Tulisan ini terinspirasi dari situasi gonjang ganjing bangsa ini yang saling tuduh, saling menyalahkan dan semua merasa benar. Sesungguhnya penulispun tidak merasa benar telah menyajikan tulisan ini kepada pembacanya. Hanya saja apa salahnya kita saling mengingatkan kembali ke sebenarnya jalan hidup yang kita cita-citakan bersama yakni damai, tenteram, tercukupi dan berkeimanan, agar kita semua tidak terjebak menjadi manusia yang “merasa benar di jalan sesat”, mengutip pendapatnya Syafii Maarif pada salah satu acara stasiun tv.
Apakah ada sesuatu yang hilang dari kita sebagai bangsa, sehingga begitu banyak permasalahan yang timbul di Indonesia tercinta ini sampai kita rakyat serta pemerintahnya terkesan resah dan kebingungan sendiri ? Dan bukankah Kitab Suci telah menegaskan bahwa “tidak akan berubah nasib suatu kaum jika bukan kaum itu sendiri yang merubahnya” ?
Kebijakan pendidikan jadi pro kontra sebab kebijakan itu sendiri terkesan dipaksakan dengan mendahulukan program tanpa dukungan penuh ifrastruktur, konversi minyak tanah ke gas juga demikian, buru-buru mengejar target waktu sementara sumberdaya pengelola belum siap untuk bekerja maksimal, akibatnya seakan masyarakat menyimpan bom waktu di rumahnya sendiri, yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung dengan aman. Hukum yang bisa membuat investor mundur sebab mereka ketakutan dengan biaya tinggi yang masih berlaku diam-diam di tingkat bawah dan beberapa kejadian pemberlakuan hukum yang cacat dan sempat menimpa beberapa saudara kita. Belum lagi masalah banjir dan kesemrawutan Jakarta, dan yang menjadi sasaran adalah pemerintah padahal rakyat sendiri yang tidak disiplin dalam membuang sampah dan berkendaraan di jalanan. Juga wakil rakyat yang ramai-ramai mengingkari janji kampanye mereka walau tidak semuanya. Redenominasi rupiah yang diisukan kebijakannya dengan menggunakan istilah yang menjadikan orang awam celingak celinguk tidak paham. Para pembesar yang saling sindir dan berkeluh kesah kepada rakyat, serta masih banyak lagi permasalahan sampai kita sendiri lupa mengingatnya, kalau tidak diingatkan media TV lewat breaking news-nya yang mereka munculkan setiap jam.
Apakah ada sesuatu yang hilang dari kita sebagai bangsa, sehingga begitu banyak permasalahan yang timbul di Indonesia tercinta ini sampai kita rakyat serta pemerintahnya terkesan resah dan kebingungan sendiri ? Dan bukankah Kitab Suci telah menegaskan bahwa “tidak akan berubah nasib suatu kaum jika bukan kaum itu sendiri yang merubahnya” ?
Kebijakan pendidikan jadi pro kontra sebab kebijakan itu sendiri terkesan dipaksakan dengan mendahulukan program tanpa dukungan penuh ifrastruktur, konversi minyak tanah ke gas juga demikian, buru-buru mengejar target waktu sementara sumberdaya pengelola belum siap untuk bekerja maksimal, akibatnya seakan masyarakat menyimpan bom waktu di rumahnya sendiri, yang seharusnya menjadi tempatnya berlindung dengan aman. Hukum yang bisa membuat investor mundur sebab mereka ketakutan dengan biaya tinggi yang masih berlaku diam-diam di tingkat bawah dan beberapa kejadian pemberlakuan hukum yang cacat dan sempat menimpa beberapa saudara kita. Belum lagi masalah banjir dan kesemrawutan Jakarta, dan yang menjadi sasaran adalah pemerintah padahal rakyat sendiri yang tidak disiplin dalam membuang sampah dan berkendaraan di jalanan. Juga wakil rakyat yang ramai-ramai mengingkari janji kampanye mereka walau tidak semuanya. Redenominasi rupiah yang diisukan kebijakannya dengan menggunakan istilah yang menjadikan orang awam celingak celinguk tidak paham. Para pembesar yang saling sindir dan berkeluh kesah kepada rakyat, serta masih banyak lagi permasalahan sampai kita sendiri lupa mengingatnya, kalau tidak diingatkan media TV lewat breaking news-nya yang mereka munculkan setiap jam.
Luar biasa, mengapa demikian gonjang ganjingnya negeri ini ? Sebab sebagai bangsa kita pernah hidup dalam cengkeraman kekuasaan 32 tahun masa pemerintahan orde sebelumnya yang menampakkan situasi yang sangat kondusif, sejuk, nyaman dan tentram, padahal bagai api dalam sekam, sampai sekamnya tidak kuat lagi menahan tekanan apinya dari dalam dan pada tahun 1996 meledaklah gelombang revolusi itu melalui gerakan yang dinamakan reformasi.
Namun sebagai bangsa yang menghargai sejarah, kita jangan menutup mata bahwa kedamaian yang tercipta saat itu merupakan perwujudan dari ketegasan seorang pemimpin pada masa itu dan itulah yang kurang dari pemimpin kita saat ini.
Berbicara mengenai pemimpin atau raja atau khalifah, ada baiknya kita menoleh sedikit kebelakang untuk mengambil referensi ke-khalifah-an Sayidina Umar ra. Suatu saat Sayidina Umar sedang menyamar untuk melihat langsung kondisi ekonomi rakyatnya. Diperjalanan beliau bertemu dengan seorang pria paruh baya yang berpakaian lusuh. Lalu Sayidina Umar ra. menyapa pria tersebut dan bertanya kepadanya,“Bagaimanakah menurutmu kepemimpinan Khalifah Umar wahai Ki Sanak ?”. Dan alangkah terkejutnya Sayidina Umar mendengar jawaban dari pria ini yang berkata,“Umar, Khalifah itu, dia dilaknat oleh Allah !”. Belum hilang rasa syok Sayidina Umar, beliau bertanya lagi,“Mengapa demikian Ki Sanak ?”. Pria ini berkata,”Sebagai Khalifah, dia tidak mengetahui bahwa aku ini rakyatnya, hanya bisa makan sekali sehari dan bekerja serabutan untuk sekedar makan malam anak istriku agar mereka bisa tidur di malam hari dan menahan lapar lagi sepanjang siang yang mereka lalui”. Sejenak Sayidina Umar terdiam dan merenung, bahwa dalam kepemimpinannya beliau senantiasa memperhatikan rakyatnya, tetapi masih juga menjumpai yang serba kekurangan seperti ini. Masih dalam penyamarannya, kemudian Sayidina Umar ra. memberikan uang sebesar 25 Dinar kepada pria ini dan berkata,”Wahai Ki Sanak, aku ini sebenarnya adalah utusan Khalifah yang diutus untuk melihat dari dekat kondisi kehidupan rakyat beliau dan menjaga mereka tetap sejahtera dan damai. Untuk itu terimalah pemberian ini sebagai modal pekerjaanmu dan jagalah keluargamu dari kemiskinan”. Setelah menyerahkan kepingan uang ke tangan pria ini Sayidina Umar berbalik arah untuk melanjutkan penyamarannya, namun pria ini mencengkram tangan Sayidina Umar dengan tatapan terharu seraya berkata,”Wahai pria utusan Khalifah, kalau demikian perlakuan Khalifah Umar kepada rakyatnya, sampaikan kepada beliau bahwa sesungguhnya dia adalah Khalifah yang berhati mulia dan semoga dia dan negeri ini senantiasa dalam lindungan dan bimbingan Allah swt.”. Khalifah Umar mengangguk dan kembali melanjutkan perjalanannya.
Begitu takutnya Sayidina Umar ra. dalam mengemban amanah ke-khalifah-annya, beliau takut dilaknat Allah jika masih ada salah satu keluarga dari rakyat negerinya yang masih hidup dalam kemiskinan. Berarti sebagai pemimpin atau raja suatu bangsa akan mendapat laknat Allah, jika masih ada satu keluarga dari sekian banyak rakyatnya yang kedapatan miskin dan tidak merasa damai. Subhanallah, kita tidak dapat membayangkannya jika ini kita refleksikan pada Negara kita, Indonesia yang kita cintai. Sebab jika kita akan memungkiri dan berkata “impossible suatu Negara tidak ada keluarga miskin di dalamnya !”. Eit..tunggu dulu, Brunai Darussalam Negara tetangga kita, tidak ada keluarga miskin pada masyarakatnya. Wallahualam. Selamat HUT Republik Indonesia yang ke 65.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar