses pembelajaran yang dinamakan Program Peningkatan Kemampuan Mengajar dan Praktek Pengalaman Lapangan (PKM/PPL). Program PKM/PPL dikelompokkan kedalam dua jenis kegiatan: 1) Evaluasi Kegiatan Mengajar Sehari-hari (EKMS); dan 2) Pelaksanaan Kegiatan Mengajar secara Lengkap (PKML). Pelaksanaan EKMS bertujuan agar para peserta dapat mengevaluasi pelaksanaan kegiatan mengajarnya sehari-hari dan memperbaiki proses pembelajarannya tersebut. Langkah-langkah yang harus dilakukan peserta adalah: 1) setiap sebulan sekali, peserta melakukan evaluasi terhadap salah satu peristiwa pembelajaran (2 jam pembelajaran) yang ia lakukan; 2) peserta mengisi format EKMS1 yang berisikan data tentang identitas peserta, waktu kegiatan mengajar dan pokok/sub pokok bahasan yang dievaluasi; 3) peserta membuat laporan hasil evaluasi dengan menggunakan format EKMS2; dan 4) dengan menggunakan format EKMS3, peserta menentukan nilai terhadap hasil evaluasi kegiatan mengajar sehari-harinya tersebut.
Pelaksanaan kegiatan mengajar lengkap (PKML) dilakukan 3 bulan sekali. Tujuannya adalah agar peserta dapat megaplikasikan langsung antara teori yang diperolehnya dalm kelompok mata kuliah dasar kekhususan dan proses belajar mengajar (MKDK/PBM) dengan praktek mengajar di lapangan. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 1) peserta melakukan kegiatan mengajar secara utuh yang dimulai dari penyiapan rancangan stratedi pembelajaran / rancangan pembelajaran (RSP/RP); 2) bersama teman sejawat mendiskusikan/mengkaji setiap kompnen dari RSP/RP tersebut; 3) peserta menerapkan rancangan tersebut dalam kelas; 4) dengan menggunakan format PKML, pelaksanaan mengajar peserta tersebut di observasi/dievaluasi oleh teman sejawat dan atau kepala sekolah; dan 5) diakhiri dengan membuat laporan PKML.
3. Keberhasilan PGMKSBM di Propinsi Banten
Keberhasilan PGMKSBM di Propinsi Banten dapat dilihat dari berbagai segi: 1) kuantitas lulusan; 2); peningkatan penguasaan materi 3) peningkatan kinerja peserta; dan 4) peningkatan hasil belajar siswa.
a. Kuantitas Lulusan
Seperti ditunjukkan dalam tabel 13, 14 dan 15 halaman 109, terlihat bahwa program D2 PGMKSBM telah meluluskan 590 peserta (92,2%) dari total peserta sebanyak 640 orang. Sedangkan untuk program D3 telah meluluskan 329 (94,54%) dari 348 peserta secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kelulusan program PGMKSBM di Propinsi Banten dapat dikatakan tinggi. Sementara itu, prosentase kelulusan tertinggi terjadi pada program studi D3 IPA. Prosentase kelulusan terendah terjadi pada program studi D3 Bahasa Inggris.
Jika dilihat dari statistik Departemen Agama Kabupaten Pandeglang, jumlah guru MI dan MTs yang telah memenuhi kualifikasi D3 dan atau D2 sebelum adanya program PGMKSBM adalah 11%. Setelah adanya program PGMKSBm meningkat menjadi 44%. Jadi kebutuhan akan guru MI dan MTs yang berkualifikasi D2 Kabupaten Pandeglang telah mengalami peningkatan sebesar 23%. Sementara itu, untuk guru MTs yang berkualifikasi D3 telah meningkat sebesar 10,15% dari sebelumnya yang hanya sebesar 8%.
b. Peningkatan Penguasaan Materi
Seperti ditunjukkan dalam tabel Tabel 16 halaman 110, terlihat bahwa peningkatan penguasaan materi bervariasi antara 18,15% sampai dengan 35,50. Secara kumulatif, rata-rata penguasaan materi peserta sebelum mengikuti PGMKSBM adalah 46,70%. Setelah mengikuti PGMKSBM meningkat 25,99% menjadi 72,69%.
Untuk program studi D2, rata-rata penguasaan materi sebelum PGMKSBM sebesar 53,33%. Setelah mengikuti PGMKSBM, rata-rata penguasaan materi meningkat 22,47% menjadi 75,80%. Secara lebih rinci, penguasaan materi untuk mata kuliah kependidikan atau proses belajar mengajar meningkat 18,90%. Untuk mata kuliah kelompok bidang studi sosial dan bahasa meningkat 27% dan untuk mata kuliah kelompok bidang studi eksakta/MIPA meningkat 21,50%.
Untuk program studi D3 IPA, rata-rata penguasaan materi sebelum PGMKSBM sebesar 39%. Setelah mengikuti PGMKSBM rata-rata penguasaan materi meningkat 30,77% menjadi 69,77%. Sementara itu, Penguasaan materi untuk mata kuliah kependidikan atau proses belajar mengajar meningkat 21,50%. Untuk mata kuliah kelompok bidang studi Biologi meningkat 35,30% dan untuk mata kuliah bidang studi Fisika meningkat 35,50%.
c. Peningkatan Kinerja
Berdasarkan jejak pendapat yang dilakukan oleh pihak UNS terhadap Kepala Sekolah (N = 100), 93% menyatakan bahwa pendidikan yang ditempuh dengan program PGMKSBM berpengaruh positif terhadap kinerja guru, 13 % menyatakan kadang-kadang mengganggu kegiatan sekolah, dan 89% menyatakan meningkatkan kemampuan mengajar.
Berdasarkan data hasil analisis terhadap kuesioner seperti terlihat dalam tabel 17 halaman 112, menunjukkan bahwa manfaat program PGMKSBM terhadap pekerjaan guru di lapangan secara berturut-turut adalah: 1) peningkatan dalam penguasaan akan materi mengajar; 2) peningkatan dalam penguasaan metodologi mengajar; 3) perubahan dalam cara/kebiasaan mengajar; 3) peningkatan dalam disiplin kerja; 4) peningkatan dalam kebiasaan berdiskusi.memcahkan masalah mengajar; 5) keterbukaan dalam berpikir dan menerima pendapat orang; dan 6) peningkatan dalam kebiasaan membaca.
d. Peningkatan Hasil Belajar Siswa
Berdasarkan hasil EBTA/EBTANAS yang dicapai oleh sekolah yang gurunya mengikuti program PGMKSBM menunjukkan adanya pengaruh terhadap peningkatan nilai rata-rata EBTA/EBTANAS dari tahun ke tahun. Dari tahun 1996 (sebelum PGMKSBM) sampai dengan tahun 2000 (ketika PGMKSBM), Madrasah Ibtidaiyah mengalami rata-rata peningkatan nilai EBTANAS sebesar 1,83. sedangkan untuk Madrasah Tsanawiyah mengalami rata-rata peningkatan sebesar 1,01.
4. Faktor Pendukung dan Penghambat Keberhasilan PGMKSBM di Propinsi Banten
a. Faktor-Faktor Pendukung
Seperti ditunjukkan dalam tabel 18 halaman 114, terlihat jelas bahwa faktor utama pendukung keberhasilan PGMKSBM di Propinsi Banten adalah karakteristik dari inovasi PGMKSBM itu sendiri, yang meliputi: 1) PGMKSBM relatif lebih unggul dibandingkan dengan pola pendidikan konvensional; 2) PGMKSBM sesuai dengan kondisi (compatible) dan kebutuhan guru di lingkungan Departemen Agama wilayah Banten; dan 3) pola belajar melalui PGMKSBM cukup luwes (flexible), peserta dapat belajar mandiri secara individu maupun keompok sesuai dengan kondisi yang dihadapinya kapan saja dan dimana saja.
Kedua, adalah adanya dukungan dana dan kebijakan. Departemen Agama pada saat itu memperoleh bantuan dana pinjaman dari Bank Dunia dan mengeluarkan kebijakan kerjasama penyelenggaran program penyetaraan guru sehingga PGMKSBM tersebut dapat terselenggara dan peserta mengikutinya tanpa dipungut biaya. Terakhir adalah adanya dukungan pengalaman dari penyelenggara. PGMKSBM dikelola oleh institusi pengembang pendidikan dengan sistem belajar mandiri, yaitu Pusat Penelitian dan Pengembangan Belajar Mandiri (PUSLITBANGJARI) Universitas Sebelas Maret. Puslitbangjari UNS adalah satu-satunya institusi yang khusus meneliti dan mengembangkan penerapan sistem belajar mandiri di Indonesia.
b. Faktor Penghambat
Ada beberapa faktor penghambat keberhasilan penyelenggaraan PGMKSBM di Propinsi Banten. Seperti ditunjukkan dalam tabel 19 halaman 116, dapat diidentifikasi bahwa faktor-faktor penghambat penyelenggaraan PGMKSBM di Propinsi Banten meliputi: (1) rendahnya motivasi belajar (kesiapan belajar mandiri); (2) jarak dan biaya transportasi untuk pergi dan pulang dari dan ke lokasi diskusi kelompok dan kuliah tatap muka; (3) ketidak sesuaian latar belakang pendidikan dan mata pelajaran yang diampu dengan program studi yang diikuti; (4) rendahnya kualitas bahan belajar; dan (5) pengelolaan PGMKSBM secara keseluruhan.
Rendahnya frekuensi dan partisipasi aktif peserta dalam aktifitas belajarRendahnya motivasi belajar ditunj mandiri dan kuliah tatap muka menunjukkan lemahnya motivasi belajar atau kesiapan belajar mandiri peserta. Peserta, nampaknya hanya mengandalkan kuliah tatap muka sebagai satu-satunya waktu belajar. Seperti ditunjukkan dalam tabel 20 halaman 118, terlihat bahwa sebagaian besar responden (50%) menyatakan bahwa dalam seminggu masih ada mahasiswa yang tidak mempelajari buku paket sama sekali dan 39% responden lainnya menyatakan mahasiswa mempelajarinya satu kali dalam seminggu. Hanya 9% responden yang menyatakan mahasiswa mempelajari buku paket dua kali dalam seminggu. Begitu pula halnya dengan pengerjaan tugas dan latihan yang ada dalam buku paket. Sebagian besar dari responden (48%) menyatakan bahwa masih ada yang tidak mengerjakan tugas sekalipun dalam seminggu. 47%, responden lainnya menyatakan bahwa mahasiswa mengerjakan tugas satu kali dalam seminggu. Sementara, 5% responden lainnya menyatakan bahwa mahasiswa mengerjakan tugas dua kali dalam seminggu.
Fenomena yang sama terjadi juga pada belajar mandiri secara kelompok (diskusi kelompok). Sebagian besar dari responden (71,3%) menyatakan bahwa prosentase kehadiran mahasiswa dalam diskusi kelompok adalah 50%. Bahkan, 14,8% responden lainnya menyatakan bahwa prosentase kehadiran mahasiswa dalam diskusi kelompok adalah dibawah 50%. Hanya 13,9% responden yang menyatakan prosentase kehadiran mahasiswa dalam diskusi kelompok sebesar 75%. Begitu pula halnya dengan tingkat partisipasi aktif dalam diskusi kelompok. Sebagaian besar dari responden (71,3%) menyatakan bahwa tingka partisipasi aktif mahasiswa dalam diskusi kelompok adalah 25%. Sementara, 26,9% responden lainnya menyatakan 50% dan 1,85% lainnya menyatakan 75%.
Masalah yang sama terjadi pula dalam kuliah tatap muka. Sebagian besar responden (64,8%) menyatakan bahwa prosentase kehadiran mahasiswa dalam kuliah tatap muka adalah 50%. Bahkan, 19,5% responden menyatakan prosentase kahadiran mahasiswa dalam kuliah tatap muka dibawah 50%. Hanya sebagian kecil lainnya, (15,7%) yang menyatakan prosentase kehadiran dalam kuliah tatap muka sebesar 75%. Begitu pula halnya dengan tingkat keaktifan dalam kuliah tatap muka. Sebagian besar responden (48,7%) menyatakan tingkat keaktifan dalam kuliah tatap muka dibawah 25%. 37% responden lainnya menyatakan tingkat keaktifan dalam kuliah tatap muka sebesar 25%. Hanya sebagian kecil responden (1,64%) yang menyatakan tingkat keaktifan mahasiswa dalam kuliah tatap muka sebesar 75%.
Faktor berikutnya yang merupakan penghambat keberhasilan penyelenggaraan PGMKSBM di Propinsi Banten adalah faktor jarak dan biaya transportasi. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam PGMKSBM peserta diharuskan melakukan kegiatan belajar mandiri secara kelompok dan tatap muka. Untuk melakukan hal ini, peserta perlu menempuh jarak dan biaya transportasi tertentu. Padahal kebanyakan dari peserta berstatus sebagai pegawai honorer dengan gaji yang kurang layak.
Tabel 21 halaman 120 menunjukkan bahwa sebagian besar responden (51,8%) menyatakan jarak dari tempat tinggal ke lokasi diskusi kelompok antara 10 – 20 kilo meter. Sementara itu, sebagain besar responden (38,9%) menyatakan jarak dari tempat tempat tinggal ke lokasi kuliah tatap muka antara 20 – 30 kilo meter. Faktor jarak ini berpengaruh pula terhadap biaya transportasi yang harus ditanggung mahasiswa untuk diskusi kelompok dan kuliah tatap muka. Sebagian besar responden (44,6%) menyatakan bahwa mahasiswa menghabiskan uang sebesar antara Rp. 10.000,- s/d Rp. 20.000,- untuk pulang dan pergi dari dan ke lokasi diskusi kelompok. Sedangkan untuk pulang dan pergi dari dan ke lokasi kuliah tatap muka, sebagain besar responden (47,7%) menyatakan menghabiskan uang sebesar anatara Rp. 20.000,- s/d 30.000,- . Jik dalam sebulan mahasiswa dua kali pergi ke lokasi kuliah tatap muka dan diskusi kelompok, maka sebagian besar mahasiswa akan menghabiskan uang antara Rp. 60.000,- s/d Rp.100.000,-. Sebagian besar mahasiswa adalah guru yang berstatus honorer dengan gaji rata-rata sekitar Rp. 300.000,- per bulan. Jadi, faktor ekonomi merupakan salah satu faktor penghambat yang cukup signifikan.
Faktor penghambat berikutnya adalah ketidak sesuaian antara latar belakang pendidikan dan mata pelajaran yang diampu dengan program studi yang diambil. Tabel 22 halaman 122 menjelaskan bahwa 1) tidak sesuainya latar belakang pendidikan dengan program studi yang diambil; dan 2) tidak sesuainya mata pelajaran yang diampu dengan program studi yang di ambil merupakan salah satu faktor penghambat. Pernyataan ini juga diperkuat oleh data yang diperoleh dari hasil kuesioner seperti terlihat dalam tabel 23 halaman 123 yang menunjukkan bahwa masih ada sebagian mahasiswa (sekitar 38%) yang mengikuti program studi yang tidak sesuai dengan mata pelajaran yang sedang diampunya.
Faktor penghambat selanjutnya adalah rendahnya kualitas bahan belajar yang tidak sesuai untuk sistem belajar mandiri. Hasil wawancara (lihat tabel 24 halaman 123) menunjukkan bahwa mahasiswa merasakan kesulitan dalam mempelajari bahan belajar yang disebabkan karena 1) materi terlalu teoretis; 2) terlalu singkat (seperti ringkasan); 3) sulit dipraktekkan; dan 4) hanya menjelaskan teori (what is), bukan cara mengajarkannya (how to) kepada siswa. Hasil analisis terhadap beberapa buku paket juga menunjukkan bahwa dari sisi komponen bahan belajar mandiri, buku paket yang digunakan PGMKSBM kurang memenuhi syarat sebagai bahan belajar mandiri. Dari 19 sampel buku yang berhasil di analisis, 9 diantaranya tidak mencantumkan tujuan pembelajaran, 5 diantaranya tidak memberikan contoh atau ilustrasi, 12 diantaranya tidak mencantumkan latihan dan 9 diantaranya tidak mencantumkan tugas. Satu-satunya syarat yang dipenuhi oleh ke-19 buku paket yang dianalisis tersebut adalah adanya uraian materi.
Faktor penghambat terakhir (seperti ditunjukkan oleh tabel 27 hlaman 126) adalah lemahnya pengelolaan yang disebabkan oleh: 1) tidak adanya tenaga pengelola yang secara khusus terlatih untuk mengurus segala hal yang berkaitan dengan pendidikan dengan sistem belajar mandiri; 2) lemahnya koordinasi/komunikasi antara pengelola pusat dengan daerah; 3) lemahnya sistem/mekanisme pendistribusian tugas ke pusat; 4) sulitnya komunikasi dengan tutor/dosen kunjung sehingga menyebabkan lemahnya interaksi (umpan balik tertunda); dan 5) lemahnya sistem seleksi masuk.
Kesimpulan
Pendidikan Guru Model Kualifikasi dengan Sistem Belajar Mandiri adalah suatu program pendidikan dalam jabatan (in-service training) yang bertujuan untuk meningkatkan kualifikasi guru (D2 dan D3), bagi guru yang sedang berstatus aktif mengajar tapi belum memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan dengan tanpa harus meninggalkan pekerjaanya. PGMKSBM memiliki karakteristik sebagai berikut: 1) PGMKSBM bukan program prajabatan (pre-service training) tapi program dalam jabatan (in-service training); 2) PGMKSBM tidak menitikberatkan pada tatap muka, tapi pada sistem belajar mandiri dalam bentuk tugas-tugas yang diintegrasikan dengan tugas keseharian mengajar di sekolah; 3) PGMKSBM menerapkan pendekatan ”collaborative action research” yaitu mensinergikan antara teori ke dalam praktek mengajar sehari-hari; 4) sumber penilaian diperoleh tidak hanya dari ujian tengah dan akhir semester, tapi juga dari portfolio dalam bentuk laporan mingguan dan bulanan; dan 5) teman sejawat dan kepala sekolah menjadi salah satu sumber dan sekaligus sebagai mitra belajar.
PGMKSBM diselenggarakan atas dasar adanya kebutuhan pemerintah untuk meningkatkan kualifikasi guru yang sedang dalam status mengajar tapi belum memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan. PGMKSBM adalah salah satu alternatif upaya meningkatkan kualifikasi guru tersebut melalui penerapan sistem belajar mandiri sehingga para guru tersebut dapat menyelesaikan program pendidikan tanpa harus meninggalkan tugas mengajar sehari-hari.
Ketercapaian tujuan PGMKSBM dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut: (1) jumlah lulusan; (2) peningkatan penguasaan materi; (3) peningkatan kinerja di sekolah; (4) peningkatan hasil belajar siswa.
Proses difusi inovasi PGMKSBM dapat dilihat dari berbagai aspek sebagai beirkut: (1) ditinjau dari sisi saluran komunikasi, difusi PGMKSBM paling banyak terjadi melalui saluran komuniksi antar pribadi, yaitu melalui kunjungan, pertemuan/rapat, seminar dan lokakarya; (2) dilihat dari asepk sistem sosial, difusi PGMKSBM terjadi pada tingkat organisasi (lembaga). Organisasi yang terlibat dalam proses difusi PGMKSBM tersebut meliputi: (1) Universitas Negeri Sebelas Maret berikut jajaran didalamnya; (2) Pusat Pengembangan Penataran Guru Tertulis Bandung; (3) Direktorat Guru dan Tenaga Teknis (Dikgutentis); 4) Kanwil Departemen Agama Jawa Barat; 5) Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah; 6) Balai Penataran Guru se-Indonesia; 7) Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan 8) Lembaga Pendidikan Tinggi dan Kejuruan (LPTK) se-Indonesia; (3) ditinjau dari aspek waktu, perintisan PGMKSBM antara UNS dan P3GT Bandung terjadi selama 4 bulan. Namun demikian, proses difusi inovasi PGMKSBM antara UNS dengan P3GT Bandung untuk melaksanakan kualifikasi guru setara D2 melalui PGMKSBM, sampai penelitian ini dilakukan masih terus berjalan. Difusi PGMKSBM oleh Universitas Sebelas Maret dan P3GT bandung ke Kanwil Depag Jawa Barat memakan waktu selama 18 bulan (1,5 tahun), yaitu dari bulan Maret 1996 – Agustus 1997. Pelaksanaan PGMKSBM kerjasama antara UNS, P3GT Bandung dan Kanwil Depag untuk program D2 dan D3 di wilayah Banten berakhir pada bulam Pebruari 2001. Sejak tahun 2001, adopsi inovasi PGMKSBM untuk program D2 dan D3 bagi guru-guru MI dan MTs di wilayah Banten tidak berlanjut (discontinuance). Sementara itu, keputusan adopsi inovasi PGMKSBM terjadi dalam dua tahap, yaitu: (1) tahap keputusan adopsi inovasi PGMKSBM oleh P3GT Bandung; dan (2) tahap keputusan adopsi inovasi PGMKSBM oleh Kanwil Depag Jawa Barat.
Program Pendidikan Guru Model Kualifikasi dengan Sistem Belajar Mandiri mengacu pada kurikulum D2 dan D3 reguler. Bahan belajar yang digunakan adalah paket pembelajaran untuk setiap mata kuliah yang masing-masing terdiri atas dua buku, yaitu: 1) Buku Materi (BM); dan 2) Buku Tugas (BT). Peserta juga dibekali dengan pedoman umum pembelajaran yang berisi tentang: (1) daftar tebaran mata kuliah; (2) deskripsi singkat setiap mata kuliah; dan 3) pedoman pelaksanaan pembelajaran dan peningkatan kemampuan mengajar.
Proses pembelajaran PGMKSBM dapat dikelompokkan kedalam tiga kegiatan: (1) belajar mandiri secara individu; (2) belajar mandiri secara kelompok; (3) kuliah tatap muka; dan (4) program peningkatan kemampuan mengajar dan praktek pengalaman lapangan (PKM/PPL). Sementara sistem penilaian dikategorikan kedalam enam kategori: (1) penilaian terhadap hasil belajar mandiri secara individu dalam bentuk Laporan Hasil Pembelajaran Individu (LHP1); (2) penilaian terhadap hasil belajar mandiri secara kelompok dalam bentuk Laporan Hasil Pembelajaran Kelompok (LHP2); (3) penilaian terhadap hasil peningkatan kemampuan mengajar (PKM) untuk setiap mata pelajaran yang dibinanya dalam bentuk Laporan Evaluasi Kegiatan Mengajar Sehari-hari (EKMS) dan Laporan Evaluasi Kegiatan Mengajar Lengkap (EKML); (4) penilaian terhadap hasil Ujian Tengah Semester (UTS); (5) penilaian terhadap hasil Ujian Akhir Semester (UAS); dan (6) penilaian terhadap hasil karya ilmiah/tulis.
Keberhasilan penyelenggaraan PGMKSBM di Propinsi Banten dapat dilihat dari beberapa faktor. Pertama, dari sisi peningkatan jumlah guru berkualifikasi D2 dan D3, PGMKSBM di Propinsi Banten telah meningkatkan jumlah guru Madrasah Ibtidaiyah yang berkualifikasi D2 sebesar 23,02% dari sebelumnya hanya sebesar 3% dan meningkatkan jumlah guru Madrasah Tsanawiyah yang berkualifikasi D3 sebesar 10,15% dari sebelumnya yang hanya sebesar 8%. Kedua, dari sisi penguasaan materi, PGMKSBM di Propinsi Banten telah berhasil meningkatkan penguasan materi rata-rata sebesar 25,99%. Ketiga, dari sisi peningkatan kinerja, 93% Kepala Sekolah yang menjadi responden menyatakan bahwa lulusan PGMKSBM bermanfaat terhadap peningkatan kinerja sekolah, khususnya (1) peningkatan dalam penguasaan akan materi mengajar; (2) peningkatan dalam penguasaan metodologi mengajar; (3) perubahan dalam cara/kebiasaan mengajar; (4) peningkatan dalam disiplin kerja; (5) peningkatan dalam kebiasaan berdiskusi.memcahkan masalah mengajar; (6) keterbukaan dalam berpikir dan menerima pendapat orang; dan (7) peningkatan dalam kebiasaan membaca. Disisi lain PGMKSBM elah berpengaruh terhadap peningkatan hasil belajar siswa. Madrasah Ibtidaiyah mengalami rata-rata peningkatan nilai EBTANAS sebesar 1,83, Sedangkan untuk Madrasah Tsanawiyah mengalami rata-rata peningkatan sebesar 1,01.
Faktor pendukung utama keberhasilan PGMKSBM di Propinsi Banten adalah karakteristik dari inovasi PGMKSBM itu sendiri, yang meliputi: 1) PGMKSBM relatif lebih unggul dibandingkan dengan pola pendidikan konvensional; 2) PGMKSBM sesuai dengan kondisi (compatible) dan kebutuhan guru di lingkungan Departemen Agama wilayah Banten; dan 3) pola belajar melalui PGMKSBM cukup luwes (flexible), peserta dapat belajar mandiri secara individu maupun keompok sesuai dengan kondisi yang dihadapinya kapan saja dan dimana saja. Faktor kedua adalah adanya dukungan dana dan kebijakan, khususnya dari Deaprtemen Agama. Faktor ketiga adalah dukungan pengalaman dari pengelola yaitu Univrsitas Sebelas Maret (UNS).
Sementara itu, faktor-faktor penghambat keberhasilan PGMKSBM di Propinsi Banten adalah sebagai berikut: (1) rendahnya motivasi belajar; (2) jarak dan biaya transportasi untuk pergi dan pulang dari dank ke lokasi diskusi kelompok dan kuliah tatap muka; (3) ketidak sesuaian latar belakang pendidikan, mata pelajaran yang diampu di kelas dan program studi yang diambil; (4) rendahnya kualitas bahan belajar; dan (5) lemahnya pengelolaan secara keseluruhan.
Implikasi
PGMKSBM terbukti telah berhasil diselenggarakan untuk meningkatkan kualifikasi guru di Propinsi Banten. Hal ini membuktikan bahwa sistem belajar mandiri dapat diterapkan untuk memecahkan masalah peingkatan kualifikasi guru, khususnya bagi guru yang sedang dalam status aktif mengajar, sehingga mereka dapat belajar sambil tetap mengajar atau sebaliknya tetap mengajar sambil belajar.
Masalah peningkatan mutu pendidikan, sampai saat ini masih menjadi salah satu isu strategis kebjikan pendidikan nasional, selain pemerataan dan perluasan akses serta pencitraan publik dan tata kelola. Upaya peningkatan mutu pendidikan, salah satunya dapat dilakukan melalui peningkatan kualifikasi guru. Sampai saat ini, dari 3,31 juta guru yang tersebar di seluruh Indonesia, sekitar 50% lebih guru yang sudah aktif mengajar tapi masih belum memenuhi kualifikasi. Pendekatan pendidikan untuk meningkatkan kualifikasi guru dengan cara konvensional tidak mungkin dapat memecahkan masalah tersebut. Model pendidikan dengan sistem belajar mandiri, seperti PGMKSBM, merupakan salah satu alternatif solusi yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut. PGMKSBM sebagai salah satu model inovasi pendidikan layak untuk diadopsi dan dimodifikasi untuk memecahkan masalah peningkatan kualifikasi guru, khususnya atau untuk kebutuhan peningkatan pengetahuan dan keterampilan tertentu melalui pelatihan/penataran dengan sistem belajar mandiri.
Pendidikan dengan sistem belajar mandiri akan menjadi trend model pendidikan masa depan. Oleh karenanya perlu terus dikembangkan, terutama dengan mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi yang dewasa ini berkembang dengan pesat. Sebagai contoh, pendidikan dengan sistem belajar mandiri yang tidak hanya memanfaatkan bahan belajar cetak, tapi terintegrasi dengan audio/radio, video/televisi dan bila perlu secara online melalui internet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar